Neko mengurung diri di ruangannya. Dengan wewenangnya sebagai kanchoudairi, ia memerintahkan penghuni perpustakaan untuk menyibukan diri dengan kegiatan mereka masing-masing. Shuusei sempat mampir ke ruangannya sembari membawa sepiring tuna. Neko tidak membiarkan seringai semakin terlihat dari wajah sastrawan itu, jadi ia segera mempersilakannya keluar demi menyembunyikan rasa malunya.

(Memangnya apa yang salah darinya memakan ikan? Grup Dazai memang terlalu berlebihan!)

"Aneh, ya." Buku yang berserakan di atas meja menjadi fokus Neko, tapi ucapannya ditujukan untuk batu zamrud melayang yang berada tak jauh darinya.

Sejak perpustakaan ini diisi oleh mereka, Neko diberi dua tugas. Pertama melindungi literatur dengan bantuan dari para sastrawan yang dibangkitkan kembali, dan yang kedua, mempelajari sumber dari yang mereka lawan selama ini.

Shinshokusha masih menjadi misteri. Keberadaan mereka yang tak berhasil dideteksi membuat Neko dan Alkemis harus selalu siap jika proses penodaan terjadi pada sebuah buku dan penulisnya. Jika mereka sampai lengah, suatu karya akan lenyap begitu saja dan eksistensinya tidak akan diketahui oleh siapapun lagi.

Mengenai asal usulnya, Neko mulai mengerti setelah mengamati kejadian demi kejadian yang dialami beberapa penulis. Berdasarkan keterangan Akutagawa, mereka muncul ketika pikirannya sedang di titik cukup buruk. Ia ingat rasa rendah diri yang mengusik pikirannya hingga ungkapan ingin melenyapkan karya sendiri keluar dari mulutnya, membuat dirinya terjebak di dalam bukunya.

Ada pula kejadian di mana penulisnya terjebak sebelum diselamatkan. Neko menyadari jika mereka yang bukunya diserang cenderung menyimpan sesuatu di dalam hatinya, seperti Dazai yang tidak bisa mempercayai orang misalnya. Saat Shinshokusha berhasil menarik ingatan dan mengubahnya sesuai harapan mereka, itu akan membuat buku mereka semakin dikuasai.

Salah satu cara untuk mencegahnya adalah dengan mengalahkan Shinshokusha. Tentu tidak mudah, terlebih jika penulisnya sendiri masih terbayang-bayang sebagai pemeran utama dalam ceritanya, maka tugas sebelum menghentikan penodaan adalah menyadarkan mereka. Dengan begitu, kemampuan Shinshokusha dalam menodai akan berkurang dan peluang mengalahkannya semakin besar.

Neko menemukan hal menarik saat mewawancarai mereka. Buktinya kurang banyak, tapi ia merasa ada kemungkinan Shinshokusha menyerang penulis yang mudah disentuh hatinya. Berikan Ango ingatan ditinggalkan Dazai dan Oda, selipkan Saisei yang berpindah haluan menjadi penulis novel pada Saku, maka dengan sendirinya mereka akan berada pada titik terburuk seperti yang Akutagawa jelaskan.

Bukan cuma itu saja penemuannya. Pada sesi tanya jawabnya dengan Hori, ia menyadari bahwa tingkat kesadaran bisa menentukan seberapa besar Shinshokusha dapat menodai sebuah buku. Dalam kasus Hori, bukunya hanya mengalami penodaan kecil menuju sedang, berbeda dengan yang lain yang cenderung sedang ke besar.

Menurut kesaksian Saisei, Hori dapat mengontrol dirinya sendiri meskipun Shinshokusha mencoba menguasai pikirannya. Ia mampu sadar dan melakukan perlawanan. Shinshokusha berwujud ular cukup sulit mereka tangani (sama seperti yang sebelum-sebelumnya), tapi kenyataan Sei Kazoku tidak mengalami penodaan besar menunjukan perbedaan yang kontras.

"Shinshokusha menyerang hati manusia yang mudah dipengaruhi." Neko berhenti sejenak. Kesimpulannya masih belum selesai. "Tapi, mereka juga bisa menyerang meskipun si pemilik buku tidak mengikuti alur yang mereka buat."

Heningnya ruangan dan bisunya Alkemis membuat Neko semakin pusing sendiri. "Kita masih kekurangan data. Percuma ditelaah sekarang."

Ikan tuna di piring mengusik penciuman Neko. Hewan itu memutuskan untuk istirahat dulu dan menyantap makanannya. Saat satu gigitan berhasil ia tanamkan, batu Alkemis mengeluarkan kilauan yang membuat Neko nyaris tersedak.

"Ah, benar juga." Neko meninggalkan hidangan tersebut. Fokusnya kembali pada Alkemis yang melayang-layang. "Aku sampai lupa."

Alkemis membahas tentang rangkaian kejadian selama ini dengan satu orang yang selalu terlibat. Awalnya mereka pikir itu hal biasa, mengingat orang itu salah satu pendatang pertama di perpustakaan ini. Namun, setelah mengetahui 'aturan' dalam melakukan delving, mereka mulai mempertanyakannya.

(Kenapa tidak ada batasan untuknya?)

"Semua orang di sini setidaknya mengenal siapa dirinya, terlepas mereka pernah bertemu atau tidak." Salah satu kaki Neko ia letakkan di atas buku merah berjudul Rashomon. "Seakan-akan di pertarungan melawan mereka, dia-lah pemeran utamanya."

Akutagawa Ryuunosuke adalah kasus unik. Saat dibangkitkan, cuma dia yang tidak bisa mengingat apapun tentang masa lalunya. Beberapa orang mengalami hal serupa, tetapi mereka hanya sebatas tidak ingat detil semua yang mereka alami, tidak sampai sepertinya yang bahkan tidak mengerti kenapa ia pernah membuat berbagai macam karya.

Ia dapat memasuki semua buku yang mengalami penodaan tanpa kesulitan dan Shinshokusha mengincar orang yang terlibat dengannya sebagai target penyerangan. Singkatnya, eksistensi Akutagawa Ryuunosuke berhak dipertanyakan.

"Dia bisa jadi kunci dalam pertarungan ini atau bahkan sebaliknya." Alkemis setuju dengan pendapat Neko. "Kita perlu mengawasinya, apalagi dia mulai menyelami masa lalunya lewat orang lain."

Keduanya yakin tak lama lagi Shinshokusha akan datang menyerang mereka. Jika saat itu tiba, mereka harus sudah siap dan memastikan bahwa Akutagawa, yang sudah membantu mereka dari awal, adalah pilar utama untuk mengalahkan Shinshokusha.

"Jadi, langkah apa yang sebaiknya kita ambil?"

.

.

.

Rust-colored Gear

Ch 4: Bright Future Ahead

Disclaimer: Bungou to Alchemist belongs to DMM Games

Warning(s): bri moment with akuhori, fluff

.

.

.

Sekarang adalah momen paling mendebarkan bagi Dazai. Ia sedang berjalan menuju suatu tempat. Sebuah ruangan yang tak pernah ia kunjungi sebelumnya, sebuah ruangan yang begitu sakral sampai-sampai ia harus berpakaian rapih layaknya menghadiri acara resmi.

Semua ini berawal dari obrolannya dengan Ango dan Oda. Kekhawatiran tanpa henti Dazai tentang keadaan Akutagawa semenjak perjalanan delving ke Sei Kazoku melahirkan tanggapan dari keduanya. 'Kalau segitu khawatirnya, kenapa nggak mampir ke kamarnya?', Ango bilang begitu, kemudian Oda menambahkan, 'Aku yakin Akutagawa-sensei bakal seneng dikunjungin sama kamu'.

Jika menilik dari kejadian pasca kepulangan Akutagawa dan yang lain, Dazai membawanya ke ruang pengobatan dan mencari dokter (Shuusei) untuk merawatnya, tapi ia tidak menunggui Akutagawa di sana. Ia sadar bahwa pandangan Akutagawa tertuju pada Hori yang berada di dekat pintu; terlihat jelas kecemasan tergambar di wajah pemuda bertubuh mungil itu.

Berbekal lirikan bermakna 'hari ini pemeran utamanya kamu' pada Hori, Dazai pamit meninggalkan keduanya. Kadang-kadang ia menguping dari Saisei dan Saku tentang betapa cerianya Akutagawa dan Hori selama Akutagawa memulihkan lukanya, jadi Dazai merasa bangga atas pilihannya.

Namun ... ia juga mau bertemu dengan Akutagawa! Masih banyak hal yang ingin ia bahas dengan idolanya itu, dan saat ia memutuskan untuk menemuinya, ternyata Akutagawa sudah pindah ke kamarnya. Dengan berlari kencang, Dazai menumpahkan kesedihannya pada dua temannya yang berujung dirinya melangkah ke kamar Akutagawa.

"Nggak masalah, 'kan?" Dazai berusaha meyakinkan diri sendiri. "Toh, aku tinggal bilang 'Sensei! Gimana kabarnya?!' seperti biasa. Yah, pasti bisa, lah."

Sayangnya, tangannya yang gemetar saat memegang kenop pintu tidak sesuai dengan ucapannya. Ia belum siap hati. Bagaimana isi kamar Akutagawa? Apakah tempatnya dipenuhi buku-buku berkelas? Atau justru nuansa Jepang seperti lantai tatami dan futon?

"Duh, aku nggak bisa bayang—"

"Dazai-kun?"

Suara orang memanggil namanya membuat Dazai menghentikan imajinasinya. Yang memanggilnya barusan Touson.

"Shimazaki-sensei? Tumben ada di sini."

"Kamu mau ke kamar Akutagawa-kun?" Dazai mengangguk. "Aku juga datengin dia."

"Mau ngobrol?" Dazai tidak percaya dengan ucapan Touson. "Nggak masalah, tuh?"

"Niatnya sih gitu." Touson berjalan menuju pembatas. Matanya melihat ke bawah. "Tapi, kayaknya sejak pagi dia udah diajak Hori-kun pergi."

"Hah? Ke mana?"

"Itu ..."


Dazai membuka ruangan demi ruangan tanpa permisi sampai akhirnya menyisakan ruang makan yang belum diperiksa. Dibanding debar lantaran belum siap, ia justru merasa takut sekarang. Bukan, bukan takut Akutagawa akan terlibat sesuatu berbahaya, melainkan ...

Ia tahu Hori adalah murid Akutagawa di masa lalu. Hubungan mereka sungguh baik, setidaknya itu yang Dazai ketahui dari orang-orang. Jika dipertemukan dengan orang yang sangat dekat sekali lagi di sini, apa yang kira-kira dilakukan seseorang?

Jawabannya tentu saja bernostalgia, membahas keadaan masing-masing, dan mendekatkan kembali hubungan yang sempat terpisahkan. Dazai pun begitu dengan dua temannya, jadi tidak aneh jika Akutagawa melakukan hal yang sama dengan Hori.

Yang menjadi ketakutan Dazai adalah kemungkinan-kemungkinan Akutagawa tak lagi menganggap keberadaannya ada karena murid (aslinya) sudah datang dan menempati tempat tertinggi di hatinya. Ia panik, panik sekali. Jika itu benar terjadi, lantas apa artinya ia hidup sekarang? Lebih baik ia biarkan mencari lubang hitam dan masuk ke dalamnya.

"Selesai sudah hidupku ..."

"Woi, Dazai! Ngapain mewek di depan?" teriakan Ango mengacaukan rencana akhir hidupnya. "Cepet masuk! Yang kamu cari ada di sini!"

"Ayo masuk, Dazai-kun!" Oda tak mau kalah. "Aku bikin kare, lho~"

Dengan perasaan setengah-setengah, Dazai membuka pintu ruang makan perlahan-lahan. Ia membayangkan situasi di mana bunga-bunga menghiasi sekitar Akutagawa dan Hori yang sedang mengobrol seru, kemudian Dazai kebagian peran sebagai figuran yang makan kare bersama dua temannya di pinggiran.

Aku cuma butir beras—

Tapi, rupanya anggapannya salah. Yang ia lihat justru sesuatu di luar ekspektasinya. Ango duduk di kursi paling dekat dari pintu masuk, Oda sedang membagikan piring kare, Hori sedang menyisir rambut Akutagawa, dan Akutagawanya sendiri memejamkan mata sembari cemberut.

"A-Akutagawa-sensei?!" Dazai tidak mengerti situasi apa yang terjadi sampai-sampai Akutagawa tampak kesal begitu. "Kenapa?!"

"Oh, ada Dazai-kun?" Akutagawa membuka matanya. Senyum tidak niat ia keluarkan. "Aku nggak apa-apa, kok."

"Ini demi kesehatan Akutagawa-san, lho." Menyadari rambut gurunya sudah rapih, Hori memasukkan sisirnya ke dalam kantong. "Tolong mengertilah."

"Tacchanko, aku baru pulih ..."

"Sakit atau sehat, mandi itu penting!"

Perdebatan mereka tidak dapat dimasuki siapapun. Dazai hanya bisa melongo memerhatikan Akutagawa yang masih tidak senang dan Hori yang menceramahinya.

"Eh ... aku ketinggalan apa?"

"Kayaknya Akutagawa-sensei ngambek gegara Hori-sensei ngajak dia mandi." Oda menjelaskan. "Terus sekarang—"

"Kok enak, ya?"

"Da-Dazai-kun?"

Kenapa Dazai tidak kepikiran sama sekali? Padahal ia sudah ada di perpustakaan ini sejak berminggu-minggu lalu, tapi kenapa ia tidak kebayang mengajak Akutagawa berendam bersama? Coba bayangkan, bayangkan jika mereka pergi bersama ke tempat pemandian dan Akutagawa kesulitan menggosok punggungnya. Dazai pasti siap membantunya!

"Seharusnya kita bisa pakai yukata semotif dan santai-santai ngobrol di sini ..." Dazai berandai-andai. "Kenapa aku nggak pernah ngajak ... bodoh banget ..."

"Te-tenang dulu, Dazai-kun."

"Mandi tuh ribet." Akutagawa mengeluarkan opini utamanya tentang kegiatan itu. "Asal ngelakuinnya beberapa kali mestinya udah cukup."

"Harus dibiasakan, Akutagawa-san."

"Dibalik sikap manisnya, ternyata Hori-sensei blak-blakan juga, ya." Oda mengomentari perdebatan mereka yang masih berlangsung dengan suara kecil. "Pokoknya demi kebaikan Akutagawa-sensei, dia bakal—"

Suasana menjadi hening saat Hori meletakkan sekotak rokok di tempat Akutagawa.

"Karena harus istirahat, Saisei-san nyita rokok Akutagawa-san, 'kan?" Hori menatap gurunya, kali ini sedikit melunak. "Jadi, kupikir Akutagawa-san sudah kangen sama itu. Makanya kubawakan."

"Tacchanko ..." Akutagawa tak menyembunyikan wajah terharunya. "Kamu emang paling pengertian, ya."

"Selama tau batasannya, aku nggak masalah sama kebiasaan merokok Akutagawa-san, kok."

Dari sudut pandang orang awam, terlihat jelas bahwa sikap Akutagawa tidak seperti biasanya. Di sini, dihadapan Hori, keseriusannya seketika tergantikan dengan sikap manja. Dazai yang baru pertama kali melihat hal itu tidak menganggapnya buruk; ia pikir Akutagawa yang lebih santai sama berharganya dengan yang biasanya.

Tapi, peranku—

"Hm, maaf ya kalian jadi denger keributan yang sia-sia." Akutagawa sudah tidak cemberut lagi. Ia membuka kotak rokok dengan wajah berseri. "Makasih atas kare-nya, Oda-kun."

"Iya, makan aja, Sensei!"

Dazai hendak duduk di sebelah Ango, jauh dari Akutagawa, tapi ia dihentikan oleh Hori. Kursi kosong di sebelah kiri Akutagawa ditarik Hori. "Dazai-san, duduk di sini aja!"

"Nggak apa-apa?"

"Ya, nggak apa-apa, dong." Akutagawa mengetuk meja bagian kursi kosong itu. "Sini, Dazai-kun."

Tawaran tersebut tentu tidak ditolak Dazai. Debaran yang ia rasakan saat ke kamar Akutagawa kembali terasa. Pikiran jeleknya barusan seakan terbang begitu saja.

"Ah, aku nggak bawa pemantik." Rokok sudah menggantung di mulutnya. Akutagawa baru sadar. "Padahal udah siap."

"Hmm ... aku bawa nggak, ya ..." Hori mencari-cari di kantongnya. Nihil. "Kayaknya aku nggak bawa. Mau pakai rokok pipaku saja?"

"Hori-sensei ngerokok juga?"

"Eh, nggak, sih ..." Hori melambaikan tangannya tanda penolakan. "Rokok pipa itu—"

"Oh!" Akutagawa spontan berteriak. "Aku pernah ngasih ke kamu, ya?"

"Akutagawa-san ingat?"

"Sedikit," jawab Akutagawa. "Tiba-tiba ingatan aku beli rokok pipa buat kamu kebayang."

Benda yang dibicarakan dikeluarkan Hori. Sebuah pipa rokok pipa antik ia serahkan pada Akutagawa. "Aku menyimpannya dengan baik. Aku bersyukur bisa terbawa sampai ke sini."

"Dan benda itu membantu Akutagawa-sensei menggali ingatannya." Dazai menyimpulkan. "Syukurlah."

"Pipa itu cukup menolong, tapi kurasa Dazai-san jauh lebih menolong."

"Hee?"

"Sejak kemarin, aku sudah dengar banyak cerita dari Akutagawa-san." Hori melirik Akutagawa, kemudian menoleh ke Dazai yang ada di sebelahnya. "Dazai-san banyak membantu Akutagawa-san selama ini."

"Ma-masa', sih?" Dazai jadi kikuk. "Kayaknya aku nggak berkontribusi banyak ..."

"Awalnya sulit dikasih tahu," ujar Akutagawa, "tapi, ke sini-sini malah aku yang ditolong dan disemangati sama Dazai-kun."

"Nah, betul, 'kan?" keceriaan Hori semakin menyilaukan Dazai. "Aku sangat lega pas tahu ada orang yang sangat hebat ada di samping Akutagawa-san."

Dazai yang berpikiran negatif sebelumnya tidak menyangka akan mendapat pujian seperti ini. Apakah ia benar-benar menolong Akutagawa selama ini? Bukankah ia hanya merepotkan saja? Tapi ucapan itu ... tidak mungkin bohong, 'kan?

"Kalau disanjung kaya gitu, dia bisa langsung mati, lho." Ango menimpali.

"Meski kata-kata Ango kelewatan, tapi aku setuju, deh."

"Da-Dazai-san?"

Ia tak pernah bermimpi akan kedatangan hari ini. Rasa-rasanya anggapan negatifnya tentang Hori seketika lenyap dan tergantikan oleh rasa malu. Bagaimana bisa ia menaruh rasa iri pada orang yang sangat sangat tulus sepertinya? Dazai benar-benar keterlaluan!

"Terima kasih, Hori-sensei!" Dazai bangkit dari tempat duduknya. Ia meraih tangan Hori. Bulir-bulir air mata bergelinang di pipinya. "Aku janji nggak bakal seenaknya mikir macem-macem lagi. Mari sama-sama jadi murid Akutagawa-sensei mulai hari ini."

"A-aku kurang ngerti maksudnya, ta-tapi ... sama-sama." Hori membalas pegangannya. "Semoga kita bisa bekerja sama dengan baik, ya."

"Iya!"

Mereka menikmati kare buatan Oda dengan khidmat. Dazai sangat bahagia sampai-sampai ia tak sadar Oda dan Ango melempar bahan makanan lain ke piringnya. Ia terus memakannya tanpa peduli apapun yang ia telan sampai habis.

"Apa ada hal lain yang kamu ingat, Tacchanko?"

Kare mereka semua telah habis. Hori membuatkan teh untuk mereka semua sebagai ungkapan terima kasih telah diberi kare.

Saat ia selesai membagikannya, ia menjawab, "Hmm ... yang kuingat ... cuma pas jadi murid Akutagawa-san."

"Kamu udah bilang, ya." Akutagawa bertopang dagu. Ia memikirkan apa lagi yang perlu dibahas. "Ah, aku tahu. Gimana kalau kamu cerita soal kamu?"

"Cerita ... soal aku?" Hori kesulitan mencerna pertanyaannya. "Apa nggak yakin itu bisa membantu Akutagawa-san."

"Lho, jelas bisa, dong," bantah Akutagawa. "Kamu pernah jadi muridku dan Sei Kazoku dibuat untukku. Sesuatu dari sana pasti bisa membantuku."

"Tapi ..."

"Cerita, cerita!" Dazai mengompori. "Sejarah Hori-sensei pasti menarik!"

"Aku ... cuma penulis biasa, kok ..."

"Meski dipikiran Sensei biasa, kita masih tertarik buat dengernya, kok." Oda ikut menanggapi. "Begini begini juga aku pernah berada di bawah ajaran Saisei -sensei, jadi wajar aku penasaran sama yang sama-sama berhubungan dengannya."

"Uh, mulai dari mana, ya ..." Kegugupan tak dapat disembunyikan Hori. Melihat harapan dari orang-orang, ia jadi bercerita. "Aku ... tahu literatur dari temanku. Dia mengenalkanku dengan karya Hagiwara Sakutarou-san. Aku selalu menghabiskan waktu sepulang sekolah membaca Aoneko sampai malam. Bermula dari sana, aku tertarik dengan puisi."

"Aoneko." Ango mengulang judul karya yang disebut Hori. "Banyak yang suka karyanya yang itu."

"Sebenernya aku nggak begitu nyangka juga bakal tertarik sama sastra. Pas aku sekolah di Ichi-ko, aku lebih menyukai matematika dan sains. Tapi memang sudah suratan takdir, ya, aku jadi ingin mendalaminya sampai-sampai aku mempelajari karya penulis Jepang lain bahkan dari luar negeri pun juga kubaca."

"Lalu kapan Sensei ketemu Saisei-sensei?"

"Akhir musim semi di bulan Mei," jawab Hori. "Kalau diingat-ingat rasanya lucu juga. Aku pemalu sekali dihadapannya. Beruntungnya, Saisei-san bersedia jadi mentorku. Selama menjadi muridnya, Saisei-san sering sekali mengajakku ke pertemuan-pertemuan antar sastrawan. Aku yang pemalu ini jadi punya banyak kenalan berkatnya."

Akutagawa terkekeh. "Aku bisa bayanginnya."

"Suatu hari Saisei-san mengajakku ke Karuizawa." Tiba-tiba Hori jadi lebih bersemangat dari sebelumnya. "Di sana aku bertemu Akutagawa-san. Waktu itu aku sudah masuk Teikoku Daigaku. Mulai dari penggambaran prosa bagaikan lukisan indah Henri Rosseau sampai sisi psikologi yang merealistisasikan sebuah karya seperti Strindberg, Saisei-san dan Akutagawa-san berperan banyak dalam perkembanganku sebagai penulis."

"Ichi-ko ... Teikoku Daigaku ..." Akutagawa mengulang nama sekolah Hori. "Apa aku ... dulunya juga sekolah di sana?"

"Betu." Hori mengangguk. "Kebetulan sekali, ya. Menemukan hal yang serupa dengan Akutagawa-san ... aku senang sekali."

"Pertanyaanku mungkin aneh." Akutagawa menginterupsi sejenak. "Kalau aku jadi mentormu, berarti kamu mulai nulis novel. Apa sebelumnya—pas sama Saisei—kamu bikin puisi? Saisei 'kan penyair sebelum jadi penulis."

"Iya!" Hori tampak senang sekali. "Aku sempat membuat puisi. Benar-benar menyenangkan sekali, apalagi mengingat karya yang menarikku ke dunia literatur itu puisi Hagiwara-san."

Tak ada yang bersuara, tapi Hori bisa menangkap rasa ingin tahu dari orang-orang di sini. Ia menahan malunya seraya memulai penggalan syair yang ada di kepalanya.

"Kutsū o gomakasu tame ni

Boku wa shi ni karakau

Inu ni de mo karakau yō ni."

"Lanjut, lanjut!"

"Shi wa boku ni kamitsuite

Kare no inisharu o irezumi shiyō to

Ha o boku no mae ni mukidasu."

"Bagus sekali." Oda sangat terkesima setelah penggalannya selesai Hori bacakan. "Bagiku puisi ini dekat denganku, entah kenapa."

"Sakit dan kematian." Ango mengartikan pesan tersirat dari kawannya maupun dari puisi barusan. "Hm, benar juga."

"Hori-sensei, kapan-kapan ajarkan aku bikin puisi kaya itu, dong!" Mendadak mata Dazai berbinar. Ia sungguh takjub.

"Kayaknya mending kamu belajar dari Hagiwara-san dan Saisei-san daripada aku."

"Nggak apa-apa dong kalau Dazai-kun mau belajar ke kamu." Akutagawa mendukung Dazai ketimbang muridnya sendiri. "Hitung-hitung ngerasain jadi mentor juga."

"Ka-kapan-kapan, deh."

"Asyik! Makasih, Hori-sensei!"

Sebaiknya kita langsung ke pembahasan yang berhubungan sama Akutagawa-san, ya." Semua setuju. Hori melanjutkan. "Setelah itu Akutagawa-san meninggal, tiga tahun kemudian aku membuat Sei Kazoku. Yah, kurasa semuanya sudah tahu seperti apa ceritanya sejak delving kemarin."

Hening. Antusiasme cerita seketika hilang. Atau itu yang Hori takutkan. Tak berapa lama, Akutagawa menanggapi lagi.

"Aku sempat bikin sesuatu menjelang akhir hidupku, 'kan?" Hori mengiyakan. "Tacchanko, bagaimana menurut sudut pandangmu?"

Bukannya menjadi riang kembali, pembahasan justru semakin berat. Trio Buraiha tak merespon apa-apa. Mereka memilih diam sembari mengawasi keadaan sekitar. Hori sendiri masih belum menjawab; ia tidak menaruh ekspektasi akan dipertanyakan begini olehnya.

"Aku ... tidak bisa menjelaskan apapun tentang Aru Aho no Issho ataupun Aru Kyuuyuu ni Okuru Shuki." Hori berusaha mempertahankan suaranya. Siapapun bisa mengetahui betapa 'sensitif' topik yang dibawakan. "Karya-karya itu terlalu dekat dengan jiwa Akutagawa-san, terlalu dekat dengan perasaan Akutagawa-san saat itu. Aku ... sakit sekali jika membahasnya."

"Ah, maaf Tacchanko ..." "Hori-sensei ..."

"Sebaiknya Akutagawa-san membicarakannya dengan orang-orang yang terlibat saja."

"Siapa?"

"Mungkin maksudnya teman sebaya Akutagawa-sensei?" Dazai berasumsi. Ia melirik Hori, dan ia diberi izin untuk menjelaskan maksudnya. "Kadang ada batas yang bisa diketahui seorang murid tentang gurunya. Aku sendiri kalau ditanya soal Haruo-sensei juga pasti nggak banyak tahu seperti temannya. Jika Akutagawa-sensei membahasnya dengan teman dekat Sensei, yang sudah kenal lama sekali, pasti akan lebih kelihatan jawabannya. Kurang lebih begitu."

"Keren sih kata-katamu, tapi aku sampe sekarang juga nggak paham sebagian besar karyamu."

"Ango, sesekali tahan dulu kek kata-kata belakangnya!"

"Teman." Akutagawa menekankan poin yang diucapkan Dazai. "Aku juga berharapnya mereka ada di sini."

Lagipula, mereka sendiri siapa? Akutagawa tak dapat mengingat satupun sosok orang yang bisa ia anggap teman 'dekat'. Saisei dan Saku teman berharganya, tapi jika ditanya perihal ini, mereka juga sama tidak mengertinya dengan Hori. Jadi, 'teman' itu ... siapa? Ia tak merasa dirinya cukup 'terbuka' untuk memiliki satu atau dua.

Ketika pikirannya sedang tak menentu, terkadang ada sesuatu yang membuatnya merasa keberadaannya sungguh mengganggu. Entahlah, yang ia pahami hanya betapa 'jauh' dirinya dari orang di sekitarnya. Ia dekat dengan Dazai, begitupun Hori, tapi ada yang kurang. Bagai ada pembatas yang memisahkannya dengan orang-orang di sini, bagai—

(Orang yang amat kesepian)

"Akutagawa-san tahu Shinshichou?"

"Tidak sama sekali."

"Itu majalah doujinshi yang dibuat teman-teman Akutagawa-san semasa kuliah." Hori sudah kembali tenang. "Shinshichou angkatan Akutagawa-san paling sering jadi sorotan pada masa itu."

"Memangnya ada apa di sana?"

"Uh ..." Mendadak jawabannya hilang, atau bahkan sebenarnya tidak ada di kepala Hori. "Aku lupa. Maaf, Akutagawa-san."

"Nggak apa-apa, Tacchanko." Akutagawa tidak berkecil hati. "Sehabis dengar ceritamu, aku jadi tahu sesuatu."

"Apa?"

"Aku bisa membimbing Tacchanko, meski dalam waktu singkat, hingga dia bisa jadi penulis hebat seperti sekarang ini." Tangan Akutagawa mendarat pada topi Hori. Ia mengelusnya perlahan. "Akutagawa Ryuunosuke di masa lalu juga pasti bangga denganmu."

"Te-terima kasih," balas Hori terbata. "Aku yakin Akutagawa-san akan mengingat semuanya secepatnya."

"Iya." Akutagawa tersenyum terlalu lebar. Aneh. "Tacchanko kalau mau nangis nggak apa-apa, kok."

"A-aku nggak nangis!"

"Wah, pada akhirnya Hori-sensei masih anak-anak, ya."

"Aku bukan anak-anak, Oda-san!"

Akutagawa puas sekali tertawa di saat itu. Ternyata pilihannya mencoba sekali lagi mencari ingatannya adalah pilihan tepat. Semakin ia menyelamatkan penulis yang mengenalnya, semakin dekat pula dirinya dengan 'kenyataan'.

Tinggal sedikit lagi. Ia sudah tahu dari sisi orang awam, dari sisi teman sesama penulis Tabata, dan sekarang dari sisi muridnya. Jika ia berhasil menemukan 'teman'-nya, kepingan puzzle akan terisi dan akhirnya ia bisa menjadi Akutagawa Ryuunosuke yang asli.

Siapapun kalian, segeralah datang ke sini.

Orang bilang apabila seseorang berdoa sungguh-sungguh, harapannya bakal dikabulkan. Akutagawa tidak percaya, tapi lucunya, hal itu langsung terjadi saat Nakahara Chuuya masuk ke ruang makan dan memanggil semua penghuninya untuk berkumpul dengan yang lain.

"Kucing itu bilang Alkemis membangkitkan dua orang baru." Chuuya menunjuk arah keluar, lebih tepatnya ruang kanchoudairi mereka. Matanya tertuju pada Akutagawa. "Dan dia bilang, yang kali ini berhubungan erat denganmu."

To Be Continued


Author's Note: Masih bisa lancar nulis sampe ch 4 itu pencapaian besar banget. Saya sebenernya ekspek cuma sampe ch 3 dan istirahat dulu seminggu, tapi berhubung lagi libur jadi nyoba nulis, deh.

Ch ini cukup susah ditulis, terlebih karena kurangnya info tentang Hori, tapi kebetulan baru banget nemu tesis yang jelasin banyak soal Hori dan itu ngebantu banget (bahkan kalo bisa pengen ngerombak ch delving di sei kazoku karena banyak hal2 menarik yang gak keeksplor di sana).

Saya pikir fic ini bakal punya sedikit ch. Ambilah sekitar 6 atau 7 ch aja. Udah kepikiran mau dibawa ke mana, cuma ngeri-ngeri berkat hal sesimpel 'nemu jurnal/tesis' bisa memperpanjang cerita (kaya ch ini, tapi kalo ini emang pengen eksplor Hori dan hubungannya sama orang2 sih). Ada fun fact yang pengen banget dimasukin cuma gak tau harus masuk di mana. Saisei pernah bikin perkumpulan yg selalu hembusin asap rokok (Pipe no Kai), dan saya pikir itu ada hubungannya sama rokok pipa kepunyaan Hori.

Penggalan puisi yang dibacain Hori judulnya Yamai. Puisinya dibuat setelah Akutagawa (dan Ibunya) meninggal. Itu ngegambarin tentang perasaannya pas pernah sakit tbc (Hori-sensei sempet putus asa pas sakit). Untuk artiannya begini:

To trick the pain

I'll make fun of death

Like making fun of a dog

When death tries to bite

And stamp his initial on me,

He bares his teeth

Untuk referensi ch ini, sebagian besar diambil dari An Introduction To The Literature of Hori Tatsuo buatan John Dale Rucinski.

Makasih udah baca fic ini. Semoga kita bisa sama-sama liat fic ini kelar dan lanjur ke ch 5.