'Ini tidak cukup...'

Hinata menghela napas lelah. Pekerjaan paruh waktunya di minimarket dan kafe selama ini hanya bisa cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari dirinya dan sang adik. Walau di tingkat ketiganya di senior high Hinata mendapat beasiswa penuh, tapi biaya sekolah Hanabi di junior high tak sedikit. Hinata juga melarang adiknya bekerja, dia terlalu muda dan hanya perlu fokus dalam pendidikannya saja. Meski Hanabi sering diam-diam melakukan sedikit bisnis kecil jual beli aksesoris atau apapun itu yang bisa membantu perekonomian mereka, Hinata akan dengan tegas segera melarangnya. Ia adalah anak tertua semenjak kematian ayah dan kakak laki-laki mereka dua tahun lalu. Hinata merasa bertanggung jawab, dan ia bersikeras agar Hanabi memfokuskan sekolahnya daripada ikut lelah mencari uang seperti dirinya. Hinata hanya tak mau, masa remaja Hanabi harus menderita karena kini mereka yang sebatang kara. Dan Hinata yang merasa sudah cukup menikmati semuanya sampai sejauh dua tahun lalu –lebih lama dari Hanabi-, perlu untuk membuat adiknya itu memiliki masa remaja menyenangkan seperti gadis muda seumurannya.

"Nee-chan aku lapar..." Hanabi memasuki kamar kakaknya yang tengah menghitung berlembar-lembar struk belanja dengan sebuah kalkulator di tangan.

"Mm... sebentar ya, N-nee-chan akan masak sebentar lagi,"

Hanabi sebenarnya tak tega. Ia ingin membantu. Ia tahu kakaknya sering kesulitan menghidupi mereka berdua di tengah kepadatan sekolahnya. Tapi setiap kali ia berniat ingin membantu, Hinata akan menatapnya sedih dan merasa menjadi kakak yang tak berguna untuk mengurus adiknya. Itu tidak benar. Hanabi sudah sering mengatakannya. Hanabi tahu Hinata hanya ingin ia bahagia. Ia tak mau ikut merasakan derita. Ia merasa Hanabi masih terlalu muda untuk mengalami semua. Hanabi hanya ingin membantu, namun ia menghargai semua kerja keras juga perjuangan sang kakak demi dirinya. Yang bisa ia lakukan sekarang adalah membantu mengurus rumah seperlunya.

"Apa aku kupaskan beberapa bawang dan sayuran dulu saja?" tawar Hanabi.

"Boleh..." setelah kepergian sang adik, Hinata kembali bergelut dengan hitungannya.

Uang tabungan peninggalan sang ayah ditambah tabungan hasil pekerjaan paruh waktunya selama ini tidak akan cukup untuk membiayai kuliahnya dan sekolah Hanabi. Ia harus memutar otak untuk bisa menyelesaikan masalah finansial ini secepatnya, karena ujian akhir semester kurang dari lima bulan lagi. Hinata akan bekerja keras belajar untuk mengejar beasiswa perguruan tingginya, dan semoga Hanabi yang juga mengincar beasiswa yang sama sepertinya di Rakuzan, bisa berhasil lolos dan masalah uang untuk pendidikan pun terselesaikan.

"Setelah itu... berarti hanya perlu uang untuk repa-"

Tok tok tok!

Hinata tertegun.

Tok tok tok!

Setelah yakin jika pintu rumahnya benar-benar diketuk, Hinata pun segera beranjak dari meja belajarnya.

"Hai'... sebentar...!"

Hanabi sudah lebih dulu melesat ke arah pintu. Hinata pun mengikuti dari belakang untuk tahu siapa gerangan yang menjadi tamu mereka sekarang. Sangat jarang mereka mendapatkan tamu semenjak Hiashi meninggal. Paling hanya tukang pos atau bibi tetangga baik hati yang cukup sering memberi mereka makanan. Namun ketika pintu sudah dibuka, semua dugaan di kepala Hyuuga bersaudara itu meleset...

"Konbanwa,"

Hinata melebarkan matanya. Ia tak menyangka tamu di rumahnya malam ini adalah seorang pemuda berambut crimson dengan mata heterokrom yang begitu disegani sebagai emperor eye absolut.

Itu adalah Akashi. Akashi Seijuuro. Teman seangkatannya di kelas unggulan Rakuzan. Ketua dewan siswa sekaligus kapten basket di sekolahnya.

Hinata menelan ludah. Ia tak tahu kenapa teman seangkatan paling tersohor seantero sekolah bahkan luar sekolah karena segudang prestasi juga performa dan rupanya itu berada di depan pintu rumahnya. Mereka saja tak saling kenal atau menyapa, rasa-rasanya Hinata merasa mustahil orang penting seperti Seijuuro kini bisa berada di rumahnya.

"Konbanwa..." Hanabi membungkuk yang juga diikuti Hinata dengan kaku.

"Maaf, tapi anda siapa?" tanya Hanabi to the point.

"Akashi Seijuuro," gadis berambut coklat itu menaikkan salah satu alisnya.

"Siapa?"

"D-dia teman s-seangkatan Nee-chan..." lirih Hinata yang langsung membuat Hanabi menoleh cepat ke kakaknya.

"M-maaf, A-akashi-san... s-silakan masuk..." Hinata menyilakan pemuda itu masuk ke ruang tamu. Pemuda bernama Akashi itu disadari atau tidak, sedari awal selalu menatap intens seorang gadis Hyuuga berambut indigo yang jelas menampakkan keterkejutan mendapatinya disini.

Hinata yang selalu sigap untuk menyiapkan minuman atau kudapan ketika mendapati tamu, dicegah oleh Hanabi.

"Biar aku saja. Itu kan teman Nee-chan, tak enak jika aku yang tinggal bersamanya," ucapnya dengan lirih yang diiyakan Hinata. Meski gadis itu merasakan firasat kurang nyaman dan rasa gugup yang melanda. Sedari dulu, Hinata tak terlalu betah untuk memandangi wajah pemuda yang terkenal tampan di sekolahnya tersebut. Bukan karena ia alergi pemuda tampan atau apa, tetapi ia merasa tak nyaman dengan tatapan heterokrom yang serasa mengintimidasi itu. Bahkan tak jarang ia mendengar rumor beberapa 'korban' yang langsung mengalami mental break down akibar emperor eyenya. Hinata tak pernah mendapatkan tatapan mengerikan itu, tapi ia sudah merasa takut sendiri jika melihat sosok pemilik mata itu, apalagi kini orang itu berhadapan dengannya. Selain di lapangan, kekuasaan 'sang kaisar' juga berlaku di kehidupan sehari-harinya. Pemuda itu tak segan-segan memperlihatkan 'kekuasaan' mutlaknya pada siapapun. Anggota basket, dewan siswa, guru, teman-temannya, bahkan pada orang asing. Hinata hanya bisa terus menunduk menghadapinya.

"J-jadi..." Hinata menelan ludah karena tenggorokannya yang terasa kering.

"Jadi, a-ada perlu apa A-akashi-san kemari?"

"Kau harus menatap mata orang yang sedang kau ajak bicara, Hyuuga,"

Hinata tersentak. Pemuda itu sudah tahu namanya. Ia begitu malu karena sudah berbuat tak sopan. Hinata pun menegakkan kepalanya meski bola matanya bergerak kesana-kemari karena tak tahan dengan heterokrom tajam di depannya.

"S-su-sumimasen..."

Mereka diam sejenak. Hinata sudah sangat gugup.

"Jadilah tunanganku," tiba-tiba.

"Eh?"

Waktu serasa berhenti berdetak.

"Dozou..." Hanabi yang baru tiba meletakkan tiga cangkir teh panas dan sepiring kecil biskuit di meja. Menyilakan tamu mereka itu setelah selesai menyuguhkan dan duduk di samping sang kakak dengan melewatkan ekspresi terkejut Hinata.

"Hyuuga Hinata, kau adalah tunanganku,"

"Hah?!" Hanabi yang baru tiba dan Akashi yang tak mempedulikannya, meneruskan ucapannya kepada Hinata yang masih syok akan hal tersebut.

"Apa maksud-"

"Kau hanya perlu tinggal di mansionku."

"Chotto! Kenapa kau tiba-tiba berkata seperti itu? Apa mak-"

"Semua keperluan kalian akan kutanggung..."

"Hoi hoi... kau tidak deng-"

"... sekolah, kebutuhan sehari-hari, semua akan kutanggung,"

"Sebentar Onii-san! Kau tidak boleh sembarangan berbicara! Apa maksudmu? Kenapa Hinata-nee harus menjadi tunanganmu? Kenapa kau tiba-tiba berbicara seperti itu?" Hanabi yang notabenenya lebih bersikap berani merasa aneh dan tak terima karena secara serampangan pemuda asing di depannya itu berbicara seenaknya. Ia sampai berdiri dari tempat duduknya saking merasa tak terimanya.

"Sudah kubilang, namaku Akashi Seijuuro,"

"Aku sudah tahu itu! Yang aku tanya-"

"H-hanabi-chan... su-"

"Akashi Seijuuro. Dan ucapanku mutlak." Suara pemuda itu berubah dingin dan tegas. Tatapan mata kaisarnya ia sorotkan tajam hingga membuat Hanabi terpaku beberapa saat dan terduduk kembali di sofa. Hinata bahkan menahan napas karena jantungnya seolah teremat untuk berhenti berdetak.

"Kakakmu akan menjadi tunanganku. Dia akan tinggal di mansionku. Dan semua kebutuhan kalian, aku akan mengurusnya."

"..."

"..."

"Kenapa?" Hanabi masih tak tahu. Kenapa tubuhnya sulit ia kontrol beberapa saat lalu. Tapi begitu ia bisa mengeluarkan suara, ia masih berusaha membela kakaknya.

"Bagaimana Hyuuga?" ucapan dan tatapan itu terarah ke Hinata. Membuatnya berjengit dan meremat kain roknya cukup kuat.

"A-aku... aku..."

"Jika ini sebuah lamaran... dimana keluargamu?" suara Hanabi lebih lirih dan lemas dibandingkan tadi. Ia seolah tak punya tenaga untuk mengucap sesuatu. Mata heterokrom pemuda itu, seolah memberinya suatu rasa takut yang begitu besar hanya untuk menatapnya ulang.

"Apa kau hanya akan berbuat hal aneh pada kakakku? Kau ingin bermain-main dengan kami? K-kenapa ka-kami harus me-menuruti-" Hanabi begitu sulit untuk mengucapkan kalimat terakhirnya.

Ya... tentu saja. Karena kalimat yang ia lontarkan itu, mengindikasikan bahwa ia menentang sang kaisar. Bahwa ia menentang kemutlakkan Seijuuro yang telah ditetapkan.

"Aku tidak akan melakukan hal hina dan ceroboh,"

Hinata ingin memberi argumen. Ini terlalu aneh untuk menuruti kemauan pemuda bernama Akashi tersebut.

"T-tapi ji-jika keluarg-"

"Otou-sama jatuh sakit. Ia tidak akan bisa melarangku."

"Tapi-"

"Karena aku adalah penerus tunggal keluarga Akashi."

Glek!

"Tidak ada yang bisa membantahku,"

"Maaf, ini terlalu aneh A-akashi-san..." Hanabi mengingat panggilan yang disematkan untuk pemuda itu.

"... Aku tak mengi-"

"Kau menjadi tunanganku, adikmu akan kupindahkan ke sekolah yang lebih baik dengan fasilitas terjamin, dan semua tunjangan kalian aku yang mengurus," Akashi meletakkan sebuah pamflet sekolah berasrama dan selembar cek bernilai nominal fantastis.

"A-aka-"

"Ini..."

"Kau tidak perlu khawatir karena meninggalkan adikmu sendiri di rumah. Kyoto adalah sekolah dengan asrama berfasilitas terbaik di Jepang,"

"Tapi-"

"S-sumimasen, a-"

"Kuberi waktu 30 menit untuk mengambil barang seperlunya. Segera keluar jika sudah siap," Ia sama sekali tak menerima penolakan. Seijuuro berdiri untuk keluar dari rumah sederhana itu tanpa menyesap teh yang telah Hanabi siapkan sedikit pun.

Hinata dan Hanabi hanya saling menatap, masih kebingungan. Mereka ingin menyela, atau menyeru perkataan pemuda heterokrom itu, tapi setiap kali akan melakukannya, bayangan mata itu muncul, menakuti mereka.

"Adikmu akan ditransfer ke Kyoto besok pagi, jadi tak masalah kalau kau pergi bersamaku sekarang," dan pemuda itu pun benar-benar lenyap dari pandangan dua Hyuuga bersaudara yang masih termangu.

"Nee-chan..."

Ckiiiiiitttttt...!

Ketel uap di dapur menyentak si bungsu Hyuuga untuk berlari dan mematikan kompor. Hinata yang masih sedikit syok memaksakan diri bangkit menuju adiknya yang terlihat menyangga tangan di washtafel, nampak berpikir.

"H-hanabi..."

"Nee-chan harus menerimanya!" Hanabi yang menoleh cepat tiba-tiba membuat Hinata sedikit kaget.

"E-eh?"

"Mungkin itu yang terbaik untuk Nee-chan,"

"Hanabi..." Hinata menatap tak percaya. Tapi jika ingin jujur, ingin menolak pun rasanya ia tak berani. Ia tak bisa. Entah kenapa.

Mata itu...

"Aku tahu. Aku ingin tetap bersama Nee-chan," gadis 13 tahun itu beringsut memeluk kakaknya.

"Tapi tawaran orang itu sangat menguntungkan..." sebisa mungkin ia menahan tangisnya.

"...a-aku tidak tahu apa tujuannya, tapi Nee-chan harus menerimanya! Ini kesempatan, Nee-chan tidak perlu bersusah payah lagi untuk mengurusku,"

"H-hanabi..." Hinata sedikit menyentakkan pelukan sang adik karena tak terima ucapannya yang terakhir. Melihat raut tegas dengan mata berembun dari gadis yang sedikit lebih pendek darinya itu.

"Aku tak tahu apa tujuannya, tapi yang jelas tawarannya sangat menguntungkan, Nee-chan. Aku akan mencari jalan keluar jika orang itu memang berniat buruk. Aku akan datang jika Nee-chan membutuhkanku,"

"Ki-kita tidak membutuhkannya. Sudah tugas N-nee-chan untuk melindungimu, Ha-"

"Tapi aku tak mau Nee-chan kesusahan! Aku tak mau Nee-chan terus menderita!" gadis itu mulai menangis. Hinata jadi merasa bersalah.

"M-maaf... maafkan Nee-chan... Ta-tapi kita benar-benar tak membutuhkannya. Nee-chan masih mampu untuk mengurus Hanabi dan rumah kita..." Hinata merengkuh sang adik. Ia juga berusaha kuat menahan tangisnya.

"Aku juga ingin selalu bersama Nee-chan... hiks, aku juga ingin bahagia... tapi aku benci melihat Nee-chan selalu bekerja keras sendirian..."

"Hanabi..." Hinata mengeratkan pelukan dengan isaknya yang mulai keluar.

"Tapi, jika Nee-chan pergi, kehidupan yang lebih sudah menunggu Nee-chan!" Hanabi beringsut meraih kedua pipi kakaknya.

"Nee-chan harus pergi..."

"..." Hinata merasa tak sanggup.

"Aku akan baik-baik saja. Nee-chan tak perlu khawatir."

"T-tapi-"

"Aku akan terus mengejar beasiswa di Rakuzan untuk berjaga-jaga, dan jika Nee-chan merasa dalam bahaya, Nee-chan harus segera menghubungiku." Ucapnya tegas.

"Tapi r-rumah kita-"

"Akan pulang setiap akhir pekan, jangan khawatir. Sampai kita dewasa dan mengerti semuanya, kita harus berjuang dan memanfaatkan kesempatan sebaik-baiknya. Tawaran orang itu sangat bernilai, Nee-chan. Hidup kita bisa terjamin, dan sepertinya dia memang tidak akan berbuat hal-hal aneh..." Hanabi merasa ragu akan kata-kata terakhirnya tersebut.

"... dan yang terpenting, Nee-chan tidak harus menderita lagi, aku juga tidak akan membebani Nee-chan lagi,"

"N-nee-chan tidak pernah merasa terbebani, Hanabi-chan..." ucap Hinata lembut sembari mengusap hangat tangan Hanabi di pipinya.

"Nee-chan..." gadis itu memeluk kembali sang kakak. Memejamkan mata dengan dahi mengernyit karena sedih hidup mereka harus sengsara seperti ini. Namun ia menepisnya jauh-jauh segera, beralih memanjaatkan doa kepada Kami-sama, juga memohon perlindungan dari ayah dan kakaknya di alam sana.

"Baiklah, Nee-chan akan menerimanya..."

"Mm..." Hanabi mengangguk dalam pelukan mereka. bukannya ia 'menjual' sang kakak atau apa. Namun keadaan susah yang berlama-lama ini sudah membuatnya tak betah melihat sang kakak yang selalu bekerja keras di luar sana. Ia hanya ingin kakaknya bisa menikmati masa muda yang sama dengan harapan akan sang kakak yang ingin membuatnya bahagia di masa remajanya kini. Jika memang terjadi hal yang tak diinginkan, gadis itu akan segera sigap menghubungi pihak berwajib untuk membantu mereka. Ia berpikiran simpel, tanpa tahu siapa sebenarnya yang ia hadapi di sana.

"...Lagi pula mata itu sangat menyeramkan, Nee-chan. Aku merasakan bahaya jika kita menentangnya..." Hanabi mengungkapkan kejujuran hatinya. Itu adalah alasan terbesarnya menyetujui dan mendorong kakaknya untuk menyetujui apa yang pemuda Akashi itu minta.

"..." dan Hinata hanya diam saja.

.

.

.

.

.

.

Possessive Prison

Chap 4: Tied

...

Seijuuro membuka mata. Semalaman penuh ia tidur sembari merengkuh tunangannya. Menghirup aroma tubuhnya, menggenggam tangannya dalam posisi miring mereka, juga merasakan hangat tubuh yang menenangkannya. Merengkuh tubuh gadis itu dari belakang dan melingkarkan lengan kekarnya di tubuh Hinata. Semua itu membuat darah SEijuuro berdesir aneh. Sebenarnya ia tak seharusnya melakukan hal ini, termasuk hal spontan semalam. Tapi apa boleh buat, keberontakan gadis itu membuatnya terlepas dari batas yang ia tetapkan. Apalagi menghadapi gadis macam Hinata, mana bisa ia menahan semuanya. Itu mengalir begitu saja.

Seijuuro mengeratkan pegagan tangan mereka yang berada di depan dada Hinata. Dengan suara serak,

"Aku tahu kau sudah bangun,"

Seketika membuat tubuh mungil yang didekapnya itu sedikit berjengit merasakan terpaan napas dan suara bisik tepat di telinganya. Hinata memang sudah bangun. Kebiasaannya sedari dulu yang selalu bangun pagi telah membuatnya terjaga beberapa saat lalu. Namun mendapati posisinya kini, hal yang bisa ia lakukan hanya diam menunggu waktu yang tepat untuk bergerak dengan debaran jantung menggila juga kegugupan yang ketara. Dan begitu mendapati suara Seijuuro, justru membuat Hinata semakin bingung untuk berbuat.

"Kau tak mendengarku?" suara Seijuuro yang sedikit meninggi dan berat itu segera menyadarkan Hinata.

"H-hai', S-seijuuro-kun..."

Set!

Tubuhnya dibuat terlentang dengan pemuda itu yang kini berada di atasnya lagi, seperti semalam. Hinata sampai menahan napas dibuatnya.

"Go-gomen-"

"Ada tiga hal yang perlu kutekankan disini, Hinata." Hinata mengangguk takut-takut.

"Pertama. Tetap diam, jangan berbuat bodoh. Lakukan segala hal sesukamu asal masih dalam batas,"

"Hai'..." Hinata sudah memahami betul hal pertama itu, tapi ia tak tahu kenapa pemuda itu semalam 'menyerangnya' karena alasan telah melanggar perkataannya tersebut. Juga, tambahan kata di awal kalimatnya itu, membuat Hinata mengindikasikan bahwa hubungan mereka benar-benar belum resmi. Artinya, gadis itu belum tahu apa maksud dan tujuan Seijuuro padanya selama ini.

"Kedua. Kau adalah calon seorang Akashi, belajarlah untuk bisa menjadi terhormat dan disegani,"

"Hai'..." itu juga adalah peraturan yang semalam dikatakan Seijuuro. Hinata sudah tahu.

"Ketiga..." Seijuuro mendekatkan wajahnya. Hinata dibuat blushing dan gugup mendapati sepasang heterokrom yang menatapnya lekat seperti itu. Apalagi posisi mereka yang begitu intim.

"... kau milikku. Jauhi segala makhluk bernama laki-laki. Aku tak suka,"

Glek!

Hinata mengangguk secara patah-patah.

"Hai'..." cicitnya. Ia meremat selimut untuk mengurangi rasa takut akan kemungkinan pemuda itu yang 'menyerangnya' lagi.

"Sangat mudah untuk dilakukan. Perkataanku adalah mutlak Hinata. Jika kau melanggar, kau akan tahu akibatnya,"

"H-hai'... wakatta," lirih Hinata.

"Lima menit lagi kutunggu di bawah" ujar Seijuuro sembari menjauhkan tubuhnya. Membuat Hinata bernapas lega.

"B-baik..."

Pemuda itu melenggang keluar dari kamarnya yang membuat gadis Hyuuga yang masih terlentang itu tetap dalam posisi terlentang menatap kosong langit-langit kamarnya. Kepalanya mendadak berdenyut sedikit nyeri. Tapi seketika ia segera bangkit dan bersiap memulai hari kalau tak ingin kena amarah 'tuannya' lagi.

~~~)))0*0(((~~~

Hinata menuruni tangga dengan lesu. Wajahnya pucat dan matanya sedikit bengkak –akibat kejadian semalam-. Ini masih sangat pagi, bahkan masih sedikit gelap. Ia harus mengenakan jaket untuk menyelubungi gaun tidurnya ini. Waktu yang diberikan Seijuuro hanya cukup untuk ia pakai mencuci muka saja. Ia tak mau membuat pemuda itu marah, sehingga memilih untuk mengenakan jaket saja sebagai penghalau dingin tanpa repot menggati baju.

Sesampainya di ujung tangga, Hinata mendapati pemuda itu tengah menikmati secangkir kopi. Namun ketika melihat Hinata turun, ia langsung berdiri dan melenggang, menginstruksikan Hinata untuk mengikutinya.

"Hn," Seijuuro menyerahkan sebuah helm pada Hinata. Ia menerimanya dengan ragu namun ia memilih untuk mengikuti alur. Pemuda itu menyalakan sebuah motor trail berwarna hijau dan tanpa disuruh Hinata pun sudah tahu ia harus menaikinya. Merasa sedikit heran, karena Seijuuro tak mengenakan helm seperti dirinya.

"Wakka..."

"Jangan beritahu Otou-sama," seorang pelayan tua seolah ingin memberitahunya sesuatu, tapi Seijuuro segera menghentikannya. Hinata semakin heran. Ya... ia tidak pernah berhenti merasa heran dan aneh dengan semuanya semenjak ia bersinggungan dengan kehidupan seorang Seijuuro. Semua masih menjadi misteri, teka-teki, seakan coba disembunyikan darinya. Ia tak tahu apa-apa. Tapi ia juga tidak bisa berbuat apa-apa.

Seijuuro langsung menjalankan motornya setelah pelayan itu hanya bisa terdiam dengan ekspresi wajah berat mendengar ucapannya barusan. Melaju dengan kecepatan sedang saat keluar dari pintu samping mansion yang tak terlalu besar. Seorang pelayan membungkukkan badannya ketika ia melewati pintu itu yang langsung dihadapkan oleh jalan setapak alami dengan lebatan pepohonan disana-sini.

"Hh!" Hinata refleks mencengkeram baju di bahu Seijuuro karena jalanan cukup terjal dan pemuda itu harus sedikit 'memainkan' laju motornya agar bisa melewatinya. Ditambah tanjakan dan beberapa trek basah akibat hujan lebat semalam.

"G-gomenasai, S-seijuuro-kun..." Hinata sedikit takut akan tindakan refleksnya.

"..." tapi Seijuuro hanya diam saja.

Gadis itu mencoba melepas pegangannya dan menjaga keseimbangan, tapi karena memang jalur yang dilalui semakin menyempit dan rimbun, membuat ia hampir terjatuh beberapa kali.

"Pegangan, Hinata!" Hinata langsung memegang erat perut Seijuuro.

Ddrrrngg...!

Pemuda itu tak habis pikir, apakah Hinata terlalu bodoh untuk bisa bertindak sesuai situasi. Apa ia harus bertitah terlebih dahulu agar gadis itu bisa bertindak dengan benar. Harusnya di situasi seperti ini ia segera berpegangan erat padanya. Apa ia tak cukup meyakinkan untuk melindungi gadis itu? Sepertinya Seijuuro harus memberinya pengertian lebih. Biarlah, mungkin ia harus melonggarkan sedikit tali akan batasannya terhadap tunangannya itu. Tak ada jalan lain lagi.

Bbbrrrrmmm...!

"Kya!"

Motor melaju pada sebuah tanjakan yang cukup panjang dengan suluran tetumbuhan. Hinata merasa jalanan ini sudah lama tidak dilalui manusia. Bahkan terkesan layaknya rimba belantara. Mau tak mau gadis itu kini memeluk erat Seijuuro yang membuat pemuda itu sedikit mengeluarkan smirknya.

Bbrrrmm! Brrm!... ttek!

Akhirnya mereka sampai. Hinata segera turun dari motor dengan tubuh sedikit gemetar.

Ctk!

Seijuuro melepaskan helmnya yang membuat Hinata sedikit kaget. Apalagi ketika mendapati genggaman tangan yang terasa begitu hangat di pagi yang dingin ini.

"Kowai kah?"

Blush...

Tatapan lembut dan hangat itu serasa menghipnotisnya.

"..."

"Kau tidak perlu ragu. Jika kau butuh, kau bisa bergantung padaku," Hinata terpaku.

"U-um..." wajah Seijuuro terlihat begitu menawan dengan tatapan teduh yang melenakan.

"Tak perlu takut, aku akan selalu hadir untuk melindungimu," Matanya terbuka lebar mendapati sikap Seijuuro yang begitu... manis. Sikapnya itu membuat Hinata seketika kehilangan gemetar dan rasa takutnya. Membuatnya merasa tenang, aman, dan nyaman...

"Seijuuro-k-kun..." lebih mirip seperti bisikan, dan pemuda yang tengah menggandengnya itu beralih begitu saja. Hinata tidak tahu, tapi tubuhnya terasa begitu ringan sekarang. Membuatnya jadi disibukkan akan rasa kagum dan terpukaunya. Tanpa gadis itu sadari, bahwa iris emperor eye di hadapannya perlahan berubah warna menjadi ruby semenjak kedatangan mereka kemari.

Seijuuro menuntun Hinata saat berjalan. Mereka berada di areal sebuah rumah besar yang cantik namun terlihat tidak terawat. Halaman yang berupa tanah lapang yang dicor dan berpaping itu ditumbuhi banyak rumput liar. Tapi sebagian nampak baru saja dibereskan bahkan ada sebuah mobil terparkir disana.

"Eh?"

"Akan memakan waktu jika menggunakan mobil kesini. Waktu kita terbatas, lebih cepat menggunakan motor melewati jalan hutan," ucap Seijuuro menjelaskan.

Kedua sisi alis Hinata terangkat. Bukan hanya karena pertanyaan di pikirannya yang terjawab secara gamblang oleh Akashi tanpa perlu ia ucapkan terlebih dahulu, tapi juga sikap dan nada bicara pemuda itu yang begitu lembut kepadanya kini. Sikapnya benar-benar berbeda. Seratus delapan puluh derajat dari sikap menakutkannya semalam. Sekarang hanya tampak keramahan dan kehangatan yang memancar darinya. Membuat Hinata mudah tersipu hingga pipinya kemerahan. Seijuuro tak pernah memperlihatkan apalagi memperlakukannya seperti ini. Ini adalah kali pertama. Itu membuatnya terkesima. Seolah... ia tengah menghadapi orang yang berbeda. Orang lain yang bukan seperti Seijuuro yang dikenalnya.

"A-aa... souka..." dan Hinata menanggapi sikap Seijuuro kali ini juga dengan rasa yang berbeda. Ia lebih rileks, tak ada ketegangan sama sekali. Dalam keadaan ini, ia memang merasa seolah seperti kekasihnya. Hinata seolah mengakuinya. Ia begitu nyaman dengannya. Hanya saja, rasa ganjal itu kembali hadir tak lama kemudian.

"Akashi-sama..." seorang pria paruh baya muncul dari dalam rumah itu.

"... saya sudah menginstruksikan beberapa pekerja untuk membersihkan halaman dan rumah. Mungkin semua akan rampung sore nanti,"

"Terima kasih Ebisu-san," pria itu membungkukkan badannya saat sang tuan muda berlalu melewatinya bersama seorang gadis yang ia genggam tangannya.

Berbeda. Hinata merasa Seijuuro begitu berbeda. Rasa nyaman yang ia rasakan, bercampur dengan rasa tak nyaman yang tiba mendera. Entah. Hinata masih memiliki keraguan yang begitu besar dengan tunangannya. Ia masih belum tahu siapa Akashi Seijuuro sebenarnya. Apa yang dia mau, apa yang ia inginkan, apa yang akan ia lakukan padanya.

"Rumah musim panas ini adalah tempat yang sering kutempati bersama Kaa-sama,"

Hinata tersadar dari pikirannya. Ia menolehkan kepala ke arah Seijuuro yang terlihat tengah mengenang memori lama di dalam rumah yang masih tertutupi berbagai kain putih berdebu. Gadis itu tercenung.

Apapun kini yang ada di pikirannya, nyatanya Hinata tak bisa mengabaikan perasaan nyamannya terhadap Seijuuro sekarang. Sehingga ia bisa lebih berani menatap wajah pemuda itu. Ia tak bisa menghentikan rasa empatinya yang seolah hadir begitu saja.

"S-seijuuro-kun tinggal disini?" pemuda itu menunduk untuk mendapati amnethyst indah tunangannya yang dihiasi semu pipi. Ia tersenyum. Ya, tersenyum.

"Sejak dulu kondisi Okaa-sama tidak terlalu baik. Ia lebih banyak tinggal disini bersamaku,"

Hinata mengikuti arah pandang Seijuuro. Pada jajaran foto yang kebanyakan adalah foto masa kecil pemuda itu dan sang ibu.

"Okaa-sama sering menemaniku bermain, bahkan aku menyukai basket karena dia," Hinata mengangguk-anggukkan kepala. Ia mencoba mengamati sekeliling interior rumah itu. Meski hanya berdiam di satu ruangan, gadis itu dapat menyimpulkan seperti apa rupa sejati rumah tersebut.

"Ini adalah rumah yang indah,"

"Hn,"

Mereka terdiam lama.

"..." Hinata berhenti mengamati rumah ketika genggaman Seijuuro terlepas, berganti dengan sapuan tangan besar itu di pipinya.

"S-seijuuro-kun...?"

"Sebentar lagi..." Hinata tak mengerti.

"... setelah kelulusan nanti, kita akan menikah." tapi ia menyadari itu. Walau sikap dan nada suaranya masih terasa 'hangat', tatapan matanya masih menyiratkan suatu keabsolutan yang tak terbantah.

"!" Hinata menahan napas. Matanya terbelalak lebar. Jantungnya serasa berhenti berdetak. Waktu seolah menyedotnya kuat dengan begitu menyakitkan.

"Saat itu tiba, kita akan tinggal disini sampai seterusnya," ia hanya tidak menyadari, mungkin karena terlena, atau terbawa suasana, hingga melupakan sifat sejati pemuda itu yang sering ditunjukkan padanya. Kenyataan yang menyentaknya kembali pada kesadaran untuk waspada terhadapnya, merasa takut, segan, dan tak bisa menentangnya.

Hinata melewatkan, bagaimana emperor eye itu telah kembali tepat sebelum pemuda tersebut mengucapkan 'pinangannya'.

'Siapa kau sebenarnya... Seijuuro-kun?'

~~~)))0*0(((~~~

"Akashi..." Chihiro tak menyangka jika seseorang yang menunggunya di ruang dewan siswa kini adalah adik kelasnya yang juga dulu sempat menjadi rekan setim basketnya. Pemuda yang sudah merekrutnya menjadi tim elit Rakuzan, pemuda yang sempat mengeluarkannya dari lingkup sepi dan monotonnya. Membuatnya sempat memiliki sebuah hawa keberadaan kuat yang belum pernah ia punya.

"Ini saja yang kau butuhkan?" Seijuuro meletakkan sebuah buku album di hadapan Chihiro.

"Ya,"

"Kau yakin? Jika ada yang dierlukan lagi, kusarankan urus sekarang juga," Chihiro mengernyit.

"Ada apa denganmu?" ia sadar 'mata kaisar' adik tingkatnya itu telah kembali, namun ia tidak mengerti kenapa pandangan itu menjadi lebih mengintimidasi.

"Kuharap kau tidak datang ke sekolah ini lagi,"

"Memangnya kenapa?" Chihiro tak mengerti.

"Kau tidak apa-apa, Akashi?" jujur ia merasa khawatir. Pemuda itu semakin mendekat untuk memperhatikan wajah mantan kapten basketnya yang langsung mendapat peringatan oleh empunya.

"Jangan menganggapku seperti seorang pesakitan, Mayuzumi," ucap Seijuuro tak suka.

Hening.

"Kau berubah," ujar Chihiro datar.

"Seminggu lagi kami mengadakan pesta untuk persiapan Inter High. Datanglah ke tempat biasanya," pemuda berambut crimson itu acuh dan melenggang pergi dari ruangan dewan siswa.

"Apa yang membuatmu berubah?" langkahnya terhenti. Chihiro berjalan ke arah Seijuuro yang masih membelakanginya.

"Apa yang kau takutkan kali ini?"

"Berhenti menganggapku lemah," ujar rendah Seijuuro.

Tapi Chihiro acuh dan semakin maju hingga kini ia bisa menatap jelas kembali wajah yang lebih rendah beberapa senti dari tingginya itu. Seijuuro sedikit menoleh ke samping dan melirikkan matanya.

"Basket tak menggairahkanmu lagi? Anak-anak baru itu lebih kuat darimu? Kau merasa tertekan akan sesuatu?"

"Tutup mulutmu," aura tak suka semakin menguar dari tubuh Seijuuro. Dan semakin menguat tatkala pandangan Chihiro yang melihat sendu ke arahnya.

"Kali ini apa Akashi? Apa yang membuatmu takut?" sedikit tahu akan apa yang menjadi latar belakang emperor eye yang tersohor milik mantan kapten basket Teiko itu. Melalui Kuroko, yang pernah bertemu saat Winter Cup dua tahun lalu. Chihiro tak bisa diam saja ketika mendapati bahwa sisi paling disegani dari diri Seijuuro tersebut nyatanya merupakan sisi lemahnya. Pemuda itu pernah membuatnya bisa melihat 'cahaya' setelah sekian lama. Ada sisi baik dari diri anak itu yang hanya sedikit orang bisa memahaminya. Chihiro memahaminya, dan Chihiro ingin Seijuuro kembali seperti semula. Seijuuro yang tak lagi menampakkan sisi lemahnya.

"Tak ada yang perlu kau pikirkan. Kau cukup hadir bersama para senpai lain di pesta nanti," Seijuuro mengalihkan pandangannya lagi.

"Kau takut ditinggalkan?" namun sedetik itu pula pemuda crimson itu langsung berbalik kembali ke Chihiro dengan mendorongnya kuat ke tembok sembari mencengkeram kuat kerah bajunya.

Brak!

"Kubilang tutup mulutmu, sialan. Aku tak peduli kau alumni, rekan basket, atau partnerku. Perkataanku absolut, camkan itu." Ujar Seijuuro begitu dingin dan menakutkan.

"Khh..." Chihiro sedikit tersentak karena serangan dadakan itu. Tapi ia tak menyerah.

"... kali ini apa Akashi? Apa? Apa yang membuat-"

"Diam!"

"!"

Chihiro bungkam. 'Mata kaisar' itu menusuk tajam ke matanya hingga membuat ia tak dapat berkutik. Diselingi oleh napas berat Seijuuro yang seolah menahan suatu gejolak dalam dirinya.

"Ini adalah peringatan terakhirku. Jangan pernah menginjakkan kaki ke sini lagi..."

Gejolak untuk membunuh pemuda yang dua tahun lebih tua darinya itu.

"... Kau bisa bersikap seperti biasa padaku di luar sana. Tapi jika kau menampakkan diri lagi disini..."

Chihiro sudah kesulitan bernapas. Hal yang membuatnya dulu bangkit, Hal yang membuatnya dulu yakin, Hal yang membuatnya dulu begitu percaya, adalah mata itu. Tapi hal yang kini membuatnya tak dapat berkutik, juga mata itu. Chihiro tidak tahu. Sebenarnya siapa Akashi? Sebenarnya apa yang menjadi kemauannya? Apa yang bisa menjadi pemicu sikap absolutnya?

"...aku tidak akan segan untuk membunuhmu,"

TBC

Fyuuuuhhh...

Berapa taun nih? Berapa taun mangkraknya? Wkwk

Jujur Uma udah lupa alur ma ide cerita. Paling bikin mirip2 aja yah ama story Uma yang ono itu

*plak!

Gak gak gak... Uma usahain ceritanya beda lah hahaha

Gomen sangat... Uma juga gak tahu apakah masih ada Reader yang minat baca fict dengan pair crossover yang super crack ini, tapi Uma harap akan selalu mendapat support dan kata semangat dari Reader-tachi

*huuuuu ngarep!

Yeah... seenggaknya review Minna-san itu udah cukup sebagai bayaran atas kerja capek Uma buat ngetik ini :D

Lama-lama jadi kangen juga, bisa dapet review bejibun dalam satu kali upload dari Minna-san sekalian. Hah... pada akhirnya seorang author meski awalnya ga pengen dikasih imbalan apapun, ujung2nya bakal ngarep review sih hahaha (meski dah lama mangkrak in ini para story nya)

Buat bahan ide, kritikan, saran, dll

Lagipula, review para pembaca itu selalu bisa jadi bahan bakar penyemangat author buat menulis :D

Yosh, meski ngarep dan mungkin ga terlalu terwujud karena ffn dah sepi, tak apa

Uma bakal usahain tetep terus menulis dan memenuhi ekspektasi para pembaca budiman sekuat mungkin :D

Okayyy tengkyu dan see you next time Minna-san~~~

.

.

.

REVIEW dong~~~

*plak!