Kaizo baru saja mendudukkan pantatnya di atas kursi empuk diruang kerja. Melirik jam dinding yang menempel di atas pintu, itu menunjukkan pukul setengah lima sore. Satu setengah jam lagi ia akan pulang dan bersantai. Besok ia punya janji dengan Halilintar untuk membicarakan sesuatu mengenai adik bayinya yang pertama. Kaizo tahu sebenarnya apa yang ingin Halilintar bahas, tapi biarlah itu menjadi urusan esok hari.
Untuk sekarang, Kaizo berniat untuk menuntaskan semua dokumen kurang ajar yang bertahta di atas meja. Sangat tidak indah. Tapi sebelum itu, mari kita cek handphone terlebih dahulu. Siapa tahu komandan kerdil itu menelponnya untuk menyamar jadi tukang cuci lagi, atau letnan galak yang tiba-tiba butuh teman sparing. Atau, dari adik bayinya sendiri yang memberitahu menu makan malam. Kaizo sedikit berharap itu sup wortel. Hal yang tidak disukai selama kau bertugas jauh dari rumah adalah hilangnya makanan rumah yang khas.
Harapan itu pupus dalam sekejap karena pesan Fang hanya satu. Dan itu hampir dua jam yang lalu.
'Hari ini aku pulang terlambat. Harus ke perpustakaan untuk mencari buku, mungkin akan sampai sore. Pesan saja untuk makan malam.'
Kalimat itu seakan mengejek Kaizo dan harapan sederhana yang ia miliki beberapa detik lalu. Okay, mungkin sup wortel bukan untuk hari ini.
Kaizo balas mengetik pesan dengan cepat. Hanya menjawab iya dan sedikit perhatian untuk berhati-hati serta tidak pulang larut malam. Walaupun ia terkesan acuh tak acuh, Fang adalah sosok berharga yang ia punya satu-satunya di dunia untuk sekarang. Janji yang ia buat untuk orang tua mereka di Surga akan selalu dan akan ia tepati. Toh, itu memang tugasnya sebagai kakak.
Mematikan handphone dan meletakkannya kembali ke atas meja, Kaizo sudah mulai bersiap untuk menebas semua dokumen sialan itu. Tangannya mengambil dokumen bersampul kuning yang tebal, nafasnya langsung terhela dengan berat. Seolah menanggung beban hidup yang luar biasa.
Kaizo rasa ini baru lewat lima menit ketika dokumen itu terbuka di hadapan. Ia baru menandatangani satu surat saat handphone nya bergetar. Harapan Kaizo adalah Fang menelpon dan memberitahu dia sudah pulang dan akan menyempatkan diri untuk memasak sup wortel.
Nama Halilitar seakan mengejek sekali lagi. Kaizo dengan tegas mengingatkan dirinya bahwa nama adiknya adalah 'Fang' atau 'Pang'. Jadi sudah pasti harapan tadi hanya angan.
Polisi berpangkat Kapten di usia muda itu mengangkat telpon, menyelipkannya di telinga dan di jepit bahu demi melanjutkan kembali dokumen yang terhampar.
"Ya Hali. Ada apa?" Suara rendah dan dingin itu mengalir bersamaan dengan matanya bergulir untuk membaca setiap kalimat di atas kertas.
Tak sampai sedetik, mata Kaizo membelalak. Semua dokumen di hadapannya langsung terbang keluar pikiran.
"Apa? Taufan kabur?"
Unknow : 14.30 Waktu Malaysia.
Fang menggigit bibirnya. Mempertimbangkan apakah bijak untuk berbohong kepada kakaknya kali ini. Bagaimana jika kakaknya tahu dia ditipu? Bagaimana jika dia dilacak? Bagaimana jika semua ini ketahuan?
Sial. Padahal dia sudah berencana memasak sup wortel malam ini. Terkutuklah takdir dan rasa khawatir.
Fang tidak tahu apakah ini kejahatan atau tidak. Ia sekarang menyusuri perumahan kumuh yang tak terjangkau di pinggir kota. Tepat bersebelahan dengan lapangan besar yang siap di bangun. Ia sesekali meringis jijik pada kotoran yang menempel di sepatunya. Baunya apek di sini dan benar-benar kumuh, sepi dan gelap.
'Tidak ada tempat pertemuan yang lebih baik?' Fang mendesah dalam hati. Tapi kemudian sadar bahwa, ya. Memang tidak ada sepertinya.
Kakinya berhenti di sebuah rumah kosong yang Fang rasa, paling kumuh dari semua isi komplek ini. Warna dindingnya hitam dan temboknya runtuh dimana-mana. Tanaman mati di halaman dan rumput tinggi merambat yang mencapai lutut Fang. Atapnya di ambang roboh dan sudah pasti akan menimbun semua yang berada di bawahnya. Betapa horor nya ini di malam hari, pikir remaja itu.
Menatap angka 51 yang hampir tidak terlihat di dinding bangunan itu, Fang memantapkan diri akan lokasinya. Dia melangkah masuk dan mencapai sebuah lubang yang ia asumsikan dulunya adalah pintu. Menurut pesan yang ia dapat, temannya ada di lantai dua. Fang agak menatap sangsi pada tangga di rumah itu. Fasilitas tersebut mengancam akan menjatuhkan Fang jika berani menaikinya.
Menyampingkan pemikiran yang mulai negatif, Fang akhirnya menuju lantai dua. Tangga kayu itu berderit saat beban Fang lewat di atasnya. Fang menggumamkan kutukan dan doa di saat bersamaan. Lantai dua yang tak kalah kumuh menyambut. Lumut merayapi dinding dan bau kotoran yang tak enak. Fang berhenti sejenak untuk menavigasi sekitar. Matanya bertemu dengan sebuah ruangan yang masih cukup bagus. Berasumsi bahwa ia menuju arah yang tepat, Fang mulai melangkah kembali.
Pandangannya pada ruangan itu terlihat. Dindingnya utuh, sinar matahari sore merasuk lewat jendela tak berkaca di dinding. Atapnya juga utuh. Ada sofa lapuk di sana dan satu meja kayu tua yang hampir rubuh. Lantainya kotor berpasir dan hitam keabu-abuan. Dan di atas sofa itulah si tersangka berada. Dengan balutan jaket hitam, kaus putih bergaris emas di bagian bahu kiri dan topi hitam. Mengenakan celana skinny jeans hitam dan sepatu biru.
"Taufan." Fang menyebut. Yang namanya di panggil menoleh, dan senyum melebar di wajahnya. Fang mengakui dalam hati bahwa dia sedikit takut.
Taufan jelas tidak baik-baik saja. Pergelangan tangannya memar dan wajahnya kurus pucat. Matanya layu dalam warna abu-abu, menutupi biru cerah yang biasanya terlihat. Dan senyum itu, ada yang aneh dengan bagaimana dia melebarkan bibirnya.
"Fang!"
Fang hampir berjengit mendengar aksen cempreng itu. Suara lama yang tak ia dengar dalam beberapa bulan terakhir.
Taufan berdiri, tapi tidak seimbang. Tubuhnya terayun-ayun sebelum ambruk kembali di atas sofa. Alis Fang tertaut, dan dia memilih melangkah mendekat.
"Jelas sekali, kau tidak dalam kondisi terbaik untuk kabur." Ucapnya datar. Berjongkok di hadapan Taufan yang mengerang.
Taufan membuka matanya yang terpejam sejenak ketika ia mencoba berdiri tadi. Iris mata yang tampak tidak bergairah menatap Magenta Fang yang menuntut penjelasan.
"Aku berani bertaruh, keluarga mu pontang-panting dirumah." Fang kembali berbicara saat Taufan tidak bereaksi sedikitpun.
"Jangan coba-coba untuk menyerangku. Aku bisa Taekwondo. Kecuali kau ingin aku menyeretmu kembali ke pelukan saudara-saudaramu."
Taufan hanya mendengus sebagai jawaban. Ia bersandar pada sofa lapuk itu, membuat tubuhnya tenggelam ke dalam.
"Aku meminta bantuan padamu, bukan untuk membawaku kembali."
Wajah Fang memucat. Tahu sebenarnya jika yang ia harapkan sia-sia. Tapi setidaknya, dia bisa memaksa Taufan.
"Apa maksudmu?" Tanya Fang.
Tapi untuk saat ini, kita akan mencari tahu apa yang Taufan mau.
Iris abu-abu mengintip dari balik lidah topi yang menjulur. Seringai muncul di bibir pucat. Fang menyadari ada garis samar di pipinya. Itu menyambung dari telinga kanan ke telinga kiri dan melewati bibir. Fang menyipitkan mata. Ia tahu kalau Taufan ada di rumah para Boboiboy alih-alih di masukan ke rumah sakit jiwa. Tapi dia tidak tahu bagaimana para Boboiboy merawatnya.
"Aku benar-benar berharap kau tidak akan menyia-nyiakan keberhasilanku untuk melepaskan diri." Jawab Taufan. Tubuhnya sekarang condong ke depan, lebih mendekat ke arah Fang.
"Jangan berbelit-belit, Taufan. Katakan apa maumu. Aku yang akan memutuskan apakah aku akan membantu atau tidak." Fang melipat tangannya di depan dada. Menatap tak terkesan. Tubuhnya berdiri menjulang di atas Taufan.
Taufan menghela nafas. Lalu kembali bersandar. Untuk sesaat, tidak ada yang saling melontarkan kata-kata. Fang menunggu dan Taufan entah memikirkan apa.
Tepat di saat Fang hampir jengah dan benar-benar akan mengembalikan tahanan ini ke rumahnya, Taufan akhirnya buka mulut.
"Pelakunya. Mereka tidak mudah ditangkap."
Tubuh Fang menegang. Ia tak tahu apa-apa tentang ini. Layaknya ujian tentang bab yang belum dipelajari. Remaja itu memilih diam, agar Taufan melanjutkan. Selebihnya karena dia bingung ingin berkata apa.
"Rasanya tidak adil." Taufan mendengus.
"Mereka bisa menghirup udara bebas dan bersenang-senang."
Taufan melepas topi yang menutupi kepalanya. Menguraikan surai hitam lepek.
"Sedangkan aku harus mendekam dibawah tanah. Kehilangan orang tua." Taufan menelan. Suaranya hampir pecah dan patah. "Kehilangan kehormatan."
"Kehilangan keluarga yang kucintai." Taufan melanjutkan dengan tawa hambar.
Fang hampir yakin Taufan akan menangis tak lama lagi. Indranya tak melewatkan satupun kalimat janggal Taufan. Apanya di bawah tanah?
"Tapi...tapi mereka bahkan tidak bisa disentuh hukum." Nada suara Taufan mengeras. Nafasnya panjang pendek memburu.
Fang tidak tahu pasti, tapi bisa menebak seberapa banyak dendam yang dikubur Taufan di bawah kulitnya. Itu membuat kulit pucat Taufan memerah.
"Kau akan balas dendam?" Fang bertanya tanpa basa-basi. Pertanyaan nomor satu yang kini bersarang dikepala.
"Sendirian?" Lanjutnya.
Anggukan samar dari Taufan memecahkan semua dinding ketenangan Fang.
"Kau gila. Itu tidak mungkin." Fang menatap tak percaya. Meludahkan kesinisan pada setiap kata-kata. "Kau sendirian? Kau menuju kematianmu sendiri bodoh!"
Taufan merespon dengan tawa. Sangat bebas. Seperti benar-benar ada humor yang sangat pantas ditertawakan. Fang memperhatikan bagaimana sosok di depannya terus tertawa riang gembira. Setitik air mata bahkan turun.
"Fang~ Fang." Taufan memanggil namanya main-main.
"Ya. Aku gila." Desis Taufan. Abu-abu membara di kedua mata.
"Aku hampir membunuh saudaraku dua kali. Dan berusaha bunuh diri, dengan cara adu sundul dengan tembok." Taufan berdiri dengan terseok-seok.
"Aku terus meronta-ronta meminta kebebasan karena aku ingin melihat orang-orang itu mati! Tidak masalah jika aku harus menukar nyawaku!"
Fang mengambil langkah mundur. Tidak takut, tidak. Tapi seseorang harus mengambil langkah pencegahan bukan?
Taufan yang menyadari itu, segera duduk kembali. Tampaknya ingin menyakinkan bahwa dia tidak berbahaya. Untuk saat ini.
"Tapi apa yang kudapat? Berita kalau manusia-manusia tidak beradab itu tidak dapat di sentuh hukum?" Taufan membenamkan wajahnya dilekukan lengan.
Fang berdiri diam di tempatnya. Perlahan namun pasti, ia kembali mendekat sedikit.
"Apa yang kau bicarakan? Kebebasan? Meronta-ronta? Jangan berbicara seolah kau adalah burung dalam sangkar." Fang berucap tegas.
Wajah Taufan kembali terangkat. Matanya membara kembali dengan amarah terpendam dan Fang mendapat alarm peringatan dalam benaknya.
Taufan bangkit, kali ini melompat ke depan dan menyerang Fang. Fang melotot dan segera mengelak. Sebisa mungkin menghindari Taufan yang terus memberikan pukulan beruntun padanya. Walaupun Halilintar adalah satu-satunya Boboiboy yang masih menekuni bela diri, tapi Fang tahu Taufan pernah ikut Karate bersama Halilintar sebelum berhenti di awal tahun ketiga SMP.
Tubuhnya yang lentur seperti kucing memberikan keuntungan tersendiri. Taufan dengan mudah menghindari perlawanan balik Fang. Di satu saat, ia merunduk dibawah tinju Fang dan langsung menyikat kaki remaja itu. Fang terjatuh ke belakang dan mendarat di sofa menjijikkan yang ia hindari sejak terlihat. Fang hampir tidak punya waktu untuk terkejut saat merasakan beban berat Taufan di atasnya.
"Kau tidak tahu?" Pertanyaan Taufan mengembara di udara. Nafasnya yang terputus-putus terasa dekat di wajah Fang yang terpisah tak sampai tiga inchi.
Kedua tangan Fang tertahan di samping kepalanya. Tak bergerak walaupun berusaha. Fang panik, tak menyangka di balik tubuh kurus Taufan bocah itu menyimpan tenaga banteng setara Halilintar. Kakinya tak dapat digunakan. Taufan duduk di atas pinggulnya dan menekan kedua paha Fang dengan pergelangan kaki.
"Tahu apa?" Fang memberanikan diri bertanya. Tak repot-repot menyembunyikan nada amarah dalam ucapan.
Senyum Taufan melebar. Ia menekan kedua pergelangan tangan Fang hingga Fang yakin itu akan meninggalkan memar.
"Disini," ucapnya, meremas pergelangan tangan tawanan dibawah tubuhnya. "Mereka memborgol ku disini."
Taufan menekan pergelangan kakinya sendiri di paha Fang.
"Dan di kakiku, mereka memasang pasung. Dari kayu tebal! Mereka menyumpal mulutku dengan kain. TIGA BULAN AKU TERJEBAK SEPERTI KORBAN PENCULIKAN! AKU DI PASUNG SEPERTI ORANG GILA." Amarah Taufan menyembur tepat di wajah Fang.
Remaja berkacamata itu terkesiap. Dan kemudian berhasil menyatukan tentang siapa mereka yang dimaksud dan tentang garis samar di bibir Taufan serta kalimat janggal yang dibombardir Taufan sedari tadi.
"Saudara...saudara-mu?" Fang bertanya kembali dengan suara mencicit.
"Mereka mengurungmu di...di bawah tanah?"
"Basement." Ulang Taufan.
"Tidak masalah. Mereka melakukannya karena aku berbahaya. Aku hampir membunuh dua saudaraku, ingat?" Taufan beranjak berdiri, tapi tak ada tanda-tanda ingin melepaskan Fang.
Tapi kenyataan mengerikan semacam itu tetap membayangi wajah Fang dengan teror.
"Sial." Dia mengutuk.
Taufan tertawa, tapi tidak segeli tadi. Itu hanya sebentar dan tangannya sendiri melayang untuk menutupi wajah pucat.
"Tidak apa-apa Fang. Aku tahu mereka melakukan itu untukku. Mereka mencintaiku. Mereka bahkan tidak bisa melepaskan aku ke rumah sakit jiwa." Taufan melirik kebawah, lebih tepatnya ke Fang.
Fang agak sedikit takut melihat pandangan Taufan mendadak membekukan seperti milik Ice.
"Karena jika iya, kita tidak akan bertemu disini dan merencanakan balas dendam ku yang indah."
"Aku belum menyetujui!" Fang menyembur dengan ekspresi wajah menjurus cemberut. Ia meronta-ronta sekarang. Menuntut di lepaskan. Selamatkan harga diri yang tersisa.
Taufan menurut. Ia melompat turun dari atas tubuh Fang setelah meminta konfirmasi bahwa Fang tak akan menyerangnya. Yang disebut terakhir berdecih. Mengingatkan dengan kasar tentang siapa yang menyerang lebih dulu tadi.
Mengelus bekas cengkraman Taufan, Fang hanya bersyukur itu tidak memar. Mungkin malam ini dia harus menghindari Kaizo untuk berjaga-jaga.
Taufan menjatuhkan tubuhnya kembali di atas sofa dengan desahan. Seolah-olah pertarungan sepele tadi telah mengupas semua tenaga tersisa yang ia miliki.
Kesunyian jatuh untuk yang kedua kalinya.
Kali ini Taufan yang menunggu. Dan Fang berpikir.
"Apa kau sadar?" Fang akhirnya bertanya dengan hati-hati.
"Kau tahu kan, kalau sekarang saudara-saudaramu sedang mencarimu?"
Taufan mengangguk lesu. "Mereka akan menemukan ku cepat atau lambat." Ucapnya sembari mengedikkan bahu.
"Aku harus cepat bergerak."
Jeda sejenak. Cukup bagi Taufan untuk menguap lebar.
"Apa yang kau rencanakan untuk targetmu?"
Senyum Taufan melebar ketika pertanyaan itu akhirnya keluar dari bibir sekutu barunya.
"Akan kuberitahu sedikit. Kemarilah."
Rumah Boboiboy : 14.45 Waktu Malaysia
Thorn mencari remote TV secara membabi buta setelah ia menampakkan kaki di ruangan keluarga. Ia hampir ketinggalan acara kesukaannya yang khusus membahas mengenai Flora dan Fauna. Bocah yang serba hijau akhirnya menemukan benda paling sering hilang itu di bawah sofa. Entah siapa yang meletakkannya di sana.
Thorn duduk dengan nyaman di bawah sofa, di atas karpet merah kesukaan ibunya. Menikmati musik pembuka acara yang ia tunggu-tunggu, yang untungnya tidak dia lewatkan.
Saudara-saudaranya memencar entah kemana, tapi Thorn yakin Gempa pasti langsung menuju Basement untuk memberi kakak keduanya camilan sore hari. Sekilas, manik hijau Thorn menangkap kehadiran Ice di depan kulkas. Menjarah es krim seperti biasa. Salah satu tema acara kali ini adalah membahas tentang tanaman ganja. Thorn pernah mempelajarinya di sekolah, tapi tidak ada salahnya menikmati pembelajaran ini kembali.
Mengambil sebuah bantal untuk dipeluk, Thorn mulai menonton dengan khidmat. Tapi rasanya tak sampai lima menit ketika Gempa menjerit dengan keras, mengguncangnya hingga ke batin.
Seakan autopilot, Thorn melompat dari posisinya di ruang keluarga dan terbang ke dapur. Dengan panik langsung menuju ke basement dimana Ice sudah lebih dulu ada di sana. Mata nya melebar sebesar piring karena pemandangan mengerikan di hadapannya.
Gempa jatuh terduduk didepan pintu basement, menghadap ke ruangan KOSONG. Rantai yang biasa menahan kakaknya tergeletak begitu saja di lantai. Begitupun pasung kayu yang menganga terbuka. Taufan tidak ada dimana pun di ruangan kecil itu.
Terdengar suara gedebuk keras di tangga, dan Blaze meluncur tepat ke samping Thorn. Tak sampai sedetik kemudian Halilintar dan Solar tiba. Ketiganya ikut menganga melihat pemandangan di depan. Thorn bisa mendengar Blaze mengutuk.
Halilintar melompat ke depan dan dengan tergesa-gesa menyeruduk masuk ke ruangan. Kepalanya menoleh ke kanan dan kiri dengan panik, sebelum menatap ke arah semua saudaranya. Matanya membelalak dengan ketakutan dan teror yang nyata.
"CARI DISEKITAR RUMAH! SEKARANG!"
Teriakan itu seakan menjadi alat pacu, dan semua kembar menghambur pergi dengan tergesa-gesa.
Pikiran pertama Thorn adalah ke kamarnya. Ia berlari melintasi anak tangga dan melewatinya dua dua agar cepat sampai. Ia membanting pintu terbuka dan segera merunduk ke lantai untuk memeriksa kolong kasur. Tidak ada siapapun. Thorn berlari dan membuka lemari. Kosong. Bocah itu berjalan mendekati jendela dan melihat ke halaman depan. Blaze sedang merayap di semak-semak dekat pintu gerbang.
Manik hijaunya kembali menatap seluruh kamar dengan pemindaian cepat. Setelah yakin tidak ada yang dapat dijadikan tempat bersembunyi lagi, Thorn berlari ke halaman belakang. Di lantai satu, Gempa dan Solar memeriksa setiap bagian dari dapur, ruang keluarga dan kamar mandi. Halilintar mengobrak-abrik kamarnya dan Gempa dan Ice sudah pasti ada di kamarnya dan Blaze. Thorn berlari melewati mereka dan keluar dari pintu belakang yang tak jauh dari dapur.
Matanya menatap tembok menjulang setinggi tiga meter yang di tumbuhi banyak tanaman merambat. Ia menoleh dan matanya menangkap rumah kaca milik ibunya dan berlari ke sana. Thorn memeriksa dengan cepat dan menyadari bahwa tangga kayu yang biasa terselip di pojok hilang. Dengan cepat ia keluar dari rumah kaca dan kali ini, ia melihat tangga kayu itu. Ada di sudut dinding. Bersandar dengan santai.
"Bagaimana kak Taufan bisa keluar dari rumah?!" Thorn menjerit dalam hati.
Remaja itu menoleh kembali ke rumah, matanya bergulir memeriksa setiap bagian yang terlihat dan tidak menemukan kaca jendela yang pecah. Ia berlari memutari rumah untuk mencari. Jendela dapur, jendela kamar mandi, jendela kamar Blaze, jendela kamar nya atau bahkan jendela kamar Halilintar semuanya utuh! Semua jendela di rumahnya utuh!
Frustasi, ia berlari masuk ke dalam dan menjerit dari ambang pintu belakang sekuat yang di-izinkan pita suaranya.
"Aku menemukan tangga! Kak Taufan kabur dengan itu!"
Halilintar adalah yang pertama menyerbu keluar setelah ia menjerit. Diikuti Solar dan Gempa. Thorn menunjuk tangga yang bersandar. Ekspresi wajah Halilintar menggelap saat melihatnya, membuat Thorn merinding.
"Shit-"
Thorn melirik Blaze yang kembali mengumpat. Kakak kembarnya itu tampak berantakan dengan ranting patah dan dedaunan yang berserakan di tubuhnya.
Gempa menarik nafas tajam dan Thorn menyadari dia gemetar. Dari ujung kepala hingga ujung kaki. Keringat dingin menetes dari dahinya dan mengalir masuk ke celah kerah seragam. Thorn meletakkan tangan dengan lembut di bahu Gempa, berusaha menguatkan. Walaupun Thorn tak dapat membohongi dirinya sendiri, bahwa jantungnya sendiri tak mau berdetak dengan normal.
"Bagaimana dia bisa sampai di sini?" Blaze bertanya. Wajahnya tampak tak percaya.
"Seluruh pintu terkunci!"
Thorn mengangguk sebagai pendukung.
"Setelah menemukan tangga, aku berkeliling rumah dan tidak menemukan satupun kaca jendela yang dipecahkan. Bagaimana caranya dia keluar?"
"Oh ayolah!" Solar menjerit.
"Dia membobol rantai dan pasung dengan benda entah apa! Sudah pasti dia bisa membobol pintu!"
Thorn merenungi perkataan Solar. Dan menyadari bahwa itu kemungkinan besar benar. Kakaknya pasti membobol pintu untuk keluar dan memanjat keluar dengan tangga. Jika ia bisa membobol pintu, untuk apa menghancurkan jendela?
Halilintar melangkah mendekati pintu belakang dan berjongkok untuk memeriksa. Dahinya mengernyit dalam dengan cemberut besar yang semakin terlihat. Thorn tidak akan berharap ini akan baik-baik saja.
"Dia menghancurkan kunci pintu belakang." Ucap Halilintar dengan serak.
Thorn meringis. Ia terlalu terburu-buru keluar hingga tidak menyadari bahwa ia tak membutuhkan kunci untuk pergi ke halaman belakang. Pintu itu langsung terbuka begitu ia memutar kenop. Sial.
"Menurut kalian dia lari ke arah mana?" Ice bertanya dari tempat bertenggernya di ujung teratas anak tangga
Semua kembar sontak menoleh ke arahnya dengan wajah mencerminkan kebingungan. Jika mereka tahu kemana Taufan pergi, mereka tidak akan sepanik ini. Sungguh.
Wait-kapan dia memanjat?
"Dia terjun ke semak-semak di bawah." Kata Ice lagi. "Aku bisa melihat semak-semak itu rubuh karena tertimpa tubuh seseorang."
Ia menoleh ke bawah untuk menatap semua saudaranya.
Halilintar berdecak. Mengacak-acak rambutnya dengan erangan frustasi.
"Kita berpencar." Kata Halilintar. Matanya mematap Thorn dan Blaze.
"Kalian berdua, cari di tempat biasanya dia pergi, atau persembunyian atau apapun yang kalian pikir dia ada di sana."
Thorn dan Blaze saling pandang sejenak, lalu menganggukkan kepala dengan pasti.
Halilintar beralih, menunjuk ke Ice dan Solar.
"Kalian berdua, ke rumah Yaya, Ying, Gopal dan Fang."
Solar mengangguk dan Ice menggumamkan ya dengan lembut.
Halilintar menunjuk dirinya sendiri dan Gempa, ia menatap mata emas adiknya yang sudah memerah karena menangis.
"Dan kami berdua akan berkeliling lokasi disekitar kompleks. Dan agak jauh lagi. Termasuk mengobrak-abrik rumah tetangga jika perlu."
Gempa mengangguk setuju. Merusuh di tetangga terdengar kurang ajar, tapi Gempa tak memikirkan sifat negatif itu sekarang. Prioritas utamanya adalah menemukan Taufan dan memastikan kakaknya baik-baik saja.
"Kita akan bertemu di sini pukul 4 lewat. Dan jika kita masih tidak menemukannya..." Halilintar berhenti sejenak, mengambil nafas dalam dalam.
"Bersiaplah untuk membedah Pulau Rintis."
