"Terimakasih banyak, Rav," ujar Micah begitu Raven memberikannya cincin tunangan yang sudah ia pesan sejak tiga hari yang lalu.
Raven mengangguk kecil. "Hm, tentu."
Gadis phoenix itu lantas melipat kedua tangannya di depan dada sambil menatap penuh arti ke Micah—membuat sang lawan bicara memiringkan kepalanya, bingung. Raven membuang napas kasar, seperti lelah dengan keluguan Micah yang tiada tara.
"Jadi, siapa orang beruntung itu, Mic?"
Oh, ternyata itu maksud Raven. Micah bergumam sendiri sebelum tertawa kecil dan melirik Raven iseng. Melihat bagaimana gadis—yang biasanya sangat dingin itu ternyata juga bisa penasaran dengan siapa yang akan Micah berikan cincin ini—cukup menghibur dirinya.
"Ayo tebak-tebakan, hehe."
Respon Raven tak terduga—ia mengerucutkan bibirnya dan memalingkan wajahnya secepat mungkin. "Terserah, aku kembali dulu. Gaius pasti malas-malasan."
"Oh, oke," balas Micah, sedikit merasa tak enak sudah berniat iseng pada Raven dan justru mendapat respon yang sangat berbeda dengan yang ia harapkan. "Hati-hati, jangan sampai kepeleset di tangga."
"…mustahil, tapi, terimakasih."
Raven pun berjalan turun menyusuri setiap anak tangga Sharance Tree dengan hati-hati, membuat Micah kembali terkekeh pelan. Sepertinya Raven mendengarkan nasihatnya dengan benar.
Setelah melambai kepada Raven, Micah masuk ke dalam rumahnya dan mengunci pintu. Ia hanya berdiri di balik pintu, menatap langit-langit rumahnya, lalu tiba-tiba bersandar pada pintu sembari menatap kotak kecil yang ia genggam sedari-tadi.
Jadi, siapa orang yang beruntung itu, Mic? Heh, seperti Micah bisa menjawabnya saja. Dia sendiri tidak tahu harus memberikan cincin itu kepada siapa. Bukan berarti tidak ada seorangpun yang mau menikah dengannya, namun kembali ke masalah yang sudah menghantui Micah belakangan ini, ia tidak tahu siapa orang yang ia cintai—selain Gaius.
Syarat yang sudah Ondorus jelaskan adalah penjaga Sharance Tree (yakni Micah) harus membuat ikatan dengan salah satu warga atas dasar cinta, sebuah perasaan di atas pertemanan ataupun persahabatan. Namun bagaimana Micah bisa melakukannya apabila orang yang ia cintai tidak lain dan tidak bukan adalah orang yang berjenis kelamin sama dengannya? Duh, kesampingkan membuat Sharance Tree mekar, Micah malah sepertinya akan menciptakan musibah bagi desa jika dia memaksa cintanya tetap terwujud.
Lagipula, memangnya Gaius memandangnya seperti itu—seperti seorang kandidat pasangan? Micah tahu betul bahwa Gaius menganggapnya sebagai sahabat dekat dan tidak lebih dari itu. Micah juga tidak seberani itu untuk mengungkapkan perasaannya dan justru merusak ikatan persahabatan yang selama ini sudah ia jalin.
… Micah tak mau ketika ia akhirnya bisa kembali ke tempat asalnya, ia malah meninggalkan kenangan yang tidak menyenangkan pada Gaius.
Menyedihkan.
Micah ingin meraung sekencang-kencangnya, mengungkapkan kesedihan dan beban yang harus ia pikul. Hatinya sekarang ini hanya terfokus pada Gaius, tetapi sampai kapan dia boleh melakukannya? Wells sudah mulai gencar mempertanyakan kenapa Sharance Tree masih tak kunjung mekar. Ondorus juga pasti sedang menunggu dirinya agar segera menikah. Kalau ia tak cepat-cepat menghapuskan perasaannya dan memulai cinta baru pada orang lain, dunia mungkin sudah telanjur hancur.
Katakan, Micah … harus bagaimana?
"…cah."
Kedua bola mata Micah bergerak tak nyaman. Ia masih ingin tidur lebih lama, terlelap dalam kegelapan yang dingin, namun suara di luar sana memaksanya untuk sadar. Dengan sedikit tak ikhlas, kelopak matanya terbuka perlahan, sementara kedua alisnya menekuk tajam.
"Micah, kau di dalam?"
Micah tersentak dan langsung bangkit dari posisinya—melihat kaget ke arah pintu yang diketuk pelan dari luar. Kesadarannya seketika kembali sepenuhnya. Suara itu—kenapa Gaius kemari? Apa dia sudah mendengar kabar tentang cincin yang Micah pesan dari Raven? Bukannya Micah sudah meminta Raven agar merahasiakannya dari siapapun—
Oh iya, benar juga. Micah lupa meminta Raven untuk tutup mulut. Bagus sekali, Micah, sekarang apa yang akan kau lakukan?
"Mic, aku tahu kamu di dalam. Tolonglah," suara Gaius terdengar sangat memelas di luar sana—sedikit mnimbulkan rasa perih di hati Micah. "Kenapa sih, kita jadi seperti ini? Apa … memang karena ciuman itu?"
"Kalau benar, aku minta maaf, sungguh," lanjut Gaius setelah beberapa saat kemudian. "Aku ingin kita kembali seperti biasa saja. Curhat, mencari barang untuk quest-mu, makan udon buatan Blaise, dan yah … semacamnya."
"Ga—"
"Kau bahkan tidak memberitahuku tentang orang yang kau sukai, Mic, padahal aku sudah cerita tentang Evelyn padamu." Gaius tak memberi Micah kesempatan untuk berbicara dan segera berucap lagi, "Ah, sudahlah. Intinya, mari lupakan tentang kejadian itu dan jadi teman dekat seperti semula."
"… maaf, Gaius. Tapi aku tidak bisa," balas Micah lirih pada akhirnya. Ia mengeratkan genggamannya pada kotak cincin ketika dirasa ada air mata yang turun begitu saja melewati pipinya.
"Apa? Apa jangan-jangan kau suka Evelyn?"
Gaius yang bodoh, Gaius yang kadang bercanda di waktu yang tak tepat, Gaius yang ia cinta. Haha. "Bukan begitu, bodoh."
"Lalu?"
Micah membuang napas sekasar mungkin sebelum membuka pintu rumahnya dengan cepat, menampilkan sosok Gaius yang terkejut karena pintu yang dibuka tiba-tiba.
Baiklah, ia sudah memutuskan. Mari tidak usah pikirkan risikonya—mari lakukan saja apa kata hatinya.
Mendapati Gaius masih syok dengan perbuatannya yang tiba-tiba, Micah meninju pelan dada Gaius dengan tangannya yang menggenggam kotak cincin. Senyum kecil sedikit ia tunjukkann—padahal hati terasa perih.
"Kau tahu, Gaius," Micah menggantungkan ucapannya, membiarkan makin banyak air mata yang lolos dan jatuh dengan bebas dari wajahnya, lalu melanjutkan, "kalau boleh melamarmu, aku ingin melamarmu."
"Hah—"
"Bahkan meski perasaanku ini terlarang."
"Mic—"
"Kau sudah berbicara panjang tadi, jadi sekarang giliranku, benar?" tanya Micah dengan suara yang sedikit parau akibat tangisannya yang tak terkendali. "Aku ingin egois. Tapi aku tak boleh melakukannya, makanya aku menjauh. Lalu kau malah datang. Haha. Padahal biarkan saja aku sendiri. Kalau kau datang … aku semakin ingin egois."
Gaius bergeming bak batu, menuruti ucapan Micah dan membiarkan pemuda berambut emas itu menumpahkan semua masalah dan perasaannya.
"Hei, Gaius, tolong katakan."
"…ya?"
"Aku … harus apa?"
Pertanyaan final Micah itu ditutup dengan sesenggukan oleh dirinya sendiri. Ia merasa tak tahu malu. Tiba-tiba menumpahkan semua masalahnya pada Gaius yang tak tahu apa-apa dan malah seolah-olah menyalahkan Gaius atas semuanya. Lalu bukannya meminta maaf, Micah malah menangis sejadi-jadinya—seperti perempuan yang baru saja patah hati.
Apa serendah itu dirinya? Heh, Micah menyeringai pedih dalam hati. Mungkin ia memang sudah tak punya harga diri sebagai laki-laki, membiarkan perasaan mengambil alih akal sehatnya dan membuat drama tak berarti ini.
Memalukan.
To have someone together
Gaius tak berkata apapun—ha, sudah Micah duga. Pasti pria itu sekarang jijik padanya, akan membencinya, dan bahkan tak ingin melihat wajahnya lagi. Jangankan tetap menjadi teman, rasanya bahkan mustahil kalau Gaius mau menganggapnya 'orang baik' lagi. Micah nyaris melarikan diri karena sudah kepalang malu dan tidak tahu mau bagaimana, ketika tiba-tiba Gaius memeluknya dengan hangat, sembari tangannya menepuk-nepuk punggung Micah.
"Eh?"
"Tidak apa-apa. Ayo menangis sepuasmu, Mic." Gaius mengeratkan pelukannya, yang membuat Micah secara tak sadar berbalik memeluknya. "Aku di sini."
TBC
A/N: Wow haha, udah setaun ternyata. Hi :D
