All My Regrets : 3

.

.

.

Eren merebahkan dirinya di kasur setelah kepulangan Mikasa beberapa menit yang lalu. Menikmati kesendirian di kamar yang luas ini bersama cahaya matahari terbenam yang masuk lewat sudut jendelanya. Eren memejamkan matanya. Isi kepalanya terngiang ucapan Mikasa tadi sore saat mereka merencanakan membuat prakarya dan diakhiri keputusan sepihak yang memaksa Eren menyetujuinya.

"Apa kau tahu, Eren? Kisah seribu bangau yang kertas yang bisa mengabulkan permintaan?"

"Ada legenda yang mengatakan kalau kita bisa membuat seribu bangau kertas maka keinginan kita akan terkabul. Karena itu aku ingin membuatnya sekarang. Aku punya keinginan, Eren. Apa kau tidak punya keinginan?"

"Tentu saja aku punya, bodoh." Secara reflek, Eren menggumam. Seakan membalas perkataan Mikasa.

"Tapi sebelum membuatnya, kita harus ucapkan keinginan kita dulu, setelah itu baru kita melipat kertasnya."

"Kalau kau tidak mau mengucapkannya secara langsung, kau bisa mengucapkannya dalam hati. Aku juga akan melakukannya."

"Ayo Eren, ucapkan keinginanmu."

Sesaat sebelum terlelap dalam tidurnya, Eren menggumam, "Bodoh. Aku tidak percaya hal-hal seperti itu…"

.

.

.

Malam begitu tenang di kota Shiganshina, di sudut perempatan jalan Eren bersandar di sebuah dinding toko. Menunggu seorang gadis yang sudah berjanji akan bertemu dengannya di sini. Ia sudah menunggu sekitar 20 menit namun gadis itu belum datang juga.

"Dimana dia?" gumam Eren lirih. Sudah kelima kalinya Eren bolak-balik mengecek arloji yang terpasang di lengan kirinya.

Tak lama kemudian seorang gadis berlari ke arahnya.

"Hahh… hah…" Mikasa datang dengan nafas yang memburu. Ia berhenti tepat di depan Eren dan mengatur nafasnya.

"Aku sudah menunggumu." Ucap Eren datar.

Setelah nafasnya teratur, Mikasa pun membalas, "Maaf, aku terlambat ya? Kau pasti sudah lama menunggu."

Eren mendengus, "Hm. Sekarang kemana?"

"Ikuti aku."

Dan disinilah mereka, sebuah pusat perbelanjaan yang besar dan lengkap. Terdapat berbagai macam barang keperluan sehari-hari, pakaian, alat olahraga, dll. Mikasa dan Eren pergi ke tempat yang menyediakan alat-alat tulis. Tujuan mereka adalah membeli kertas origami.

Eren mendesis, "Kau akan membeli semuanya langsung?" melihat Mikasa yang dengan mudahnya mengambil sepuluh pack yang berisi masing-masing seratus lembar kertas origami.

Mikasa mengangguk yakin, "Iya. Kita butuh seribu ya harus membeli seribu." Ia mengangkat lima pack dan menyerahkannya pada Eren, secara reflek, Eren langsung menerimanya. Setelah membayarnya, Eren dan Mikasa segera keluar dari pusat perbelanjaan yang ramai itu, Mikasa mengerti kalau Eren tidak suka keramaian, sementara Eren hanya mengikutinya saja.

Mikasa tahu juga akan hal itu. Eren ingin segera pulang dan bermimpi dalam tidurnya yang lelap. Namun Mikasa mengajukan satu pertanyaan pada pemilik emerald ini, "Eren… kau belum menjawabku waktu itu, kenapa kau memberikan buku catatanku? Padahal jika kau tidak peduli, kau bisa meninggalkannya."

Eren memasang raut bingung, kenapa gadis ini masih bertanya hal itu? Padahal Eren berusaha untuk melupakan kejadian itu, menurutnya itu tidak penting lagi sekarang. Daripada menanyakannya, lebih baik Mikasa bersyukur karena buku itu sudah kembali padanya. "Apa sepenting itu buku usangmu?"

Mikasa menoleh pada pemuda itu, lalu menunduk dan tersenyum tipis, "Jangan begitu… buku itu sangat penting bagiku…"

Eren hanya mendengus. Biarkan saja, lagi pula ia tidak tahu apa isi buku itu. Tidak usah dipikirkan.

Mereka terdiam untuk waktu yang cukup lama… sebelum akhirnya memilih untuk pulang saja.

Seseorang berlari kencang lalu dengan cepat Mikasa menarik tangan Eren lalu ia mendorong pemuda itu menjauh, sosok berpakaian serba hitam itu menggores pergelangan tangan Mikasa dengan pisau yang digenggamnya, kedua mata hijau Eren membelalak melihat luka darah segar yang mengalir dari pergelangan Mikasa.

Eren sempat ingin mengejar pria bertopi itu namun disisi lain ia tidak bisa mengabaikan kondisi Mikasa yang sedang terluka. Eren membiarkan kertas origami itu tergeletak dan langsung merobek sekuat tenaga Mikasa dengan cemas dan merobek kemeja miliknya menjadi potongan kecil dan membalutnya pada luka di pergelangan Mikasa.

"Akh…" rintih Mikasa yang merasakan sakit karena lukanya cukup lebar.

"Tahan." gumam Eren lalu mengikatnya dengan kencang. Sekali lagi Mikasa berteriak tertahan karena darahnya masih mengalir hingga menembus kain. "Sialan, kenapa kau mendorongku?"

Mikasa mendongak, menatap Eren dengan wajah cemasnya, "Kenapa? Refleks karena aku merasa dia seperti mendekat. Aku tidak tahu…" gumamnya.

"Ck. Kau tidak bisa berbuat seenaknya. Lain kali jangan lakukan hal seperti ini."

Mikasa mengangguk. Walaupun Eren masih ketus padanya, tak mengurai segaris lengkungan senyum tipis yang sekarang terukir di sudut bibir Mikasa sekarang.

Dan mereka pulang bersama, selama perjalanan pulang Eren terus mengawasi Mikasa yang terkadang masih merintih. Eren juga menyarankan untuk membasuh lukanya ketika sampai di rumah nanti. Mikasa dengan senang membiarkan Eren terus berbicara sepanjang perjalanan, membiarkan pemuda itu terus mengoceh, entah kenapa Mikasa tidak ingin malam ini berakhir.

Hatinya terlalu senang…

.

.

.

Kedua tangan Mikasa sibuk melipat-lipat kertas segi empat itu menjadi burung bangau. Jumlahnya masih sekitar dua puluh buah. Eren tidak melakukan apapun selain memperhatikan dari sampingnya. Mereka saat ini berada di kamar Eren tentunya dengan alat dan bahan yang sudah mereka beli sebelumnya saat pulang sekolah. Mereka sudah memutuskan untuk mengerjakannya di tempat ini selama kedua belah pihak tidak keberatan tentunya.

Salah satu alasan yang dibuat Eren adalah jika mereka mengerjakan burung bangau ini di ruang tamu, maka ia akan malu jika para pelayan melihatnya. Dan begitulah mengapa mereka bisa sepakat menggunakan kamarnya Eren.

"Tanganmu…" gumam Eren melihat perban Mikasa yang sudah diganti, "Jangan terlalu banyak bergerak."

Mikasanya membalas, "Iya iya… sudah tidak sakit kok…"

Eren mendengus, "Jika waktu itu kau tidak mendorongku, mungkin kau tidak terluka."

Mikasa memutar bola matanya, lagi-lagi, Eren mengulas hal itu. "Sama saja, jika aku tak mendorongmu, kau yang akan terluka, Eren."

Orang yang melukai Mikasa semalam sudah tertangkap polisi, orang itu ternyata menderita penyakit yang membuatnya bertingkah aneh ketika menonton film atau drama, dan pelaku itu bertingkah layaknya seorang kriminal yang sedang berbuat kejahatan. Kabarnya, korban mencapai dua puluh tiga orang.

"Setidaknya… itu lebih baik…" lirih Eren.

"Hm? Kau bilang apa?" tanya Mikasa, karena tidak bisa mendengar ucapan Eren.

"Aku hanya mengingatkanmu, Pak Erwin memperpanjang waktu jadi dua minggu, kau seharusnya lebih santai."

Mikasa mengangguk mengerti, lalu kembali fokus pada pekerjaannya.

Sekarang mata Eren terfokus pada layar yang menampilkan sebuah video tutorial melipat kertas. Meski ia sudah melihat berkali-kali pun, Eren tetap kesulitan karena sangat rumit menurutnya.

Mikasa terus bergulat dengan kertas-kertas berwarna itu dengan terampil. Sesekali ia bersenandung untuk mengusir kebosanan. "Hmmm… hmmm~"

"Kau tidak ingin merubah pikiranmu?" Eren memecah keheningan dengan menatap Mikasa yang sedari tadi sibuk berkarya sedangkan Eren sendiri tidak menggerakkan tangannya untuk membantu. Dan maksud pertanyaan Eren adalah walaupun Eren sudah menyetujui membuat burung bangau kertas ini, masih terbesit di pikirannya untuk membuat sesuatu hal lain. Berharap Mikasa akan berubah pikiran.

Tapi tentu saja Mikasa menolaknya, "Tidak, aku sudah mengucapkan keinginanku. Dan aku akan berusaha membuatnya." Ucap Mikasa, ia melirik Eren sebentar lalu kembali pada kertas-kertas digenggamannya. "Kau harus membantuku, Eren." pinta Mikasa dengan sedikit paksaan.

Eren mendengus karena ia tahu tidak akan bisa. "Aku tidak bisa melipatnya."

"Jangan lihat tutorial, aku bisa mengajarimu langsung. Ayo turun." Mata hitam Mikasa menatap Eren yang masih tengkurap di atas kasurnya. Yah, pemilik rumah memang bebas.

Karena Eren tak kunjung turun dari kasur, terpaksa Mikasa menarik paksa tangan Eren dan terjadilah mereka saling tarik-menarik. Eren yang menarik dirinya sendiri dan Mikasa yang ternyata ia memiliki tenaga lebih berhasil menjatuhkan Eren sampai suara gaduh menggema.

"AKHH! Mikasa!" teriak Eren tidak terima karena dirinya jatuh tersungkur.

Mikasa tak menduga Eren akan tersungkur, dan dengan cekatan ia membantunya bangun meski Eren bisa melakukannya sendiri, "Maaf… hehehe…"

Eren sempat menatap sinis Mikasa karena kesal padanya.

TOKTOK

Ketukan pintu dari luar itu membuat kedua insan menolah secara bersamaan ke arah pintu. Mikasa memberi sinyal pada Eren seakan bertanya 'Apa tidak masalah?' dan Eren hanya mengisyaratkan untuk tetap diam dan tenang. Yang ada di pikiran Eren adalah pelayan yang ingin menyampaikan pesan mungkin saja.

Eren segera merapikan penampilannya, "Masuk. Pintunya tidak dikunci."

Seorang pemuda yang lebih tua dari Eren maupun Mikasa ini muncul dari pintu, penampilannya terlihat seperti orang kantoran yang baru pulang dari jam kerjanya. Masih memakai kemeja dan jas hitam yang menambah kesan menawan pada sosok laki-laki ini.

Seseorang itu menaikan posisi kacamatanya, "Oh hai? Siapa dia, Eren?" matanya tertuju pada sosok Mikasa.

Mengerti siapa yang dimaksud pemuda itu, Mikasa langsung berdiri menunduk dan memperkenalkan dirinya, "S-saya Mikasa Ackerman, salam kenal."

Pemuda itu mendekat lalu menaruh tasnya, "Namaku Zeke. Aku kakaknya Eren." Laki-laki itu menjulurkan tangannya dan Mikasa dengan cepat menjabatnya. Setelah melepaskan tangan, Zeke bertanya, "Kau pacarnya Eren?"

"Bukan." / "Bukan."

Eren dan Mikasa serentak mengatakan hal yang sama. Menyangkal opini Zeke. Sedangkan Zeke hanya ber-oh ria sambil mengangguk-anggukkan kepalanya.

"Tidak pacaran tapi kenapa kau membawanya ke kamarmu, eh? Bahkan dia belum mengganti seragam sekolahnya." Zeke mengalihkan pandangannya pada Eren.

Eren menunjuk beberapa kertas yang sudah menjadi bangau dan dengan langkah cepat Mikasa mengambilnya lalu berkata, "Kami hanya membuat prakarya. Dan kami akan membuat seribu burung bangau." Jelas Mikasa dengan menunjukkan burung bangau kertas warna warni yang mencolok itu pada Zeke.

"Oh begitu…" Zeke tersenyum geli mendengar burung bangau yang Mikasa katakana, sangat lucu dan tidak Eren sekali.

"Kenapa kau kesini?" Eren menatap kakaknya sinis yang sekarang sedang menyalakan rokok, sebelum rokok itu terbakar, Eren mengambil puntung rokok itu kemudian mematahkannya langsung. Zeke belum menjawab pertanyaan Eren karena lagi-lagi adiknya itu menyelanya, "Jangan merokok di kamarku. Pergilah."

"Jangan begitu pada kakakmu…" gumam Zeke. Mikasa menyadari wajah Eren seperti sedang menunjukkan kalau dia tidak suka kakaknya berada disini.

Hal itu malah memancing emosi Eren, "KENAPA KAU KESINI?!" matanya penuh sorot amarah yang berhasil membuat Mikasa terkejut dan sempat mengingat saat ia dibentak oleh Eren beberapa waktu yang lalu.

Namun Zeke masih tetap diam, tidak menunjukkan ekspresi apa-apa. "Aku hanya mengawasimu, ini aku lakukan karena perintah Ayah, dia sibuk dengan pekerjaannya sampai tidak bisa menjagamu."

Eren mendecih setelah mendengar perkataan Zeke, "Aku bisa menjaga diriku sendiri. Tidak perlu ada kau ataupun Ayah sekalipun!"

"Kenapa kau begitu marah?"

"Kenapa?! Kau bertanya kenapa? Gara-gara ayahmu, ibuku meninggal dan kau masih bertanya?! Apa otakmu sudah kau buang, hah?!"

Mikasa semakin terkejut melihat emosi Eren yang kian memuncak, sedari tadi Mikasa hanya bungkam dan memperhatikan obrolan kedua kakak adik yang sedang berbicara. Ketika Zeke berbicara, maka ia menoleh pada Zeke dan ketika Eren berbicara, ia menoleh ke Eren. Begitu seterusnya sampai Mikasa menyadari dirinya orang lain di dalam ruangan ini.

Mikasa ingin pergi keluar tapi lagi-lagi tidak ada tempat baginya untuk berbicara atau hanya untuk sekedar meminta izin pergi.

Zeke membalas perkataan Eren, "Jangan menyalahkan Ayah! Dia hanya bekerja!" tak kalah tegas dari Eren. Mereka berdua sama-sama menakutkan.

"Bekerja apanya?! Dia gagal menyelamatkan Ibu! Ibuku meninggal karena dia bersama Ibumu setiap waktu!"

"Jangan salahkan ayah! Salahkan Ibumu yang merebut posisi Ibuku!"

"Persetan! Ayahmu yang salah!"

"DIA TIDAK SALAH!"

"PERGI KAU DARI SINI, SETAN! AKU MUAK MELIHATMU!"

Zeke tidak membalasnya lagi, pemuda berambut blonde itu memutuskan untuk beranjak pergi, dan meninggalkan Eren daripada harus terus berbebat dengan adiknya.

Zeke menutup pintu kamar Eren dari luar bersamaan dengan Eren yang tiba-tiba mengambil vas bunga tak jauh dari tempatnya berdiri lalu melemparkan begitu saja ke arah pintu dan vas yang terbuat dari kaca itu pecah karena menghantam pintu.

"Eren?!"

Mikasa menutup telinganya karena ia takut dan suara pecah itu menggema. Eren tampak menenangkan dirinya sembari memegangi kepalanya. Ia berusaha bersikap tenang tetapi tidak bisa, emosinya mengalir begitu saja jika ia melihat sosok yang sangat tidak ingin ditemui. Datang begitu saja tanpa diundang dan merusak suasana.

"Maaf…" gumam Eren lirih yang mampu didengar oleh Mikasa. "Aku tidak bisa menahannya, dia sudah membunuh ibuku… aku tidak bisa tenang melihatnya… aku membencinya…"

Otak Mikasa mencerna kata-kata Eren dan berdasarkan yang ia lihat tadi, Mikasa menyimpulkan bahwa Zeke adalah kakak tiri Eren. Dan ibunya meninggal karena mereka. Untuk detailnya, Mikasa tidak tahu yang jelas, Eren kehilangan Ibunya karena keluarnya Ayahnya yang terdahulu.

Tiba-tiba Mikasa mendekat dan memeluk pemuda yang di dekatnya itu, entah keberanian ini didapatkan dari mana…

Eren terkejut karena perempuan yang tadinya ketakutan itu tiba-tiba merengkuhnya dalam pelukan.

"Tenanglah, Eren…" gumam Mikasa di sela-sela pelukannya. Dan saat itu juga air mata Eren semakin mengalir deras.

"Sangat memalukan…" lirih Eren yang masih terisak, perlahan Eren menggerakkan tangannya mendorong Mikasa agar memberi sedikit jarak.

Mikasa membalas ucapan Eren, "Kenapa? Wajar saja kalau kau—"

"Kau. Kau adalah perempuan kedua setelah ibuku yang pernah melihatku menangis." Eren menyeka air matanya, rasanya memang memalukan ketika seorang perempuan melihat laki-laki menangis terlebih dia menangis tepat di depannya.

"Eh?" Mikasa tidak mengerti apa maksud Eren mengucapkan hal itu. Apa itu sesuatu yang penting, Mikasa tidak tahu. "Eren, maaf aku tidak mengerti apa masalahmu, aku hanya orang luar yang tidak berhak tahu. Tapi aku ada disini… anggaplah aku sebagai temanmu, setidaknya kau bisa bercerita, keluh kesahmu, aku sanggup mendengarnya... Jika kau tidak keberatan,"

"Mikasa…" panggil Eren begitu selesai mengatur nafasnya. Mikasa memandang Eren bingung, ucapannya barusan, Eren mendengarnya atau tidak? Memastikan tak ada lagi sisa butiran air di kedua sisi matanya, Eren kembali menatap Mikasa, "Kenapa kau begitu baik padaku? Kenapa kau melakukan semua ini?"

Mikasa tak langsung menjawab, dirinya sendiri tidak tahu harus menjawab seperti apa. Setiap yang ia lakukan murni tulus, tidak berharap Eren membalas kebaikannya atau tidak. Mikasa lalu menjawab, "Jika kau mengira aku meminta balasan kebaikanmu juga, kau salah… aku hanya melakukan apa yang aku bisa lakukan. Yah, aku memang berharap kau bisa menjadi temanku, tapi jika kau tidak mau juga bukan masalah, aku akan tetap seperti ini."

"Bukan, maksudku… Apa kau tidak pernah membenciku? Kau sendiri tahu 'kan, aku selalu membawa sial padamu. Aku juga sering menyakiti perasaanmu."

Mikasa menunduk, tak mampu menatap iris emerald yang kini masih setia memfokuskan atensinya. Tapi sesaat kemudian, Mikasa kembali mendongak dan tersenyum, "Kenapa kau berpikir aku membencimu? Aku tidak seperti itu… aku ini gadis yang baik, kau harus ingat itu, Eren!"

Eren mengernyitkan dahi, sungguh jawaban yang dilontarkan Mikasa diluar perkiraannya. Itu jawaban yang tidak menjawab. Eren mengakui, gadis ini baik. Tapi sebaik itukah sampai hatinya pun tidak pernah membenci orang yang pernah menyakitinya?

Eren mendesah karena tidak tahu lagi harus berkata apa.

.

.

To Be Continued

.

.

A/N :

D-3 to final chapter of Attack on Titan. Kalian siap? XD
Meski tinggal satu chapter aja, masih misteri banget karena percuma berteoripun cuma sekian persen yang bisa tertebak.

Dan gimana nasib para char yang tersisa... :') poor my SC squad. I hope Mikasa and Levi still alive till the end. Om Levi, buka kedai dong ya... :) tepati impianmu buka kedai teh, ntar gw mampir.

I actually prepared nothing... so many things happened, and... well, I'm sick of the plot XD blown me away Hajime-san. Great job as always.

See you next chapter!

Regards, Reye

6 April 2021