Disclaimer: Haikyuu! adalah karangan Furudate Haruichi. Author tidak mengambil keuntungan materiil.
Warning: Iwaizumi x OC, timeline canon tapi tidak mencolok.
.
.
reality hits hard
Chapter 3: Salted Caramel
by Fei Mei
.
.
Iwaizumi mengunyah kue tar yang diberikan Minami. Ia bukan penggemar makanan manis, tapi ia tidak anti terhadap makanan-makanan tersebut. Apalagi, selai yang ada di antara bolu ini adalah caramel asin, sehingga kue ini tidak hanya terasa manis.
"Apa, eh, apakah rasanya enak?" cicit Minami.
Pemuda itu mengangguk. "Karamelnya terasa banget, tapi ada asinnya gitu."
"Kombinasi yang aneh, kan?"
"Enggak juga, malah jadi enak karena kuenya jadi gak manis-manis banget. Kupikir bakal eneg kalau manis seluruhnya."
Minami tersenyum kecil, tapi tidak membalas apa-apa. Sambil Iwaizumi menghabiskan kue itu, keduanya duduk dalam diam.
Karena keduanya menyelesaikan kegiatan klub sebelum gelap, mereka duduk di taman dekat halte bus. Itu pun dikarenakan sepeninggal Oikawa di depan ruang klub, Minami bilang bahwa ia habis membuat kue tar saat klub memasak dan ingin Iwaizumi mencicipinya. Jadilah sekarang mereka ada di taman, sambil menikmati angin sore.
Selesai makan, Iwaizumi langsung minum air dan mengelap mulut. "Enak, aku suka."
"Syukurlah," gumam Minami pelan. "Aku tidak tahu—erm, eh, soal apa yang senpai suka. Kupikir mungkin senpai tidak bakal suka yang terlalu manis, jadinya aku bikin karamelnya asin."
Iwaizumi tersenyum. "Jadi kamu bikin itu buat aku?"
Sontak saja rona merah terpancar dari pipi gadis itu. "Ah—itu … yah … "
"Hn, Minami, kalau kamu mau tahu, kamu bisa tanya padaku, kok," cetus Iwaizumi. Pacarnya menoleh dan memiringkan kepala dengan raut bingung. Iwaizumi terus tersenyum. "Kita memang tidak pernah dekat atau saling tahu satu sama lain, jadi kurasa wajar jika ada yang tidak kita ketahui. Tapi kalau kamu ingin tahu soal aku, tanya aja."
Minami mengerjap, ia tampak berpikir sejenak, sebelum akhirnya menanyakan sesuatu. "Apakah … erm, senpai punya alergi terhadap sesuatu?"
"Hmm … aku alergi sama kebegoan Oikawa," jawab Iwaizumi setengah menyengir.
Gadis itu tampak langsung berusaha menahan tawanya, membuat Iwaizumi terkekeh juga. Setelah bisa menahan diri dari tawa, Minami berdeham. "Maksudku, makanan. Kalau aku membuatkan makanan untuk senpai, ternyata ada bahan yang membuatmu alergi, itu berbahaya."
Iwaizumi manggut-manggut. "Kayaknya gak ada, semua makanan bisa aku makan."
"Kalau, eh, makanan yang tidak senpai sukai?"
"Gak ada juga kayaknya … hmm, cuman mungkin aku kurang suka yang pahit. Sesuatu yang terlalu pedas, sebenarnya bukan gak suka, aku menghindari saja. Tapi aku suka pedas manis."
Minami mengangguk. "Terus … eh, kapan ulangtahun senpai?"
Iwaizumi tersenyum. "10 Juni!"
"B-bulan depan?"
Pemuda itu mengangguk lalu terkekeh. "Aku lumayan parah soal ingat tanggal. Dulu aku lupa tanggal ulangtahunku sendiri, lho. Tapi sejak SMA, karena bulannya sama dengan Interhigh, jadi teringat saja. Hahahaha."
"Interhigh?"
"Iya—oh, eh …" Iwaizumi baru teringat bahwa Minami tidak tahu menahu soal voli, atau klub voli SMA. "Kompetisi olahraga. Bulan Juni biasanya penyisihan sebelum tingkat nasional."
Minami mengangguk. "Terdengar … sulit ya…"
Iwaizumi setuju. "Aku gak pernah maju sampai tingkat nasional, sih. Kami—aku dan Oikawa, selalu kalah dari Ushiwaka. Si Ushijima itu termasuk 5 besar Ace untuk anak SMA se-Jepang."
"J-Jepang?!" Minami menatap ngeri, membuat Iwaizumi terkekeh.
"Terus, tahun ini, ada banyak anak-anak kelas satu dari sekolah lain yang gak bisa dianggap remeh juga. Sepertinya tahun ini bakal tambah berat untuk maju ke nasional…"
Minami tak berkata-kata lagi. Gadis itu menunduk dengan wajah serius, sepertinya sedang menyerap sambil membayangkan setiap perkataan pacarnya barusan. Iwaizumi hanya tersenyum kecil melihatnya, tapi juga tersadar karena seingatnya sebelum membicarakan Interhigh sebenarnya ia sedang mempersilakan gadis itu untuk bertanya macam-macam tentangnya.
"Minami? Kamu mau tanya apa lagi?"
"Eh? Mmm … aku tidak tahu apa yang ingin kutanyakan … "
Iwaizumi terkekeh. "Ya sudah, pokoknya nanti kalau ada yang kamu ingin tahu, langsung tanyakan saja. SMS, telepon, tanya langsung. Aku ingin kamu mengenalku."
Minami mengangguk dan tersenyum.
"Anu, sebagai gantinya, sekarang aku boleh tanya tentang kamu?" tanya Iwaizumi setelahnya. Lagi Minami mengangguk. "Jadi … apa yang kamu sukai dariku?"
Senyum Minami pudar. Wajahnya menegang dan ia kembali menunduk gugup. Iwaizumi akan paham jika gadis itu seperti salah tingkah, tapi sikap Minami ini seperti sedang menutupi sesuatu yang ia tidak tahu apa itu.
Dalam hatinya, Iwaizumi menghela. "Kalau kamu memang gak mau kasih tahu, gapapa, kok," ujarnya.
Minami tidak memberi respon apa-apa, jadi Iwaizumi memutuskan untuk mengantar gadis itu ke halte saja. Kedua tidak mengucapakn sepatah kata apa pun. Minami hanya menunduk sambil sesekali melirik ke sebelahnya lewat sudut mata, sedangkan Iwaizumi melayangkan pandang kemana-mana sambil sesekali mencuri pandang gadis yang bersamanya. Begitu saja, sampai akhirnya bus yang diincar Minami muncul.
Iwaizumi bisa mendengar desah lega halus dari Minami. Sebenarnya Iwaizumi juga agak lega, karena ia bakal terbebas dari kecanggungan luar biasa ini. Walau memang masih ingin bersama dengan orang yang disukai, tapi kalau dalam situasi seperti ini, Iwaizumi benar-benar tidak tahu apa yang harus dia lakukan.
Laju bus sudah melambat karena akan berhenti di halte. Iwaizumi bisa melihat senyum kecil terpatri dari Minami saat akhirnya pintu bus terbuka. Gadis itu menggigit bibir lalu menoleh pada pacarnya.
"Iwaizumi senpai itu apa adanya," celetuk Minami, lalu tersenyum kecil padanya. "Sosok senpai yang sedang asyik main voli itu, kurasa aku selalu senang melihatnya."
Pemuda itu tercengang. Yang menyebalkan adalah, setelah mengatakan itu, Minami buru-buru masuk ke dalam bus. Dan saat Iwaizumi membuat konklusi bahwa mungkin itulah jawaban yang sempat tak dijawab Minami, pintu bus sudah tertutup dan kendaraan itu mulai melaju pergi.
.
.
"YA KAMU TELEPON DIA DONG IWA-CHAAAANN!" sahut Oikawa dari seberang telepon. "SMS, kek, apa gitu! Malam minggu telepon cewek, lah, jangan telepon cowok, kecuali homo."
Untungnya Oikawa sedang tidak bersama Iwaizumi secara fisik, karena jika ya, maka akan ada barang-barang melayang ke arahnya, atau malah mungkin Iwaizumi akan melempar sahabatnya sendiri.
"Aku kan, gak pernah punya pacar, mana ngerti?!" balas Iwaizumi. "Tapi, menurutmu, kalau dia ngomong begitu, apa itu adalah alasan dia suka aku?"
"Hmm… dia ngomongnya 'seneng lihat', kan? Kurasa gak bisa langsung disamakan dengan 'suka'."
Iwaizumi menghela. Ia paham maksud Oikawa. Toh, ia sendiri sadar bahwa Minami tidak bilang 'suka' padanya tadi sore. Kalau hanya sekedar senang dengan sosoknya yang sedang main voli, bukankah itu jadi seperti fangirlnya Oikawa?
Eh, tunggu—
"Oikawa, memangnya Minami pernah lihat kita main voli sebelum kemarin?"
"Hah? Entah ya, aku gak hapal cewek-cewek yang muncul tiap hari sih. Kenapa?"
"Minami bilang dia selalu senang lihat aku yang main voli," Iwaizumi bahkan menekankan kata 'selalu', "padahal dia baru kemarin lihat, kan?"
"Iwa-chan, kalau pun dia nonton, bukannya kamu bakal sadar kalau dia ada di antara penonton itu, ya?"
Oh iya, Iwaizumi baru ngeh juga. Ya sudahlah, mungkin antara Iwaizumi yang salah dengar atau Minami sendiri yang salah pilih kata.
"SMS dia gih, Iwa-chan, romantis dikit lah, maju duluan gitu."
Jadi Iwaizumi mengikuti saran sahabatnya. Setelah sambungan teleponnya terputus, ia membuka aplikasi pesan dan mencari nama 'Minami Natsuki' dari daftar kontaknya. Ia mulai mengetik pesan dan mengirimnya.
.
'Kepada Minami
Apa kau sedang sibuk sekarang?'
.
Hampir semenit penuh dengan jantung berdebar-debar, ia segera mendapat balasan.
.
'Dari Minami
Tidak, aku hanya sedang membaca novel.'
.
Bukankah baginya membaca adalah kesibukan?, pikir Iwaizumi. Lalu ia membalas pesan itu.
.
'Kepada Minami
Apa aku menganggu?'
/
'Dari Minami
Tidak, kok :)
Ada apa, Senpai?'
/
'Kepada Minami
Tidak ada apa-apa, hanya kepikiran ingin menghubungimu saja.'
/
'Dari Minami
Apa mau teleponan saja?'
.
Iwaizumi hampir tersedak membaca pesan itu. Tanpa ba-bi-bu, ia langsung menelepon ke nomor gadis itu. Baru dering pertama, yang di seberang sudah langsung mengangkat.
"—Minami?"
"Selamat malam, Iwaizumi senpai."
Suara Minami terdengar datar, tapi jelas lebih santai daripada suara yang biasa gadis itu keluarkan jika berada bersamanya selama dua hari ini. Antara lega dan bingung, Iwaizumi memutuskan untuk memanfaatkan masa ini.
"Apa aku menganggu jam bacamu?" tanya Iwaizumi.
Tidak butuh melihat langsung saat ini bagi Iwaizumi untuk tahu bahwa pacarnya sedang tersenyum kecil. "Tidak, aku masih bisa melanjutkannya besok. Senpai sedang apa?"
"Aku … eh, tadi habis teleponan sama Oikawa, terus kupikir aku pengen hubungi kamu."
" …oh."
Itu, nada suara itu mengingatkan Iwaizumi tentang ekspresi tegang yang terpatri di wajah Minami setelah bicara dengan Oikawa di depan ruang klub tadi sore.
"Minami, kamu gak suka Oikawa? Maksudku seperti, gak seneng sama dia?"
" … enggak begitu, kok … biasa saja."
"Oh, baguslah. Dia menyebalkan, reseh, tapi dia tetap sahabatku. Aku … aku gak mau sahabatku dan pacarku musuhan. Atau, yah, tadi sore, kamu kayak takut sama dia, aku jadi cemas."
"Mungkin aku hanya tidak pandai berinteraksi dengan siapa pun terutama anak laki-laki, senpai. Aku tahu dia sahabatmu, makanya aku tidak mau bermusuhan denganya. Aku tahu kalau dia orang baik-baik, kok."
"Begitu?"
"Oikawa senpai memberitahuku beberapa hal yang Iwaizumi senpai sukai, kupikir itu berarti dia ingin senpai mendapatkan hal baik selama berpacaran denganku. Berarti, Oikawa senpai peduli pada sahabatnya."
Iwaizumi menggaruk dagunya. Ia sendiri tahu kalau sebenarnya Oikawa punya sisi baik dibalik keresehannya. Tapi ketika mendengar langsung dari sang pacar, Iwaizumi merasa pacarnya ini jauh lebih baik daripada semua mantan Oikawa.
Lalu Iwaizumi teringat tujuannya menghubungi Minami. "Minami, sebelum kemarin, apa kau pernah melihatku main voli?"
"Erm, saat lomba antar kelas?" Gadis itu terdengar ragu. "Eh, terus … anu, aku hampir selalu terpilih untuk masuk tim konsumsi klub voli kalau kalian mengadakan training camp, jadi aku sesekali sempat melihat juga."
… hah? HAH?! Tunggu, tunggu, tunggu. Iwaizumi memutar otak. Ia tidak tahu mendetil tentang konsumsi selama training camp. Soal transportasi, tempat, jadwal, dan konsumi semuanya ditangani oleh para pelatih dan guru penanggungjawab klub—bahkan Oikawa yang menjadi kapten pun tidak diikutsertakan dalam mengurus hal-hal itu. Anggota klub hanya terima bersih. Mereka berterimakasih dan bersyukur atas hidangan nikmat yang mereka santap selama training camp yang diadakan setiap beberapa minggu sekali yang sering kali hanya dua hari satu malam di sekolah. Tapi mereka, termasuk Iwaizumi, berpikir bahwa makanan itu datangnya dari jasa catering yang dipesan pelatih!
"Kamu—kamu masak buat kami?" tanya Iwaizumi mengonfirmasi.
"Iya, klub memasak sering dimintai tolong oleh klub olahraga sekolah untuk jadi seksi konsumsi kalau mereka ada kegiatan menginap. Guru kami berpikir itu bisa menjadi praktek nyata yang bagus bagi kami. Kebetulan sensei sering banget tunjuk aku dan beberapa anak lain masak untuk klub voli."
"… Minami, kamu kebagian bikin apa biasanya?"
"Eh? Erm … biasanya kudapan, sih … Kue yang kalian makan saat istirahat itu buatanku. Tapi untuk makan siang dan makan malam, saosnya biasa aku yang bikin."
"Serius—ITU SAOS ENAK BANGET!"
"A—oh, senpai suka?"
"Semua pada suka, sih. Bahkan, Kunimi yang makannya gak sebanyak yang lain aja sampai lahap loh!"
" …oh." Iwaizumi mendengar sirat kelegaan pada nada bicara gadis itu. "Baguslah…"
"Eh, Minami?" Terdengan suara 'hm?' dari seberang. "Kalau kamu lebih nyaman kita bicara lewat telepon dibanding ngomong langsung, gapapa, kok."
"A-aku akan berusaha untuk bicara dengan normal saat tatap muka juga, senpai…"
Iwaizumi tersenyum. "Yang bilang kamu abnormal, siapa?"
.
.
Minami benar-benar tampak berusaha untuk membuka diri di depan Iwaizumi sejak malam itu. Memang mustahil bagi seorang introver untuk memulai pembicaraan lalu mengatakan banyak hal sekaligus. Iwaizumi sendiri sudah cukup senang kalau Minami sudah mau berbasa-basi walau kadang hanya berupa setengah bisikan sambil tersenyum. Dan karena jadwal mulai klub mereka di sore hari bersamaan, Minami yang tidak bisa datang ke gym hanya mengirimkan pesan singkat berisi 'semangat latihan hari ini, Senpai,' atau sebagainya. Pokoknya, lewat dari seminggu sejak telepon malam itu, Iwaizumi bahagia bukan main, sampai-sampai duo MatsuHana dan Oikawa menggodanya terus-terusan.
Gadis itu masih terlihat takut di sekitar Oikawa, padahal Iwaizumi yakin sahabatnya tidak melakukan apa-apa selain menggoda mereka. Tetapi tiap kali ada di sekitar si Setter, Minami selalu menarik ujung belakang baju Iwaizumi dan seakan ingin sembunyi di punggungnya. Keanehan itu dihiraukan Iwaizumi, tentu saja, karena baik Minami maupun Oikawa tidak pernah mengatakan hal jelek tentang satu sama lain pada si Ace tim voli.
Berpikir bahwa mungkin hubungan mereka sudah mulai tidak secanggung awalnya, Iwaizumi bertekad untuk membawa gadis itu kencan. Gara-gara menjelang Interhigh, Pelatih Irihata menjadwalkan latihan tiap hari Minggu yang biasanya adalah hari libur. Tapi karena memang hari Minggu adalah hak pelajar untuk libur, maka pelatih tidak memaksa timnya untuk hadir, alias yang mau ya datang saja. Tiap kali mau ada pertandingan resmi, pelatih memang seperti itu. Tetapi kali ini, karena baik Pelatih Irihata dan Pelatih Mizoguchi sedang tidak bisa hadir, maka latihan pada hari Minggu itu ditiadakan. Iwaizumi pun benar-benar mengajak Minami pergi.
Saking semangat dan bahkan gugupnya, pemuda itu tiba di tempat janjian setengah jam lebih awal. Ia merogoh ponsel, berniat untuk melakukan apa pun dengan gawainya sambil menunggu sang pacar. Tetapi baru ia menyalakan layarnya, gadis itu muncul.
"S—senpai? Loh—kita janjian jam sembilan, kan?" tanya gadis itu, kaget.
Dibanding Minami, Iwaizumi lebih kaget lagi. Pertama, gadis itu sama saja dengannya yang datang kecepatan. Kedua, Minami tidak mengenakan kacamatanya. Ketiga, Iwaizumi tidak pernah melihat pacarnya memakai baju bebas.
"Senpai?" panggil Minami.
Iwaizumi mengerjap, akhirnya tersadar bahwa dirinya bengong sesaat. Ia pun berdeham. "Kamu, cepet banget udah nyampe."
Minami tersenyum kecil. "Kupikir daripada telat, mending aku kecepatan."
Pemuda itu mengangguk. "Iya, eh, aku juga mikir begitu. Erm, hari ini kamu pakai lensa kontak?"
"Itu … ibu memaksaku," jawab Minami gugup. "Aku malu banget keluar tidak pakai kacamata begini—"
"—kamu manis, kok!" potong Iwaizumi, kelewat semangat, sambil menambahkan 'terima kasih Ibu Minami!' dalam hatinya. "Maksudku, pakai kacamata tetap membuatmu terlihat manis, tapi begini juga manis." Iwaizumi berdeham lagi. "Kalau gak nyaman, kamu ganti aja dulu kontak lensanya dengan kacamata, aku tungguin."
"Gakpapa?"
"Gakpapa!"
Minami tersenyum lega, bilang akan mencari toilet dan pergi. Tidak sampai sepuluh menit, gadis itu kembali lagi, kali ini dengan menggunakan kacamatanya.
Ternyata benar. Lensa kontak, kacamata, manapun yang dipakai gadis itu, dia tetaplah Minami Natsuki yang Iwaizumi Hajime sukai.
.
.
Bersambung
.
.
Review?
