Naruto belong to masashi kishimoto, and I belong to you.

.


"Kenapa kau bisa di sini? Bukannya rumahmu di daerah X, ya?" tanya Sai. Untuk pertama kalinya aku mendengarnya bicara. Aku menatapnya sambil mengangguk. Tiba-tiba aku sadar sesuatu yaitu dari mana dia tahu daerah tempat tinggalku?

"Kamu ke sini sendirian?" tanya Sai dan aku mengangguk. Raut wajah Sai berubah menjadi khawatir. Sai tampak seperti ingin bertanya banyak hal, tetapi Ia urungkan niatnya. "Sini, aku akan mengantarmu pulang," kata Sai.

Aku ragu. Apakah dia benar-benar akan mengantarku pulang? Kebaikan seperti apa yang telah kulakukan padanya sehingga dia dengan sukarela ingin mengantarku pulang malam-malam begini? Pasti Sai punya maksud terselubung. Cukup. Sudah cukup aku dipermainkan oleh Sasuke. Kali ini aku tidak akan lengah. Aku tidak akan dipermainkan oleh orang berambut dan bermata hitam seperti Sasuke lagi.

"Ino...?" aku kembali memperhatikannya setelah melamun cukup lama. Aku tidak merespons Sai. Aku masih perlu waktu untuk berpikir, tetapi sepertinya aku tidak punya banyak waktu karena orang tuaku pasti sudah sadar bahwa aku hilang sekarang.

Tangan Sai ingin menggapai lenganku, tetapi aku langsung memundurkan diriku. masih ada rasa takut saat aku mengingat bagaimana kasarnya Sasuke saat menggapai lenganku. Sai menatapku dengan curiga setelah melihat responsku. Sai menarik kembali tangannya dan duduk di sampingku. "Apa yang terjadi Ino?"

"Aku tadi berencana ke tempat les melewati jalan yang berbeda karena aku ingin jalan-jalan dulu lalu aku berencana akan berhenti di halte A dan turun di seberang lorong lesku. Namun, aku sepertinya salah arah," jawabku. Aku tak berkata bohong di sini.

"Aku tahu arah ke daerahmu. Aku janji aku akan mengantarmu sampai di daerahmu," kata Sai dan aku menatapnya. Anak laki-laki tanpa ekspresi ini terlalu mencurigakan. Namun, lebih bahaya lagi kalau aku tidak bertindak apa pun. Tiba-tiba terlintas di pikiranku sesuatu hal.

"Sai, apakah di sini ada telepon umum? Aku ingin menelepon orang tuaku saja," ucapku kepada Sai. Sai mengangguk dan berkata, "Ada. Aku akan mengantarmu ke sana," aku akhirnya berdiri dan mengikuti Sai. Namun, aku tiba-tiba berhenti melangkah karena aku melihat jalan raya yang sangat macet di sampingku. Seketika Sai juga berhenti dan menatap apa yang kutatap, "Di daerahmu juga sepertinya macet kalau jam begini," aku berbalik menatap Sai. Pikiranku kembali dipenuhi keraguan. Apakah benar jika aku meminta orang tuaku menjemputku? Mereka pasti sangat kelelahan sehabis kerja dan harus menjemputku. Aku harus pulang sendiri.

"Aku akan menelepon orang tuaku dan memberitahunya bahwa aku akan pulang sendiri. Dan aku akan bilang bahwa aku bersama temanku sehingga mereka pasti mengizinkan aku untuk pulang sendiri," ucapku pada Sai dan Sai seperti terkejut, "...teman?" tanya Sai padaku dan aku mengangguk. "Kita teman, 'kan?" tanyaku pada Sai dan Sai mengangguk dengan kaku.

Aku langsung berlari ke arah Sai dan menarik tangannya, "Kita harus cepat!" seruku pada Sai dan Sai mengangguk yakin. Namun, Sai tiba-tiba berhenti sehingga aku tersentak karena tangan Sai menggenggam tanganku dengan sangat erat. Aku berbalik dan bertanya, "Ada apa Sai? Apa kau tidak bisa menemaniku? Hm... tidak apa-apa sih," Sai menggeleng, "Kenapa ada memar di lenganmu?"

Aku terperanjat. Aku harus bilang apa?

"Aku akan menceritakannya padamu nanti. bagaimana?" kataku dan Sai setuju.


"Jadi apa yang terjadi?" tanya Sai padaku. Kami sekarang sudah berada di dalam bus. Aku sedang melihat ke arah luar jendela. Aku memerhatikan lampu mobil yang berwarna merah sepanjang jalan. Aku tadi sudah menelepon orang tuaku dan mereka setuju untuk menungguku di rumah.

"Aku ditinggalkan oleh temanku di halte tadi. Dia juga yang membuat memar di lenganku. Aku tidak ingin membahasnya, tidak apa, 'kan?" ucapku pada Sai setengah memohon tanpa berbalik. Aku mengatakan hal tadi sambil memandang keluar jendela.

"Baiklah," ucap Sai yang duduk di sampingku. Bus sangat penuh dengan banyak pekerja. Untung saja aku dan Sai masih kecil jadi masih diperbolehkan duduk oleh orang-orang.

Mungkin karena aku terlalu lelah dan aku tadi menangis sehingga aku merasa sangat mengantuk. Aku berniat untuk memejamkan mata sejenak saja, tetapi aku malah ketiduran sepanjang perjalanan. Entah kenapa, tetapi aku merasa sangat damai tertidur di tempat yang sumpek itu. Aku merasakan seperti kepalaku sedang bertumpu pada sesuatu hal yang menjagaku agar tetap nyaman.


"Ino..."

"Ino..."

Aku mengerjapkan mataku. Aku mendongak sedikit ke atas. Ternyata kepalaku sedari tadi bersandar di pundak Sai. Aku malu sekali sampai-sampai pipiku memerah. Aku melihat keluar jendela, memastikan bahwa aku menuju arah yang tepat. Setelah mengobservasi area di luar sana, aku menggebu-gebu senang. Aku benar-benar menuju rumah. Aku berbalik ke arah Sai dan aku menggoyangkan tangannya, "Kita ke arah yang tepat!" seruku semangat. Sai tersenyum, "tentu saja, Ino,"


"Apa tidak apa-apa jika kau menemaniku sampai rumah?" tanyaku pada Sai. Sai mengangguk dan berkata, "tentu saja. Aku tidak mungkin membiarkanmu jalan sendiri apalagi sekarang sudah malam," aku mengangguk setuju. Sai ada benarnya. Kami sedang berjalan kaki menuju rumah. Untung saja Sai membangunkanku jauh sebelum halte turun sehingga aku tidak kaget saat terbangun.

"Coba tebak rumahku yang mana," ucapku pada Sai dan Sai tampak memperhatikan tiap rumah di jalan itu. Sai menggeleng, "Aku tidak tahu," aku terkikik mendengar jawaban Sai. "Hahaha... rumahku yang pagarnya berwarna merah. Itu, di ujung perempatan sana. Sudah dekat!" seruku pada Sai. Aku menoleh ke arah Sai dan tersenyum lebar padanya. Sai tertegun menatapku lalu Ia buru-buru menunduk. Aku menaikkan sebelah alisku, bingung dengan tindakannya.

"Um.. Sai, apa aku boleh bertanya sesuatu?" tanyaku pada Sai dan Sai mengangguk. "Kenapa kau pendiam sekaaaaalii?" tanyaku pada Sai dan Sai gelagapan. Seakan dia seperti tertangkap basah sedang melakukan sesuatu hal. Aku menepuk punggungnya, "Kalau tidak mau cerita, tidak apa, kok. Eh, kita harus berpisah," percakapan kami terhenti karena aku sudah berada di depan rumahku. Sai mengangguk. Dan Ia langsung berbalik, hendak pergi. Aku menahannya, aku tarik lengannya, "Sai, terima kasih!" ucapku menggebu-gebu dan bersungguh-sungguh. Sai memperhatikan tanganku yang menarik tangannya lalu Sai menatap mataku, pipinya tersipu, lucu sekali.

"Sama-sama," ucap Sai dengan sangat kaku. Aku terkikik dan memutar badanku, berlari kecil masuk ke dalam rumah sembari tanganku sibuk melambai ke arahnya.

Kami berpisah.


"Siapa anak tadi, Ino?" tanya Ibuku dengan penuh curiga. Ibu sedari tadi ternyata mengintipku saat bersama Sai. Aku, ibu dan ayah duduk di ruang tamu. Kami membahas apa yang terjadi padaku.

"Dia teman SD-ku. Namanya Sai. Dia tidak sengaja bertemu denganku saat tersesat. Untung saja dia bersedia mengantarku pulang," ucapku sambil tertunduk. Ayah berdehem, "Lain kali biar ayah yang jemput. Ayah kira kamu diantar teman perempuan," aku mendongak menatap ayah lalu menunduk kembali, "Maafkan aku, ya"

"Iya, tidak apa-apa yang penting jangan terulang. Bagaimana kalau kita makan? Pasti Ino ayah sudah sangat lapar sekarang!" seru ayah sambil mengangkatku tinggi-tinggi. Ayah menggendongku menuju meja makan dan mendudukkan aku di kursi. Ibu tertinggal di belakang dengan wajah kesal, "Ayah, harusnya ayah lebih tegas ke Ino," tukas ibuku pada ayah. Ayah menoleh ke Ibu, "ayah sudah tegas, kok. Bagaimana Ino?" tanya ayah padaku. Aku mengangguk dan ibu mendesah pasrah.

Ibu akhirnya duduk bersama kami di meja makan. Di pertengahan makan, ibu tiba-tiba bertanya, "Orang tua Sai kerja apa, Ino?"

Aku menjawab, "Sai yatim piatu, Bu. Dari lahir sudah tinggal di panti asuhan yang dikelola oleh siapa lagi namanya... oh, pak Danzo!" seruku sambil mengunyah makananku. Ibu dan ayah tiba-tiba berhenti mengunyah. Mereka segera menelan makanan yang ada di mulut mereka lalu meletakkan sendok garpu di atas meja.

Ibu dan ayah saling bertatapan dan aku merasa curiga. Aku langsung bertanya dengan suara yang amat kecil, "...ada apa?"

"Habiskan dulu makanannya, Inokuu. Nanti kita bahas setelah selesai makan, bagaimana?" tanya ayah kepadaku. Aku mengangguk, "Baiklah,"


"Apa Ino sudah siap?" tanya ayahku. Aku mengangguk.

"Jangan terlalu dekat dengan Sai, boleh ya?" tanya ayahku dengan nada memohon. Aku menjawab, "Tapi kenapa ayah?" dengan nada yang sedih. Ayah berkata lagi, "Ikuti saja apa yang ayah bilang. Ini demi kebaikan Ino. Okay?"

Aku menunduk. Apa salah Sai sampai aku dilarang dekat dengannya. Namun, aku tidak berani bertanya lebih jauh. Aku tidak suka suasana mencekam ini sehingga tanpa pikir panjang aku mengangguk saja. Sontak ayah langsung memelukku dan mengusap pucuk kepalaku, "Anak pintar. Anak ayah memang pintar. Makasih sudah mau menuruti permintaan ayah, ya, sayang," aku mengangguk dan memeluk ayah kembali.

Namun, aku merasa ada yang salah.


Seharusnya aku sadar bahwa ada yang salah... seharusnya aku tidak menuruti keinginan dari orang tuaku.


bersambung