Naruto belong to masashi kishimoto, and I belong to you.
Cerita selanjutnya akan sangat panjang.
Selama sekolah dasar, aku mempunyai dua kehidupan yang masing-masing mempunyai warna yang berbeda.
Saat siang hari, aku akan tersenyum pada Sai dan pada saat sore hari aku akan duduk diam di tempat bimbingan belajar dengan atmosfer dingin di sekitarku.
Aku ingin pindah tapi rasanya percuma saja. Kelas ini hanya memiliki 6 bangku dan kami juga ber-enam di sini. Satu laki-laki berambut kuning dan satu perempuan berambut hitam adalah pasangan jadi mereka akan duduk depan belakang. Aku tidak mungkin duduk di samping lelaki itu karena aku tidak mau ada isu buruk tentangku di bimbingan belajar. Jadi, aku harus tahan duduk di samping orang menyebalkan ini untuk waktu yang lama.
Berminggu-minggu aku tidak memiliki interaksi yang spesial dengan Sasuke. Oleh karena itu, Karin dan Sakura masih mau berteman denganku karena aku tahu mereka berdua sangat mengidolakan Sasuke.
"Ino, apa kalian tidak pernah membicarakan sesuatu?" tanya Sakura. "Tidak. Dia bilang bahwa dia tidak suka kericuhan jadi ya sudah. Aku tidak ingin kericuhan juga," jawabku. Sakura dan Karin saling berpandangan dengan makna tertentu.
"sebentar lagi kelas mau dimulai tapi dua orang itu masih belum juga datang," kata Hinata dengan wajah yang amat sangat khawatir. "Aku juga bingung kenapa mereka sering telat. Bahkan kadang tidak masuk kelas. Apa Naruto pernah memberitahukan sesuatu kepadamu?" tanya Karin kepada Hinata. Hinata menggeleng, "Aku selalu bertanya tentang itu, tetapi Naruto seperti tidak ingin membahasnya,"
Bel berbunyi, kelas dimulai dan lagi-lagi seperti biasa, mereka terlambat.
Berbagai kejadian membuatku dekat dengan Sasuke. Namun, kejadian pertama ini yang membuatku takut dengannya. Pada saat itu aku pergi ke bimbingan belajar dengan jalur yang berbeda karena aku ingin saja. Setelah istirahat di rumah dan ganti baju, aku segera pergi ke bimbingan belajar dengan jalur memutar. Aku naik kendaraan umum lalu aku melewati sekolah Sasuke dan aku melihatnya sedang berjalan kaki ke suatu tempat. Aku tiba-tiba berinisiatif untuk mengikutinya sehingga aku turun dari transportasi umum.
Aku mengikutinya dan dia pun berhenti di depan rumah megah di pinggir jalan raya utama. Dia masuk ke rumah itu dan tak lama kemudian dia keluar dengan darah di ujung bibirnya. Dia lalu pergi berjalan lagi dan singgah di warnet. Ah, pantas dia telat. Dia selalu singgah di warnet sepertinya. Aku menguntitnya dan tak berselang lama datang anak-anak seragam SMA yang menariknya keluar lalu menarik uang dari saku celananya setelah itu anak-anak itu mendorong dan memukul Sasuke dengan sangat keras. Mereka melakukan itu sambil menertawakan Sasuke. Mereka akhirnya pergi dengan naik motor menjauhi Sasuke yang susah payah berdiri dengan kedua kakinya.
Aku menghampirinya, "Kenapa tidak berteriak?" dia langsung menolehkan kepalanya ke arahku. Matanya membulat, Sasuke sangat kaget saat melihatku. Dia langsung melarikan diri, tetapi malah terjatuh tak jauh dariku. Ia meringis, lututnya berdarah.
Aku berlari kecil menghampirinya, "Aku dari tadi mengikutimu. Sini, biar aku obati. Untung saja aku bawa tisu," aku mengeluarkan tisu dari ranselku dan membersihkan lukanya. "Kau akan terlambat les kalau masih di sini," aku mendongak, "Aku tidak sendirian yang terlambat di sini," dia terpaku dan membiarkanku membersihkan lukanya.
"Apa kau mau pergi les?" tanya Sasuke saat aku sudah membersihkan lukanya. Aku menggeleng, "Bagaimana kalau kau ke rumahku. aku punya perban luka dan betadin," Sasuke tampak berpikir sejenak lalu menggeleng, "Aku tidak mau. Kau pulang saja sendirian," aku menyipitkan mataku dan menghembuskan nafas, "Yasudah," aku memutar badanku dan berdiri. Aku meninggalkannya sambil menghentak-hentakkan kakiku.
Aku tiba-tiba berhenti dan kembali padanya, "Aku tidak tahu jalan pulang. Aku mengikutimu ke sini dan aku tidak pernah ke tempat ini sebelumnya,"
Sasuke balik menatap kesal padaku, "Ck, rumahmu di mana?" aku langsung memberitahukan alamatku padanya dan dia tampak frustrasi. Sebelah tangannya memegang keningnya, tampak sekali bahwa aku ini sedang menjadi beban untuknya.
"Kau tahu rumahmu sejauh apa?" aku menggeleng.
"Sangat jauh!" aku reflek memundurkan badanku dan mengangkat kedua tanganku untuk melindungi diriku karena Sasuke tiba-tiba membentakku tadi. Aku kembali bersikap biasa dan menatapnya dari ekor mataku, "Jadi?"
Sasuke sangat kesal, "Untung aku tahu daerah sini sampai rumahmu. aku antar kau pulang saja karena aku tidak berminat untuk pergi les," aku tersenyum dan berkata, "makasih!" aku sangat senang. Aku pikir Sasuke akan meninggalkanku. Kalau itu memang terjadi, mau tidak mau aku harus ke telpon umum dan menelepon ibu untuk menjemputku. Aku tidak mungkin mengganggu ibu atau ayahku yang sedang bekerja banting tulang demi diriku.
Aku dan Sasuke lanjut berjalan dan kami menunggu di halte (Halte tersebut tidak memiliki peta halte). Bus sudah hampir tiba di halte. Sebelum bus itu sampai di halte, Sasuke berdiri di depanku dan berkata, "Jangan beritahu siapa pun dan jangan jadi bebanku. Kau membuatku kesal dan urusi urusanmu sendiri,"
Aku tertohok, kata-katanya sangat tajam. Aku hampir saja menangis, tetapi karena aku berada di tempat umum, aku menahan air mataku. Aku menatap lantai halte dan berkata, "siapa suruh pergi ke warnet. Kan sekarang jadwal les,"
"hei!-" aku mendongak, "-aku benar-benar kesal sekarang dan kau bertingkah seakan-akan ingin kupukul. Lihat dirimu. Kau sudah tahu jadwal les, tetapi malah menguntitku. Dasar!" kata Sasuke dengan penekanan di setiap katanya. Halte terlalu ramai untuk membuat orang-orang sadar dengan kata-kata menyakitkan dari Sasuke.
Aku cemberut, "aku khawatir, tahu!" bentakku dan aku tidak bisa menahan diriku lagi. Mataku berkaca-kaca. Raut wajah Sasuke tiba-tiba kebingungan serta panik. Ia mundur selangkah dan menghembuskan nafas dengan sangat berat, "baiklah-" bis telah parkir di depan halte. Pintu bis terbuka dan aku langsung melarikan diri ke dalam bus itu. Aku masuk semakin dalam dan Sasuke mengejarku dan tiba-tiba Ia menarik lenganku dengan sangat kasar, aku kaget dan berbalik, "Jangan membuatku tambah susah!" bentak Sasuke lagi dan semua orang memperhatikan kami. Sasuke mendekatiku lalu berbisik, "Kalau kau masuk sendirian dan hilang, kau bakal sangat membuatku kesusahan nantinya,"
Aku menunduk dan meringis. Aku diam-diam menangis. Aku usap air mataku. Untung saja rambutku menutupi wajahku. Sasuke melepaskan genggaman tangannya yang kuat tadi. Dan tanpa maaf, Sasuke duduk sedangkan aku dibiarkan berdiri begitu saja. Aku semakin sedih, tetapi aku tidak mau menangis lebih keras daripada sekarang.
Orang yang duduk di samping Sasuke berdiri dan keluar di pemberhentian pertama. Sasuke menarik tanganku dan mendorongku duduk di bagian dalam. Aku bergetar ketakutan. Aku memeluk diriku dan berupaya untuk menenangkan diri. Sasuke melihat gerak-gerikku dan semakin kesal lagi, "Seharusnya dari awal kau tidak mengikutiku. Perasaanku sedang sangat kacau dan kau memperburuk hal itu. Sekarang aku harus mengantarmu pulang. Kau benar-benar menyebalkan,"
Aku mengusap air mataku, "beritahu saja kalau sudah sampai di halte tempat aku harus turun. Nanti aku pulang sendiri," kataku sambil sesenggukan. Sasuke menjawab, "baguslah. Aku juga harus pergi ke tempat lain,"
Aku menatap lampu jalan di luar jendela bus. Langit makin gelap, orangtuaku pasti mengira aku sedang duduk manis memperhatikan penjelasan tutor di tempat les. Aku benar-benar mengecewakan banyak orang. Pasti orang tuaku sangat marah saat tahu aku tidak pergi les. Pasti.
"Hei! Kamu turun di halte selanjutnya," bisik Sasuke. Aku mengangguk. Tak lama, bus berhenti. Sasuke berdiri dan mempersilahkan diriku keluar. Aku berjalan sendirian menuju halte. Aku pikir Sasuke bercanda bahwa dia akan pergi ke tempat lain, ternyata dia tidak bercanda. Pintu bus kembali tertutup dan aku dapat melihatnya masih duduk di tempat tadi di dalam bus. Aku segera turun dari halte dan berlari menjauhi halte. Dan saat aku memperhatikan daerah itu, aku sadar kalau itu bukanlah daerahku.
Aku berjalan gusar menuju sudut bangunan yang masih diterangi sayup-sayup cahaya. Bagaimana caraku pulang? Semua orang tampak sibuk dengan kehidupannya. Mereka berlalu-lalang, tak peduli bahwa ada gadis kecil yang kebingungan dan ketakutan.
Hari sudah gelap, aku benar-benar tidak tahu harus ke mana. Tiba-tiba ada suara asing yang memanggil namaku, "Ino...?" aku mendongak sambil mengusap air mataku. Aku tertegun karena orang yang memanggil namaku adalah orang yang selalu aku senyumi setiap hari saat siang hari.
"Sai..."
bersambung
