Kesepianmu dan kesepian milikku
Keduanya mungkin tak bisa dilumat sirna
Namun alpa yang menganga itu
Semakin terisi, asalkan kita bersama
.
.
.
Pemuda itu membuka sepasang netra, menepis buram seiring disadarinya kaki-kaki yang lalu lalang di hadapannya. Badan bongsornya itu kini duduk bersandar pada dinding selasar gedung kampus. Tempat dimana ia seringkali menghabiskan waktu senggangnya akhir-akhir ibi. Fang mengingat-ingat apa yang terakhir kali ia lakukan hingga berakhir di sana. Duduk sambil terkantuk-kantuk di lorong kampus.
"Sudah menunggu lama Fang?"
Tidak mungkin Fang tak mengenali suara barusan. Sebuah suara yang dicarinya tempo hari, kala ia memainkan kembali piano di kamarnya dan Boboiboy. Seketika Fang mengangkat wajahnya dengan rasa tidak percaya yang tersirat. Semburat cahaya membuat mata Fang sempat memejam karena silau, lalu ia pun akhirnya bisa melihatnya dengan jelas.
"Kau menunggu di sini sampai ketiduran?" tanya suara itu lagi dengan nada setengah tertawa.
Seulas senyum itu tidak berubah dari yang diingat Fang. Topi berwarna jingga bertengger terbalik menutupi surai gelap itu. Sebuah bola sepak diapit di tangannya. Penampilan kawannya itu sama seperti mahasiswa pada umumnya: kaus santai berlengan pendek dan jaket berwarna senada dengan topinya.
"Yuk pulang!"
Fang pun memandangi tangan yang terulur padanya sejenak sebelum ia sambut pada akhirnya. Pemuda itu pun bertumpu pada genggaman tangan Boboiboy untuk berdiri. Fang masih memandangi sosok di hadapannya itu. Menyimak penuh obrolan ringan yang keluar dari mulut Boboiboy. Menuturkan apa yang dialaminya selama seharian ini, selumrahnya pertemuan mereka sepulang sekolah dulu.
Lalu penggalan skenario itu pun berakhir, menyisakan Fang yang termenung bersama secercah kirana yang menembus tirai kamar asramanya. Pikiran pemuda itu lamat-lamat memilah. Yang manakah benar-benar terjadi. Lalu mana yang merupakan imaji belaka.
Andaikata perpisahan itu adalah mimpi semata, akankah semua akan lebih baik baginya?
Proved me Wrong
-Sempiternal-
.
.
.
-Bagian 3-
Atma
.
.
.
Jika saja tadi Fang tidak kehilangan fokusnya ketika membawakan dus-dus berisikan bungkusan kopi. Tidak membiarkan setumpuk bahan-bahan lain tersenggol dan jatuh berhamburan di lantai gudang. Begitupun ketika ia mencuci piring dan tak melihat sebuah cangkir di tepi bak cuci hingga benda yang terbuat dari keramik itu pecah. Menambah satu lagi keributan kecil sementara hiruk-pikuk para karyawan semakin menjadi.
Tak perlu ditanya lagi memang jika ada yang mengusik pemuda itu hingga tingkahnya seperti orang yang linglung. Semua karena mimpi tentang Boboiboy. Hingga kepulangannya sekalipun malah membuat pikirannya seringkali mengembara.
"Kau pulang saja duluan Fang," Taufan pun meyakinkan Fang kembali.
Senja itu, pengunjung yang penasaran dengan dibukanya kafe itu semakin berjubel. Menjadi bala bantuan adalah hal yang semestinya Fang lakukan sekarang. Tapi dengan situasi seperti ini, ada benarnya jika ia berhenti melakukan apapun. Walau ia enggan mengakuinya memang.
"Nanti kita bawa oleh-oleh. Pokoknya tunggu saja di rumah," Taufan mencoba menghibur Fang sembari menyodorkan kunci rumah- yang tidak bisa Fang tolak.
"Wajah masammu itu malah menghalau pelanggan, pulang saja gih!" tambah Halilintar.
Fang kontan mendengus kesal, mengambil tas selempangnya, lalu pamit dengan nada suara datar. Sebelum ia berbalik pergi, tangan besar Halilintar mengacak rambutnya. Untuk sejenak Fang menangkap senyuman tipis dari Halilintar dan tatapannya yang melunak. Entah kenapa ia pun bisa menyimpulkan. Pria itu tak sedikitpun marah padanya hari ini.
-PmW S-
Langkah Fang yang tak tentu arah pun batal membawanya pulang ke rumah. Ia membelokkan tujuannya ke arah taman di dekat rumah. Entah mengapa intuisinya membawanya ke tempat yang telah amat sangat lama ia singgahi.
Taman bermain itu masihlah sama seperti bertahun-tahun yang lalu, begitulah yang Fang ingat. Jikalau dulu penghuni senja dari taman ini adalah mereka-ketujuh anak-anak yang hobi ricuh- kini enam orang anak tengah bermain di sana. Mereka tak lebih tua dari anak kelas empat sekolah dasar menurut tebakan Fang. Anak-anak itu nampak sangat asyik memperebutkan bola sepak sambil berseru-seru dengan nyaring.
Fang mengambil tempat di atas sebuah bangku kayu dengan sandaran pendek berlekuk. Sebuah titik tepat di hadapan terowongan buatan dimana ia memutuskan untuk bersembunyi di dalamnya dulu. Pandangan Fang pun melongok ke dalam terowongan mungil itu, membayangkan seperti apa dirinya saat itu. Duduk sambil memeluk lutut, gemetar karena udara beku di musim dingin.
Jika saja Boboiboy menyerah dan mengikuti ego anak kecil yang kehilangan arah tujuan malam itu. Membiarkan beku musim dingin merenggutnya dari fana dunia. Ingatan Fang akan terhenti di sana. Dalam jerat sangkar bernamakan nestapa.
"Makannya, sekarang kita ke rumahku," kata-kata itulah yang paling membekas dalam ingatan Fang, yang tak sanggup waktu hapuskan. Sebuah ungkapan yang teramat sederhana namun begitu tulus yang pernah ia dapatkan dari seseorang yang bahkan baru menjumpainya saat itu juga.
Fang tidak pernah menyesali keputusannya untuk membiarkan anak bertopi jingga itu menariknya ke dalam dunianya.
Lamunan Fang terpaksa buyar oleh sebuah benda yang melesat dan menghantam kepalanya. Ternyata benda itu adalah bola sepak yang dimainkan anak-anak. Umpatan keluar dari mulut Fang, lalu ia berbalik ke arah datangnya bola untuk mengetahui anak mana yang menendang bola itu.
"Eh, maaf Fang! Kukira kau bakal menghindar waktu aku teriak," sembari cengengesan, Api pun menghampiri bangku dimana Fang berada. Gopal menyusul di belakangnya.
"Gimana sih, tadi kita manggil-manggil tapi kau nggak nengok." Gopal menimpali "Udah kena bola baru kerasa!"
"Kalian pasti sengaja ya!" Fang menahan agar kepalan tangannya tidak meluncur kepada dua teman usilnya itu.
"Oh ya, Air juga ada loh!" tak mempedulikan ucapan Fang, Api pun menunjuk yang bersangkutan. Pemuda berjaket biru es itu mendekati mereka dengan langkah yang santai.
Percakapan mereka pun berganti dengan kabar masing-masing. Api dan Gopal dengan menggebu-gebu menceritakan bagaimana mereka diterima di klub junior. Beberapa langkah lagi untuk bisa bermain di klub profersional dan debut di liga. Tak mau kalah, Fang menyahut dengan lomba-lomba dan sederet penghargaan yang pernah disabetnya. Air, yang sebetulnya kuliah di kampus yang sama dengan Fang mendengarkan tanpa banyak berkomentar.
"Eh, kenapa kalian semua di sini?!" sebuah seruan membuat keempat pemuda itu menoleh dan mendapati Yaya dan Ying ada di sana.
"Wah, kebetulan sekali ya." Ujar Yaya sembari tersenyum simpul. "Kalian semua sehat?"
Tak ada yang memunculkan kode agar mereka berkumpul di taman sore itu. Ketidaksengajaan ini pun memicu tawa di antara keenam sahabat itu. Justru ketika dulu mereka sulit untuk menemukan potongan waktu senggang, kebetulan kali ini membawa mereka untuk berkumpul sekali lagi.
-PmW S-
"Oper ke sini!" Terdengar seruan Api pada anak yang hendak menendang bola.
"Jangan takut sama dia lah!" Gopal berkata pada anak lainnya yang menjadi pemain bertahan. "Hadang mereka layaknya seorang pria!"
Di taman, tahu-tahu Gopal dan Api bergabung dengan anak-anak yang tengah bermain bola. Sebagai senior dari anak-anak yang bermain di taman ini, begitulah mereka beralasan. Berada di tim yang berbeda, kedua pemuda itu memberikan tips dan trik pada teman satu timnya. Namun keduanya seringkali membuat anak-anak itu kebingungan dengan aba-aba yang sedikit abstrak.
Di sudut lain taman, Yaya dan Ying mengamati pertandingan dan menyaksikan tingkah kedua teman mereka yang kekanakan. Fang pun tak luput dari percakapan mereka. Sementara itu, Air hanya duduk dan menyeruput milkshakenya.
"Apa mereka nggak ingat umur ya," gumam Fang sambil menghela napas.
"Kalau Boboiboy sih, pasti dia nggak akan seperti itu," timpal Yaya.
"Ya, pastinya. Dia kapten yang bahkan bisa membuat Gopal dan Api tak bisa semaunya sendiri." Ying pun mengangguk setuju.
Setelah tanpa sengaja nama teman mereka itu disebut, ada jeda dimana sunyi yang canggung tercipta. Bagaimana mereka menyadari kembali satu hal yang hilang saat ini. Namun semua mencair kembali ketika Fang bertutur dengan entengnya bahwa Boboiboy paling hanya akan menepuk jidat dengan kelakuan dua teman mereka itu.
"Udah selesai mainnya?" tanya Yaya ketika akhirnya Gopal dan Api kembali mendekat dengan tubuh bersimbah keringat.
"Sudah, kayaknya mereka akan kapok bermain setim dengan dia." Telunjuk Gopal tertuju pada Api, yang tengah menyerobot dan meminum milkshake milik Air.
"Seperti biasa?" Tanya Ying sembari mengacungkan ponselnya.
"Pasti dong, kapan lagi semuanya lengkap~" sahut Gopal.
"Nanti kirim ke grup ya!" celetuk Api dengan penuh semangat.
"Cepetan yuk, aku mau pulang…" timpal Air, setelah sekian lama ia hanya menyimak.
"Iya, iya sebentar." Ying pun menghampiri anak yang bermain bersama Api sembari berkata, "dik, boleh minta bantuan?"
Berselang satu menit, diabadikanlah momen berkumpulnya keenam sahabat itu melalui lensa kamera. Seolah menjadi ritual, mereka memang tak pernah absen untuk menangkap penggalan momen bersama. Karena mereka takkan pernah tahu kapan kesempatan yang sama bisa ada kembali. Mereka terus melanjutkan apa yang dimulai sejak ulang tahun Boboiboy.
"Sampai jumpa lagi semuanya!"
"Jaga diri kalian ya!"
"Kalau ada yang mau makan-makan, kabari aku ya jangan lupa."
"Air, habis ini aku main ke rumahmu dong!"
"Nggak. Kau pulang juga sana."
Hanya Fang yang masih tinggal di taman sampai mentari nyaris tergelincir dari ufuk barat. Ketika akhirnya Fang memutuskan untuk pulang, ia sekali lagi memandangi tempat yang menjadi awal pertemuannya dengan Boboiboy. Langkah kakinya tak lagi sehampa langkah yang membawanya ke taman. Sebuah senyuman tersungging di bibirnya, seiring ditatapnya bintang pertama yang bersinar terang di langit. Sebuah bintang yang selalu dipandanginya untuk mengingat sosok sahabatnya itu.
.
.
.
-1-
Permulaan selalu menjadi perkara yang tidaklah mudah. Layaknya menautkan tangan pada rapuhnya benang laba-laba. Begitupun sebuah permulaan dimana sosokmu tak lagi berada di sampingku, setelah sekian lama aku terbiasa akan hadirmu setiap harinya. Kekosongan yang tiba-tiba itu terasa asing, membungkamku dalam sunyi. Menyekapku dalam kesendirian yang dulu pernah kualami dan hampir kulupakan belakangan ini.
Belum genap sepekan, namun semua masih terasa tawar sekaligus pahit. Apa daya, diriku masihlah harus meniti hari demi hari. Kedua kakak kita pun belum bisa melepaskan kepergianmu sepenuhnya, aku yakin tanpa harus bertanya. Bisa dibayangkan bukan, merekalah orang yang hapal betul sejak kau lahir ke dunia ini.
Kukira keberadaanku akan menjadi orang asing di rumah ini, tapi ternyata pemikiranku itu keliru. Kak Taufan semakin sering menanyakan keseharianku dan menjadi penonton tunggal permainan pianoku di rumah menggantikanmu. Kak Hali bahkan mulai mengajakku ngobrol tentang rencana studiku. Mereka mendukung mimpi baruku tanpa ragu, persis seperti apa yang kau ucapkan padaku.
Oh ya, apakah kau tahu bagaimana reaksi semua teman-teman kita, saat kabar tentangmu tersampaikan? Tak ada yang luput dari rasa kehilangan.
Yaya maupun Ying pernah kujumpai tengah melamun berdua, saling menguatkan bahu mereka yang goyah karena mereka teringat padamu. Gopal berhenti bergurau, mengusik atau menjahili siapapun selama beberapa hari. Nada canggung yang terdengar ketika ia menyahut terasa begitu aneh di kupingku. Api tak pernah semurung ini, bahkan ia seringkali melampiaskan luapan emosinya dengan bermain sepak bola sampai lelah menghapusnya. Bahkan Air pun sesekali memandangi bangku yang dulu kau duduki di kelas, kendati raut wajahnya datar seperti biasanya.
Lalu bagaimana denganku, yang menjadi orang terakhir yang bersamamu?
Agak sulit untuk rebah dalam mimpi setiap malam, hingga aku terjaga dengan pikiran tak karuan. Saat itulah aku selalu mendapati diriku sudah terduduk kembali di depan piano. Seiring jemariku bermain di atas tuts monokrom, kuharap hal-hal yang menyesakkan dada dan memancing tangisanku itu perlahan mereda.
Jarang sekali aku bersenandung saat bermain piano. Namun permainan pianoku kini terasa belum lengkap tanpa ada suara yang mengiringinya. Aku selalu merangkai kembali kata-kata yang kau lantunkan untuk menggenapi komposisi Aksa. Kucoba meniru suara merdu milikmu yang begitu megah di bukit belakang rumah kita.
Sejak aku menggenggam tanganmu yang begitu dingin, telapak tanganku berikut kelima jemarinya diselimuti hal yang sama. Beku menawan waktuku pada momen yang sama. Terlampir jua pemikiranku saat memeluk tubuh ringkihmu untuk kali terakhir.
'Jika kau pergi, aku takkan pernah memaafkanmu'
'Aku tidak ingin semua berakhir seperti ini'
'Apakah kau tahu, aku masih berada di sampingmu?'
Pada akhirnya, hal yang amat sangat kuharapkan hanyalah satu. Dan itu adalah dirimu.
.
.
.
-2-
Terjadi kembali. Hal yang aku tahu harus kuhentikan alih-alih tergoda oleh bisikan usilnya. Siang ini aku seolah menangkap figurmu di lapangan sekolah. Padahal jelas sudah kau tak mungkin ada di sana dan yang kulihat mungkin adalah sosok Api yang salah aku kira sebagai dirimu. Tapi aku masih memandangi ke seluruh penjuru lapangan, seolah mengharapkan bisa menemukanmu kembali di sana.
Sejenak berdamai dengan rasa kehilangan kini membawaku pada sebuah babak baru. Mimpi buruk kian tergusur oleh kesibukanku dalam mengasah kemampuan dan mendulang pengalaman untuk menjadi calon komponis. Namun ekor mataku yang kini justru berulah, menipu pemikiranku dengan cara yang tidak begitu aku kusukai: memunculkanmu dalam keseharianku dari sebuah ketiadaan.
Pemandangan palsu melebur dalam rutinitas harianku setiap kali pandangan mataku beredar. Pada sudut dapur dimana kau selalu membuat susu cokelat kesukaanmu. Pada ranjangmu di kamar, aku mengira dirimu sedang tertidur pulas dengan gaya tidur yang aneh. Juga pada persimpangan jalan, saat kupikir orang berjaket jingga itu adalah benar dirimu.
Saat kelulusan SMA, terlintas di benakku bahwa kau pun hadir dan menempati satu kursi di aula sekolah. Menginjak bangku kuliah dan kehidupanku di asrama dimulai, aku membayangkan kau berkunjung seperti teman dari teman sekamarku.
Aku tahu bahwa tak ada gunanya membohongi diriku sendiri. Ya, aku ternyata masih mencari kehadiramu. Dari tempat-tempat yang sempat terjamah olehmu, hingga tempat yang tak pernah kau ketahui sekalipun. Ego milikku belum menyerah untuk mencarimu.
Hanya satu kali pun tak apa. Aku ingin kita bersua kembali. Lalu akhirnya bisa kusampaikan segala hal yang tertahan, tertumpuk semakin tinggi semenjak perpisahan di malam bersalju itu.
.
.
.
-3-
Kala sua ada, maka persimpangan akhir pun menanti di baliknya. Cepat atau lambat. Dengan atau tanpa sebersit peringatan. Hal yang lumrah terjadi, namun seringkali luput dalam kesadaran siapapun. Hinggalah perpisahan itu terjadi dan dunia yang tak lagi sama mulai kutiti.
Lima tahun. Ini baru separuh dari waktu dimana kita tumbuh bersama. Namun rentang waktu itu seolah merenggang dan melipatgandakan setiap detiknya. Bisa dibayangkan bagaimana tahun demi tahun akan terus berganti, musim demi musim mengisi. Tanpa sekalipun bisa melihatmu lagi atau mendengarkan suara dan senandung isengmu itu.
Belakangan ini aku merenungkan kembali bagaimana perspektif milikmu menghadapi segala hal berat yang mendera. Bagaimana dunia dalam kedua tangkapan netramu. Kupikir aku telah memahamimu sepenuhnya, namun nyatanya tidak demikian. Masih banyak hal yang tak kuketahui pasti tentangmu.
Aku ingin sekali mengetahuinya. Semua hal yang kau jaga baik-baik dalam rengkuhan tanganmu. Semua hal yang selalu membuatmu bahagia walaupun perkara yang sepele. Begitupun semua hal yang paling kau takuti. Sekalipun itu adalah penggalan kelam masa lalu yang selalu kau tutupi. Biar kusimpan semua tentangmu dalam bingkai pemahamanku.
Usia kita hanya terpaut satu bulan, tapi kau sanggup menjadi segala hal yang tidak kupunya sebelum perjumpaan kita. Kau lebih dari sekedar nama yang singgah dalam tutur kisahku di semesta. Takkan ada yang bisa menduplikat utuh segala tingkahmu.
Jika kita saling berhadapan saat ini, mungkin aku sudah jauh lebih besar darimu. Walau kau tak pernah menyusul tinggiku dulu. Terbayang kau berdiri di hadapanku, masih sama seperti lima tahun yang lalu. Tanpa berubah satu apa pun. Senyumanmu masih kusimpan rapi. Begitupun suara yang selalu mengisi keseharianku dulu.
Sementara itu inilah diriku, terus berubah seiring arus kehidupan menempaku. Melampaui usiamu semakin jauh lagi. Banyak sekali hal yang ingin kuceritakan padamu, kawan. Tentang masa depan yang tengah kuperjuangkan. Tentang kabar kedua kakak kita. Tentang semua sahabat kita. Lalu aku akan meremas dadaku, mengunci segala hal yang berusaha tumpah ruah seiring aku menatap sosokmu.
Ada bagian dariku yang berderak, menggurat-gurat kemudian retak. Sejak malam itu, kala tangis dan teriak dariku lepas selepas-lepasnya. Kala apa yang kurasakan, apa yang menjejali pikiranku tak lagi bisa disetarakan dengan kata-kata. Aku tak lagi genap tanpa fragmen yang hilang dari retakan itu. Dia pastilah mengikutimu seiring matamu memejam dan entitasmu berganti.
Aku mungkin tak bisa lagi menggapai hadirmu. Karenanya, biarlah aku ada di sampingmu walau dalam wujud fragmen itu. Sebatas itulah asaku saat ini dan seterusnya.
A/N: Dengan ini sekuel dari PmW pun selesai~
Mungkin agak pendek dan gaje, tapi senang sekali bisa menyelesaikannya sebelum ide-ide yang terlintas ini hilang :')
Ff ini memang meninggalkan banyak kesan selama menulisnya, lebih dari yang saya kira. Ketika ditanyakan soal kelanjutannya, lahirlah ide-ide dadakan ini.
Terima kasih lagi pada semua yang mampir. Jumpa lagi di karya-karya yang lain jika ada kesempatan ^^
