Solar harus mengakui bahwa ternyata ujian fisika hari itu tidak seberat bayangannya. Mungkin karena kemarin dia sudah belajar keras bersama Kak Ice dan Kak Duri—rupanya Kak Ice punya pendekatan lain untuk memahami rumus termodinamika yang selama ini menjadi misteri bagi otak brilian Solar. Ice yang diam-diam penuh kejutan, selama ini belum pernah Solar cukup dekat dengan kakaknya yang cenderung pemalas itu. Dengan mood yang baik selepas ujian, dia mendatangi kakak tertuanya yang memang sedang membersihkan dapur.

"Sudah selesai ujiannya?" Halilintar bertanya dari balik kompor yang dibersihkan begitu melihat si bungsu muncul di dapur.

"Aku sudah selesai. Kak Duri belum, Kak Ice kulihat sudah tidur di kasur."

"Lancar?" Alis Halilintar naik mendapat Solar begitu santai dan tenang, seperti kontradiksi tingkahnya dua hari terakhir.

"Alhamdulillah." Solar tersenyum kecil. "Tidak sesulit yang kukira."

Halilintar mengangguk sambil masih mengelap kotoran di permukaan kompor. "Terbaik lah Solar. Kamu kabari Blaze dan Gempa dulu, deh. Dari tadi Blaze nggak tenang mikirin kalian yang ujian."

"Masa?" Solar skeptis, setengah sebal dengan si sulung yang begitu datar mengucapkan kata legendaris 'terbaik' itu.

"Katanya dia mau bikin party kalau kalian bertiga sukses ujian."

.

.

.

.

.


.

.

.

BoBoiBoy (c) Animonsta Studios

Bridge over Troubled Water (c) Roux Marlet

-Penulis tidak mengambil keuntungan material apa pun dari cerita ini-

Alternate Universe, Elemental Siblings without super powers

Family, Drama, Suspense

.

.

.


.

.

.

.

.

Chapter 3: Falling Down

.

.

.

.

.

Jangan nangis, jangan nangis!

Duri lari ke kamar sebelah begitu waktu mengerjakan habis. Didapatinya Ice terkapar di atas kasur seperti paus terdampar, posisinya telentang tak simetri dengan ranjang, kakinya menjuntai keluar, kaosnya terbuka di bagian perut.

"Kak Ice ..." desahnya putus asa sambil mengguncang bahu Ice. "Kak … bangun dong."

"Mmm?" Mata Ice berkedip-kedip dengan lambat. "Duri? Sudah selesai?"

Duri membelalak dengan matanya yang memang besar. "Ini Kakak ketiduran atau memang sudah selesai ujian?"

"Aku sudah selesai." Ice memiringkan badan pelan-pelan baru duduk di tempat tidur. Dia bergidik sembari menatap jaket birunya yang tersampir di kursi belajar. "Alamak, tadi jaketku kulepas ternyata. Makanya dingin."

Duri menyentuh tangan Ice yang kali itu tidak terbungkus sarung tangan karena harus menggunakan touch screen. Sama saja dinginnya dengan tangan Duri sendiri dan Ice cukup kaget. Biasanya tangan Duri hangat seperti Blaze—bagaimana ujiannya Duri?

"Kamu … gimana?" Ice bertanya hati-hati.

Duri tak menjawab, matanya berkaca-kaca.

"Duri jangan nangis ya, sini peluk Kakak." Ice merentangkan tangan sambil tersenyum lembut.

Diundang begitu terang saja membuat Duri menghambur ke pelukan Ice yang empuk dan hangat kendati tangan sang kakak dingin. Ditahan-tahannya tangis yang sudah hampir pecah, karena Duri kalau menangis selalu heboh dan nanti bisa bikin batal puasa. Duri tak mau bolong padahal baru hari kedua. Kejamnya Pak Guru Papa Zola bikin ujian fisika di awal puasa!

"Duri kuat, kamu kuat. Ayo, tenang. Yang tenang." Ice menepuk-nepuk punggung Duri. "Sudah umur tujuh belas. Kamu pasti bisa tenang. Tarik napas dalam, hembuskan." Dirasakannya adiknya itu menarik napas panjang, satu kali, dua kali. Semenit kemudian, Duri sudah tidak gemetaran dan tangannya menghangat.

Ice berpikir-pikir sambil mengantuk. Kalau seperti ini ada dua kemungkinan: antara Duri tidak selesai mengerjakan atau tidak bisa mengerjakan ujian. Ke mana Solar? Oh, mestinya dia sudah selesai duluan dan pergi ke dapur sesuai janjinya pada Kak Halilintar. Ice sendiri merasa cukup bisa karena refresh materi yang didalaminya kemarin bersama Duri dan Solar. Rasanya kemarin Duri juga cukup menguasai ketika ditebaki oleh Ice?

"Tadi sinyalku sempat gangguan, lalu aku buyar, Kak. Nggak bisa mikir lagi. Lupa, menguap semua!" seru Duri agak histeris ketika Ice melepas pelukannya.

Wah, kendala teknis rupanya. Malang sekali Duri …

Ice menepuk kepala Duri dengan lembut dan merangkulnya sekali lagi. "Kita jadi minta Kak Gempa buat pasang wifi di rumah kalau kayak begini. Biar lain kali ujian lancar, ya."

Keduanya diam sambil berpelukan. Samar-samar di lantai bawah terdengar sesuatu yang jatuh, tapi Ice dan Duri belum bergerak.

"Kak Ice," panggil Duri setelah bermenit-menit keheningan.

"Hmm?"

"Duri sayang Kak Ice." Tangan Duri mengerat di pinggang Ice yang tebal.

"Ice juga sayang Duri," jawab sang kakak, masih dengan kelembutan dan ketenangan yang sama.

.

.

.

.

.

Blaze memandangi ponsel dengan kecewa. Sepertinya Duri tidak bisa dibilang 'sukses' menjalani ujiannya. Kebalikan dengan kabar dari Solar, pesan dari Ice membuatnya mengurungkan niat untuk bikin party. Nanti Duri bakal tersiksa kalau mereka bersenang-senang padahal nilainya buruk—seperti kejadian waktu mereka lulus SD dahulu.

"Memang perlu pasang wifi ya, kalau begini caranya?" seloroh Gempa yang sedang mengeringkan cangkir.

"Iya, Kak Gempa. Kasihan Duri." Blaze memain-mainkan ponselnya di atas meja. Memang kalau bulan puasa, Kokotiam sepi. Hanya segelintir pesanan delivery, itu pun bisa dihitung jari. Tapi mereka tetap wajib menjaga kedai, minimal berdua karena begitulah kesepakatannya.

Gempa menghela napas. "Kak Taufan juga sering bilang sinyal di rumah hilang timbul. Nanti coba kubilang Tok Aba dulu ya."

Blaze membalas, "Tapi 'kan sebetulnya uang kas rumah tangga Kak Gempa yang pegang?"

"Iya, tapi rumah tetap punya Atok, 'kan? Kita ini yang numpang sama Atok," ujar Gempa sambil main-main mengetuk kepala sang adik.

"Aduuuh! Iya, Kak, maaf. Ya sudah ini, kita mau tutup jam berapa?" gerutu Blaze sambil menyandarkan kepala di atas meja.

Pemandangan Blaze yang lesu sangat langka terjadi. Gempa melihat arloji, sekarang bahkan belum azan Asar. Tapi barusan Halilintar memberinya laporan bahwa Solar agak membuat kacau di dapur. Jadi Gempa memutuskan,

"Sekarang saja."

.

.

.

.

.

Di dapur siang itu, Solar menelan ludah dengan susah payah. Bukan karena dia sedang tergoda ada makanan atau minuman di depan mata, tapi karena onggokan daging ayam dalam plastik itu masih berdarah-darah. Halilintar sudah memaksanya melepas sarung tangan kainnya—oh, tidak. Sekarang tangannya tidak lagi terproteksi dari kuman dan terutama cairan berwarna merah itu.

Baru memegangnya saja Solar sudah berjengit, tangannya melempar dengan tak sengaja, dan onggokan daging itu meloncat menghantam tembok, meninggalkan noda merah di sana. Halilintar geleng-geleng kepala.

"Kamu mengotori tembok," komentar si sulung pada fakta yang sudah jelas. "Dimarahi Gempa nanti."

"Kak, kalau di ruang bedah itu, dokter pakai sarung tangan!" kilah Solar membela diri.

"Ini bukan ruang operasi," balas Halilintar. "Pegang saja begini, taruh di bawah keran, guyur sampai darahnya bersih."

Solar hanya mengamati saja ketika Halilintar mempraktikkan instruksinya barusan. Dari bawah keran mengalir warna merah pekat … Solar mundur otomatis, kepalanya tiba-tiba pening. Begitu menemukan kursi, dia langsung duduk. Wajahnya pucat pasi.

"Begini mau jadi dokter bedah?" ejek Halilintar, sengaja memprovokasi supaya Solar lebih berani. "Berjam-jam lihat darah, lho."

"Aku tahu, Kak. Pelan-pelan, lah," gerutu Solar sambil memijit keningnya. Terlalu memforsir belajar bisa jadi penyebab pusingnya yang mendadak ini—atau memang Solar sebegitu takutnya melihat darah? "Kemarin pun Kak Gempa semua yang handle daging ayamnya."

"Gempa itu terlalu lembut soal hal sadis begini," seloroh Halilintar, masih meneruskan mencuci daging. "Lain kali Taufan kusuruh ajak kamu nonton film zombi, coba. Meski hanya efek, banyak darahnya."

"Nggak, terima kasih. Seleraku bukan film macam begitu." Dalam hati Solar membatin, jadi secara tak langsung Halilintar mengaku kalau dia itu sadis, dong? Pantas saja ekskulnya pencak silat. Dan kakak satunya, Taufan, doyan nonton film begituan juga? Jangan-jangan dia hanya perlu belajar audio bahasa Inggrisnya dan mendengarkan saja sambil memejamkan mata?

"Nonton film-film drama medis?" balas Halilintar.

"Baru mau coba," sahut Solar sambil bergidik.

"Nah, Taufan juga punya banyak tuh di laptopnya." Halilintar menyeringai. "Kupanggilkan dia? Orangnya di kebun bareng Atok."

"Nanti dulu, deh, Kak. Aku baru unduh ebook anatomi kemarin, mau kubaca dulu," ujar Solar cepat-cepat.

.

.

.

.

.

"Mending kamu coba dulu itu nonton film yang banyak darah, seperti usul Kak Halilintar. Setelah tahan, baru coba darah beneran."

Barusan adalah Gempa yang memberi saran pada Solar. Bahkan cipratan darah ayam di tembok tak berani disentuh Solar—tak berani atau jijik, Gempa tak bisa membedakan. Muka Solar sudah kusut sekali akibat persiapan ujian dan entah dia dikatai apa saja oleh Halilintar tadi.

"Maaf Kak Gempa," bisik si bungsu lirih. Sejak pulang dari Kokotiam dan langsung masuk dapur, kakaknya yang nomor tiga itu hanya diam dengan ekspresi kaku.

Gempa meraih kain lap dan membasahinya dengan air. "Sudah, nggak apa-apa. Kuurus di sini, kamu cek hasil ujianmu. Katanya keluar sore ini."

"Iya, Kak. Terima kasih, ya."

Hal pertama yang mau Solar lakukan adalah mandi. Sudah cukup suntuk dia dengan semua kejadian hari ini, meski ada rasa optimis di hatinya tentang nilai ujiannya sendiri. Saat masuk kamar, Duri sedang tidur sedangkan kamar sebelah tertutup pintunya. Tidak menyapa siapa-siapa atau bicara apa-apa, Solar membuka ponsel dan mengecek kabar di grup media sosial tentang hasil ujian. Pak Guru Papa Zola bilang hasil ujian akan dikeluarkan selepas Magrib.

"Kebenaran tak akan biarkan anak muridnya batal puasa karena hasil ujiaaaaan!"

Begitu ujar sang guru di grup. Solar jadi deg-degan. Apa itu berarti hasil ujian kali ini bakal mengundang tangisan dan makian? Sudahlah. Solar mau mandi dulu, membersihkan diri dari noda darah ayam dan kekalutan ujian.

.

.

.

.

.

"Sinyalku gangguan," keluh Solar setelah tarawih. Dia sudah mondar-mandir di kamarnya sendiri dan kini bertandang ke kamar sebelah, berusaha mendapatkan koneksi. "Kak Ice, tolong lihatkan di ponselmu. Hasil ujian kita."

"Ini masih loading juga dari tadi," sahut Ice yang sudah bertengger di atas tempat tidur, ponsel dalam genggaman. Blaze di kursinya sendiri diam saja sambil memutar bola basket di tangan. Kesedihan Duri (yang didengarnya dari Ice) memengaruhi suasana hatinya juga. Solar tidak kurang peka terhadap perubahan Blaze, dia bertanya,

"Kak Blaze tumben nggak hilir-mudik? Lagi PMS?"

"Ngaco," komentar Blaze singkat sambil melirik si bungsu. "Duri di kamar?"

"Nggak, masih di bawah sama Kak Taufan tadi. Katanya mau minta video Baby Shark di laptop." Solar melipat tangan di dada, masih menunggu di pintu.

Blaze berhenti memutar bola dan menatap Solar, "Gimana pelajaran darah ayammu?"

Ice sebetulnya geli dengan istilah Blaze, tapi kilatan berbahaya di mata Solar mencegahnya tertawa.

"Kak Ice, sudah muncul belum?" Solar segera membelokkan topik. Blaze terkekeh-kekeh menyadari bahwa yang ditanyakannya juga tak berjalan lancar. Tapi dia terlalu kecewa batal menggelar pesta sampai tidak sanggup lagi meledek Solar.

"Oh, ini dia." Ice menegakkan sikap duduknya.

Solar bergegas mendekat. "Lihat, Kak."

"Aku dulu lah, 'kan ponselku."

"Ish, Kak Ice ini."

"Solar, tahu diri ya sama kakak!" tegur Blaze sambil nyengir, tapi keceriaannya dipaksakan.

Mata Ice menelusuri nomor urut presensi kelas dan nilai yang diurutkan dari tertinggi sampai terendah itu. Otomatis dilihatnya dulu nomor urut yang bertengger di paling atas daftar. "Solar, kamu nomor urut 23 'kan … tertinggi … nilaimu 95."

"Alhamdulillah! Yeay!" Si bungsu langsung meninju udara dengan tangan kanannya.

"Aku dapat 89," gumam Ice sambil menggulirkan daftar ke bawah, sementara Blaze dan Solar menyimak. Blaze bertepuk tangan.

"Duri … dapat 70."

"Berapa batas kelulusannya?" tanya Blaze segera.

Ice menatap kakaknya sambil tersenyum senang. "Tujuh puluh."

Blaze mendesah lega. "Alhamdulillah ya Allah."

"Syukurlah! Kita semua lulus, Kak Ice!" Solar bersorak sambil memeluk Ice, sisi lain dari sifat periangnya semasa kanak-kanak dulu masih tersisa di saat seperti ini. Ice yang belum pernah dipeluk Solar sampai kaget, tapi malah si adik yang duluan memekik.

"Kak Ice, kok kulitmu dingin sekali?" Solar menjauhkan badannya sambil mengerutkan dahi. Tadi dia menyentuh tangan Ice, yang kini menjawab dengan tenang,

"Aku memang sering kedinginan, Solar. Kamu lihat aku selalu pakai jaket, 'kan?"

"Betul-betul kebalikan dariku," timpal Blaze yang bahkan di malam hari pun mengenakan kaos lengan buntung.

Solar geleng-geleng kepala. "Memang seperti air dan api, kalian berdua ini. Sudah ya Kak, terima kasih infonya. Aku mau hibernasi."

"Oke, sama-sama. Selamat istirahat. Aku juga mau tidur," ujar Ice sambil merebahkan diri.

"Bye, Solar," Blaze melambaikan tangan, semangatnya sudah kembali. Besok dia akan tetap membuat sesuatu untuk merayakan hal ini!

Namun menjelang jam sepuluh malam, ketukan di pintu kamar Blaze dan Ice membawa kabar yang ganjil. Blaze yang membuka pintu mendapati Duri sesenggukan sambil berderai air mata, sampai Ice yang sudah tidur pun ikut terbangun.

"Kak Ice, Duri harus remidi … tugasnya dikumpul tengah malam ini."

Kedua pemilik kamar saling berpandangan.

"Bukannya Duri dapat 70?" celetuk Blaze, memandangi Ice yang masih di atas ranjang, minta konfirmasi. Yang dipandangi buru-buru mengecek ponsel. Duri berjalan masuk dan menghempaskan pantatnya di kursi belajar Ice.

"Duri dapat 35 … dan Solar lagi jadi monster lumpur di sebelah, Duri takut bangunin."

"Monster lumpur?" Blaze membeo dengan alis terangkat. "Maskeran maksudmu?"

"Ya, itulah." Duri menggeletar ngeri. "Dan ada timun di matanya."

"Dia sudah lelah lahir batin sepertinya, habis ujian masih dibantai Kak Halilintar," komentar Blaze.

"Duri … aku lupa nomor urutmu 11, bukan 12," seloroh Ice dengan tegang.

Duri mengerutkan wajah putus asa. "Yang nomor 12 itu Fang. Aku nomor 11."

"Alamaaak, aku salah baca nilai." Ice sudah duduk tertegun.

"Ice, beneran ini?" Blaze menatap adiknya dengan ngeri. Jadi Duri ternyata tidak lulus ujian tadi pagi?

"Kak Ice, bantu aku. Remidinya isinya termodinamika semua!" Duri melolong histeris. "Salahku Kak. Dari tadi aku nonton Baby Shark buat pelampiasan, karena kata Solar nilaiku 70. Ternyata setelah kucek sendiri, angkanya 35 …"

Ice mencoba untuk tetap tenang. Tengah malam itu tinggal dua jam lagi! "Aku cuci muka dulu. Kak Blaze, minta tolong bikin kopi ya."

.

.

.

.

.

Dalam pelajaran kimia Ice tahu bahwa sebetulnya cokelat juga mengandung kafein, tapi jauh lebih banyak kandungannya di kopi, dan kebanyakan minum cokelat seringnya membuat dia malah makin kenyang dan mengantuk jadi tak efektif buat belajar. Blaze sih sudah terbiasa kamarnya diisi aroma kopi sejak mereka berusia remaja dan selera minuman Ice mulai bergeser dari cokelat ke kopi, meski dia tetap langganan susu keliling yang katanya baik untuk tulang.

Untungnya tugas remidi Duri selesai jam setengah dua belas malam. Tapi Ice jadi tak bisa tidur, matanya terbuka lebar, efek kafeinnya masih awet. Di samping itu, perutnya sebelah kiri agak perih. Ice teringat nasihat Solar yang sudah sering bilang bahwa kebanyakan minum kopi tak baik untuk lambung. Ice berguling-guling sepanjang malam, tak bisa tidur nyenyak, sementara Blaze yang kembali menelan kekecewaan sudah tertidur duluan dalam dukacita.

Bisa ditebak bahwa sahur ketiga penuh keributan.

"ICEEEE, BANGUUUUN!"

Rasanya Ice baru bisa lelap jam setengah dua pagi. Dia sedang dalam fase deep sleep ketika saudara-saudaranya mencoba membangunkannya. Blaze sudah menjewer kupingnya, menggelitik perut dan telapak kakinya, semua tak membuahkan hasil. Gempa bahkan merelakan pancinya dipakai lagi buat dipukul-pukul dengan hasil nihil. Tok Aba mengibaskan botol minyak angin yang berbau menyengat di depan hidung Ice, tapi juga gagal.

Ice tidur seperti orang mati. Amit-amit, sebetulnya, tapi itu istilah yang tepat. Napas Ice dalam dan teratur, dengkur halus keluar dari mulutnya yang sedikit terbuka.

Duri yang merasa bersalah karena dialah penyebab Ice terlambat tidur, berusaha menarik badan kakaknya itu—niatnya menggendongnya sampai kamar mandi. Tapi menggeser badan Ice saja dia tak kuat. Bahkan Halilintar dan Taufan yang notabene paling besar tak mampu membopong Ice dari ranjang. Sejak kapan adik mereka yang satu ini jadi seberat itu badannya?

"Susu murni n*sional~" Duri coba bernyanyi di samping telinga Ice.

Blaze mengeluarkan ponsel dan mencari-cari sesuatu di penyimpanannya. "Aku pernah rekam lagunya yang asli. Coba sini."

Lagu familier yang berasal dari pedagang susu keliling memenuhi ruangan, tapi Ice tetap tak bangun.

Solar, yang pagi itu mukanya glowing setelah maskeran semalam, tampak merasa bersalah juga. Dia baru tahu pagi ini bahwa Duri ternyata remidi dan menyesali diri tak mengecek daftar nilai sendiri. "Kita coba tarik ujung spreinya, jatuhkan dia ke lantai."

Gempa langsung menggeleng tak setuju. "Kasihan Ice!"

"Terus gimana Kak?" balas Solar yang tak punya ide lain.

"Kalian makan duluan, aku akan terus coba bangunkan dia," pungkas Blaze sambil menatap Ice dengan cemas. Kenapa adiknya ini? Biasanya suara Blaze sudah cukup menggugahnya dari alam mimpi.

"Aku bantu," ujar Solar langsung tunjuk tangan.

"Nanti gantian," Halilintar memutuskan. "Kalian juga harus sahur."

Usaha demi usaha tak ada hasilnya. Solar sampai mencari dengan ponselnya cara-cara jitu membangunkan orang yang tidur lelap, tapi tidak berani mencoba cara ekstrem seperti menyiram dengan air dingin. Dia sendiri ingat Ice semalam bilang dirinya sering kedinginan. Bisa hipotermia kakaknya itu nanti.

Cara terakhir, mereka menerapkan ide Solar yang agak berbahaya tapi dengan waspada. Empat orang—Halilintar, Taufan, Gempa, dan Blaze bekerja sama menarik keempat ujung sprei lalu membungkus tubuh Ice dengan kain itu. Gempa dan Blaze mendorong dari atas, Halilintar dan Taufan menyokong dari bawah. Pada akhirnya mereka berhasil membuat Ice turun dari ranjang ke lantai—tapi tetap tidak terbangun.

"Alamak, nyenyak sekali tidurnya orang ini!" Solar tak habis pikir. Kalau dia yang dibaringkan di lantai, sudah pasti terbangun karena tulangnya sakit. Mungkin lemak di sekitar tubuh Ice melindunginya.

Dan akhirnya Ice tetap tak terbangun sampai Imsak. Dia membuka mata dengan kaget, menyadari tubuhnya sudah pindah ke lantai dan kamarnya kosong. Ice masih sempat bergetar karena kedinginan sebelum berseloroh,

"Alamak ... aku telat sahur."

Ice segera menyeret langkahnya ke kamar mandi untuk wudu lalu menyusul saudara-saudaranya dan Tok Aba salat Subuh.

.

.

.

.

.

"Ice, kamu oke?" Gempa bertanya di meja makan. Yang ditanya hanya mengangguk lesu.

"Hari ini kamu jadwal jaga kedai bareng Blaze," sambung Halilintar yang tadi sudah membahas hal ini bersama Gempa.

"Tukar denganku mau?" Gempa melempar usul.

Ice menggeleng. "Nggak usah, Kak. Ini 'kan salahku sendiri nggak bangun. Kak Gempa 'kan sudah jaga bareng Kak Blaze kemarin."

"Kak Ice, tukar denganku saja?" Duri ikut mengusulkan diri.

"Jangan kamu kalau sama Blaze," sela Halilintar tegas, membuat Duri mengerut takut.

"Oke, aku diam saja kalau begitu," timpal Taufan sambil meringis.

"Salahnya Duri yang bikin Kak Ice terlambat tidur," ujar Duri lagi, pandang matanya memohon.

"Nggak perlu, Duri. Ini bukan salahmu. Kakak sendiri yang malas bangun," Ice menyahut dengan tenang.

"Yakin, Kak Ice?" Solar bersuara, mencoba mencari ketegaran di mata kakaknya yang tenang itu.

"Yakin, lah. 'Kan ada Kak Blaze."

Yang disebut namanya hanya menggaruk pipi sambil terkekeh.

Taufan berceletuk, "Ngomong-ngomong, Ice. Kamu puasa ini harus diet ya. Badanmu berat banget. Masya Allah. Sampai keram semua tangan dan kakiku."

"Ng, oke … Kak?" Ice tertawa malu. Dia sendiri sudah lama sekali tidak timbang berat badan.

.

.

.

.

.

"Sepi sekali pelanggan hari ini," keluh Blaze siang itu sambil merapikan kaleng-kaleng serbuk cokelat.

"Bulan puasa pun, Kak Blaze," sahut Ice sembari menguap di balik masker, kepalanya tergeletak di meja. Daripada dia berdekatan dengan kakaknya yang hari ini mungkin tak sengaja memilih aroma tutti frutti untuk deodorannya, bikin perutnya tambah tersiksa saja, Ice mending jaga jarak sekalian. Lagipula memang begitu protokolnya kalau di luar rumah, 'kan?

"Biasanya yang puasa pun jam-jam segini pada cari takjil. Kemarin nggak sesepi ini. Kenapa ini sepi? Selain Paman Kumar atau Kak Gopal biasanya banyak yang minta pesan antar," Blaze masih menyerocos, merapikan kaleng yang sudah tampak rapi.

Ice tak menyahut, matanya sudah terpejam.

"Ice … belum sore ini, jangan lesu gitu dong! Nanti kutinggal pulang, lho!"

"Hmm," sahut Ice sekenanya.

Blaze tergelitik untuk menggoda adiknya itu. Disenggolnya lengan Ice yang terbungkus jaket biru laut. "Sok kuat sih! Tahu gitu tukar sama Kak Gempa atau Duri saja tadi."

"Kak Blaze berisik, aku mau tidur," gumam Ice tanpa mengangkat kepala atau membuka mata.

"Puasamu nggak membawa berkah," sahut Blaze manyun karena usahanya tak berhasil.

"Tidur juga ibadah," jawab Ice dengan suara pelan. Blaze berkacak pinggang, kali ini kehabisan akal untuk membuat Ice tetap terjaga. Lagipula pelanggan kedai memang sangat sepi hari ini, apakah sebaiknya mereka pulang awal saja? Saat itu Blaze melihat sesuatu.

"Hei, Ice, di sebelah situ ada orang. Coba kutawarkan cokelat! Kau siap-siap ya!"

Blaze mengguncang keras bahu adiknya, disambut protes malas-malasan dari Ice. Sang kakak tertawa-tawa dan dengan riang menghampiri 'calon pembeli' yang berdiri di jembatan tak jauh dari kedai. Ice mengucek mata dan melihat Blaze sedang bicara kepada dua lelaki dewasa di sana. Dari botol minum yang dipegang salah satunya yang berbadan besar, Ice menyimpulkan bahwa orang tersebut tidak berpuasa. Dengan enggan diseretnya langkah menuju rak persediaan. Cuaca hari ini terik tapi agak berangin, mungkin mereka akan memesan es cokelat seperti Pak Kumar atau nenek Ying tadi.

Ice sudah menyiapkan dua buah cangkir dan bersiap meracik minuman, tapi Blaze masih bicara di sana. Kenapa lama, ya? Mungkin kedua orang itu tak tertarik minuman cokelat. Sang kakak berdiri membelakanginya, jadi Ice tak bisa melihat ekspresi wajahnya yang selalu bersemangat kalau sedang promosi. Tanpa sadar Ice tersenyum, membayangkan Blaze yang suatu saat akan jadi pebisnis sukses dengan jiwa marketing-nya yang lihai itu. Samar-samar Ice mendengar azan Asar berkumandang. Saat itu salah satu dari kedua orang yang berbicara dengan Blaze, pria yang badannya kurus dan tinggi serta berkumis tebal (pria itu pakai masker, tapi alat pelindung itu diturunkannya ke dagu) mengarahkan pandangannya kepada Ice di kedai.

"Permisi," sebuah suara lembut menyapa dari belakang Ice. Terdistraksi, Ice menoleh dengan lamban. Seorang wanita berambut merah muda terang bersandar di meja kedai sambil tersenyum manis—iya, wanita itu tidak mengenakan masker. Bisa Ice lihat warna merah muda yang menyala di bibir wanita itu, seolah dia memakai seluruh lipstiknya untuk memulas bibir. Ice mundur otomatis, menjaga jarak sebagai protokol kesehatan. Dia baru mau bilang bahwa pelanggan yang datang ke Kokotiam harus pakai masker bila mau dilayani saat dia mendengar teriakan Blaze.

Ice menoleh dengan terkejut. "Kak Blaze?" Ice terperangah menyaksikan kakaknya ambruk—tubuhnya ditangkap oleh pria yang berbadan besar sebelum jatuh ke tanah. Si kumis tebal menunjuk ke arah dirinya.

"Ayu Yu!" seru pria itu.

Ice terlalu lambat. Dia merasakan sebuah sengatan, lalu semuanya gelap.

.

.

.

.

.

to be continued.

.

.

.


.

.

.

Author's Note:

Terima kasih pada Solar no Hikari atas feedback-nya :3

Oke, sudah masuk bagian suspense-nya, ya. Dua bab lagi!

Terima kasih sudah membaca. Selamat menunaikan ibadah puasa bagi yang menjalankannya ^_^

09.05.2021