"Ughhh! Sialan…" erang Gintoki merasakan dentuman di kepala saat ia bangun pagi. Ia menengok sekeliling. Ia berada di rumahnya. "Berapa banyak aku minum, huh?"
Tubuhnya terasa pegal dan tidak nyaman diikuti kepalanya yang seperti dihantam palu godam. Sialan. Ini menyakitkan. Sebanyak apa pun ia bertekad untuk berhenti, ia tetap tidak bisa menahan godaan jika minuman itu berada dalam radius 50 cm di depannya.
"Umff!" Gintoki segera berlari menuju toilet merasakan perutnya bergejolak hebat. Ia membuka tutup toilet dan memuntahkan seluruh sisa makanannya di sana. Selalu seperti ini. Jika ia terlalu menikmati minumnya akan berakhir dengan muntah di pagi hari.
Gintoki terduduk di lantai marmer yang dingin dan menyandarkan tubuh di dinding. "Sialan. Pagi yang buruk."
Gintoki menatap langit-langit. Mengapa rutinitasnya menjadi seburuk ini? Ia tidak ingat mengalami pagi seburuk ini ketika Tsukuyo berada di dekatnya. Wanita itu. "Kau memang pria yang pecundang, huh?"
Gintoki bangkit dari duduk. Jam-jam seperti ini pengantar susu akan memberikan pesanannya di depan pintu. Ia menghela napas melihat dapur dan ruang TV yang berantakan. Sejak kepergian Tsukuyo rumahnya tidak pernah dirapihkan. Bukan karena kepergian Tsukuyo memberikan trauma yang mendalam, namun karena ia tidak pernah membereskan apartemennya.
Walau tidak bisa Gintoki pungkiri jika kepergian Tsukuyo cukup membekas dan membuatnya mempertanyakan tentang hidupnya yang tidak berguna ini. Ia bahkan dicaci maki oleh Katsura ketika pria itu mendengar berita pertama kali. Ya, ia memang seorang pecundang dan pengecut membiarkan wanita sebaik dan sesempurna Tsukuyo lepas dari genggaman. Ia terlalu nyaman dengan hubungan mereka tanpa memikirkan keinginan wanita itu. Bagaimana bisa ia tidak terbuai jika sosok yang berada di dekatmu adalah wanita cantik yang punya dada besar dan montok, pinggul besar, dan pinggang ramping, jangan lupakan vagina yang sempit dan suara desahan yang menggoda. Hanya dengan melakukan hubungan intim dengan Tsukuyo membuatnya tidak bisa memikirkan hal lain bahkan memikirkan ke jenjang yang lebih serius seperti pernikahan.
Yah, wanita itu pantas mendapatkan pria yang lebih baik darinya. Gintoki membuka pintu depan untuk mencari kotak susu yang selalu ditunggu setiap pagi. Ia membutuhkan asupan glukosa di pagi hari untuk memulai aktivitas. Ia melihat kantong plastik putih dengan satu karton besar susu berada di dalamnya dan tergantung di engsel pintu.
Ceklek
Gintoki menoleh dan mendapati tetangganya yang keluar rumah. "Oh, hai Kagura." Sapanya ramah. Ia cukup senang hubungannya dengan tetangga menjadi lebih baik.
Brak
Wanita itu menutup pintu kencang dan berjalan cepat menjauhinya tanpa membalas sapaan atau bahkan menoleh sedikit pun. Dahinya berkerut. "Ada apa dengan bocah itu? Bukankah sudah berbaikan semalam?"
Gintoki mengendikkan bahu dan kembali memasuki apartemennya. Ia ingat jika mereka menikmati waktu minum bersama dan hubungan mereka kembali membaik, namun apa-apaan dengan sifat PMS seperti itu? Apa anak muda zaman sekarang benar-benar tidak tahu sopan santun? Jika ia bukan pria yang baik, sudah ia hancurkan tubuh molek bocah itu karena telah mengabaikannya. Namun ia malas untuk melakukan itu sekarang. Bagaimanapun ia sudah tidak muda dan sekuat dulu yang mampu menggoda wanita sana-sini untuk menghangatkan ranjangnya semalaman. Lagipula ia tidak sebejat itu untuk menyentuh orang yang mungkin lebih muda 13 tahun darinya.
Gintoki duduk di sofa dan meneguk susunya. Ia memandang sekitar. Apartemennya benar-benar berantakan. Dimulai dari kaos, celana, bahkan kaos kaki tergeletak di mana-mana dengan cup ramen yang bertumpuk dan beberapa karton kopi dan puntung rokok yang menumpuk di atas asbak. Sepertinya ia harus membersihkan apartemennya setelah sekian lama. Terakhir kali ia membersihkan kamar adalah ketika ia masih SMP dan memutuskan untuk meninggalkan panti asuhan yang merawatnya. Setelah itu ia tidak pernah lagi membersihkan kamarnya.
Gintoki mengambil sampah-sampah makanan seperti cup ramen, karton kopi, dan rokok dan membuangnya di kantung plastik kemudian membuka jendela agar sirkulasi udara masuk. Ia juga mencuci piring yang menumpuk hingga tidak bisa dilihat dasar dari tempat cuci piring.
Benar-benar melelahkan. Ia tidak tahu jika Tsukuyo membersihkan apartemen dan kekacauan yang ia buat setiap hari ketika ia bahkan tidak mampu bertahan karena berdiri terlalu lama. Sedikit banyak ia menghormati Tsukuyo atas kerja keras dan dedikasi wanita itu. Terakhir dilanjutkan dengan mencuci pakaian di mesin cuci. Ia bersyukur dengan adanya teknologi bernama mesin cuci sehingga ia tidak perlu repot-repot menggunakan tangannya yang lelah setelah mencuci piring.
Setelah membersihkan apartemennya, ia memutuskan membersihkan diri. Menghilangkan jejak-jejak bau dalam tubuhnya. Walau ia tidak suka membereskan apartemennya, bukan berarti dia tidak menyukai jika tubuhnya bersih. Justru alasan mengapa baik ia dan Tsukuyo bisa bertahan dengan sangat lama karena senantiasa membersihkan tubuh mereka dan memastikan dalam kondisi bersih.
Gintoki keluar dari kamar mandi dan segera berganti pakaian dengan celana panjang dan sweater sambil menggosok rambutnya yang basah dengan handuk. Walau ia malas membersihkan apartemennya, namun tidak dapat dipungkiri jika melihat apartemennya rapi cukup menyenangkan. Ternyata ia juga bisa melakukan pekerjaan rumah tangga, huh?
Bzzzzzt bzzzzzt bzzzzt
Gintoki berjalan ke arah coffee table dan mengambil ponselnya. "Apa, wanita gila?"
Terdengar suara tawa renyah dari sebrang telepon. Gintoki ikut tersenyum mendengarnya. Tanda bahwa wanita itu bahagia cukup menenangkan baginya. "Kau harus datang ke pernikahanku, ya! Awas kalau aku menemukanmu di pachinko!"
Gintoki mencari rokoknya kemudian berjalan ke arah balkon. "Jika ada Ketsuno Ana dan makanan manis, pasti datang."
Ucapan Gintoki dihadiahi tawa keras dari wanita bernama Sarutobi Ayame itu. Mendengar bahwa pria itu masih mengagumi wanita penyiar berita yang sudah menikah membuatnya harus mengacungi jempol atas kegigihan pria itu.
"Makanan manis tentu ada tapi untuk wanita aku jamin banyak wanita cantik yang datang."
"Jika tidak ada yang bisa menghangatkan tempat tidurku, aku tidak datang." Ujar Gintoki sambil menyalakan rokoknya.
"Hahahaha, itu tergantung caramu merayu, Kak Gin." Suara Sarutobi terdengar menjauh. "Ah, Kondo akan datang di pernikahanku, pastikan kau datang ya!"
Gintoki menyeringai. Gorila itu akhirnya datang, huh. Setelah sekian lama pergi dan tidak pernah menghubungi akhirnya kembali juga. Apakah pria itu sedang mengalami domestic violence? Mengingat istri pria itu tidak berbeda jauh dari gorila betina.
"Jika dia datang dan menyesal telah menikahi gorilla betina, aku akan datang dan menertawakannya." Gintoki menanggapi dan dihadiahi dengan tawa lepas Sarutobi.
Gintoki tersenyum mendengar tawa mantan pacarnya yang kelak menjadi ibu dan istri dari pria ambeien yang kerap ia ganggu semasa kuliah. Obrolan dilanjutkan tentang rencana pernikahan dan cerita tentang keluarga Zenzou hingga ke keluarga pria itu. Kebahagiaan dalam suara wanita itu tidak disembunyikan. Wanita itu begitu bahagia menyambut hari istimewanya. Tidak dapat dipungkiri jika ia ikut bahagia mendengar kebahagiaan Sarutobi.
Walau mereka telah putus hubungan, namun Sarutobi tidak ingin membiarkan hubungan mereka rusak. Pertemanan mereka harus tetap berjalan. Sarutobi bahkan berkata kepadanya jika saat nenek-nenek dan Gintoki masih menjomlo, ia akan menertawakan pria itu karena memutuskannya. Wanita itu bahkan bertekad untuk menikah lebih dulu daripada Gintoki. Untunglah ucapan itu akhirnya nyata sehingga ia tidak akan diganggu oleh perjanjian wanita itu karena ia dari awal memang tidak berniat berkeluarga.
Gintoki mengembuskan asap rokok. Setelah obrolan panjang tentang pernikahan dan pekerjaan, Sarutobi memutuskan untuk mengakhiri panggilan karena terlibat dalam urusan lain mengenai acara pernikahan. Setelah sambungan telepon terputus, Gintoki hanya memandang langit pagi hari sambil mengembuskan asap rokok.
Pernikahan, ya. Sejak putusnya hubungan dengan Tsukuyo, topik pernikahan kerap muncul di otaknya. Ia menjadi memikirkan kembali tentang hidupnya. Namun dimana pun ia mencari, ia tidak menemukan alasan maupun keharusan untuk menikah. Ia akui jika usianya semakin bertambah, tidak lebih dari 10 tahun dan umurnya telah menginjak kepala empat, namun ia tidak merasa membutuhkan pernikahan ketika hidupnya masih begitu berantakan.
Baginya, pernikahan adalah suatu pekerjaan merepotkan yang membutuhkan ketelatenan, kerapian, dan ketekunan. Dimana hidupnya tidak lagi untuk dirinya sendiri namun untuk istri maupun anaknya. Mengurus anak, membesarkan, bahkan menghidupi keluarga terasa begitu merepotkan dan melelahkan. Ia tidak bisa membayangkan selelah apa nanti jika berkeluarga.
Banyak kawannya yang berkata jika mereka membutuhkan istri untuk menemani hidup hingga tua. Namun ia tidak memahami hal itu. Baginya wanita cukup menjadi teman tidurnya dan jika tua ia membutuhkan orang untuk mengurusnya, ia telah siap untuk masuk panti jompo jika ia sudah tidak bisa merawat dirinya sendiri. Ia bahkan tidak merasa takut jika ia harus mati sendiri. Baginya mati dengan ada atau tidak ada orang di sampingnya bukan masalah. Untuk itulah ia bekerja keras mencari uang untuk memenuhi kebutuhan hidup masa tuanya.
Gintoki mematikan rokok kemudian kembali masuk ke kamar. Mengingat pekerjaan, ada tenggat waktu yang harus ia kejar. Ia melihat tumpukan kantong plastik berisi sampah yang belum dibuang. Lebih baik membuangnya sebelum meninggalkan bau tak sedap.
Gintoki mengambil kantong plastik, membuka pintu dan menutupnya dengan kaki. Ia berjalan sambil bersenandung santai menuruni apartemen dan berjalan ke arah tempat pembuangan sampah. Setelah meminum susu langganannya, merokok, dan berbincang santai, ia merasa hangovernya mereda.
Kedua iris merah darahnya menemukan sosok gadis yang hendak menginjak dewasa yang pulang dari arah berlawanan dengannya. Gadis itu menampakkan ekpresi dingin. Sepertinya orientasi mahasiswa telah berjalan, huh.
"Oi Kagura, bagaimana acara orientasinya?"
Gadis itu berhenti dan menatapnya dingin. "Bukan urusanmu."
Setelah itu Gintoki ditinggalkan sendirian dengan aroma gadis itu yang melewatinya. Aroma vanila yang segar. Walau aromanya cukup menenangkan, namun kekesalan tidak dapat ditampik. Dahinya berkedut. Apa-apaan bocah itu? Apakah sekarang anak muda tidak kenal sopan santun?! Awas saja jika bertemu bocah itu harus merasakan 'hukumannya' akibat mengabaikan orang yang lebih tua yang sudah bersikap ramah.
Gintoki membuang sampah dengan suara keras. "Sialan."
Starlight © Silent_JS
Gintama Sorachi Hideaki
GinKaguOki
M
Kedutan di dahi Gintoki semakin bertambah. Entah sejak kapan bocah itu menjauhinya bahkan bertindak tidak peduli dan dingin kepadanya. Amarah bercampur heran memenuhi dirinya. Apa-apaan gadis itu? Bukankah mereka telah berbaikan dan mengapa gadis itu bertindak seolah dirinya adalah virus atau bakteri yang harus dijauhi?! Apa yang sebenarnya salah dengannya hingga gadis itu bertindak seperti itu?!
Jika bukan karena ancaman Otose yang akan menghancurkan pinggang dan batangnya yang selalu ia banggakan, ia tidak akan berpusing-pusing memikirkan tindakan aneh tetangganya. Ia tidak ingin jika wanita itu mengadu atas kesalahan yang bahkan tidak ia ketahui. Jika sampai hal tersebut terjadi, mungkin seluruh organ tubuhnya telah dijual di pasar gelap. Membayangkan saja membuatnya bergidik ngeri. Walau ia pembuat cerita horror bukan berarti ia rela tubuhnya diperlakukan seperti dalam ceritanya.
Untuk menuntaskan segala kesalahpahaman yang terjadi, Gintoki memutuskan untuk menunggu di depan pintu di waktu-waktu gadis itu pulang dari kuliah. Ia telah mengamati selama ini jika pada hari kamis gadis itu akan pulang sore hari.
Benar saja, gadis itu muncul dan berjalan tak jauh dari tempatnya berdiri. Gadis itu memainkan ponsel, tidak menyadari kehadiran Gintoki yang hendak menghadangnya. Saat gadis itu telah mencapai pintu apartemen, Gintoki menghadang dengan menarik tangan gadis itu. Membuat ponsel berwarna putih gading jatuh dalam genggaman. Belum sempat protes, Kagura tertegun melihat ekspresi Gintoki yang menakutkan. Dahi berkedut dan kedua iris merah darah yang menatapnya tajam, aura mengintimidasi begitu memancar di wajah yang ia anggap membosankan dan bau om-om itu.
"A-apa yang kau lakukan?! Le-lepaskan!" walau takut, Kagura harus memberikan perlawanan. Walau bagaimana pun pria itu sudah menginvasi privasinya.
Gintok tak bergeming. Kedua irisnya lurus dan tidak goyak menatap kedua iris biru laut Kagura. "Oi, apa-apaan tingkahmu itu? Bukankah kita sudah berbaikan, huh?"
Kagura berusaha melepaskan diri dari cengkeraman kuat Gintoki. Tangan Gintoki yang lebih besar darinya dengan kuat menahan pergerakannya untuk tidak bisa kabur maupun melakukan perlawanan lebih. "L-lepas…" ronta Kagura berusaha melepaskan diri. Tangannya terasa kebas di bawah kekuasaan pria itu.
Gintoki menarik tangan Kagura lebih dekat dan membuat atensi gadis itu kembali ke arahnya. "Jelaskan apa maumu, aku tidak ingin Tua Bangka itu menjualku di pasar gelap. Jelaskan tindakan labil dan PMS-mu ini."
Wajah Kagura bersemu merasakan kedekatan mereka. Ia bahkan bisa mencium aroma rokok dan kayu yang begitu kuat dari Gintoki. Pikirannya kembali terbayang kejadian malam yang membuatnya tidak bisa lagi mengenal tubuhnya sendiri.
"Lepaskan!" merasa dirinya terkena efek om-om yang dipancarkan Gintoki, rontaan Kagura semakin kuat namun tidak mampu menggoyahkan Gintoki. Dengan tenaga ekstra, Kagura menginjak kaki Gintoki yang hanya mengenakan sandal kuat-kuat dan memastikan heels sepatu bot yang ia kenakan menginjak kulit pria itu.
"AKH! Jalang kecil sialan!" desis Gintoki kesakitan berusaha menyentuh kakinya yang merasa bengkak tak terkira.
Kagura segera mendorong Gintoki hingga terjungkal dan jatuh dengan pantat menyentuh lantai dengan keras. "Oi!"
Kagura segera meraih ponselnya dan membuka pintunya dengan cepat sebelum Gintoki bangkit berdiri dan rasa sakit yang ditimbulkan mereda. "Jika mau berbuat mesum jangan padaku! Lakukan dengan Tsukki-mu itu!" Kagura segera membanting pintu dan menguncinya. Meninggalkan Gintoki yang bingung atas ucapan Kagura sambil mengerang kesakitan.
"Sialan. Tenaga bocah kecil itu cukup besar ternyata." Kakinya terasa perih tak terkira. Merasakan bagian tajam dari sepatu bot membuatnya perih dan ngilu bersamaan. Ditambah pantatnya yang terbanting keras di lantai.
Walau ia masih bisa melakukan hubungan seksual beronde-ronde, tidak dapat dipungkiri jika usianya bertambah karena rasa sakit di pantatnya tidak kunjung hilang seperti ketika ia masih muda dulu. Dengan tertatih-tatih Gintoki berdiri dan kembali memasuki kamar apartemennya. Rasanya ingin berteriak dan menggedor-gedor pintu gadis itu untuk meminta kejelasan namun ia tidak ingin memancing keributan.
Sesampainya di apartemen, Gintoki membuka kulkas dan mengambil es batu kemudian dibalut dengan handuk dan meletakkan di kakinya yang kini memar dan bengkak. Ia mendesis merasakan nyeri dan ngilu bersamaan. "Apa-apaan gadis itu tadi? Bukankah aku sudah bertanya baik-baik?"
Gintoki kembali meruntutkan peristiwa yang berujung petaka ini. pertama ia menunggu di depan pintu. Kedua gadis itu datang. Ketiga ia meminta penjelasan. Keempat gadis itu menginjak dan mendorongnya dan mengatakan sesuatu.
"Jika mau berbuat mesum jangan padaku! Lakukan dengan Tsukki-mu itu!"
Mesum? Apakah ia pernah menyentuh gadis itu? Tunggu tunggu tunggu! Ia tidak pernah menyentuh gadis itu tanpa sadar! Atau jangan-jangan ia menyentuh gadis itu saat mabuk?! Lalu Tsukki? Apa ia salah mengira jika Tsukki yang berada dalam pelukannya ternyata Kagura. Jelas-jelas wajah dan perawakan mereka berbeda, bagaimana bisa ia tidak mengenali perbedaannya? Atau memang ia benar-benar menyentuh gadis itu dalam keadaan mabuk?!
Kagura terengah-engah, tenaganya habis untuk melakukan perlawanan yang sia-sia terhadap Gintoki. Wajahnya memerah padam dengan raut ketakutan. Kini Gintoki mencengkram kedua tangan dan menindihnya. Kedua iris darahnya seolah menembus iris Kagura. "Kubilang diam."
Bukannya semakin menjauh, malah membuka akses bagi Gintoki untuh lebih menjelajahi perpotongan lehernya. "Kau wangi."
Gintoki tidak bergeming. Ia terus bergerak. Menjilat, mengecap, meraba bagian tubuh yang bisa ia raba. Untuk menuntaskan dahaga yang belum terpuaskan selama dua hari ini "Jangan pergi…"
"…Tsukki."
Gintoki membenturkan kepala ke dinding. Ia mati. Ia yakin dirinya akan dijual ke pasar gelap dalam waktu dekat.
"Astaga apa yang sudah aku lakukan?!"
Gintoki menatap kantung plastic yang berisi susu langganannya dan kantung plastic berisi berbagai makanan manis yang tergantung di gagang pintu. Seluruh isi dalam kantong platik itu adalah pemberian Gintoki yang diberikan pada Kagura lengkap dengan stiker dan tulisan permintaan maaf.
Awalnya ia berniat untuk bertemu dan membicarakan masalah ini baik-baik dan meminta maaf kepada gadis itu atas perilakunya yang tidak pantas. Namun Ia tidak lagi bertemu dengan gadis itu sebanyak apa pun ia keluar rumah. Akhrinya ia memutuskan untuk memberikan beberapa makanan manis dan susu langganannya kepada gadis itu sebagai bentuk permintaan maaf. Walau ia tidak suka meminta maaf dengan metode ini, namun terpaksa ia lakukan.
Setiap hari ia selalu meletakkan pemberian itu di gagang pintu kamar gadis itu. Namun apa pun yang telah ia berikan kepada gadis itu selalu dikembalikan dengan kembali diletakkan di gagang pintunya. Ia jadi ragu jika gadis itu pulang ke rumah namun barang-barang yang ia berikan tidak mungkin berjalan sendiri.
Gintoki mengusap kasar surainya. Jika begini terus gadis itu akan memberitahukan pada Otose dan masalah akan semakin runyam. Ia bahkan telah membayangkan dirinya dimutilasi atau pilihan kedua yaitu tidur di balik jeruji besi. Ia bisa merasakan sensasi pisau tajam dan dinginnya jeruji besi menyentuh kulitnya. Sialan. Jika begini terus ia tidak akan bisa hidup dengan tenang.
"Apa yang kau lakukan, Gintoki? Kau meminta bertemu bukan untuk curhat padaku, kan?" ujar Katsura sambil memesan makanan. Lalu kembali menatap Gintoki yang menelungkupkan kepala di atas meja dan hawa depresi yang pekat menguar dari tubuh pria berusia 30-an itu.
"Kau harus ingat jika tenggat waktunya tinggal dua minggu lagi dan kau masih belum memulai apa pun." Katsura berusaha memancing Gintoki dengan pekerjaan yang mencekik namun pria itu masih tidak bergeming. Katsura menghela napas. "Jika begini terus aku lebih baik meminta untuk berhenti jadi editormu saja."
Hening
Tidak ada jawaban. Belum sempat Katsura kembali bersuara, Gintoki menghela napas lelah. "Aku akan mati, Zura."
Katsura mendecakkan lidah. "Tentu saja. Tenggat waktu tinggal dua minggu dan karakterisasimu tentang remaja masih kurang. Saat ini yang mati itu bukan kau tapi diriku. Tidak terhitung berapa banyak aku memohon-mohon pada kepala editor untuk mengampuni keterlambatanmu."
"Kali ini aku benar-benar akan mati. Organku akan dijual ke pasar gelap."
"Hah? Apa ini kelakarmu untuk menghindari tenggat waktu, Gintoki?" tanya Katsura tidak lagi bisa memahami jalan pikiran sahabat sekaligus rekannya itu.
Gintoki mengangkat kepala dan bersandar di kursi. Ia menatap datar parfait kesukaannya yang terhidang di atas meja. Melihat Gintoki yang bahkan tidak menyentuh makanan wajib pria itu setiap ke restoran membuat Katsura benar-benar merasa ada sesuatu yang aneh menimpa pria itu. Wajah yang lusuh, kantung mata yang menggantung, tatapan bak ikan mati, ditambah kemeja yang tidak terkancing dengan sempurna. Pria itu tampil lebih parah dibanding ketika putus dengan Tsukuyo.
"Aku tidak sengaja menyentuh gadis saat mabuk."
Brak!
"Apa?! Kau tidak sengaja memperkosa gadis di bawah umur saat mabuk?!" Katsura menggebrak meja dan berdiri menatap Gintoki terkejut bercampur jijik.
Gintoki membelalak. "Hoi! Bukan begitu goblok! Duduklah!" Gintoki segera menarik Katsura agar kembali duduk dan menutup mulut pria itu.
Gintoki tersenyum minta maaf ke arah pengunjung yang menatap mereka aneh. Bahkan banyak dari mereka yang berbisik-bisik. Sialan. Katsura dan mulut besarnya benar-benar yang akan mengantarnya pada penjara anak dan bukan Otose.
Setelah Katsura tampak tenang, Gintoki melepaskan bekapannya pada mulut Katsura. "Tenanglah, oke? Jika kau begitu aku benar-benar akan ditangkap polisi."
Katsura menghela napas. "Makanya ceritakan dari awal agar salah paham ini tidak terjadi."
Itu karena kau salah tafsir, brengsek! Gintoki menghela napas. tidak ada gunanya berdebat dengan Katsura. Lalu ia menceritakan ke seluruhan ceritanya. Dari pertemuan pertama dengan Kagura, ancaman Otose, hingga saat dimana mereka minum bersama dan mabuk hingga Kagura membopongnya ke rumah. Ia juga menceritakan detail yang bisa diingat dari dirinya yang salah mengira jika Kagura adalah Tsukuyo.
Katsura menghela napas dan meneguk kopinya yang baru saja tersaji. "Tsukuyo benar-benar memberikan dampak padamu, huh."
Gintoki sudah menduga jika Katsura akan berkata demikian. "Bukan begitu, kau tahu jika saat itu aku butuh untuk–"
Katsura menatap lurus Gintoki. "Itu adalah alasan memuakkanmu untuk menjaga harga dirimu. Akuilah jika kepergian Tsukuyo cukup membekas dalam dirimu hingga kau merugikan orang lain."
Gintoki hanya bisa terdiam. Kali ini ia tidak bisa membantah jika kelakukannya telah merugikan orang lain. Ah, benar-benar. Jika masalah ini tidak segera diselesaikan, bisa-bisa ia benar-benar akan berhenti minum karena membuat trauma baginya maupun orang lain. Gintoki menunduk dan mengacak surainya dengan frustrasi. Mengapa masalah terus-menerus datang kepadanya? Tidak bisakah ia hidup tenang tanpa mengkhawatirkan apa pun?
"Tapi melakukan sesuatu memalukan saat mabuk bukankah hal lumrah?"
Gintoki mendongak dan menatap Katsura yang sekarang memandang keluar jendela. "Aku pernah tidak sengaja menarik celana Ikumatsu di depan umum saat sedang mabuk karena tidak ingin ditinggal sendirian."
Gintoki menghela napas menatap datar Katsura. Tidak heran jika setelah itu Katsura datang ke pertemuan dengan babak belur dan diabaikan Ikumatsu selama sebulan.
"Tapi yang penting adalah menyelesaikan masalah secara langsung. Gadis itu butuh waktu. Mungkin bagimu ingin menyelesaikan masalah dengan cepat namun seorang wanita butuh waktu untuk memproses masalah yang menimpanya apalagi ketika kesucian dan harga dirinya sedang dipertaruhkan."
Gintoki memalingkan wajah. Benar-benar. Katsura membuatnya seperti predator anak sekarang. Walau ia tidak bisa untuk tidak setuju dengan pernyataan Katsura. Sepertinya ia harus menunggu hingga gadis itu siap untuk diajak bicara dan berbaikan lagi.
"Lagipula kau sudah memiliki pengalaman buruk dengan wanita, kau bisa belajar dari kesalahanmu, Gintoki."
Gintoki menyusuri jalan yang kini bersalju. Ia baru saja dari supermarket untuk membeli asupan gula dan beberapa teman yang akan menemaninya begadang sepanjang malam untuk menyelesaikan naskah ceritanya. Hari ini turun salju walau tidak memiliki intensitas yang tinggi namun cepat atau lambat ia harus segera sampai di rumah. Beruntung ia sempat membeli payung saat berada di supermarket.
Walau Katsura bermulut besar dan kerap bertingkah konyol namun terkadang pria itu dapat diandalkan. Hanya saat-saat kritis pria itu mampu memberikan saran yang tepat dan solusi yang pantas kepada masalahnya. Mungkin itu juga salah satu alasan mengapa ia tidak memutuskan hubungan pertemanan dan tetap menjalin pertemanan dengan pria yang tidak bisa ditebak perangainya itu.
Kedua irisnya membola ketika menemukan sosok yang ia kenal berjongkok di depan sebuah kedai minum yang ramai dan berisik. Sosok itu telah basah sempurna. Entah sudah berapa lama berjongkok di sana. Gintoki mendatangi dan menjulurkan payung menutupi tubuh agar tidak semakin basah.
"Apa yang kau lakukan di sini?" Gintoki tertegun ketika melihat kondisi Kagura, nama tetangga dan sosok yang ia kenal, berjongkok dalam keadaan basah. Dapat dilihat tumpukan salju di kepala dan pundaknya. Surai jingga gadis itu tampak basah akibat salju yang menumpuk. "Ada apa ini? Apa mereka menindasmu?"
Kagura memalingkan wajah menyadari jika sosok yang memberikannya perlindungan adalah paman mesum yang merupakan tetangganya. "Itu bukan urusanmu."
Gintoki mengepalkan tangan. Ia tidak tahan lagi. Ia bukan seorang Katsura yang rela bersabar demi seorang wanita ditambah wanita satu ini adalah seorang gadis labil yang baru saja menapaki kehidupan dewasa. Ia menggertak. "Bisa kau hentikan sikapmu yang tidak ingin orang lain ikut campur?!"
Kagura hanya terdiam walau sedikit Gintoki bisa melihat raut ketakutan dan gemetar di tubuh gadis itu entah karena ketakutan atau kedinginan. Gintoki menghela napas. Sepertinya ia lepas kendali karena masalah yang tak kunjung usai. "Aku minta maaf. Tidak seharusnya aku melecehkanmu saat itu."
"Aku tidak akan memberikan alasan untuk membela diri. Malam itu benar-benar murni kesalahanku." Tatapan Gintoki meneduh. Ia benar-benar merutuki kebodohannya dan tindakannya yang kini malah membuat seorang gadis ketakutan. "Aku minta maaf telah melecehkanmu."
Gintoki ikut bersimpuh di depan Kagura. Kedua lututnya menyentuh tanah yang telah tertutup oleh salju. Walau terasa dingin, ia harus melakukan permintaan maaf dengan benar. Ia menatap lurus ke arah Kagura. Menatap lekat dan penuh keseriusan pada kedua iris biru laut yang menenangkan itu.
Gintoki mengulurkan tangan. "Aku tidak akan melakukannya lagi. Jadi Kagura, ayo pulang."
Kagura menggigit bibirnya, menahan air mata. Betapa ia merasa lelah secara batin dan jiwa selama beberapa hari ini. Ia yang baru saja di tempat asing dan dilukai oleh banyak orang bahkan harus mengalami hal yang tidak pernah ia alami sebelumnya oleh orang yang sebelumnya sempat ia percayai. Walau ia tidak yakin apakah pria bernama Sakata Gintoki ini dapat dipercaya atau tidak, namun ia begitu lelah untuk mampu menahannya lagi.
Mereka berdiri bersama-sama. "Permisi." Gintoki membersihkan tumpukan salju di rambut dan juga pundak Kagura. Ia menggenggam erat payung saat menyadari tubuh Kagura berbau alkohol. Tanpa Kagura mengatakannya, ia tahu apa yang sebenarnya terjadi.
Saat Kagura hendak melepaskan tangannya dari Gintoki, Gintoki menahannya. "Tanganmu sangat dingin, sudah berapa lama kau berjongkok di sana?"
Tidak ada jawaban. Gintoki menggenggam erat tangan Kagura menyalurkan suhu tubuhnya pada gadis itu. "A-aku…"
Air mata membasahi kedua pipi Kagura. Selama beberapa minggu tinggal di lingkungan asing tanpa sanak keluarga maupun orang yang bisa dipercayai berada di dekatnya cukup membuatnya lelah secara mental. Ditambah perlakuan kasar senior kepadanya yang berujung pada diursirnya ia dari acara kumpul orientasi mahasiswa. Betapa ia ingin pulang dan kembali namun ia tahu jika tidak ada lagi rumah untuknya. Betapa ia merasa dirinya begitu tidak berharga. Dan betapa hanya mendengar suara serak dan berat seorang paman yang lebih tua 13 tahun darinya dengan nada khawatir dan genggaman kuat dan hangat membuat hatinya mencair.
Gintoki menghela napas. Ia membawa Kagura ke dalam rengkuhannya. "Tenanglah." Ia bukanlah pria yang mampu menenenangkan wanita yang menangis. Namun nalurinya seolah berkata jika saat ini yang terbaik adalah merengkuh gadis itu. Karena ia yakin jika gadis itu adalah gadis pendatang yang sedang mencoba untuk beradaptasi dengan lingkungan. Hal serupa pernah dialami oleh Sarutobi ketika masih mahasiwa.
Astaga. Bagaimana bisa ia melukai bahkan sempat melecehkan gadis yang begitu rapuh ini?
TBC
Sudah lama sekali tidak update cerita ini. Maaf menunggu lama dan untuk klarifikasi jika cerita ini berpusat dengan Gintoki dan Kagura sebagai sumbu utama dan maaf bagi yang menanti jika cerita ini adalah tentang Gintoki dan Tsukki sebagai sumbu utama maka cerita ini bukan untuk kalian. Cerita ini adalah tipe yang slow burn. Saya tidak terbiasa untuk langsung memasukkan hubungan intim dalam suatu cerita dalam chapter yang singkat karena saya lebih fokus kepada membangun chemistry antara kedua tokoh. Saya akan berusaha untuk update lebih sering. Maaf dan terima kasih sudah membaca, sampai jumpa!
