Chapter 4

A Way Back to the Light

.

Tak sampai satu menit yang lalu ia mendengar nama lahirnya—Ben, dari bisik suara ibunya yang menggema, terasa hingga saat ini. Ketika itu ia terdiam, menoleh. Ketika suara itu didengarnya, dunianya seakan terhenti. Lightsaber merahnya yang meraung-raung seketika mati, melayani dengan baik tuannya yang hasrat bertarungnya seakan hilang tak berbekas. Seluruh ototnya terasa lemas hingga lightsaber tersebut dapat lolos dari genggamannya. Ia samar dapat melihat wajah ibunya, nampak lelah, nampak letih. Wanita renta itu terlihat lemah, namun dari sorot matanya yang redup terdapat cahaya harapan yang ditujukan kepadanya. Sorotan mata itu membuat hati Kylo merasa bersalah, menorehkan pilu. Kylo sadar panggilan sang ibu padanya menguras energi yang amat banyak, terlebih dirinya memilih untuk tidak menjadi seorang Jedi ataupun insan force sensitive yang telah berlatih intensif untuk menjadi salah satunya. Menggapainya dalam jarak yang amat jauh, memanggil nama lahirnya melalui Force, menggapai hati kecil Ben-nya. Tak salah lagi, tindakan itu mampu merenggut nyawanya. Satu detik setelahnya Kylo dapat merasakan lightsaber merahnya menembus tubuhnya, terasa seakan bara api menggerogoti rongga tubuhnya. Ia tidak bereaksi, selain lurus ke depan menatap mata Rey yang menusukkan lightsaber itu padanya. Hatinya yang mencelos seakan mengubah segalanya menjadi mati rasa, berkali lipat ketika Rey dengan lirih mendesiskan nama ibunya, terbelalak ketika merasakan nyawanya sudah tak lagi bersama mereka.

"Leia!"

Saat itu lightsaber di genggaman Rey mati. Tubuh Kylo yang terbebas dari lidah lightsaber merahnya tanpa sadar terhempaskan begitu saja ke belakang. Punggungnya membentur keras logam hitam puing-puing Death Star, sisa peperangan terdahulu. Kylo menatap tak fokus pada apapun yang tertangkap di depan matanya. Ketika ia merasakan Rey memandanginya, rasa sakit mulai merambat kembali dari ujung sarafnya. Luka menganga di tubuhnya seakan menjerit, Kylo mendapati dirinya kesulitan bernapas.

Rey yang sedang memandangnya segera menyadari itu. Gadis itu berlutut di sebelahnya, menyadari apa yang barusan ia lakukan pada pria bersurai hitam itu. Rey memandangi lukanya yang menganga, kemudian teringat bahwa sedikit di bawah luka itu terdapat nyawa lain di tubuh Kylo yang sebelumnya ia rasakan dalam force bond mereka. Pupil Rey bergetar, atas tindakannya pada Kylo, nasib kelangsungan nyawa mungil di sana bisa saja berakhir di tangannya. Rey bisa merasakan kehadiran dan detak jantungnya yang teratur, namun hanya sampai itu yang bisa dirasakannya. Gadis itu tidak tahu apakah nyawa itu baik-baik saja atau sebaliknya.

Kylo sudah kehilangan ibunya, Rey tidak ingin pria itu kehilangan satu anggota keluarganya lagi.

Rey mengulurkan tangan kirinya, menyentuh tubuh Kylo di tempat yang tak jauh dari lukanya. Rey berkonsentrasi menyembuhkan luka itu melalui Force, ia memastikan pula nyawa kecil di tubuh pria itu juga mendapatkannya. Perlahan luka Kylo disembuhkan, diakhiri dengan kulit yang menutup daging dengan sempurna, seakan tidak pernah terjadi kerusakan apapun di sana. Kini Kylo mampu bernapas seperti semula.

Kylo memandang Rey. Ada rasa heran mengapa gadis ini sampai menggunakan force healing pada dirinya. Apakah dia merasa bersalah karena sudah melukainya? Apakah ia merasa bersalah pada Kylo, atau pada makhluk kecil di tubuhnya yang kondisinya—sepengetahuan Rey—sangat rentan?

"Aku berniat menerima uluran tanganmu. Uluran tangan Ben." Ucap Rey. Lima detik setelahnya ia berlari, pergi meninggalkan Kylo sendiri.

.

.

Usai melempar jauh-jauh lightsaber merahnya, Kylo—

Tidak, bukan lagi Kylo.

Seperti yang beberapa saat lalu dikatakan ayahnya lewat alam bawah sadarnya, Kylo Ren telah mati.

Maka dari itu ia membuang lightsaber dengan kristal kyber merah yang retak itu, membiarkannya terbenam di dasar laut, mati ditelan alam dan usia. Seperti ia ingin Kylo Ren mati untuk selama-lamanya.

Kini ia telah kembali ke sisi terang Force.

Kini Ben paham betul-betul apa maksud dari nyawa kecil yang diberikan Force untuknya, untuk mengembalikan dirinya yang dahulu.

Ben.

Ya. Ben Solo.

Nama yang diambil dari seorang Jedi Master tangguh di masa lalu yang membantu membebaskan ibunya dari kurungan di Death Star. Jedi Master yang menjadi guru dari paman dan juga kakeknya. Ben Kenobi. Jedi Master Obi-Wan Kenobi. Ben Solo tak pernah bertatap muka dengan sosok dibalik namanya itu. Namun ia tahu Obi-Wan Kenobi pastilah seorang pria yang hebat, bahkan di seluruh galaksi.

Lama setelah berkeliling di sepanjang puing-puing Death Star demi mencari kapal yang masih layak terbang, kini Ben berada dalam sebuah TIE Fighter, meninggalkan Kef Bir dan memacu dalam kecepatan cahaya. TIE Fighter yang digunakannya terhitung lambat dibandingkan dengan TIE Whisper miliknya—milik Kylo Ren—yang memilki teknologi yang setidaknya 30 tahun lebih canggih. Sayang sekali ia tak bisa terbang menggunakan TIE Whisper itu karena tampaknya Rey mengambilnya setelah mengakhiri duel mereka.

Tak banyak yang dapat Ben lakukan di sebuah TIE Fighter yang dalam kecepatan cahaya. Ia bergeming di kursi pilot. Matanya mengarah pada kokpit, namun ia tidak sepenuhnya menatapnya, tenggelam dalam pikirannya.

Tangannya menjangkau dan berhenti di perutnya. Ibu jarinya bergerak perlahan, mengelus kurva kecil di sana. Tempat janinnya berkembang.

Kita akan baik-baik saja, bukan?

Ben berbisik sembari memfokuskan pikirannya pada detak jantung janin di perutnya.

Barusan lightsaber menembus tubuhku, namun kau tidak apa-apa. Kau bertahan, seakan tak ada yang terjadi.

Dan Ben bersyukur atas itu.

Kau tahu, aku tak ingin lagi, ketika kau datang ke dunia, kau harus berhadapan dengan omong kosong orang-orang seperti Palpatine. Aku sudah muak.

Kita sedang dalam perjalanan ke Exegol. Akan aku kalahkan Palpatine bersama Rey. Kami akan berdampingan mengalahkannya.

Bersama dengan hancurnya Palpatine dan First Order, akan kami bawa kedamaian yang selama ini diperjuangkan ibuku.

Aku hanya berbekal sebuah blaster, namun kau yakin kita akan baik-baik saja 'kan? Kau mendukungku, bukan begitu? Aku tahu kita tak akan kalah semudah itu.

Dan lagi, aku tahu kau anak yang kuat.

Ben tersenyum lembut.

Ya. Akan ia bawa kedamaian bersama dengan runtuhnya Palpatine. Akan ia ciptakan galaksi tanpa ada lagi omong kosong peperangan. Bagaimanapun, Ben ingin mempersiapkan hidup yang lebih baik untuk janin di perutnya kelak.

Omong-omong soal itu, beberapa minggu yang lalu, Ben sempat membaca tentang Pemberian dari sisi terang Force. Semacam studi literatur kecil-kecilan yang ia kumpulkan dari tumpukan buku tua maupun buku digital dari datapad miliknya. Sebetulnya ia cukup terkejut bisa mendapatkan sumber sebanyak itu dari database First Order. Mungkin karena ia seorang Supreme Leader juga, sehingga ia memiliki akses untuk seluruh data yang ada. Kumpulan sumber itu juga memperkuat bahwa nyawa Pemberian Force tidak dapat dimusnahkan, dan apa yang akan terjadi bila ada yang mencoba melakukannya. Dari apa yang Ben dapatkan, janin Pemberian Force memiliki daya tahan yang amat kuat. Meski pertumbuhan dan perkembangannya seperti janin pada umumnya—sesuai spesies orang yang mengandung tentunya, janin yang berasal dari Pemberian Force mampu bertahan hidup dalam kondisi apapun. Keberadaannya tidak akan terpengaruh dengan keadaan orang yang mengandungnya, baik secara fisik maupun mental. Cukup menjelaskan pada Ben bagaimana janin di tubuhnya masih bertahan hingga detik ini meski beberapa saat lalu tubuhnya ditembus lidah lightsaber. Bukan hanya itu, ketika di Pasaana, TIE Whisper-nya mendarat jauh dari kata mulus berkat sayap kirinya yang dirusak Rey. Namun voila, sama seperti Ben, janin di perutnya bertahan seakan tidak terkena dampak apapun.

Ben pun belum merasakan gejala kehamilan pada dirinya, terlepas dari rasa lelah yang lebih cepat datang dan kurva kecil yang perlahan mulai membusung di perutnya. Gejala kehamilan pada kasusnya bertempat pada waktu yang bervariasi, dapat datang kapan saja. Beberapa kasus menunjukkan gejalanya baru muncul di luar waktu yang pada umumnya terjadi pada trimester pertama. Yang pasti, gejalanya akan ia rasakan, entah satu atau dua bulan mendatang. Membayangkan dirinya yang bolak-balik kamar mandi untuk muntah membuatnya bergidik. Belum lagi moodswing. Ia hanya berharap melempar tantrum bukanlah salah satunya, ia tak ingin gelagat Kylo Ren kembali muncul di permukaan meski ia tengah hamil sekalipun. Karena meski tak berpengaruh pada janinnya, ia tak ingin kondisi mentalnya naik-turun terlalu drastis selama kehamilannya. Ia ingin kehamilannya berjalan senormal mungkin. Yah, walaupun ia sebagai pria yang hamil adalah hal yang jauh dari kata normal.

It is a gift for you. Take care of it, it may save lives.

Suara itu menggema dalam pikiran Ben.

Tepat. Nyawa Pemberian itu sudah mengubur Kylo Ren dan menyelamatkan Ben—

Tunggu dulu, bisiknya. 'It may save lives'? Dahi Ben berkerut heran.

Ada perubahan dalam kalimat terakhir. Selama 3 bulan ini, Ben ingat tiap kata yang menggema dalam pikirannya. Berulang dengan suara dan nada yang sama. Nyawa Pemberian Force ini dapat menyelamatkan nyawanya. Selama ini, yang ia dengar hanyalah nyawanya.

Namun 'save lives'? Kata itu datang dalam bentuk jamak. Itu berarti kini bukan hanya nyawanya yang dapat diselamatkan, bukan begitu? Nyawa siapa lagi yang dapat Force beri kesempatan kedua melalui janin di perutnya?

Apakah Mum? Pikir Ben.

Nyala lampu kecil yang berkelap-kelip diikuti suara beep beep yang berasal dari arah kokpit menyadarkan Ben dari lamunannya. Pengingat ia harus segera menonaktifkan kecepatan cahaya pada kapalnya atau akan fatal akibatnya.

Ben keluar dari kecepatan cahaya, tepat di hadapannya planet kehitaman yang terlihat mencekam. Exegol. Dia sudah sampai.

Barangkali ia harus menunda dulu apa maksud perubahan kalimat terakhir yang biasa ia dengar di kepalanya itu.

Ben menarik napas dalam-dalam. Kini, biarlah ia berfokus dulu untuk melenyapkan Palpatine.

Tanpa rencana apapun. Hanya berbekalkan sebuah blaster.

Ia benar-benar merasa seperti seorang Solo karena itu.

Ia mengeratkan pegangannya pada stir kapal. "Oke, mari kita lakukan ini."