Chapter 2. Kebersamaan.
Matahari sudah lama menghilang tenggelam dibalik cakrawala pegunungan dan langit sudah gelap diatas titik perkemahan dimana Taufan, Gempa, Blaze, dan Ice sudah mendirikan kemah tempat mereka akan bermalam di alam terbuka pegunungan.
Empat buah kemah terlihat sudah didirikan mengelilingi sebuah api unggun yang menyala cukup besar. Lompatan-lompatan lidah api yang bergolak cukup menerangi sekeliling titik perkemahan mereka sekaligus untuk mengusir satwa-satwa liar yang tidak diinginkan mendekat.
Namun suasana perkemahan itu jauh dari kata menyenangkan.
Tidak henti-hentinya Gempa berjalan memutari perkemahan mereka. Sesekali Gempa mengehentikan langkahnya tepat ditepi hutan tempat Halilintar dan Solar masuk merambah hutan untuk mencari Thorn. Dengan bermodalkan sebuah lampu senter Maglite (tm) berukuran besar Gempa mencoba menerangi bagian hutan yang diterobos Halilintar dan Solar. Ia berharap menemukan jejak kedua saudaranya itu ditengah kegelapan malam.
Sementara Blaze dan Ice yang saling berdiam diri terlihat sedang duduk bersama Taufan di dekat api unggun Dari sudut matanya, mereka melirik kearah Gempa yang masih menyinari tepian hutan dengan lampu senternya.
Hanya suara gemeretak kayu yang menyala terbakar dan suara nyanyian malam margasatwa yang menemani keempat bersaudara yang tengah berkemah.
Blaze yang malam itu berpakaian kaus lengan pendek merah dan celana panjang hitam berdehem lembut memecah keheningan. "Kemana mereka bertiga itu sih, koq lama sekali." ucapnya seraya menengok kearah kakaknya yang bernetra biru safir.
"Seharusnya mereka sudah kembali," jawab Taufan yang malam itu terlihat setia dengan jaket biru-kuning miliknya beserta baju kaus lengan pendek putih dan celana panjang biru tuanya. Taufan tidak mengalihkan pandangannya dari dua buah panci air yang tengah direbusnya. Beberapa bungkus mie instan pun sudah ia persiapkan untuk dimasak sebagai makan malamnya dan makan malam semua adik-adiknya. "Coba kau hubungi lagi ponsel mereka, Blaze."
Blaze menggelengkan kepalanya sembari memperlihatkan layar ponselnya kepada Taufan. "Baterai ponselku tinggal tigapuluh persen. Kita harus hemat baterai powerbank kita lho. Lagipula, aku sudah coba berkali-kali. Sepertnya tidak ada sinyal didalam hutan itu."
"Berarti ponsel-ponsel kita hanya bisa mendapat sinyal di areal terbuka seperti ini," ucap Taufan yang kini juga sedang mengamati layar ponsel miliknya ditengah kesibukan memasaknya. Hanya sesekali indikator sinyal pada ponselnya terlihat penuh, seringkali hanya dua atau tiga garis saja yang terlihat pada indikator sinyalnya.
"Gara-gara Kak Thorn acara kita jadi kacau." Ice akhirnya ikutan membuka suara. "Padahal Solar dan aku sudah bilang, jangan kasih makan binatang liar," ucapnya lagi sembari mengenakan sebuah kain sarung untuk menutupi tubuhnya yang berbalut baju kaus lengan pendek biru muda miliknya.
Blaze langsung melirik tajam kepada Ice dengan netra merah terangnya yang menyipit. "Apa lagi yang mau kamu timpahkan pada Thorn, Ice?" desis Blaze dari balik kedua rahangnya yang mengatup kaku. "Macam kamu ngga kenal sifat Thorn ..."
Ice terdiam setelah mendengar retorik Blaze yang bernada seperti mengancam. Ia lebih memilih untuk tidak menimpali kakaknya itu karena mood diarea perkemahan itu jauh dari kata menyenangkan dan Ice tidak ingin memperkeruh suasana. "Maaf ...," ucap Ice sembari menundukkan kepalanya.
"Sudah ...," ucap Taufan yang melihat interaksi kedua adiknya itu. "Kita semua kepikiran Thorn ... tapi mau apa lagi? Halilintar dan Solar sedang mencari mereka."
"Aku khawatir dengan Solar," gumam Ice seraya menatapi api yang bergolak dihadapannya.
"Tenang, Ice," ujar Taufan yang kini tengah memasukkan kepingan-kepingan mie instan kedalam sebuah panci yang berisikan air yang sudah mendidih. "Solar bersama Halilintar, algojo kita." candanya untuk mencairkan suasana yang tegang.
"Aku yakin mereka berdua masih mencari Thorn. Kerjasama otak terkuat dengan otot terkuat dalam keluarga kita." Taufan berujar lagi sembari memasukkan beberapa sendok bubuk cokelat khas kedai mereka kedalam panci yang satunya lagi, yang tidak berisikan mie instan. "Coba kamu panggil Gempa, Blaze ... Makanan sudah hampir siap."
Blaze mengangukkan kepalanya dan berdiri. Ia menepuk-nepuk bagian belakang celana panjangnya yang sedikit kotor terkena tanah. "Iya ... sebelum dia pingsan."
"Seret dia kesini bila perlu, Blaze. Gempa belum makan dari siang tadi," ucap Taufan sembari mengaduk-aduk mie instan yang sedang diseduhnya supaya matangnya lebih cepat dan merata.
Sebuah senyuman tipis yang terlihat agak dipaksakan melintas pada bibir Blaze ketika ia menengok balik kearah Taufan. "Oke, kak," jawabnya sebelum meninggalkan Taufan yang sedang bersama Ice.
Sembari berlari-lari kecil, Blaze menghampiri kakaknya, Gempa yang masih saja mondar-mandir di tepian hutan.
Raut wajah Gempa masih terlihat tegang dan kaku. Dari rahangnya yang terkunci rapat, kedua bola matanya yang melirik-lirik tak tentu arah jelas terlihat bahwa ia menjadi semakin gelisah seiring berlalunya waktu.
"Kak Gem?" tegur Blaze setelah ia berjarak cukup dekat kakaknya yang bernetra cokelat keemasan.
Gempa menolehkan kepalanya ketika namanya dipanggil oleh adiknya. "Ya Blaze, ada apa?" tanya sang kakak singkat.
"Ayo makan dulu kak ...," ujar Blaze sembari mengedikkan kepalanya kearah api unggun dimana Taufan dan Ice berada. "Kamu kan belum makan dari tadi siang, Kak ..."
Gempa menggelengkan kepalanya sebelum kembali menengok kearah bagian hutan yang sore tadi diterobos oleh Halilintar dan Solar. "Kamu duluan deh, Blaze. Aku ngga lapar."
"Kak ... ayolah, makan du-"
"Humpf ... Hoek!" Mendadak Gempa menutup mulutnya. Isi perutnya, terutama lambungnya mendadak terasa hendak keluar dari mulutnya dan menyebabkan tenggorokannya terasa panas dan pedas.
"Kak Gem?!" Blaze langsung panik melihat kakaknya seperti itu.
Gempa mengibaskan-ngibaskan tangannya yang sebelah lagi sebagai jawaban. "Hoegh!" Baru saja ia akan berbicara ketika lambungnya terasa dipukuli. Ia mencoba menarik napas dalam-dalam seraya menepuk-nepuk dadanya sendiri. Sebuah sendawa kecil keluar dari tenggorokannya yang terasa pedih
"A-asam lambungku kumat." Gempa baru bisa berkata-kata kembali ketika rasa mual dari dalam perutnya dan rasa perih di tenggorokannya sedikit berkurang.
Blaze mengulurkan tangannya kepada kakaknya yang tengah berusaha mengatur napasnya. "Sudah, ayo makan dulu."
Gempa menggelengkan kepalanya. "Aku ngga selera ..."
"Ceh ... Ngga selera." Blaze mendengkus dan mulai terlihat kesal karena kakaknya yang keras kepala itu. "Aku ngga mau tahu, Kak Gempa harus makan!" ketus Blaze seraya mengamit tangan kakaknya itu dan menariknya kearah dimana api unggun mereka berada.
"Blaze!" sahut Gempa ketika tangannya ditarik-tarik oleh adiknya. "Aku harus menunggu Halilintar dan yang lain!" protesnya yang menolak untuk beranjak dari tempatnya berdiri.
"Kak Gem ngga bakal bisa berdiri lagi kalau ngga makan!" ketus Blaze yang terus saja menarik Gempa pada tangannya. "Ice! Tolong bantu aku sini!" teriaknya sembari memandang kearah adiknya yang berada di tepian api unggun perkemahan mereka.
Ice yang dipanggil langsung bangkit berdiri dari duduknya. Dengan langkah santai ia kemudian berjalan mendekati Blaze yang tengah membujuk Gempa. Sebuah senyuman kecil melintas di bibir Ice ketika ia memperhatikan tarik menarik antara Blaze dan Gempa.
"Ayolah, Kak Gem ...," ucap Ice dengan suara yang lembut ketika ia berusaha untuk membujuk Gempa untuk mengisi perutnya. "Nanti kakak sakit lho. Kan kita semua nanti yang repot." sambungnya lagi seraya mengamit tangan Gempa yang tidak dipegangi oleh Blaze.
Ice menatap kakaknya itu. Sebuah kehangatan lembut dibalik netra biru terangnya bertemu pandang dengan netra cokelat keemasan sang kakak yang menyembunyikan segudang kekhawatiran.
Gempa menghela napas panjang dan menatap kepada adiknya yang satu lagi, Blaze sebelum kembali menatap kepada Ice. Bahkan Blaze yang biasanya jahil dan nakal terlihat sangat khawatir dengannya. Tidak bisa disangkal, tatapan mata adik-adiknya itu seakan menghapus segala kekhawatiran yang tengah berkecamuk dalam batinnya.
"I-iya deh." Akhirnya Gempa menyerah. "Ayo kita makan dulu," ucapnya lagi dan membiarkan dirinya dituntun oleh kedua adiknya menuju ke tempat perkemahan mereka.
Taufan sudah menunggu di pinggiran api unggun dan sudah selesai memasak mie instan yang akan menjadi menu makan malamnya beserta semua adik-adiknya. Bahkan ia sudah menyiapkan beberapa gelas hot chocolate sebagai pelengkap menu makan malam di alam terbuka kali itu.
"Hebat juga kalian, bisa membujuk Gempa," puji Taufan ketika Blaze dan Ice sudah kembali bersama Gempa di pinggir api unggun yang memberi kehangatan ditengah dinginnya hawa pegunungan. Dengan hati-hati Taufan menyendok seonggok mie instan goreng keatas sebuah piring kertas yang kemudian diberikan kepada Gempa.
"Ngga sehat makan beginian, Taufan," keluh Gempa seraya menerima sepiring mie instan goreng dari kakaknya. "Makanan begini kan banyak MSG-nya, belum pengawet, apalagi mie instan begini banyak bumbu yang ngga alami ..."
Taufan memutar bola matanya keatas setelah mendengar Gempa yang mengoceh. "Atau kamu mau makan angin, Gem? Ayo duduk sini, makan," ucap sang kakak yang bernetra biru safir itu seraya menepuk-nepuk tanah sebagai isyarat bagi Gempa untuk duduk di sebelahnya.
Baru saja Gempa membuka mulutnya hendak berkomentar lagi, namun aroma dari mie goreng instan diatas piring yang dipegangnya sudah menghampiri indera penciumannya. Air liurnya terlanjur terbit dan perutnya mendadak berbunyi ditengah rasa laparnya.
"Nah kan ... Sudah, ayo duduk, makan." Kembali Taufan menepuk-nepuk tanah disebelahnya sebagai isyarat bagi adiknya yang kepala batu itu untuk segera duduk dan mengisi perutnya.
"Iya, iya." Gempa yang memang sudah terlanjur tergugah selera makannya langsung duduk disebelah Taufan dan berdampingan dengan Ice.
"Nih garpunya, kak," ucap Blaze seraya memberikan sebuah garpu kepada kakaknya.
"Terima kasih, Blaze." Gempa menganggukkan kepalanya ketika menerima garpu dari adiknya yang bernetra merah kekuningan itu. Tanpa membuang waktu, Gempa langsung melahap mie goreng instan buatan Taufan yang berada diatas piring kertas yang tengah dipegangnya.
Makan malam dialam terbuka kali itu berlangsung tanpa ada yang saling berbicara. Taufan, Gempa, Blaze, dan Ice menikmati mie goreng instan porsi mereka masing-masing ditengah nyanyian alam yang bersahut-sahutan tanpa henti. Sesekali terdengar suara serangga tonggeret yang bersahut-sahutan dengan nyanyian burung hantu yang bersahut-sahutan. Suara gemeretak kayu yang menyala terbakar api unggun perkemahan mereka pun terdengar bersahut-sahutan dengan suara riak air dari sebuah sungai yang jaraknya cukup dekat.
Momen seperti itu seharusnya menjadi kenangan indah dan menyenangkan ...
Kalau saja ketujuh bersaudara kembar itu lengkap semua.
Seonggok mie goreng instan yang tersisa dalam panci dan beberapa piring kertas yang tersisa menjadi bukti sekaligus saksi hilangnya tiga dari tujuh bersaudara kembar itu.
Keempat bersaudara yang tersisa kini hanya bisa saling berpandangan dengan penuh tanda tanya yang tercermin dari raut wajah mereka semua.
"Halilintar ... Solar ... Thorn," gumam Taufan seraya menatap langit malam yang cerah dan bertaburan bintang. "Dimana kalian ..."
"Ayo kita susul mereka," ucap Gempa yang membuat Taufan, Ice, dan Blaze menengok kearahnya serempak.
"Malam-malam begini, Kak?" tanya Blaze yang sangat ragu dengan usulan kakaknya itu. "Kalau kita yang ikutan tersasar bagaimana?"
"Ya, terlalu berbahaya ...," tambah Ice yang kali ini lebih memihak pada kakaknya, Blaze.
Gempa mengehela napas panjang. "Memang berbahaya," ucapnya sembari memandangi ketiga saudaranya satu-persatu. "Tapi apa kita mau diam saja? Aneh kalau Halilintar dan Solar belum menemukan Thorn."
Taufan mengerenyitkan dahinya selagi ia berpikir dan mempertimbangkan dua pemikiran yang sulit. Haruskah ia menunggu sampai pagi untuk mencari ketiga saudaranya yang belum juga kembali, atau haruskah ia berangkat sekarang juga untuk mencari Halilintar, Solar, dan Thorn.
"Terserah Kak Taufan sih ... Aku kan selalu nurut apa kak Taufan," ujar Blaze.
Taufan membenamkan wajahnya kedalam telapak tangannya yang sebelah kiri seraya menarik napas panjang. Belum pernah ia dihadapkan pada pertanyaan dengan beban tanggung jawab yang sebesar itu. Netra safir birunya bergerak-gerak tak tentu arah selagi ia berpikir dan menimbang kedua pilihan yang dihadapkan kepadanya. "Hali, Solar, Thorn ... kalian dimana sih ...," keluh Taufan dengan suara yang lirih.
.
.
.
"Kak Hali ..."
Suara lirih terdengar memanggil namanya ketika Halilintar mencoba membuka kedua kelopak matanya. Sulit sekali rasanya ia mengangkat kelopak matanya yang terasa berat, belum lagi rasa nyeri yang berdenyut-denyut dikepalanya membuat kedua netra merah darahnya sulit untuk fokus.
Udara pengap berbau kotoran hewan pun langsung menghampiri indera penciuman Halilintar yang berada diambang batas antara sadar dan tidak.
Hal terakhir yang diingat Halilintar adalah ia tengah menghajar salah seorang bawahan pemburu haram yang telah mengancam dirinya dan adik-adiknya. Kembali ia ingat ketika kepalanya dihajar popor senapan oleh GagaNaz yang membuatnya kehilangan kesadaran.
Kini Halilintar yang mendapati dirinya dalam keaadan terbaring tertelungkup mencoba menggerakkan kedua tangannya untuk memijat-mijat kepalanya dan mendorong dirinya untuk duduk.
Anehnya kedua tangannya menolak untuk digerakkan. Bukan hanya tangannya, kedua lengannya pun terasa nyeri seakan terhimpit oleh sesuatu.
"Kak?"
Sekali lagi Halilintar mendengar suara yang memanggil namanya. Mati-matian ia berusaha untuk membuka kedua kelopak matanya untuk melihat siapa yang memanggilnya.
Orang pertama yang dilihatnya adalah Solar yang tengah berlutut disampingnya. Tidak biasanya ia melihat adiknya itu tanpa kacamata model visornya. "So... Solar?" panggil Halilintar dengan suara yang pelan dan sedikit serak.
Kedua kelopak mata Halilintar tersentak membuka ketika ia melihat adiknya itu tengah berlutut didekatnya dengan kedua tangannya yang berada didepan badannya dan terlilit tali pada pergelangan tangannya.
"Solar?" Halilintar melirik kearah adiknya yang bernetra kuning keemasan itu. "Tanganku ...," gumamnya sembari mencoba melirik kearah badannya sendiri.
"Sama denganku," ucap Solar seraya mengulurkan kedua tangannya yang terikat dan membantu Halilintar untuk bangun.
Barulah Halilintar mengerti kenapa tangan dan lengannya menolak untuk digerakkan. Beberapa utas tali melilit lengan beserta badannya dengan ketat dan membuatnya sulit bernapas lega. Kedua pergelangan tangannya pun terikat kuat dibelakang badannya.
Halilintar mencoba untuk mencari simpul tali yang mengikat pergelangan tangannya dengan ujung jari-jemarinya, namun ia tidak bisa menemukan simpul itu. "Tolong, Sol ... Lepaskan aku ..." pinta Halilintar.
"Percuma kak," keluh Solar sembari mendorong dirinya berdiri. Simpul ikatan tangan Kak Hali dan aku ini ditetesi lem power glue .... Ngga akan bisa lepas kecuali talinya dipotong."
Halilintar mendengus ketika ia mencoba menarik napas panjang. Lilitan tali di dada dan lengannya benar-benar membatasi pernapasannya. "Thorn ... bagaimana?"
Solar mengedikkan kepalanya kearah setumpukan rumput kering yang ditutup terpal. Diatas terpal itu terbaring Thorn yang terlihat sedang tertidur.
Darah Halilintar seakan mendidih ketika melihat Thorn yang juga sama keadaannya seperti Solar. Kedua tangannya terikat didepan badannya. Yang lebih mengkhawatirkan adalah wajah adiknya itu terlihat dipenuhi butiran keringat.
"Dimana kita ini, Sol?" tanya Halilintar seraya mengalihkan perhatiannya dari Thorn dan melihat keadaan di sekelilingnya. Ia berada dalam sebuah ruangan gelap berdinding dan berlantai kayu. Hanya sebuah lentera kecil yang terpasang pada dinding ruangan itu yang menjadi sumber penerangan. Tidak ada jendela pada ruangan itu, hanya ada lubang-lubang kecil didekat atap sebagai satu-satunya ventilasi udara.
"Pondokan kecil yang dijadikan markas pemburu haram itu," jawab Solar. Ia mengulurkan tangannya kepada Halilintar dan menawarkan bantuan untuk kakaknya itu berdiri.
Halilintar yang masih duduk bersila mengangkat kepalanya dan memandang kearah adiknya itu. Dadanya terasa sesak dan seperti ditusuk-tusuk melihat Solar dalam keadaan tangan yang terikat seperti itu, namun Halilintar masih bersyukur bahwa keadaan Solar ridak seburuk dirinya sendiri
Dari duduk bersila, Halilintar berhasil mendorong dirinya setengah berlutut sebelum Solar membantunya berdiri tegak dengan cara mengamit tangannya yang terikat dibelakang badannya.
"Minimal ikatan tali ditanganku ini ngga terlalu ketat," ucap Halilintar yang merasa sedikit lebih lega ketika sudah berdiri diatas kedua kakinya.
"Bisa lepas kak?" tanya Solar yang memandang Halilintar dengan penuh harap.
Halilintar menggelengkan kepalanya. "Mungkin bisa kalau lenganku ngga diikat ketat begini." keluhnya seraya mencoba menggerakkan tangan dan lengannya. Kalau saja lengan dan badannya tidak terikat, Halilintar mungkin masih bisa mencoba menarik tangannya yang diikat membentuk sudut siku-siku. "Bagaimana dengan Thorn?" tanya Halilintar seraya menengok kearah adiknya yang tertidur.
"Lukanya cuma diusap kapas dan dan alkohol saja," jawab Solar sembari berjalan mendekati Thorn. "Jangan tanya seperti apa Kak Thorn menjerit-jerit kesakitan waktu lukanya dibersihkan dengan paksa tadi."
"Jahanam kau BoraRa," desis Halilintar sembari bergidik ketika ia membayangkan seperti apa rasa sakit yang dialami Thorn.
Luka yang menganga hampir selebar dua ibu jari dan hampir sepanjang telunjuk tangan akibat terserempet peluru saja sudah tentu luar biasa sakitnya. Apalagi kalau luka seperti itu dibersihkan paksa dengan alkohol dan kapas saja. Belum lagi perawatan itu pasti dilakukkan tanpa perasaan. "Sudah berapa lama dia tidur?" tanya Halilintar yang masih menatap kearah Thorn.
Solar menghela napas panjang. "Entah. Aku pun ngga tahu sudah berapa lama kita disekap disini, kak," jawabnya dengan suara yang pelan dan lirih. "Aku takut Kak Hali ... Kak Thorn juga kehilangan banyak darah dan mungkin lukanya infeksi."
Halilintar meneguk ludahnya ketika ia melihat tatapan mata Solar yang biasanya awas dan penuh rasa ingin tahu itu terlihat sendu dan nyaris hampa seakan harapan hidupnya pupus. Ingin sekali rasanya Halilintar memeluk adiknya itu untuk menenangkannya, namun tidak ada yang bisa ia perbuat dengan lengan dan tangan terikat. "Selama masih ada aku, ngga akan kubiarkan pemburu haram itu menyentuh kalian," ucap Halilintar.
Solar menggelengkan kepalanya perlahan dan tatapan matanya semakin sendu. Ia berjongkok sebelum duduk diatas lantai kayu tempat dirinya disekap dan disisi Thorn. Sejenak tangannya meraba kening Thorn yang terasa lebih hangat daripada biasanya. "Kak Hali... Aku tahu apa rencana BoraRa dan para pemburu itu." lirih Solar seraya menolehkan kepalanya kearah kakaknya yang tertua.
"Disuruh kerja paksa untuk mereka?"
"Itu masih lebih baik kak, apalagi Kak Hali kuat ...," ucap Solar dengan suara yang gemetar. "Aku yang lemah begini..."
"Memang apa yang kau dengar dari mereka, Sol?" tanya Halilintar sembari berlutut dan mendudukkan dirinya disamping adiknya yang terlihat gelisah dan ketakutan itu.
Tidak tahan lagi, Solar menghempaskan dirinya dan mendaratkan kepalanya keatas pangkal paha Halilintar yang tengah duduk bersila. "Aku ... habislah aku kak ...," lirihnya dengan suara yang tercekat ditengah sesegukan kecil yang ditahan-tahan. "Mereka mau menjual aku."
"Apa?!" Jantung Halilintar terasa berhenti berdetak ketika ia mendengar perkataan adiknya itu. "A-apa maksudmu?"
"Kita saksi mata perbuatan mereka, kak ..." Setitik air mata menetes dari sudut mata Solar yang tidak tertutup kacamata model visornya. "Mereka ... akan memaksa Kak Hali bekerja untuk mereka ... atau Kak Thorn akan disakiti ... Aku yang lebih lemah ... akan mereka jual"
"Bedebah ..." Halilintar hanya bisa mengutuk sembari menatap kebawah, kearah tubuhnya sendiri yang masih berbalut kaus armless merah serta terlilit berutas-utas tali yang melewati dada dan lengannya. Ingin sekali rasanya ia menggelepar dan berontak untuk melepaskan ikatan tali yang mengekang dirinya. Namun Halilintar tahu bahwa sekeras apapun usahanya, ia tidak mungkin lolos dari lilitan tali yang mengikatnya. "Manusia pun mereka jual seperti binatang ..."
Solar mengangukkan kepalanya seraya menyeka air matanya dengan punggung tangannya. "Aku takut kak ... akan jadi apa aku?"
Bibir Halilintar terlihat berkedut-kedut ketika ia berupaya untuk tetap terlihat tegar bagi adiknya yang paling kecil itu. "Tenang, Solar ... masih ada Taufan, Gempa dan yang lainnya... Mereka pasti mencari kita." ucap Halilintar dengan suara tercekat. "Solar... maaf, aku ngga bisa ... memelukmu."
.
.
.
Bersambung.
