Author's notes:
- Karakter hanya milik Masashi Kishimoto.
- Ditulis hanya untuk hiburan.
- Fanficcer tidak mendapatkan keuntungan materi apa pun dari fanfiction ini.
- Alternate universe setting out of character.
- Romance, Angst, Fantasy, Drama, Mystery.
Black Blood
.
.
.
Chapter Three
A House
.
.
.
Tubuh ringkih itu terasa begitu dingin dalam pangkuan Chouchou. Tak peduli pemuda ini sama sekali tidak mengharapkan kehadirannya, hal pertama yang terpikir di kepala Chouchou dalam situasi mendesak seperti ini adalah menolongnya!
Sambil menahan tubuh pemuda itu agar tidak terjatuh, Chouchou memungut kunci rumah yang tergeletak di lantai parket. Dengan sedikit kesulitan, ia membuka pintu rumah itu. Dipapahnya si pemuda ke dalam.
Rumah itu seperti baru saja dibeli dari agen properti, tidak banyak mebel hingga nyaris kosong. Beruntung ada sofa panjang yang Chouchou temukan di sana hingga ia bisa cepat-cepat merebahkan tubuh pemuda ini.
Ditatapnya pemuda yang tengah terbaring lemas itu. Dadanya bergerak naik-turun dengan cepat, tampak sangat kesulitan bernapas dan dari wajahnya ia terlihat begitu kesakitan. Chouchou merogoh sakunya, hendak mengambil ponsel, menelepon layanan kesehatan.
Sayangnya Chouchou tidak menemukan apa pun dalam sakunya selain beberapa lembar uang sisa ongkos kereta tadi. Ah, sial! Ponselnya tertinggal di ruang ganti Mrs. Wingsely.
Ia tak tahu mengapa, tapi ia cemas sekali akan keadaan pemuda itu. Dalam keadaan takut, ia melepaskan mantel pemuda itu dari tubuhnya, meraba saku mantel pemuda itu, mencari-cari ponsel. Ia tidak peduli apakah sopan atau tidak melakukan ini, tapi ini keadaan darurat.
Setelah mencari di setiap saku, ia hampir tidak percaya bahwa pemuda itu juga tidak mengantongi ponsel! Sakunya hanya berisi sebuah dompet kulit, tidak ada benda lain.
Chouchou menyalakan lampu dan menyisir ruangan demi ruangan, mencari telepon rumah yang bisa ia gunakan. Tapi ia tidak menemukan apa pun selain meja foyer yang kosong, ruang baca tanpa buku, dapur yang dingin seperti tidak pernah digunakan, dan kamar tidur dengan ranjang yang diberi seprai seadanya.
Petir yang menggelegar di luar menambah perasaan tak nyaman.
Chouchou kembali ke ruang tamu dengan keadaan gelisah. Bagaimana ini? Tidak ada satu pun telepon di rumah ini dan ia sama sekali tidak menemukan telepon umum di sepanjang Locket Road. Ia tidak bisa menghubungi siapa pun.
Dengan hati-hati, Chouchou memindahkan pemuda itu ke ruang tidur. Paling tidak di sana pemuda itu bisa berbaring lebih nyaman dan hangat.
Setelahnya Chouchou mencari selimut di lemari. Beruntung ia menemukan satu di antara beberapa potong pakaian. Segera ia selimuti pemuda itu dengan selimut flanel yang hangat.
Keadaannya belum membaik. Dalam situasi ini ia tidak bisa mengandalkan apa pun selain kemampuannya. Ia kembali membuka lemari, mencari handuk dan membawanya ke dapur. Di sana ia memanaskan air dalam panci.
Lagi-lagi ia hampir tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. Kabinet dapur, kulkas, meja makan, semuanya kosong. Yang bisa dikonsumsi di sana tidak lebih hanyalah air dari keran dan sekaleng teh Twinings yang kemungkinan besar tidak sengaja ditinggalkan pemilik rumah sebelumnya.
Setelah airnya cukup panas, Chouchou menuang airnya ke dalam baskom dan kembali ke kamar untuk mengompres pemuda itu.
Chouchou duduk di tepi kasur, memeras handuk yang sudah dicelupkannya ke air. Diletakkannya handuk itu di kening si pemuda berambut perak.
Pemuda itu lebih tenang setelah Chouchou mengompresnya, kernyitan di dahinya berkurang. Baru kali ini, Chouchou dapat memperhatikan wajahnya lebih dalam tanpa merasa gugup. Walaupun secara keseluruhan ia masih sangat pucat, tapi pemuda itu tetap tampak begitu tampan. Chouchou merasa kagum tidak pada waktunya. Satu sisi dalam hatinya berdoa agar pemuda ini segera sembuh dari sakitnya.
Chouchou menemaninya sepanjang malam, ia rutin mengganti handuk di dahinya, dan setiap kali mendengar pemuda itu mengerang kesakitan, Chouchou menggenggam tangan putih kurusnya dan mengusap kepalanya.
Di luar, hujan yang turun dari langit perlahan menderas, terus melebat ditemani angin yang meraung-raung, berubah menjadi badai besar.
Chouchou menaikkan suhu pemanas ruangan dan mengganti air di baskom.
Hingga pagi menjelang, ketika kantuk mulai menyerang gadis gemuk itu, si pemuda membuka mata sipitnya perlahan, memperlihatkan irisnya yang berwarna indah seperti emas.
Saat matanya beradu pandang dengan Chouchou, pemuda itu tersentak dan membelalak. Segera saja ia lupa rasa sakit menyiksa di sekujur tubuh, yang tersisa hanyalah amarah dan aura membunuh.
"Apa yang kau lakukan di sini?!"
Chouchou yang mengharapkan ucapan terima kasih terkejut mendapati respons itu. Suara tinggi itu menyita habis kata-kata Chouchou, ia tak dapat berujar saking terkejutnya.
"PERGI DARI RUMAHKU!" Pemuda itu menarik lampu meja nakas hingga kabelnya tercabut, melemparnya ke arah Chouchou.
Beruntung gadis itu sempat menghindar, lampu itu membentur dinding di belakangnya, namun pecahan kacanya mengenai wajah Chouchou, membentuk goresan darah di pipi. Sebelumnya, walau takut, Chouchou tidak yakin pemuda lemah yang tengah jatuh sakit itu akan mampu berbuat macam-macam padanya. Namun, melihat lampu yang pecah teronggok di lantai, Chouchou mulai meragukan pikirannya semula.
Si pemuda semakin mengamuk, kedua tangannya meremas kepalanya yang seperti mau meledak. Ia tidak bisa tahan lagi, rasa sakit dan nafsu menguasai tubuhnya.
"CEPATLAH PERGI SEBELUM AKU MEMBUNUHMU!"
Kali ini Chouchou tak dapat membendung rasa takutnya. Pemuda itu seperti bersungguh-sungguh ingin membunuhnya. Dengan gaunnya yang sesak, Chouchou berlari meninggalkan pemuda itu, melupakan utang satu malamnya pada pemuda itu. Yang terpenting sekarang, ia harus menyelamatkan nyawanya.
Dengan tangan gemetar ketakutan, Chouchou membuka pintu depan yang tidak dikunci. Namun sebelum kedua kakinya sempat menuruni undakan dan membiarkan tubuhnya basah oleh tempias air hujan, tak disangka-sangka ia merasakan tangannya tertahan tangan seseorang yang dingin. Chouchou menoleh ke belakang.
Pemuda pucat itu, yang tengah meremas dadanya dan menahan tangan Chouchou dengan tangannya yang lain, bertindak amat berbeda dengan sikapnya sebelumnya. Di tengah napasnya yang pendek-pendek dan rintihan lirih, ia berkata dengan suara paraunya, "Sulit bepergian di saat badai seperti sekarang, tunggulah di sini sampai cuaca membaik."
Sikap hangat itu membuat Chouchou tertegun. Sulit mengenali siapa yang berada di hadapannya sekarang ini, pemuda jahat yang berniat membunuhnya? Atau justru pemuda baik hati yang menawarkannya tempat berteduh?
.
.
.
To Be Continued
Next Chapter
A Cup of Tea
.
.
.
Author's note:
Halo semuanya! Cukup lama 'gak update ya! Sekarang udah tahun 2021 aja, 'gak kerasa ya? Selamat beribadah puasa bagi yang menjalankan. :D
Gimana chapter ini? Semoga kalian suka ya! Kalau kalian bersedia ngasih masukan, aku bakalan tambah semangat update-nya, lho! Ditunggu review kalian! XD
