"Kau yakin dia benar-benar tampan?"
"Tentu saja."
"Memangnya kau sudah pernah bertemu dengannya?"
"Ehm… belum."
"Ugh, Ino?!"
"Ayolah, Sakura, cepat pakai bajumu…" ujar Ino mengalihkan pembicaraan. Ia melemparkan gaun krem yang sudah disiapkan Sakura sejak semalam dan bersidekap. "Yang jelas dia pintar, mengerti? Benar-benar jarang ditemukan."
Sakura berdecih. "Kau memasangkanku dengan seorang arogan botak?"
"Tidak—dia tidak arogan." Ino berujar cepat. "Dan tidak botak."
Dengusan malas terdengar dari Sakura. Ia sudah mengira kalau meminta Ino mencarikannya pacar adalah hal yang salah, namun ia tetap saja meminta temannya itu untuk mengenalkannya pada seorang laki-laki. Ia kira Ino akan lupa dengan cepat setelahnya namun ternyata dia ingat dan memaksa Sakura untuk mendatangi kencan buta ini.
"Apa dia tua?" Tanya Sakura sambil menyapukan perona pipi.
"Tidak."
"Katakan lagi kenapa kau bisa mengenalnya…?"
"Ia saudara jauh Shikamaru." Gumam Ino, menyebutkan pacarnya dengan nada santai. "Pamannya."
"Ugh, dia tua, Ino!"
Sakura menjerit kesal dan meletakkan kuasnya begitu saja. "Yang benar saja—kau mengenalkanku pada seorang pria tua, botak, dan arogan?!"
Ino memijat pelipisnya sendiri dan tidak menjawab. Ia membiarkan Sakura mengomel selama setengah jam lamanya sebelum akhirnya setuju untuk tetap mendatangi kencan buta tersebut. Tidak lama kemudian, mereka sampai di café tempat pertemuan pertama dan Sakura bersikeras untuk tidak turun dari mobil.
"Kau sudah terlambat lima belas menit, Sakura. Ayolah…"
"Aku akan berkencan buta dengan seorang pria paruh baya. Jangan paksa aku."
Sakura mendengus selama beberapa kali dan pada akhirnya turun dari mobil. Sebelum berjalan masuk ke café, ia kembali berbalik dan memandang Ino dari luar mobil.
"Jangan pergi dulu. Aku akan kembali dengan cepat."
"Baiklah."
Tepat setelah Ino membalas perkataannya, mobil tersebut berlalu dengan begitu cepat sampai-sampai Sakura tidak memiliki cukup waktu untuk mencerna perbuatan temannya. Dengan emosi yang cukup meluap-luap, ia masuk ke dalam café tersebut dan mencari-cari teman kencannya malam ini.
"Ia akan memakai kemeja putih dan celana abu gelap. Baru saja pulang kerja."
Cih, bahkan tidak ada usaha untuk memberikan kesan yang baik, pikir Sakura akan pakaian pria itu.
Sialnya, banyak sekali orang-orang yang baru pulang kerja berada di dalam café tersebut. Beberapa memang menyampirkan jas di kursi, tapi Sakura juga tidak yakin apakah orang ini memakai jas atau tidak. Dengan kesal ia berjalan keluar dari café dan berhenti di depan kaca besar tempat itu. Ia meraih ponsel dan menekan nomor Ino berkali-kali, tidak akan berhenti sampai suara temannya terdengar dari seberang sana.
.
.
Kakashi Hatake sebenarnya tidak setuju saat Shikamaru, keponakannya, memintanya untuk kencan buta—tapi sebenarnya tidak ada salahnya juga untuk mengiyakan permintaan anak itu. Ia punya banyak waktu luang karena peak season telah berakhir. Ditambah, kalau kencannya ini berjalan lancar, ia bisa saja keluar dari café ini dengan seorang calon pacar, 'kan?
Terlambatnya sang teman kencan selama dua puluh menit sudah membuat Kakashi ragu—apakah orang ini benar-benar serius atau tidak. Dari cerita Shikamaru, perempuan itu terdengar kehilangan harapan sekali sampai-sampai ia minta dicarikan teman kencan. Kakashi menyesap kopinya yang hampir habis dan menghela napas.
Beberapa saat kemudian ia tertegun melihat seorang perempuan di luar café. Wajahnya terlihat gusar, riasannya terlalu tebal dengan warna lipstick yang sangat mencolok, dan sepertinya rambutnya tidak disisir. Ia tahu perempuan itu berbeda sekali dengan figur yang digambarkan Shikamaru, tapi entah kenapa ia melangkah keluar café pada akhirnya dan berhenti tepat di depannya.
"Hei." Ujarnya, saat perempuan itu tidak juga menyadari kehadirannya.
Ia tersentak. Ia memperhatikan Kakashi dari atas sampai bawah, lalu mengerutkan kening.
"Ada yang bisa kubantu?"
"Apa kau Sakura Haruno?"
Ia terlihat tersentak lagi, namun kali ini lebih cepat untuk mengontrol diri kembali.
"Ya. Apa aku mengenalmu…?"
Kakashi tidak menjawab. Ia berusaha memberikan sebuah senyuman kecil yang mengatkaan, 'Ini aku, teman kencan butamu.', namun sepertinya senyumannya terlalu kaku sampai-sampai sepertinya terlihat menyerupai sebuah seringai.
"Oh!" pekiknya tersadar. "Kazashi Hatake?!"
"Kakashi," ujar Kakashi membetulkan. "Hatake."
"Oh… kau tidak… tua."
Salah satu alis Kakashi terangkat mendengarkan perkataan gadis itu. Selanjutnya ia kembali mendapatkan beberapa komentar, untungnya positif, seperti ternyata ia tidak botak, ia tidak bungkuk, ia tidak penuh kerutan… memangnya apa yang Shikamaru katakan pada orang ini sampai ia dikira berumur 68 tahun seperti itu?
"Apakah kau mau masuk ke dalam?" potong Kakashi ditengah-tengah ucapan Sakura. "Disini terlalu berangin."
"Tentu saja." Sakura tersenyum. "Aku akan ke toilet sebentar, setelah itu aku akan ke mejamu."
.
.
Sakura memberikan jaketnya pada Kakashi dan segera bergegas menuju toilet café. Sial, kalau tahu teman kencanku akan terlihat seperti itu, aku tidak akan memakai riasan seperti ini!
Sesampainya di toilet, Sakura segera saja membuka tas besarnya dan mengambil peralatan perangnya—penghapus riasan, bedak, lipsik, dan perona pipi. Ia harus merias ulang wajahnya. Jangan sampai Kakashi Hatake itu berpikir bahwa ia adalah perempuan yang tidak bisa berdandan…
Lima belas menit setelahnya Sakura keluar dari toilet dengan perasaan lebih tenang. Kakashi masih disana, wajahnya terlihat bosan, dan ada satu lagi cangkir kopi yang terletak di atas meja. Ekspresi malasnya segera saja tertutupi oleh senyuman ketika Sakura datang ke meja mereka.
"Maaf karena menunggu lama." Gumam Sakura tidak enak.
"Tidak apa-apa. Kau terlihat… berbeda."
"Ah, ya, aku baru saja pulang dari sebuah acara, jadi… riasanku belum sempat kuperbaiki."
Tentu saja Sakura berbohong. Tidak ada acara apapun hari ini untuknya, dan ia menghabiskan sepanjang hari dengan menonton televisi dan makan es krim bersama Ino.
"Kalau begitu sebaiknya kita memesan makanan terlebih dahulu."
Beberapa menit kemudian, sepiring steak dan semangkuk salad hijau terhidang di depan mereka. Sakura menyesap air putihnya, berusaha memberikan kesan bahwa ia adalah seseorang yang dapat dengan mudah kenyang dengan hanya menghirup aroma air putih, lalu menggigit dedaunan di depannya dengan ekspresi serius.
"Kau tidak ingin memesan makanan yang lain?"
"Uhm? Tidak, ini saja cukup untukku." Ujar Sakura sopan.
"Kue? Kudengar café ini menjual kue yang enak."
Ugh, berhenti merekomendasikan makanan untukku, oke?! Jerit Sakura dalam hati. Gadis itu tersenyum manis dan menggeleng lagi, memutuskan untuk tidak menanggapi Kakashi dan berfokus pada selada di depannya. Salad mengenyangkanku, salad mengenyangkanku, salad mengenyangkanku, salad mengenyangkanku—
"Salad sama sekali tidak mengenyangkan."
Ekspresi jengkel Sakura benar-benar tidak dapat ditutup-tutupi, namun Kakashi sepertinya tidak terlalu memperhatikan lawan bicaranya itu. Mereka melanjutkan makan dalam diam dan Sakura bersumpah ini adalah kencan buta terburuk yang pernah dialaminya.
Mereka selesai makan beberapa saat kemudian dan memutuskan untuk pulang sesegera setelahnya. Keduanya berdiri dengan canggung di depan café, sama-sama bingung bagaimana mereka bisa mengungkapkan ketidaknyamanan di dalam diri mereka dan merangkai kata bahwa sepertinya kencan ini tidak akan berlanjut, sampai-sampai bunyi gemuruhpun tidak terdengar di telinga masing-masing orang.
"Uh… aku akan mengantarmu pulang." Ujar Kakashi akhirnya, menatap Sakura di depannya. "Tapi mobilku terparkir agak jauh. Tidak apa-apa kalau berjalan terlebih dahulu?"
"Ah, aku—"
"Atau aku bisa memanggilkanmu taksi?"
Sakura tidak mengerti apa yang merasuki dirinya sampai-sampai ia menjawab 'Tidak apa-apa.' beberapa saat kemudian. Jelas-jelas sepatu yang dipakainya ini adalah sepatu baru dan kakinya pasti sudah lecet—tapi bibirnya malah terus-terusan tersenyum sepanjang jalan dengan mata meringis menahan sakit.
Rintik hujan pada akhirnya jatuh beberapa saat kemudian. Kakashi menutupi kepalanya dengan tangan, berlari kecil menuju salah satu kios dengan atap teras yang cukup lebar. Dibelakangnya Sakura mematung sambil melongo tidak percaya.
Ia meninggalkanku ditengah hujan?! Jeritnya dalam hati. Oh, Kakashi, benar-benar tidak ada kencan kedua untukmu!
Sakura menghentakkan kakinya dan berdiri di samping Kakashi dalam diam. Gerimis tadi berubah menjadi hujan lebat dalam hitungan menit, dan mobil Kakashi masih cukup jauh dari tempat mereka berada. Keduanya meringis meratapi sial malam itu yang sepertinya tidak ada habisnya.
Sakura menyisir rambutnya yang setengah basah dengan jari dan memeluk dirinya sendiri. Ia berani bersumpah bahwa ia tidak akan pernah melihat Kakashi lagi setelah ini.
.
.
Baiklah, perempuan disebelahku ini benar-benar terlihat palsu. Bagaimana bisa ia terus-terusan tersenyum padahal jelas-jelas ia membenci hal-hal yang kubicarakan, aku tidak tahu, pikir Kakashi bingung. Sakura bahkan tidak mau meliriknya sama sekali sekarang. Bukan salahnya, mungkin mereka memang hanya tidak berjodoh.
Kakashi menatap penjual kue ikan di sebelahnya selama beberapa saat. Ia memang tidak sempat memesan hidangan penutup tadi karena situasi benar-benar tidak nyaman. Tanpa sadar kakinya berjalan ke depan penjual tersebut—dan ia mengacungkan dua jari.
Hah? Kenapa aku memesan dua? Pikir Kakashi bingung.
"Kacang merah dan custard." Ujarnya tanpa pikir panjang.
Baiklah, otak dan tubuhku sudah tidak sinkron, gumam Kakashi pada dirinya sendiri. Ia menerima dua kantong kertas dari orang di depannya dan berjalan ke tempatnya berdiri tadi. Sakura masih berdiri memunggunginya, tampak tidak berminat sama sekali untuk membuka percakapan.
"Ehm, Sakura…?" panggilnya pelan.
"Ya?"
Kakashi meringisi mendengar nada manis gadis itu yang terlalu dibuat-buat.
"Untukmu."
Sakura membalikkan tubuh dan menatap kantong kertas di depannya dengan ekspresi bingung. Saat ia tidak juga menerima kue ikan tersebut—seakan meminta konfirmasi, apa yang berada di dalam kantong itu—Kakashi mengerling ke arah penjual kue ikan di belakangnya dan pada akhirnya mendapat anggukan paham dari Sakura.
Gadis itu menghirup aroma kue di depannya dan terdiam.
"Terima kasih… Kakashi."
Kali ini Kakashi yang mematung selama beberapa saat. Pasta kacang merahnya bahkan tidak terasa manis sama sekali—kalah manis dengan senyuman yang diberikan gadis itu padanya beberapa saat lalu. Dengan susah payah ia menelan sisa-sisa kue ikannya sambil memperhatikan punggung Sakura yang bergetar sedikit karena kedinginan.
Nyatanya tidak membutuhkan waktu lama bagi Sakura untuk menghabiskan kue ikannya. Ia benar-benar lapar. Persetan dengan salad hijau dan dietnya, kue ikan ini benar-benar enak. Dan bagaimana caranya Kakashi bisa secara kebetulan memesan isian favoritnya, Sakura juga tidak tahu.
Hujan tidak juga mereda. Kalau dipikir-pikir bahkan semakin deras saja. Mereka berdua kini berdiri bersisian tanpa suara, masing-masing dengan bola kertas pembungkus kue di tangan.
"Kurasa aku akan memanggil taksi saja." Ujar Sakura akhirnya.
"Baiklah… aku akan menunggu sampai taksimu berlalu."
Namun siapa supir taksi tanpa penumpang yang gemar berkeliaran disaat hujan deras?
Kakashi pada akhirnya menghela napas. Ia melepas jas abu-abunya dan menyodorkan benda tersebut ke arah Sakura.
"Untuk?" Tanya Sakura bingung.
"Tutupi saja kepalamu. Lebih baik aku mengantarmu pulang sekarang."
"Tapi aku akan pulang naik taksi…?"
"Kita sudah menunggu selama sepuluh menit. Tidak akan ada taksi kosong yang lewat." Ujar Kakashi pada akhirnya. Ia menggulung lengan kemejanya sampai ke siku, menghitung waktu yang dibutuhkan baginya untuk sampai ke mobil ditengah hujan deras. Dua menit untuk situasi normal, dan delapan menit ketika ia bersama seorang wanita dengan sepatu dengan hak sepuluh senti di belakangnya.
Sakura menggeleng. "Aku tidak bisa menerima ini… lebih baik kau saja yang memakainya…"
"Tapi kau perempuan."
"Lalu?" Tanya Sakura sedikit tersinggung. "Kau pikir aku akan langsung pingsan setelah terkena hujan?"
Kakashi memandang orang di depannya dengan tatapan tidak percaya. Ia tidak menyangka Sakura akan sanggup berkata seperti itu. Ia memutar otak begitu keras—mencari-cari alasan yang bisa digunakannya untuk menutupi kesalahannya yang sebelumnya.
"Bukankah sudah seharusnya laki-laki menjaga perempuan?"
Kata-kata yang bagus, Kakashi! Puji Kakashi pada dirinya sendiri ketika melihat gadis di depannya merona. Sakura pada akhirnya tanpa suara meletakkan jas tersebut di kepalanya dan memandang Kakashi dalam diam.
"Sekarang apa?"
"Apa kau bisa berlari?"
Tidak ada jawaban langsung dari Sakura. Ia hanya terdiam selama beberapa saat sebelum mengangguk.
Saat itulah Kakashi sadar bahwa Sakura memang tidak bisa berlari. Akhirnya dengan seluruh harga diri yang sudah dibuangnya jauh-jauh saat ia memberi kue ikan tadi, pria itu berjongkok di depan Sakura sambil menepuk pundaknya beberapa kali.
"Naik."
"Hei, kau kira aku anak kecil?!"
"Tidak ada anak kecil secerewet ini." cibir Kakashi pelan. "Cepatlah, Sakura… hujannya tidak akan reda dalam waktu singkat."
Sakura sebenarnya hanya ingin menutupi fakta bahwa ia makan sangat banyak hari ini. Kakashi tidak tahu saja apa yang dilakukannya bersama Ino tepat setelah mereka makan es krim sambil menonton televisi—keduanya sepakat untuk memesan satu paket sushi lengkap dan mereka menghabiskannya dalam empat puluh menit. Apa yang akan dipikirkan Kakashi kalau ia menggendongnya sekarang?
Kakashi sepertinya juga tidak menyerah. Ia merelakan dirinya terkena pantulan air dari jalanan selama beberapa menit sampai akhirnya Sakura beranjak naik. Perlahan-lahan pria itu menegakkan dirinya dan melirik Sakura sekilas.
"Siap?"
"T-tunggu sebentar! Apa kau akan berlari?!" Tanya Sakura panik.
"…tentu saja?"
"Sepatuku akan jatuh! Aku harus melepas sepa—hei!"
Sakura menatap tangan Kakashi yang dengan mudah melepaskan kedua sepatunya dan menggenggam benda tersebut erat-erat di tangan. Seperti tidak memberikan Sakura kesempatan untuk protes lagi, pria itu segera saja melesat menerjang hujan dan berlari selama beberapa menit menuju mobilnya.
Saat itu Kakashi mengutuk dirinya sendiri karena memarkir mobil terlalu jauh hanya untuk menikmati jalanan tersibuk Shinjuku.
Mereka sampai tiga menit kemudian dan Kakashi secara cepat meletakkan Sakura dengan selamat di jok penumpang. Ia berjingkat-jingkat setelahnya memutari mobil, membuka pintunya dengan susah payah dan menjatuhkan diri di balik kemudi.
Keduanya terdiam selama beberapa saat sambil memperhatikan satu sama lain.
Basah kuyub dan menyedihkan.
Sakura-lah yang pertama kali memecah keheningan. Tawa gadis itu menggema di seluruh mobil, membuat Kakashi di sebelahnya mau tidak mau ikut tertawa. Mereka menertawakan diri sendiri dan satu sama lain begitu hebatnya sampai-sampai suara hujan tidak terdengar.
"Oh, benar-benar memalukan!" ujar Sakura sambil mengusap air matanya yang keluar sedikit.
"Siapa maksudmu?"
"Kita!"
Nada jenaka Sakura mau tidak mau membuat Kakashi kembali tertawa. Mereka pada akhirnya bisa tenang beberapa menit kemudian, membiarkan deras hujan mengisi kembali kesunyian mobil tersebut yang diselingi dengan napas satu-satu akibat tertawa.
.
.
Mobil Kakashi berhenti di depan rumah Sakura setengah jam kemudian. Hujan sudah berhenti, namun suasana menjadi ekstra berkabut saat ini. Ia terdiam sebentar sambil mematung sebelum akhirnya buka suara.
"Tunggu sebentar."
Sakura memandangnya dengan bingung sementara Kakashi berjalan ke belakang mobil. Gadis itu sudah berpikiran macam-macam—bagaimana kalau ternyata Kakashi pergi ke bagasi untuk mengambil pistol? Atau palu? Bagaimana kalau ternyata Kakashi akan membunuhnya?!
Ketukan dua kali pada kaca jendelanya membuat Sakura tersentak. Dengan takut ia membuka pintu, memutar tubuhnya dan memandang Kakashi di depannya dengan pandangan was-was.
"Kenapa memperhatikanku seperti itu?" tanyanya sambil berlutut.
"Kenapa kau berlutut?" Tidak mungkin ia langsung melamarku di pertemuan pertama 'kan?!
Kakashi tidak menjawab. Ia menarik kaki Sakura dengan gerakan halus dan memasangkan sepatu olahraganya yang tentu saja kebesaran dengan sangat berhati-hati. Pergelangan kaki gadis itu yang digenggamnya selama delapan menit selama hujan tadi membuatnya sadar kenapa Sakura membutuhkan waktu yang sangat lama untuk berjalan.
"Selesai." Gumamnya pelan. "Huh?"
Ia tertegun saat melihat gadis di depannya menunduk. Beberapa saat kemudian, jelas sekali ada setitik air yang jatuh di atas gaun bagian bawahnya. Sakura cepat-cepat menepuk pipinya beberapa saat setelahnya dan kembali memberikan senyuman penuh kepercayaan dirinya pada Kakashi.
"Terima kasih sekali."
Saat itu Kakashi merasakan bahwa terima kasih kali ini mewakili berbagai perasaan Sakura yang entah kenapa sulit sekali diekspresikan gadis itu. Tanpa menanyakan alasan gadis itu menangis, Kakashi mengangguk dan membantunya keluar dari mobil.
"Aku akan masuk." Gumam Sakura pelan. "Hati-hati."
"Ya."
Sakura tersenyum dan masuk ke dalam rumahnya. Lewat tirai putih tipisnya, ia memandang mobil Kakashi yang berdiam di posisinya selama beberapa saat sebelum akhirnya bergerak dan menghilang.
Baiklah, pikirnya pada diri sendiri. Ia menatap sepatu hitam Kakashi pada kakinya dan tersenyum. Yang ini tidak terlalu buruk.
