Bisnis.

Chapter 3. Rencana Solar Kedua

Matahari mulai merekah di pagi hari yang nampak sedikit mendung di atas Pulau Rintis.

BoBoiBoy Love Cafe sulapan Solar nampak sudah bertukar kembali menjadi Tok Aba-BoBoiBoy Kokotiam. Pelataran kedai sudah bersih dari tenda-tenda dan karangan bunga mawar dari acara malam lepas.

Disalah satu sudut kedai, tepatnya dibawah meja, terlihat Halilintar yang mendapat giliran jaga kedai di pagi itu sedang mengipasi Gempa yang belum kunjung sadar. "Gem... Bangun..." Bisik Halilintar sembari menepuk-nepuk pipi adiknya dengan lembut.

Blaze yang mendapat jatah jaga kedai pagi itu bersama Halilintar melangkah mendekat mendekati kedua kakaknya. "Sini biar kucoba kak."

"Eh Blaze, tunggu!" Halilintar tidak sempat lagi mencegah adiknya itu menuangkan segelas air es dikepala Gempa.

"Huaaa!" Gempa yang mendadak tersadar setelah diguyur air es oleh Blaze langsung tersentak bangun dan...

-Bletak!-

Pingsan kembali karena dahinya membentur meja.

Halilintar langsung berdiri dan mendaratkan sebuah jitakan di kepala adiknya yang baru saja berhasil membuat Gempa tersadar tapi pingsan kembali. "Kamu gimana sih!? Kan kubilang tunggu dulu!" ketus Halilintar.

"Aduuuh," lirih Blaze sembari mengelus batok kepalanya yang terasa berdenyut setelah dijitak oleh sang kakak tertua. "Kan maksudku baik, kak!"

"Sudah sana kamu bantu Solar!" ketus Halilintar sembari menggeser posisi Gempa ke tempat yang lebih aman.

Solar yang sudah melepaskan jasnya dan kembali meneguk sekaleng energy drink berlogo banteng beradu nampak tersenyum puas ketika menghitung total pendapatannya malam lalu. "500... 520... 530...580... 625... Yak, lumayaaaan," ujarnya sembari mengipasi dirinya dengan uang hasil kerjanya malam lalu.

"Dapat berapa Sol?" tanya Blaze yang sudah menghampiri adiknya itu.

"625 Ringgit... Belum uang tip... 250 ringgit... Total delapan ratus ringgit lebih! Hampir sembilan ratus!" jawab Solar dengan nada yang penuh kebanggaan.

"Alamak... Delapan ratus lebih?" Blaze meneguk ludahnya ketika mendengar angka yang disebut Solar.

"Yap, betul... Dengan modal seratus ringgit dari Kak Gempa!" Belum selesai, Solar langsung membagi-bagi pendapatannya. "300 Ringgit untuk kedai, 100 ringgit untuk kembali modal Kak Gempa...100 ringgit untuk barrista, Ice... 100 ringgit untuk Thorn dan Kak Ufan masing-masing. Sisanya untukku sendiri, otak jenius dari rencana ini."

"Waaaaah... Aku belum pernah dapat tip sebesar ini!" Thorn yang terlihat mengantuk langsung tersenyum lebar ketika ia menerima jatahnya. Sepertinya ia akan bisa tidur dengan pulas siang itu.

"Hebat kau Solar!" puji Taufan sembari mengelus kepala adiknya itu dan mengambil jatahnya.

"Hebat apanya?!" ketus Gempa yang sudah tersadar dari pingsannya dan terlihat dituntun Halilintar. "Kau buat kedai kita jadi kedai maksiat!"

Blaze sengaja melipir menjauh dari Gempa dan berharap Halilintar tidak mengadukan perbuatannya.

Gempa yang melihat Blaze melipir itu langsung meraih sebuah gelas logam dan melemparkannya tepat ke titik dimana Halilintar menjitak Blaze.

"ADUH!" jerit Blaze sambil memegangi kepalanya yang berdenyut-denyut akibat jitakan Halilintar dan lemparan gelas Gempa. "Maksudku kan baik, kak!" protes Blaze sembari meringis.

"Maksud gak sesuai cara!" ketus Gempa

Solar yang melihat itu langsung menengahi, mencegah terjadinya adu mulut antara Blaze dengan Gempa (jangan artikan harafiah, ini bukan fanfic yaoi) bertukar menjadi adu otot. "Tujuan menghalalkan cara, Kak Gem... Nih kukembalikan seratus ringgit yang kupinjam... Dan ini keuntungan bersih usahaKU... 300 ringit."

"A-apa?" Gempa terbelalak tidak percaya ketika Solar menyerahkan keuntungan dari hasil usaha kedai malam lalu. "Gila ... ini ... sama saja dengan... hasil jualan seminggu!"

"Yap... Omset satu minggu kukejar dalam hitungan jam saja... berkat otakku ini," ujar Solar sembari menunjuk kepalanya sendiri.

"Oke, kuakui kamu pintar, Sol." Gempa memuji dengan nada tidak rela. Sebagai salah satu yang tertua ia merasa tersaingi oleh adik terkecilnya. "Nah, apalagi rencanamu?"

"Oh. masih ada, tentunya... Tapi tunggu nanti sore ya..." Solar menarik napas panjang sembari beranjak berdiri dari duduknya. Sejenak ia terlihat tidak seimbang berdirinya dan menahan dirinya dengan berpegangan pada kursi yang sedari tadi didudukinya.

"Eh? Solar?" Gempa yang melihat adiknya terhuyung langsung memegangnya pada lengannya. "Kamu kenapa?" tanya si kakak yang tetlihat khawatir.

"Ngantuk, kak ... Sudah lama aku ngga bergadang dua hari nonstop."

"Ya sudah, sana pulang, istirahat." Gempa menengok kearah Taufan dan Thorn yang sama terlihat mengantuk. "Kalian berdua juga."

.

.

.

Sesampainya dirumah pun Solar tidak mau membuang waktu lagi. Ia langsung melepas sepatu, kaus kaki, jas, kemeja, dan dasinya sebelum masuk ke dalam kamarnya.

Setelah mandi dan berganti pakaian menjadi celana pendek dan baju lengan pendek, Solar langsung merebahkan diri di atas ranjangnya.

"Huahhh ... nikmatnya ranjang ...," gumamnya ketika punggungnya terasa nyaman bertumpu pada kasurnya yang empuk. Kembali Solar menatapi layar ponselnya dan merencanakan langkah berikutnya.

Solar menyadari bahwa usahanya semalam sudah sukses. Meskipun baru promosi lewat media sosial, langkahnya sudah tepat. Kini ia membutuhkan sebuah image baru, sebuah brand baru, dan sebuah terobosan baru untuk mempromosikan kedainya.

Berbagai media sosial ditelusuri oleh Solar untuk mencari ide. Dari Pinterest, DeviantArt, Photobucket, Facebook, sampai Instagram.

Ditengah rasa lelah mengantuk, Solar tanpa sengaja salah menyentuh link hashtag.

Kesalahan kecil itu membawanya pada sesuatu yang tidak pernah ia bayangkan sebelumnya.

Solar meneguk ludahnya ketika menemukan gambar dari kakak-kakaknya yang sangat sugestif. "Alamak... Kak Hali? Kak Taufan? Kak Gempa? Kak Blaze juga? Astaga aku sendiri pun ada?" gumam Solar seorang diri. "Hey, ganteng juga mereka-mereka ini menggambarku ... Terbaik, lah!"

Kantuknya langsung hilang dan Solar terduduk tegak di atas ranjangnya. Satu persatu ia mengamati gambar-gambar yang ada. Bahkan beberapa gambar hampir membuat isi perutnya keluar.

Namun dibalik semua itu, Solar berhasil menemukan ide. "Aku ... perlu... kamera ..." Seringai setannya mengembang.

Puas dengan hasil pencariannya, Solar mengaktifkan alarm pada ponselnya sebelum kembali merebahkan kepalanya keatas bantal. Kali ini ia tertidur dengan damai dan tersenyum-senyum tanpa sadar.

.

.

.

Bersambung.