All My Regrets : 2
.
.
.
Setelah kejadian beberapa waktu lalu, hubungan Mikasa dan Eren semakin menjauh. Mereka tidak akan berbicara jika bukan hal yang penting, dan tentunya rasa canggung tetap menyelimuti kedua insan ini meski sampai sekarang mereka masih duduk berdampingan. Sampai pada suatu saat, Mikasa memutuskan untuk mengawasi Eren tanpa sepengetahuan pemuda itu, dan Mikasa mendapati kenyataan bahwa Eren benar-benar tidak membutuhkan hal yang bernama 'teman'. Semuanya hal Eren selalu bisa melakukannya sendiri.
Setelah menyadari itu, Mikasa berniat tidak akan pernah lagi mengganggu Eren. Bahkan hanya untuk mengajaknya bicara. Kecuali jika itu hal penting. Duduk berdampingan dengan Eren membuatnya bingung harus bagaimana.
Sialnya, jumlah murid di kelas ini sudah pas dan tidak ada lagi tempat kosong yang bisa digunakan untuk pindah. Lalu, jika teman-teman sekelasnya tidak ada yang mau dengan Eren, lantas bagaimana dia akan duduk?
Mikasa menghela nafas berat. Kalau dipikir-pikir, Eren tidak pernah berubah. Diamatinya pemuda Yeager itu untuk beberapa waktu belakangan ini. Dan hasilnya memang selalu sama.
"Jangan menghalangi jalanku!"
Eren selalu berkata ketus pada orang.
"..."
"Bocah itu... tidak sopan sekali dia!"
Tidak pernah menyapa senior ketika lewat di depannya.
"Berisik. Suaramu jelek."
Tidak ramah.
"Pergilah, jangan menggangguku."
Cuek, dingin, tidak peduli sesama.
Zero attitude.
Begitulah Mikasa menilai Eren yang ia kenal sejak awal masuk sekolah. Tapi entah kenapa tidak ada yang berani pada Eren, tidak ada yang berani menegurnya, tidak ada yang berani menyapanya, tidak ada yang berani membulinya.
Sampai Mikasa menemukan fakta ternyata Eren adalah anak dari seorang dokter ternama di kota Shiganshina.
Pantas saja tidak ada orang yang berani dengannya. Dokter itu berpengaruh besar di kota tempat tinggalnya itu. Namanya baru-baru ini menjadi dikenal karena telah berhasil melakukan operasi menyelamatkan petinggi di pemerintahan dan mendapatkan penghargaan karena keberhasilannya.
Semua anak-anak di sekolahnya menjadi hormat pada Eren dan tidak jarang guru-guru pun juga melakukan hal yang sama.
Tapi... sisi manakah dari Eren yang ia lihat saat itu? Saat pertama kalinya mereka bertemu. Bagi Mikasa, dia orang yang berbeda dari yang sekarang dikenalnya. Entahlah, Mikasa tidak mengerti. Jika memang ada dalam diri Eren yang berubah, ia tidak bisa berbuat apapun. Mikasa tidak pernah tahu latar belakang Yeager itu sampai saat ini, apa yang Eren suka, apa hal yang tidak Eren suka, Mikasa tidak pernah tahu.
Tapi jauh dalam hati Mikasa, sebenarnya ia ingin tahu sosok Eren, tidak masalah walaupun Eren tidak menginginkannya sebagai teman.
Mikasa enggan melihat Eren yang duduk tenang di sebelahnya.
Pernah sekali ia tertangkap basah tengah menatap pemuda rambut coklat itu, dan lagi lagi yang Mikasa dapatkan hanya tatapan datar nan sinis yang seakan berkata, "Apa lihat-lihat?"
Mikasa menggelengkan kepalanya lalu kembali fokus ke depan. Mata pelajaran kesenian adalah salah satu yang ia sukai. Kedua matanya memperhatikan tulisan-tulisan guru yang bersambung dan ia menyalinnya di buku.
"Kalian akan saya beri tugas kelompok, masing-masing kelompok beranggotakan dua orang. Buat prakarya bebas lalu dipresentasikan di depan kelas. Waktu kalian seminggu." Perintah seorang guru yang saat ini sedang mengajar di kelas.
Mikasa menopang dagunya dan memperhatikan guru yang berdiri tegak di depan papan tulis lalu bergumam, "Dua orang?" Sesaat, Mikasa memikirkan nama dari teman-teman sekelasnya yang sekiranya cocok untuk berkelompok dengannya.
"Aku ingin dengan Mikasa!" ujar salah satu orang.
"Aku yang sekelompok dengan Mikasa!" celuluk yang lain.
"Tidak! Dia denganku!" dan orang yang tak mau kalah.
Mikasa menoleh ke arah suara-suara yang menyebut namanya, dan kebanyakan dari mereka adalah laki-laki. Mikasa menggaruk kepalanya yang tidak gatal karena tidak tahu harus beraksi seperti apa.
"Daripada repot-repot memilih, saya tentukan kelompoknya berdasarkan teman sebangku." Guru bernama Erwin Smith kembali berbicara, memberikan solusi paling mudah ketika murid-muridnya tengah ribut berbincang mengenai kelompok dan merebutkan Mikasa untuk menjadi partner mereka. "Kalian sudah tahu kan siapa partner masing-masing?"
"Yah..." banyak yang kecewa karena tidak mendapat Mikasa sebagai teman sekelompoknya dan jelas Eren yang sebangku dengan Mikasa sejak awal mereka masuk.
Mikasa dan Eren tiba-tiba bertemu tatap karena saling melirik satu sama lain disaat yang bersamaan. Canggung, mengingat semakin buruknya kondisi pertemanan mereka.
Sedetik kemudian mereka berdua saling memalingkan wajahnya tanpa berbicara sepatah kata pun.
Dan waktu yang ditunggu-tunggu pun akhirnya tiba. Bel pulang sekolah menggema di seluruh ruangan. Para siswa sibuk dorong-mendorong untuk segera cepat keluar dari ruangannya. Namun Mikasa tidak, ia memilih untuk keluar dengan tenang, tidak suka berdesakan dengan yang lain.
Itu berlaku juga untuk Eren. Julukan dari Connie itu bukan mitos saja.
Mereka berdua keluar dengan santai tanpa ada yang berbicara sampai Eren membuka suaranya.
"Kau tidak keberatan satu kelompok denganku?" pertanyaan Eren membuat langkah kaki Mikasa terhenti. Suara pemuda yang berdiri di belakang Mikasa itu terdengar berbeda.
Mikasa menoleh ke belakang, gadis itu menyingkirkan perasaan ragunya dan menjawab, "Iya, bukannya sudah ditentukan kalau kelompoknya dari teman sebangku?" Tanpa menunggu balasan dari Eren, Mikasa bertanya, "Kau... keberatan?" tanyanya ragu, lalu melanjutkan, "Kalau kau keberatan, kita bisa tukar kelompok..."
Terdiam sejenak, Eren lalu menggeleng pelan, di dalam pikirannya sudah terbesit tidak ada yang mau satu kelompok dengannya. Bukannya ia tidak mau dengan Mikasa, Eren memilih memastikan kalau gadis Ackerman itu tidak merasa keberatan. "Aku tidak keberatan juga."
Sebuah senyuman terukir di bibir Mikasa, "Lalu... kita akan membuat apa? Kau ada rekomendasi tempat?"
Eren berpikir sejenak dan membalas asal saja, "Rumahmu?"
Mata Mikasa terbelalak, lalu dengan segera ia menolaknya. "Jangan! Jangan di rumahku, aku punya kakak, dia sangat galak. Pokoknya jangan di rumahku!"
"Kalau begitu... kau bisa ke rumahku." Ucap Eren dengan canggung.
Aku ingin segera menyelesaikan ini dan tidak lagi berurusan denganmu. Pikir Eren.
Mikasa tersenyum canggung , "Kalau kau mengizinkan, aku setuju." Meskipun ajakan Eren itu terdengar seperti perintah dengan nadanya yang datar. Menurut Mikasa, sebaiknya Eren berlatih vokal agar tahu cara mengajak orang dengan nada yang benar.
Lagi-lagi mereka dipertemukan. Lalu apakah ini bisa membuat keadaan kedua insan beda gender ini semakin membaik? Setidaknya sampai mereka lulus. Bukankah itu cukup, Eren?
.
.
.
Mikasa benar-benar tak percaya sekarang dia sudah berada di rumah yang mewah ini. Rumah keluarga Yeager yang beberapa waktu lalu sempat diliput di TV. Mikasa sempat berpikir bahwa dia adalah orang yang beruntung karena bisa masuk rumah serba putih dan besar ini. Karena semenjak nama Grisha Yeager –ayah Eren– terkenal, banyak orang penasaran dengan keluarga ini. Bahkan artikel tentang Eren dan ayahnya sudah beredar di internet.
Dan yang membuat Mikasa lebih tidak percaya lagi, Eren membawanya ke rumahnya tepat setelah pulang sekolah. Padahal Mikasa mengira Eren akan mengajaknya pada hari Sabtu atau Minggu saat libur.
Rumah ini besar sekali. Apa pantas disebut rumah? Tapi rasanya seperti kosong.
"Selamat datang..." sapa seorang pelayan wanita dengan ramah. Walaupun begitu, nyatanya pelayan tadi sempat terkejut dengan kedatangan Mikasa.
Mikasa membalas dengan tersenyum, "Terimakasih."
Sedangkan Eren yang sudah terbiasa, hanya mengangguk sekali tanpa mengatakan apapun. Mikasa mendengus karena sifat Eren saat di rumah ternyata sama saja seperti saat di sekolah. Tidak ada ramah-ramahnya.
Tanpa Mikasa sadari, beberapa pelayan yang melihatnya tampak sedang berbisik-bisik.
"Tuan muda Eren, tidak pernah membawa temannya ke rumah kan?" bisik salah satu dari mereka.
"Kurasa ini juga pertama kalinya..." timpal yang lain dengan seragam yang sama.
"Dan dia seorang perempuan." Sahut yang lain.
Setelah melewati ruang tamu yang dijaga beberapa pelayan tadi, Mikasa memberanikan diri untuk berbicara, "Kau ini tidak ada ramah-ramahnya ya..." gumam Mikasa mengomentari sikap Eren yang menurutnya kelewat batas tidak sopan, karena menurut Mikasa, harus tetap ramah meskipun kepada pelayannya.
Eren mengabaikan perkataan Mikasa dan tibalah mereka pada tempat yang berada di lantai dua, tepatnya kamar Eren.
"Masuklah." Tanpa menunggu lama, Mikasa mengikuti Eren yang sudah melepas tas dan jaketnya kemudian ia gantungkan di sebuah rak yang tinggi.
Nuansa elegan dengan cat biru polos menambah kesan damai dan tenang.
Benar-benar sangat Eren sekali.
"Kau tinggal sendiri di sini?" untuk memecah keheningan, Mikasa berbasa-basi.
"Untuk saat ini... iya."
Mikasa mengangguk-angguk paham, dan tak lagi bertanya karena takut mengganggu privasi Eren. Mikasa memperhatikan detail kamar Eren yang terbilang cukup mewah untuk anak seusianya. "Jadi kita akan melakukannya disini?" tanya Mikasa.
"Melakukan apa?"
"Membuat prakarya tentunya. Kita harus membuatnya kan?" Jawab Mikasa sembari menjelaskannya.
Eren yang semula berpikir hal lain langsung mengangguk paham. "Oke." Eren merutuki pikirannya sendiri dan menepuk kepalanya dengan sedikit keras sampai ia kembali sadar. Tentu saja, Mikasa tidak akan berpikir seperti itu.
Dasar bodoh.
"Kau kenapa, Eren? Kenapa kau memukul kepalamu sendiri?" dan berkat tindakan Eren menimbulkan pertanyaan bagi Mikasa. Laki-laki di depannya ini tidak bisa ia mengerti.
"... Tidak apa-apa."
Tapi ya sudah, Mikasa juga tahu Eren tidak akan memberikan jawaban yang pasti. Dia selalu menghindar. Tidak pernah mengatakan apapun tentangnya dan menjadi sosok misterius sampai saat ini.
Eren menyiapkan beberapa catatan dan tak lupa menyalakan PC. Tugas Mikasa adalah mencari informasi dan referensi sedangkan Eren mencatatnya.
"Eren, apa kau ada ide? Kurasa membuat seribu bangau itu keren juga." Ujar Mikasa memberikan idenya. Sembari menatap PC dan mencari referensi yang lain.
"Kau gila? Kau akan membuat seribu bangau dan kau bawa ke sekolah?" Diluar dugaan, ternyata Eren kurang setuju dengan usulan Mikasa.
Mikasa menggeleng, "Bukan 'aku' atau 'kau', tapi 'kita'. Kau lupa kita ini sekelompok?"
Eren mendengus dan berkata, "Bukan itu poin pentingnya, tapi membuat seribu bangau itu buang-buang waktu bukan? Kita hanya punya waktu seminggu dari sekarang."
Mikasa menyeruput es jeruk pemberian salah satu pelayan Eren, dan dengan tatapan yang yakin ia kembali beradu argumen dengan Eren, "Aku bisa membuat sebanyak lima ratus, dan kau juga lima ratus. Adil kan? Kita harus bekerjasama, Eren."
Eren kembali menghela nafas berat, partner dan teman sebangkunya ini tidak mau mengalah rupanya. Awalnya Eren mengira MIkasa akan menurut saja, tapi dia ternyata tidak semudah itu goyah pada pilihannya. "Kalau aku menolak?"
Mikasa mendengus dan tampak kebingungan, tapi sesaat kemudian sebuah senyuman terukir di wajahnya, "Aku sendiri yang akan membuatnya sebanyak seribu." Ia menghentikan kalimatnya sejenak, lalu menatap Eren seakan menantangnya, "Kau tidak perlu repot-repot."
"Kenapa kau sangat yakin, Mikasa?"
Memangnya siapa yang akan tertarik dengan seribu bangau?
"Apa kau tahu, Eren? Kisah seribu bangau yang kertas yang bisa mengabulkan permintaan?"
.
.
To Be Continued
.
.
A/N :
Errrr... semoga masih ada yang baca hehehehe :') jadi segitu dulu untuk chapter duanya. Maaf lebih pendek. Hope you like it!
Jangan lupa buat #ThankYouHajimeIsayama #ThankyouMappa
Vote and comment ya kalau suka, kalau enggak ya gausah gapapa, serah dah wkwkwk
Regards, Reye
31 Maret 2021
