"Apa yang harus Kita lakukan?!" Tenma panik. Kardia duduk di belakangnya sedangkan Regulus bersama Yato.
"Apa yang Kalian tunggu, bocah?! Pecut kuda Kalian kalau tak mau jadi daging penyet!"
Raungan Troll membahana bersamaan dua kuda yang berlari. Raksasa itu mengejar Mereka dengan menabrak dan mematahkan pohon yang menghalangi.
"Apa yang harus Kita lakukan?!" seru Tenma untuk yang kedua kalinya.
"Sangat sulit untuk lari dari Troll, apalagi membunuhnya!" sahut Yato.
Regulus berteriak, "Kita berpencar. Tenma, teruslah lurus!"
"Baik!" sahut Tenma. Di saat seperti ini Dia tidak bisa membantah karena hanya Dia yang paling sedikit pengalaman berpetualang.
Di sisi lain Yato dan Regulus memutar dan mengejar di belakang Troll sedangkan Kardia dan Tenma menjadi umpan.
Regulus meraih busur serta tiga anak panah dari punggung Yato dan membidik tengkuk Troll. Namun belum juga memantapkan niat, Troll itu melempar potongan pohon dan melemparkannya ke depan.
Panah yang dilesatkan Regulus juga meleset entah kemana.
Namun Troll tahu bahwa ada yang mengincarnya dari belakang, karena panah tadi menyerempet telinga runcingnya. Dia berbalik dan membuat Yato mengerem kuda. Makhluk itu berteriak lagi dan hendak menerkam.
Regulus melompat dari kuda dan menarik pedang, "Pastikan keadaan Tenma dan Kardia, Yato!"
Yato mendecih tak setuju namun Dia tetap memenuhi perintah sang pangeran.
Sinar keemasan menyelimuti Regulus. Dia berlari dan menebas kaki kanan Troll dengan cepat.
"Aku harus menebas kakinya agar Dia roboh!"
Ketika tepat di bawah tubuh Troll dan berhasil menebas, Dia berpapasan dengan Kardia yang juga melakukan hal yang sama pada kaki kiri raksasa itu. Mereka berdua bertatapan dengan pandangan tak percaya.
Kardia berlari dan sampai di depan troll dan Regulus di belakang raksasa itu. Kemungkinan besar serangan Mereka cukup fatal hingga membuat raksasa itu roboh ke depan. Kardia berjarak beberapa langkah dari kepala troll itu.
Regulus bingung, mengapa raksasa ini dapat dikalahkan dengan mudah?
"Habisi Dia, Regulus."
"Eh?"
Tanpa sadar Regulus sudah berdiri di samping kepala troll bersama Kardia. Mungkin Dia memutari raksasa yang tengkurap itu sambil melamun.
"Tapi... bagaimana Dia mudah dikalahkan?" Sekali lagi Regulus tertegun, Dia sempat melihat ada beberapa pisau tertancap di dada dan perut raksasa itu tadi, "Kau...?"
Matanya membulat ketika Kardia mengulurkan tangan ke samping hingga keluar dari jubah. Ada luka sayatan melintang di tangan Kurcaci itu.
"Untuk melumpuhkan Troll, butuh racun yang kuat. Dan Aku hanya membuatnya pingsan."
Sedangkan Yato dan Tenma berada tak jauh dari Mereka.
"Hei, Tenma. Berapa banyak pisau yang dilempar Kardia?"
"Mana Aku tahu, lah! Kau tidak tahu seberapa takutnya Aku saat harus menghindari lemparan troll tadi, apalagi Kardia tiba-tiba melompat!" kata Tenma. Dia mengucapkannya dengan begitu cepat.
Kembali ke tempat Regulus yang memandangi wajah troll yang masih pingsan. Nafas raksasa itu cukup pelan dan membuat rerumputan di sekitar hidungnya bergoyang.
"Habisi dengan satu tusukan," pinta Kardia.
Regulus mengangkat pedang dengan kedua tangan dan menusuk tengkuk raksasa itu sedalam mungkin. Wajahnya terkena cipratan darah.
Dapat dipastikan bahwa raksasa itu sudah mati lewat henti nafasnya. Kedua tangan Regulus masih berpegang pada handle pedang yang menancap di tengkuk troll.
"Aku... membunuhnya?" tanyanya pada diri sendiri.
Samar tangannya gemetar ketika hatinya memutuskan untuk menarik pedangnya. Walau Dia tahu bahwa itu akan sulit karena Dia menusuk dengan sepenuh tenaga.
"Jangan ditarik, tinggalkan saja pedangmu," kata Kardia yang sudah membebat tangannya sendiri.
Regulus berbalik dengan wajah kesal, "Kenapa? Untuk bukti pada orang yang kebetulan lewat bahwa Aku yang membunuh raksasa ini?"
"Tidak juga. Yang di pikiranku justru pedangmu sebagai pengganti nisan."
"Hah?"
Di saat itu juga Yato dan Tenma datang. Kali ini si Tenma sudah di belakang Yato dengan menuntun kuda yang satu lagi.
"Kalian baik-baik saja?" tanya Yato, "hei, Kardia, berapa pisau yang Kau pakai tadi?"
"Enam. Hei, kenapa temanmu tambah lengket denganmu, huh?" tanyanya seraya menunjuk Tenma.
Tenma melempar tali kuda pada Regulus dan berkata sambil menutup mulut, "Regulus, Kau bersama Kardia. Aku kapok dengannya!"
Sang pangeran mengusap sisi pipi dan tersenyum letih, "Ya!"
Sebelum melanjutkan perjalanan, Regulus melihat mayat troll itu. Matanya menyiratkan berat hati dan segelintir rasa bersalah.
.
.
.
.
.
.
.
Regulus memelankan langkah kuda ketika Mereka hendak menyebrangi jalanan tanah. Terdapat banyak jejak langkah di jalan tersebut, ada jejak lurus seperti roda kayu dan juga jejak orang-orang.
"Jejak ini... siapa?" tanya Tenma bingung.
"Apa segerombolan perajurit atau orang-orang yang mau mengungsi?" sambung Yato.
Merasa bimbang, Regulus turun dari kuda diikuti Kardia. Keduanya juga merasakan hal yang sama dengan Yato dan Tenma, siapakah yang melewati jalan ini?
Yato melihat goresan di pepohonan pinggiran jalan, "Lihat itu,"
"Apa?" tanya Tenma.
Yato turun dari kuda dan mengecek pohon itu bersama Regulus. Tangan Regulus menyentuh getah yang mengalir dari luka di pohon itu, masih cair. Itu berarti siapapun yang melewati jalan ini pasti belum jauh.
"Baik perajurit ataupun orang-orang tidak akan melukai pepohonan sampai seperti ini," Kata Regulus yakin.
"Mungkinkah...?" tanya Yato takut dengan sebiji keringat di pipi.
Lalu jika diperhatikan lagi, semua tumbuhan di pinggiran jalan juga bernasib sama, penuh goresan benda tajam. Warna hijau Mereka menjadi kelabu pucat.
Kardia berjongkok di seberang jalan, Dia menyentuh darah yang menempel di rerumputan ilalang.
Regulus menemuinya dan terkejut karena Kardia menemukan bangkai ular yang tubuhnya hampir putus di bagian perut.
"Ular berbisa?"
Kardia mencium bau darah di jarinya dan berkedip pelan, "Goblin."
Hati Regulus jadi takut dengan bibir terbuka. Dia melihat ke jalanan dengan panik. Kumpulan goblin melewati tempat ini, seberapa banyak?
"Regulus," Kardia memanggil, "apa Kau bisa bicara dengan hewan seperti ayahmu?"
"Ah, Aku... uhm..."
Tahu bahwa Regulus bingung menjawab, Kardia melanjutkan, "Kau tahu kenapa dianjurkan menghancurkan kepala ular dan bukannya memenggal kepalanya?"
Regulus tahu mengapa, tapi Ia menggeleng karena ingin tahu bagaimana Kardia akan menjelaskan. Kurcaci itu mengambil botol silinder dari tas selempang, ukurannya kecil.
"Pertama, karena ada kemungkinan ular masih bisa menggigit walau sudah mati," Dia mengambil ranting untuk menyentuh kepala ular, dan benar saja, kepala ular itu merespon.
Tanpa takut Kardia menggenggam kepala ular itu dan membuat bisa ular itu menetes ke wadah kacanya. Memang hanya dua tetes namun itu cukup berharga baginya.
Setelah menyimpan botol kecil itu Kardia memperlihatkan ular itu pada Regulus, "Kedua, karena jika bangkai ini ditemukan oleh ular lain, maka ular yang masih hidup itu bisa melihat memori yang tersimpan di mata bangkai ini. Itulah mengapa ular disebut hewan pendendam."
"Kau... ingin Aku mencobanya?"
"Tatap mata ular ini dan fokuslah," pinta Kardia.
Regulus menurut, tidak ada salahnya mencoba, 'kan?
Dia tatap mata kecil ular tersebut dan melihat sesuatu. Dalam pandangan seekor ular, Dia menggigit kaki Goblin yang lewat tempat itu. Sebelum Ia dibunuh dengan cara diremas bagian perut.
Dia juga melihat sekelompok wanita yang berbaris satu-satu dengan tangan terikat dan mata tertutup.
Akhirnya Regulus menutup mata dengan rahang mengeras, keringat turun dari dahinya, "Goblin baru saja melewati tempat ini. Aku juga melihat banyak anak dan wanita, Mereka seperti..."
"Regulus, Kardia! Kami menemukan sesuatu!" Tenma datang menghampiri, sedangkan Yato menjaga kuda di kejauhan.
Dia memberikan benda itu pada pangeran, Kardia memperhatikan tangan Tenma sekilas lalu ke wajah Regulus. Kurcaci itu sadari Regulus terkejut dan menahan amarah karena benda itu.
"Apa yang Kalian temukan?"
Regulus membuang muka seraya memperlihatkan sebuah kalung di tangannya.
"Kalung perak? Tch. Kau pasti mengenal pemiliknya dan Dia juga terlibat dalam hal ini, 'kan?"
Regulus menunduk dan menggenggam kalung itu kuat-kuat, "Ya."
"Kau melihat sesuatu dari mata ular tadi?"
"Ya," Jawabnya lagi. Tenma mulai bingung dengan apa yang dibicarakan Kardia dan Regulus.
"Setelah menyerang suatu tempat, Goblin pasti membawa apapun, termasuk penduduknya. Tapi Mereka membunuh yang lelaki dan membawa anak-anak dan wanita."
Tenma yang terkejut menengok wajah Kardia, "Apa, Goblin?"
"Tenma," Untuk pertama kalinya Kardia memanggil namanya.
"Iya?!"
"Apa Kau bisa sihir cahaya seperti Regulus?"
"Heh?" Tenma dan Regulus melakukan hal yang sama kedua kalinya.
Entah berapa banyak, mungkin hanya lima puluh prajurit campuran Orc dan Goblin. Para wanita berjalan dalam barisan dengan tangan terikat satu sama lain. Sedangkan anak-anak Mereka disekap dalam kurungan kereta besi, jumlahnya ada lima kereta.
Para wanita itu diperlakukan kejam, mulut dan mata Mereka di tutup kain sekencang mungkin. Sedangkan anak-anak yang di dalam kereta tahanan menahan tangis.
Terdengar siulan panjang seperti kicau burung cipoh lalu berubah seperti kutilang.
Semua kuda di pasukan itu berhenti dan membuat para Orc di baris terdepan bingung. Lalu hewan-hewan itu bergerak liar hingga membuat pengendaranya jatuh.
Para Orc berteriak nyaring dan para prajurit Goblin memainkan senjata, membuat para tahanan wanita maupun anak-anak ketakutan.
Ternyata penyebabnya adalah Regulus yang menghadang pasukan tersebut dengan wajah marah.
"Cahaya terang yang lahir dari gelap, tururilah mauku. ..."
Di sisi paling belakang Tenma dan Kardia berdiri, Dia mengucapkan hal yang sama dengan Regulus. Kardia memainkan kapak kecil di kedua tangan.
"... Kaburkan pandangan Mereka yang mengabaikanmu. ..."
Sang pangeran menarik pedang, dan memasang kuda-kuda hendak melesat,"... Dan buat Aku..."
Tenma mengepalkan kedua tangan dan mulai berlari, "... dinaungi olehmu!"
Tempat itu di naungi cahaya dari berbagai arah. Sejenak kemudian para Orc bertumbangan dengan tubuh penuh darah.
Regulus berlari membunuh tiap prajurit dengan sekali tebasan fatal.
''Mereka menyekap anak-anak, lihat jejak kereta kuda itu? Ada dua kemungkinan, satu para wanita berjalan dengan tangan terikat atau dua, Mereka berada di dalam kereta," Ingatan penjelasan Kardia membuat semangatnya merebak.
Dia menusuk perut Orc dan menendangnya hingga menabrak yang di belakang sana. Di lain tempat Tenma meninju prajurit-prajurit dengan tangan kosong, namun itu berhasil membuat tulang Mereka patah dan remuk walau memakai pakaian zirah.
"Apa rencanamu, Kitty?" Tanya Kardia
Regulus berkedip, "Tentu saja, Aku harus menyelamatkan Mereka!" Lagaknya seperti tak ingin dibantah dan harus terpenuhi. Iya, pasti akan sangat sulit, apalagi Mereka hanya berempat.
"Berapa lama sihirmu bisa bertahan jika digunakan dengan maksimal?" tanya Kardia pada Tenma.
"Dua menit?"
"Regulus?"
"Tiga," jawab sang pangeran. Sebenarnya Dia ragu bahwa Kardia akan ikut bersamanya.
"Buat sihir cahaya seterang mungkin. Regulus dari depan dan Tenma dari belakang. Goblin dan Orc cukup peka dengan cahaya, karena itu Mereka memakai helm, jadi utamakan serang kepala atau lehernya."
Kardia menggambar sebuah persegi panjang di tanah dengan ranting tadi dan membuat beberapa kotak kecil di dalamnya, "anak-anak ada di kereta ini, dan wanita biasa di baris paling pinggir namun Mereka pasti dijaga. Tugasmu dan Tenma, bunuh Mereka semua untuk beri Aku dan Yato waktu menyelamatkan sandra. Tetapi, jangan bunuh pemimpin Mereka, biasanya Dia menunggang kuda dengan zirah paling mencolok dan paling dilindungi."
"Kenapa?" tanya Tenma.
Kardia hanya menjawab, "Nanti Kau tahu."
Yato membunuh semua penjaga di baris pinggir dan menarik tali para wanita yang mata dan tangannya tertutup, "Kalian jangan takut, Kami akan menyelamatkan Kalian!"
Kini Dia menarik tali itu dan membawa Mereka menjauh. Larinya sungguh cepat seperti kuda.
Para Goblin bergerak tak teratur, cahaya menyilaukan itu membutakan Mereka. Namun bagi Kardia dan lainnya, itu tak lebih dari silau matahari pagi. Belum Mereka berlari ke hutan, Kardia menyabet Mereka.
Satu kali menyabet, Dia jatuhkan senjatanya dan merebut apa yang dipegang oleh korbannya. Entah itu tombak untuk menusuk, belati untuk mengoyak, atau kapak untuk membelah.
Cahaya mulai padam dan keadaan menjadi semula. Tempat itu penuh bangkai Orc dan Goblin.
Satu Orc yang diketahui pemimpin pasukan, tergeletak takut dengan pedang beberapa senti di atas lehernya. Regulus di hadapannya. Jika tidak ingat perkataan Kardia, mungkin makhluk ini sudah bernasib sama dengan Troll tadi pagi.
Nafasnya cepat dengan mata tajam. Kardia memegang bahunya dari belakang untuk memenangkan pangeran itu, "Aku urus ini. Bantu Yato dan Tenma mengeluarkan anak-anak itu dan kaburkan pandangan Mereka dengan sihir Kalian. Jangan sampai Mereka melihat semua ini."
"Tapi...!"
"Pergilah," kata Kardia bosan. Regulus yakin tidak bisa mendebat Kurcaci itu.
Dia berlari ke arah tempat Tenma dan Yato sambil merapalkan mantra karena sihirnya mulai pudar.
"Bayangan merambat dan mulai memakan cahaya!" kata Orc dengan serak, "kematian di depan Kalian semua!"
Kardia menarik belati kembar di punggung lalu menancapkannya ke masing tangan Orc itu hingga berserapah, "Terkutuk Kau, Kurcaci!"
"Aku... memang sudah dikutuk," Dia tersenyum tenang dan menindih dada Orc itu dengan kakinya dan berjongkok, "katakan. Kemana Kau mau membawa Mereka, huh?"
"Ke tempat di mana kegelapan lahir dan cahaya mati...!"
Regulus menggendong dua anak yang pingsan dan memandang Kardia yang tengah mengintrogasi.
Kardia menarik satu pisau yang dibungkus kain, Dia berucap lirih, "Kalau begitu, kembalilah pada kegelapan dan tinggalkan cahaya."
Mata Regulus melebar ketika kepala makhluk itu menggelinding, 'Bagaimana Dia bisa memenggal makhluk itu dengan pisau?'
Kardia berdiri dan melihat mayat orc yang menjijikkan itu. Dia lalu menyadari kalau Regulus sempat memperhatikannya dan berpura-pura tak melihat.
Selesai memungut beberapa senjata yang dapat Ia gunakan nanti, Kardia menghampiri semua kuda yang Mereka rampas dari pasukan tadi, mata dari kuda-kuda tersebut tertutup, karena itu Mereka tidak histeris oleh sihir cahaya tadi.
"Berapa jumlahnya?"
"Dua puluhan," jawab Yato.
Kini Dia melihat pada Regulus dan Tenma yang melepaskan ikatan tangan sandera di kejauhan. Sang pangeran terlihat berusaha menenangkan Mereka dan bertanya beberapa hal.
"Hei, Kardia," Yato menarik ujung bajunya, "apa Kita sudah membunuh semuanya?"
"Yah," Kardia mengangguk, walau setengah hatinya ragu, "apa Regulus punya teman dekat yang tinggal di tempat Mereka?"
Dia melonggarkan syal karena nafasnya makin berat. Yato mengangguk, "Kurasa ada."
Anggukan kepala Yato membuat Kardia sadar, pelipis pemuda itu terluka dan mengalir darah.
"Kemari."
"Apa-akh!"
Satu tangan Kardia memegang erat bahunya, dan satu lagi mengusap pelipis pemuda itu. Nampak mata Kardia menyipit, "Sekali lagi kena pukul seperti ini, maka Kau akan amnesia."
Sebenarnya Yato takut untuk bergerak ketika Kardia menggunakan ujung syal untuk menghapus darah yang mengalir dari luka memarnya. Namun Dia tetap mundur, "Baik, baik. Aku akan lebih hati-hati!"
"Kalau begitu bantu dua temanmu sana dan tanya apa Mereka terluka,"
"Baik, baik."
Semua kuda itu berkumpul menjadi satu, Mereka mengikik rendah. Kardia mengulurkan tangan dan kuda-kuda itu mundur seperti tahu keberadaannya.
"Apakah Kalian... juga berasal dari sana?"
Kuda-kuda tersebut menoleh bersamaan ketika Regulus datang. Dapat didengarnya Kardia berucap lirih, "beruntungnya mata Kalian terlindungi dari gelap itu."
Sang pangeran mengerutkan alis dam mengusap mata sendiri untuk menghilangkan bekas tangisnya lalu memberanikan diri menarik pelan jubah Kardia.
"Ada apa?"
Mata biru Regulus melihat dari kepala hingga kaki sang Kurcaci, "Apa Kau terluka, Kardia?"
"Aku tidak seceroboh Kalian, bocah."
Dalam hati Dia yakin bahwa Kardia juga ingin menanyakan hal yang sama. Namun Kardia menahan diri untuk demikian dan bertanya hal lain,
"Kau menemukan temanmu?"
Nada pertanyaan Kardia terdengar begitu dalam seolah berusaha untuk tidak menyinggung perasaan Regulus, bersamaan angin utara yang memainkan dahan dan membawa bau pepohonan.
Rambut Regulus menjadi keemasan saat cahaya matahari yang lolos oleh dedaunan mengenainya, mirip seperti bunga Eleron yang tumbuh di bukit Amroth.
"Ya. Dia selamat," Hanya anggukan pelan menanggapi perkataannya, "Kardia, Aku... Aku ingin mengantar Mereka semua ke desa terdekat, mungkin jaraknya cukup jauh. Apalagi dengan jumlah Mereka. Setidaknya, Aku ingin mencarikan Mereka perlindungan."
"Kalau begitu cepat minta Mereka naik kuda-kuda ini," Kardia memandang bangkai pasukan di ujung jalan sana, "Kita harus segera meninggalkan tempat ini."
"Apa tidak apa-apa?"
Kardia tidak memperhatikan mulut Regulus, Dia sudah tahu dari wajah cemas itu. Mereka berempat, membawa penduduk yang trauma dan sudah kehilangan tempat tinggal ini. Apakah Mereka sanggup melindungi orang-orang ini?
"Kau ini!" Kardia tersenyum dengan mata tertutup, Dia menepuk kepala Regulus, "jangan kebanyakan berfikir, Kitty. Lagipula, singa Nemea takkan pergi kemanapun."
Mereka menemukan sebuah sungai dan memutuskan untuk menelusuri kemana sungai itu mengalir. Kali ini Tenma dan Kardia kembali berada di satu kuda, itu permintaan Kardia. Katanya, pemilik sihir cahaya harus menjaga baik di depan maupun di belakang dengan satu penjaga, disetujui langsung oleh Regulus. Well, jika boleh memilih, Tenma lebih suka bersama dengan Yato.
"Kau tidak usah takut, Bocah. Aku tidak akan membuatmu jatuh dari kuda. Selain itu, apa Kau juga bisa bicara dengan hewan?"
Tahu bahwa tak perlu menjawab, Tenma hanya menggeleng.
"Hei, Kau mencium sesuatu?"
Suara Kardia termakan derasnya arus sungai. Hingga Tenma tak dapat mendengarnya dengan jelas. Namun sayang bagi Kardia yang kehilangan pendengaran, Dia tak bisa menikmati berisiknya suara aliran sungai tersebut.
Walaupun begitu, Dia merasa indra-indranya yang lain bertambah tajam. Ia bisa melihat kelopak-kelopak bunga yang jatuh dari pohon di kejauhan dengan sangat jelas, merasakan semilir angin yang membawa sejuknya buih sungai serta hangatnya dedaunan maple, dan bau-bau aneh yang terasa familiar dan tercium samar-samar.
Kini bau aneh tersebut makin mengusik Kardia, baunya seperti... kambing?
"Hei, Kau mencium sesuatu?" kali ini Kardia mengeraskan suara tepat di belakang telinga Tenma.
"Sesuatu seperti apa?" Tenma menoleh padanya.
"Baunya seperti apek hewan berbulu, dan sangat pekat!"
"Hah...?" mata bingung Tenma membuat Kardia gemas ingin menjitak kepala anak itu.
"A-nu..." seorang gadis menghampiri Mereka dengan kuda dari baris depan, Dia juga berboncengan dengan dua anak kecil di depan dan belakangnya.
Gadis itu mengenakan jubah milik Regulus, terlihat juga pakaiannya yang kotor dan penuh sobekan. Namun Kardia yakin bahwa gadis itu keturunan bangsawan.
"Ada apa, Nona Connor?" tanya Tenma.
Kardia mencuri pandang pada gadis itu, gaun putihnya penuh sobekan hingga lutut dan di tangannya guratan luka yang pasti disebabkan karena jeratan tali tadi. Lalu juga terlihat sebuah kalung di lehernya.
'Jadi ini yang Regulus maksud?'
"Benarkah?!" seru Tenma semangat.
Kardia yang menyadari gelagatnya bertanya, "Kabar macam apa yang datang hingga wajah kusutmu berubah?"
"Lebih baik Kita melihatnya sendiri, Kardia!" seru Tenma senang. Dia memacu kuda ke garis depan.
"Woi-oi, tenang, anak muda!"
Sekilas Kardia melihat ada benda putih dan cokelat berlompatan di antara pepohonan. Lalu ada sedikit heran ketika anak-anak yang di atas kuda menunjuk-nunjuk ke arah rerimbunan pohon dengan wajah senang.
Di depan sana Regulus dan Yato tengah bicara dengan dua orang yang di belakangnya ada puluhan domba dan beberapa kambing. Kedua pengembala itu adalah Shion dan Yuzuriha.
"Tenma!" sapa Yuzuriha sambil melambaikan tangan.
"Yuzuriha!" Tenma melompat dari kuda dan membuat Kardia kaget sendiri.
"Huh, pantas saja. Ternyata pacarnya di sini!" Kata Kardia sambil menenangkan kudanya karena kelakuan Tenma, "padahal kukira Kau benar-benar jadian dengan Muka Kuda!"
Regulus dan Yuzuriha tertawa sedangkan Yato dan Tenma mengelak perkataan Kardia bersamaan lalu Mereka mulai bertengkar lagi.
"Kardia," Shion berada di samping kudanya, "Aku tak percaya bisa bertemu denganmu di sini."
Kardia tak menjawab senyum ramah Shion, Dia turun dari kuda dan berhadapan dengan pemuda itu. Nampak Shion sedikit lebih tinggi darinya.
Tangan Kardia terulur dan menyentuh sisi rambut pemuda itu, "Rambut dan tubuhmu terus tumbuh, sayang...," Dia beralih menyentuh dua alis Shion dengan jari telunjuk dan tengahnya, lalu mendorong dahi itu, "tidak dengan otakmu."
"Ouch!" Shion mengelus dahi.
Diam-diam Regulus memperhatikan Shion yang berhadapan dengan Kardia, terlihat Kurcaci itu sangat akrab dengan Shion. Tapi keduanya lebih banyak berpandangan dalam diam.
"Lalu apa Kalian terluka?" tanya Yuzuriha.
"Yah!" Tenma merangkul Regulus, "Aku dan Regulus tak terluka, tapi lihat Yato! Dia kena pentung Goblin, bahkan Kardia sampai memintaku untuk mememakaikannya helm besi saat perang nanti!"
Regulus lihat Yato kembali kesal, "Tentu saja, Aku melepaskan Mereka (wanita-wanita yang disandera) seorang diri dan tanpa senjata, tidak seperti Kau yang membawa Kardia!"
"Kalian... sudahlah," Regulus melepas rangkulan Tenma dan menghampiri Kardia dan Shion.
"Jadi benar begitu?" tanya Shion lirih.
Kardia memandang anak-anak yang bermain dengan domba-domba yang dikembalakan Shion dan Yuzuruha, namun Ia lebih memperhatikan wanita-wanita yang kehilangan cahaya di wajah Mereka, "Seperti yang Kau lihat, Mereka kehilangan semuanya."
Sebenarnya Regulus sangat bimbang untuk ikut bercakap-cakap dengan Mereka, namun bagaimanapun juga, Regulus merasa harus mengatakan banyak hal.
"Aku sudah mengerti, Pangeran Regulus. Kau dan kedua temanmu sangat berani dan sudah berjasa menyelamatkan Mereka semua," kata Shion.
"Eh?" Regulus terkesiap. Padahal tadi Ia baru menceritakan sedikit kronologi di mana Mereka menyelamatkan penduduk ini. Namun Kardia mengangguk kecil padanya.
"Bisa Kau bawa Kami ke gurumu? Karena Kami diburu waktu." tanya Kardia lagi.
"Tentu saja," Shion tersenyum dan memandang Regulus, "Dia dan yang lainnya akan menerima Kalian semua."
.
.
.
Ketika Mereka keluar dari area hutan dan memasuki padang rumput. Regulus mengira-ngira, domba dan kambing yang dikembalakan Shion dan Yuzuriha berjumlah puluhan.
Kini Dia dan kedua temannya memilih berjalan. Yato, Tenma, dan Yuzuriha paling depan dengan setengah kawanan domba. Sisanya di belakang sana di mana ada Kardia dan Shion.
Sebenarnya Regulus sangat ingin bersama Shion dan Kardia, namun Kurcaci itu menolaknya.
"Lebih baik Kau di tengah bersama wanita-wanita itu, Mereka butuh keberadaanmu untuk membuat Mereka merasa aman."
Sesekali Dia juga menoleh kebelakang untuk memastikan keadaan para wanita-wanita yang berkuda. Lalu terakhir adalah gadis di atas kuda yang Ia tuntun sekarang.
"Connor, Kau mau istirahat?"
Connor menjawab, "Tidak, Re. Biar saja Kita sampai tujuan sekalian, Aku takut Kita kemalaman."
"Tapi Aku bisa minta untuk istirahat sebentar, lagipula Kalian semua pasti kelelahan, 'kan?"
"Kau tidak perlu mengkhawatirkan Kami, Pangeran. Kami sudah sangat berterimakasih Anda menyelamatkan Kami dan mencarikan Kami perlindungan," kata seorang wanita.
"Itu benar, mata Kami memang tertutup tapi Kami tahu bahwa itu adalah sihirmu. Kami juga sangat bersyukur," sahut lainnya.
Regulus tersenyum pada Mereka, namun Dia juga tak bisa menyembunyikan sedihnya. Jika saja Ia lebih cepat, mungkin masih ada peluang untuk menyelamatkan desa milik Connor.
"Regulus," Connor turun dari kuda.
"Hei, kenapa Kau turun dari kuda?"
"Karena itu tak adil," Dia berjalan di samping sang pangeran, "Kau dan kawan-kawanmu berjalan, kenapa Aku tak boleh? Lagipula Aku juga anak dari pemimpin Mereka."
"Kita... sama-sama kehilangan ayah Kita."
Connor hanya mengangguk sedih namun tidak menangis. Air matanya habis waktu dijadikan budak oleh para Goblin tadi.
.
.
*
.
.
Di baris belakang sana Kardia melihat Regulus dan Connor yang berbincang-bincang. Hatinya damai sendiri melihat interaksi dua remaja yang kasmaran itu.
Shion mengetahui apa yang dilihat Kardia, walaupun Dia sendiri juga sibuk menggiring domba dan kambing yang bergerak lambat karena seharian makan rumput hijau.
'Dia memang pemimpin yang hebat,' kata Shion dengan telepati.
Kardia berkedip singkat dan mengalihkan pandangan pada kuda yang dituntunnya, "Terlalu berlebihan. Dia masih mentah."
'Aku sempat mengira Kau benar-benar mati saat ikut ke kota Priest waktu itu, Kardia.'
"Sepertinya banyak yang berharap begitu. Tetapi sang Kematian seperti ingin Aku mencoba untuk mati dengan bermacam cara," kelakarnya, 'tapi, saat Aku sekarat waktu itu, Aku mendapat satu alasan untuk tetap memaksa jantungku berdetak.'
'Apa itu?'
Kardia tersenyum dalam dan menatap Regulus yang mulai tertawa karena anak-anak mulai mengejar kambing.
'Aku merasakan sebuah percikan sihir yang tertinggal di kota itu, sangat unik. Lalu Aku mencari dan kebetulan ada bersamaku. Aku jadi ingin tahu seberapa besar nantinya saat di peperangan.'
Shion mengikuti pandangan Kardia dan tahu maksudnya, 'Jadi itu alasan kenapa Kau mengikutinya?'
"Bisa ya dan bisa tidak," jawab Kardia tak jelas.
Mereka mulai menaiki kaki bukit yang penuh bunga liar, aromanya hangat dan menyenangkan. Di kejauhan sana juga terlihat beberapa gembala sapi, lonceng hewan tersebut bersahutan seperti menyapa.
Shion melambaikan tangan pada gembala-gembala di sana.
'Shion..., apakah... masih jauh?'
Shion berpaling dan mendapati Kardia mulai oleng, "Kardia!"
Kuda terkikik karena Kardia yang hampir ambruk dapat masuk dalam rangkulan Shion. Hewan tersebut menunduk dan mendorong kepala Kardia dengan moncongnya.
Kardia yang bersandar di lengan Shion batuk darah, pandangannya menjadi gelap, 'Jangan... gunakan sihirmu untuk berpindah...'
'Bertahanlah!' Dia menggendong Kardia dan naik ke kuda, mengabaikan domba-domba yang sejak tadi Mereka giring teratur.
Pandangan Kardia tak jelas, di matanya para wanita dan anak-anak di depan sana menjadi biri-biri dan kambing. Maka Dia tutup mata dan menyandarkan punggungnya ke dada Shion.
Regulus menoleh kaget ketika Shion melewatinya, "Kardia?"
Pengembala itu berpacu dan berteriak pada Yato dan Tenma, "Kalian berdua jaga ternak di belakang sana dan berhati-hatilah pada serigala! Yuzuriha, usahakan sampai sebelum matahari terbenam!"
Baik Yato, Tenma, maupun Regulus tercengang melihat Kardia yang tak sadarkan diri di rengkuhan Shion yang memacu kuda duluan. Kedua pemuda yang disuruh langsung berlari ke belakang, melewati Regulus tanpa mengucap kata.
Perjalanan menjadi sedikit dipercepat.
.
.
.
.
.
Mereka sampai di perkemahan para penggembala tepat ketika matahari tenggelam di balik pegunungan terjauh.
Kebanyakan dari penggembala itu adalah ras dari Dwarf dan Elf yang memilih hidup rukun dan berkelana sambil mengembalakan ternak, Mereka biasa berpindah dari bulan ke bulan dengan menyesuaikannya pada cuaca dan keadaan alam.
Mereka menyambut kedatangan Regulus dan rombongannya dengan sangat baik. Terutama seorang Elf yang kira-kira berumur sangat tua bernama Hakurei.
"Kau lebih tinggi dari terakhir Kita bertemu, Pangeran Regulus," kata orang tua itu.
Regulus menjabat tangannya, masih ingat dalam memori yang sangat kabur, Dia dan ayahnya pernah mengunjungi orang ini.
Senyuman terukir di wajah sang Pangeran, "Senang bisa bertemu dengan Anda, Tuan Hakurei! Sudah sangat lama sejak terakhir kali Kita bertemu!"
"Ya, terakhir kali Kau masih dalam buaian ayahmu di atas tunggangan yang besar."
Alis Regulus turun sedikit tanda sedih, namun wajah ramahnya belum luntur.
"Aku sudah dengar semuanya dari Shion dan Kardia. Kalian sangat berani. Kau dan Mereka diterima di sini. Dan Kau boleh di sini sampai kapanpun."
"Maaf, tapi Kami diburu waktu," tolak Regulus sehalus mungkin, "ada tempat yang ingin kudatangi sebelum berperang lusa."
"Hah..., Shion juga belum mengatakan kemana Kalian mau pergi. Apakah tempat itu jauh?" tanyanya lagi. Mungkin tidak sopan jika langsung bertanya kemana tujuan Regulus sebenarnya.
Namun Regulus tidak keberatan, sungguh. Walau tahu, bahwa kecil kemungkinan Dia bisa sampai ke medan perang bersama sang singa.
Cahaya terakhir matahari menyentuh perbukitan itu, tepat di belakang Regulus, "Aku ingin menemui singa Nemea dan mengajaknya untuk menemaniku berperang."
Suara tegas Regulus membuat semua orang diam. Heran, takjub, bersyukur menjadi satu. Hakurei pun juga begitu. Di matanya sosok Illias berdiri di belakang Regulus, wajah Mereka sangat mirip.
Pria Elf itu menutup mata dengan senyum dan berkata, "Kalau begitu, bermalamlah di sini semalam dan berangkat esok hari. Kau akan mencapai sarang Nemea ketika siang."
Wajah Regulus sumringah, Dia membuka mulut, "Terima-"
"Engkau tak perlu berterimakasih," Hakurei menyela, "Kau melakukan pekerjaan mulia di umur yang sangat belia. Karena itu, semua ras akan bersedia membantumu, Regulus putra Illyas."
.
.
.
.
.
Kardia tidur lelap, di dahinya kompres dingin, pakaian yang dikenakannya juga sudah diganti dengan bahan wol hangat yang lembut.
Regulus memasuki tenda itu bersama Hakurei dan melihat Shion bersama seorang tabib duduk di samping tempat Kardia berbaring. Remaja itu menahan nafas karena takut jikalau Kardia benar-benar tak bisa bertahan.
"Guru."
"Bagaimana keadaannya?" tanya Hakurei pada tabib.
"Dia demam dan kelelahan, beberapa jam lagi obatnya akan bekerja." Jawab Tabib. Dia baru selesai membebat ulang tangan Kardia.
"Dia bukan hanya demam," sahut Regulus, "Penyihir Hitam mengutuknya hingga seperti ini."
Regulus sengaja tak menyebut nama Pandora, baginya nama itu juga adalah kutukan.
"Kami juga sudah tahu," jawab Hakurei tenang.
Tabib tadi minta undur diri dan Hakurei duduk di sisi lain samping tubuh Kardia. Shion memberinya isyarat untuk ikutan duduk di sebelahnya.
"Kabar tersebar dengan begitu cepat, terbawa angin dan aliran sungai. Tentang penyerangan, pengorbanan, pembantaian, dan semua hal lain. Sejarah terulang dengan pasti. Dan Kami para orang tua hanya bisa berharap pada Kalian generasi muda."
Sayangnya Regulus tidak benar-benar menyimak petuah dari Hakurei, Dia masih mencemaskan Kardia. Beda lagi dengan Shion yang memalingkan wajah karena tak ingin mendengar.
"Apakah Dia akan baik saja?" Regulus bergumam ragu. Dia menyentuh tangan Kardia yang baru dibebat. Panas sekali.
"Kurasa ya. Dia punya alasan yang kuat hingga bisa bertahan sampai sekarang. Untuk saat ini, Dia harus istirahat sebanyak mungkin, begitu juga denganmu, Pangeran."
Rumput ilalang kecoklatan bergoyang oleh hembusan angin dan membuat Mereka menghasilkan gemerisik nan damai.
Regulus kecil bergulingan di atasnya dengan tertawa lepas. Dia lalu menatap redupnya matahari di balik awan.
"Regulus..."
Itu suara ayahnya yang memanggil. Regulus berubah menjadi versi remaja dan bangun dari rebahan di atas ilalang. Dia lihat ayahnya berdiri di samping singa Nemea, Mereka tersenyum seperti mengharap kedatangannya.
Seketika suasana musim panas yang hangat menjadi gelap. Gemerisik menyenangkan dari rumput ilalang menjadi dentingan senjata. Padang savana itu menjadi medan tempur dan Regulus memakai baju besi yang berlumuran darah.
Ayahnya menghilang dan singa Nemea mendekatinya. Tangan berzirah Regulus terulur dan menyentuh bulu hewan tersebut.
.
.
.
.
*Mimpi yang indah sekaligus menakutkan*
.
.
.
.
Pangeran itu terbangun di sepertiga malam terakhir. Tenma dan Yato masih terlelap di sampingnya, berkemul hangat di balik selimut wol.
'Aku akan mencapai sarang Nemea dan memimpin peperangan, Ayah,' janjinya pada diri sendiri. Dia menutup mata pelan untuk mengusir air yang menggenang di matanya.
Setelah mengumpulkan nyawa Regulus keluar dari tenda. Dingin dan sejuknya perbukitan menyapa tubuh. Semilir lembut angin membuat obor-obor kecil bergerak pelan.
Perkemahan nampak lenggang, namun Dia masih mendengar perbincangan dari orang-orang yang mengelilingi api unggun tak jauh di sana.
"Ini masih terlalu larut untuk berkeliaran, Pangeran."
Suara bijaksana khas orang tua menyapa dan tidak membuatnya kaget. Karena Regulus tahu dan sangat mengenal pemiliknya.
"Anda juga," balas Regulus.
Hakurei tertawa rendah dan kembali berjalan dalam gelap itu. Jubahnya membelai rerumputan teki.
"Aku tidakkan menyalahkanmu karena tidak bisa tidur, orang terbiasa terjaga jika ada sesuatu yang mengganjal di hati dan pikiran Mereka."
"Begitu juga dengan Anda?"
"Yah..." Hakurei mengangguk ringan, "Kau mau menunggu fajar di samping api unggun? Sepertinya para Kurcaci di sana masih menyenandungkan syair tentang perang dahulu."
"Apa Shion juga di sana?"
"Tidak, Dia masih bersama Kardia."
"Oh? Begitu...," sahut Regulus. Padahal Dia juga ingin berbincang dengan Shion.
"Mereka ada di dekat sungai, Aku baru saja bersama Mereka."
Regulus berhenti dengan mata melebar, "Hah? Mereka apa?"
Hakurei berhenti dan berbalik padanya, Dia menunjuk suatu arah, "Di sungai kecil di bawah bukit. Hati-hatilah, ada banyak batu. Dan mintalah izin pada Shion untuk bergabung dalam pembicaraan Mereka."
"Tetapi..."
"Kau masih muda, Pangeran. Habiskanlah waktumu dengan seorang yang masih sebaya."
Regulus melihat kepergiannya yang menghilang di balik tenda-tenda. Lalu Dia tersenyum dan berbalik pergi. Mulai berlari menuruni bukit tanpa takut tersandung bebatuan yang dimaksud Hakurei tadi.
.
.
.
.
Di pinggiran sungai kecil, Kardia mengasah beberapa pisau ditemani Shion.
'Seseorang datang.'
Kardia berhenti mengasah dan melanjutkannya lagi, 'Kau dengar langkahnya? Jika ada suara bebatuan berarti bukan si Hakurei.'
'Kurasa Dia mencarimu,' jawab Shion.
Kardia tersenyum setengah karena jawaban itu. Dia memegang ujung mata pisau dan melemparkannya ke kegelapan.
"Akh!" terdengar pekikan Regulus
Shion melebarkan mata, "Kardia, apa yang Kau lakukan?!"
"Refleksmu lumayan, Kitty!" Kardia mengambil pisau lain dan membasuhnya dengan air sungai, "sekarang cari pisau itu dan bawa kemari!"
'Kardia, Kau ini tidak berubah,' Shion kesal dan ingin beranjak. Tapi Kardia melarang.
'Jangan memanjakannya, Domba. Tetap di tempatmu atau kucukur rambutmu,' cegah Kardia.
Beberapa saat kemudian Regulus muncul dengan wajah kesal. Dia memilih duduk dekat Shion yang mungkin akan melindunginya jika Kardia kembali melempar pisau.
"Kau menemukan dengan sangat cepat. Tenanglah, Kau tidak akan terluka jika saja benar-benar kena, karena yang kena tubuhmu gagangnya bukan matanya."
Regulus mendesis guna meredam marah, Dia melepas sepatu dan menceburkan kaki di aliran sungai. Dingin sekali rasanya.
"Kau terluka?" tanya Shion.
Regulus menggeleng. Dia menggenggam pisau tadi, "Apa yang sedang Kalian lakukan?"
"Seperti yang Kau lihat, menemani Kardia mengasah pisau."
Mata Regulus menyipit karena melihat beberapa pisau yang kelihatan aneh, melengkung dari tengah hingga ujung. Oh Dia ingat, itu adalah senjata para Goblin!
"Dia mengambil beberapa pisau Goblin," ada benarnya juga. Karena senjata apapun bisa menjadi tumpul kalau terkena darah dan tak segera dibersihkan. Apalagi darah Goblin.
"Itu memang lumrah," kata Shion, "Kau bebas mengambil senjata milik lawanmu jika Kau menang. Kau harus lebih berhati-hati dengannya. Dia mengasah semua pisaunya, termasuk yang tumpul."
Kepala Regulus menunduk sambil memainkan pisau yang dilemparkan Kardia. Harus Dia akui, Kardia tidak berniat melukainya, tapi itu keterlaluan, 'kan?
Sekarang Kardia mulai mengasah kapak kecilnya, "Kalian cepat akrabnya. Sepertinya yang Kalian bicarakan seru, ya?"
Shion memandang Kardia, 'Kau mau tau yang Kami bicarakan?'
Kardia menggeleng, "Tidak juga. Kau bisa kembali, Domba. Kalau si tua itu memarahimu, bilang kalau Aku yang menyuruhmu. Ajak juga si Kitty."
"Kitty?" Tanya Shion bingung.
Rona malu muncul di wajah Regulus, "Kardia suka memanggilku begitu."
"Benarkah? Yah, itu memang kebiasaannya,"
Beruntungnya Shion tidak menertawakannya. Ah iya, tadi Kardia memanggil Shion apa, Domba? Oh tunggu, kenapa tiba-tiba Kardia mengucap 'tidak juga'?
Lalu Regulus teringat perkataan Hakurei tentang meminta izin Shion untuk bergabung ke percakapannya dengan Kardia.
"Shion," panggilnya ragu, "apa Kau bisa telepati?"
"Ya, Aku bisa. Kau mau Aku hubungkan? Pasti Kau mau berbicara dengan Kardia, 'kan?"
Regulus mengangguk. Shion menutup mata, "Coba panggil Dia."
'Kardia.'
"Apa?" sahut Kardia ketus.
Regulus menopang dagu dengan kedua tangan, 'Kau dengar Aku?'
"Dari gelagatmu Aku tahu kalau Kau sudah biasa telepati dengan orang lain. Mungkin dengan pamanmu atau si Kambing," katanya tak peduli, "kalau mau bilang sesuatu, cepat ucapkan."
'Aku harap Kau bisa dengar suaraku, Aku sangat ingin Kita bisa bicara normal. Tapi Aku juga tidak keberatan, Kau seolah tahu Aku berbohong atau tidak dengan melihat langsung mataku,' batinnya tulus, 'terimakasih untuk sudah menemaniku sejauh ini,'
Masih kelihatan tidak peduli, Kardia hanya mengangguk dengan menggoreskan mata pisaunya pada sebongkah batu dan membuat ukiran abstrak.
"Hanya itu?"
'Hei, fajar nanti Aku akan berangkat,'
"Hanya Kau? Bagaimana dengan dua temanmu?"
'Kemarin Tuan Hakurei bilang kalau Mereka akan segera pindah ke timur. Aku meminta Yato dan Tenma untuk tinggal di sini, Kau juga mau-?'
'Aku tetap ikut denganmu,' untuk pertama kalinya Regulus mendengar suara batin Kardia. Terdengar begitu dalam dan tegas seperti pamannya, 'lebih baik Kita berbicara dalam pikiran saja.'
Mata Kurcaci itu melihat ke perbukitan tak jauh dari Mereka. Tirai kabut putih menyapu hamparan hijau perlahan-lahan dan menyembunyikan apa yang ada di sebaliknya.
'Itu hanya kabut pagi,' sahut Shion.
'Kapan Kau mau pergi, Regulus?' tanya Kardia pada akhirnya. Dia mengemasi pisau-pisaunya, dikumpulkan jadi satu dalam balutan dompet kain panjang.
'Setelah matahari sedikit meninggi.'
Bersamaan dengan itu fajar mulai merekah di ufuk sana. Hadirkan cahaya yang menyingkap bayang-bayang kelabu nan sedih. Kabut yang sejak tadi mengganggu Kardia mulai tersingkap, meninggalkan butiran air di atas rerumputan dan bunga.
Semua orang di perkemahan itu nampak lesu ketika melepas kepergian Regulus. Bahkan beberapa Elf tak kuasa menyembunyikan kesedihan Mereka.
Tenma dan Yato berulang kali merengek agar bisa ikut dalam sisa perjalanan ini.
Namun Regulus masih bersikeras agar kedua temannya ini ikut dalam rombongan ini dalam perjalanan ke timur sana, kembali ke tempat Sisyphus.
"Sampaikan permintaan maaf pada pamanku. Aku janji Kita akan bertemu lagi," katanya dengan memegang salah satu bahu Tenma dan Yato.
Dia memeluk kedua kawannya. Takut bahwa ini akan jadi terakhir kalinya pertemuan Mereka.
Di sisi lain Shion berhadapan dengan Kardia, keduanya tengah berbicara dalam batin. Nampak Kardia berkedip cepat dan menatap tajam pada Shion.
Sayangnya Regulus tak memperhatikan keduanya, Dia disibukkan oleh para wanita yang memberinya bungkusan roti kering dan keju asin.
Lalu Hakurei melerai dan berbicara sedikit padanya, "Tempat tujuanmu hanya satu mil dari sini. Di setengahnya Kalian harus berjalan dan melepaskan kuda yang Kalian bawa."
"Aku mengerti."
Nampaknya Hakurei menjadi gagal fokus dengan kuda di samping Kardia, "Kuda itu tinggi dan kulitnya kelabu-perak, pasti dirawat oleh tangan yang kelewat terampil dan lembut. Semoga Dia memudahkan sisa perjalanan Kalian ini."
Pangeran itu mendekati Kardia dan Shion dengan menenteng bawaannya. Kardia hanya melihat sekilas dan kembali memandang Shion dengan raut menantang. Namun wajahnya melembut tak kala Shion menghela nafas dan mengangguk.
"Apa yang Kalian bicarakan?"
Wajah Shion menjadi sedih ketika berhadapan dengan Regulus, 'Sayang sekali. Mengapa Kau harus terlibat dalam perang ini? Kau masih terlalu muda untuk berperang.'
"Sampai kapan Kau mau mengelak, huh?" Jawab Kardia dengan kedua tangan di dada, "Kau juga sama, tapi itu bukan alasan untuk tidak pergi. Sudah saatnya Kau berhenti menggiring domba dan waktunya menggiring pasukan, Shion."
'Aku tahu, Kardia. Aku akan ikut dalam peperangan ini.'
Regulus memasukkan semua bekal dalam ransel. Dia bercakap-cakap sedikit dengan Shion. Sementara Kardia menepuk-nepuk kudanya.
"Senja nanti kuda ini akan kembali kemari, bawalah Dia bersamamu ketika Kalian ke timur sana dan ke medan perang, jika saja Aku tak kembali."
.
Mereka berkendara di antara padang rumput dan hutan. Takut jikalau ada bahaya di dalamnya, dan takut menjadi mangsa empuk di tengah padang.
Sesekali Regulus menoleh pada pemandangan perbukitan di belakang sana, perkemahan mulai tenggelam walau berada di punggung bukit.
Sejauh ini Mereka belum mendengar atau melihat musuh. Apakah kiranya Mereka bersembunyi di balik pepohonan kerdil nan rapat, atau di balik semak belukar yang kelabu, Regulus tidak yakin.
"Ini aneh. Aku tidak merasakan kehadiran siapapun," kata Kardia.
Regulus setuju. Dia memelankan kuda dan melihat beberapa kutilang yang berterbangan di antara pepohonan. Mereka bersiul dan mengatakan padanya bahwa kejahatan belum menyentuh tempat ini hingga berkilo-kilo sebelumnya.
Menjelang siang dan Mereka bertemu dengan sungai yang memecah wilayah. Regulus membasuh wajah dan mengisi kantung minum setelah memastikan bahwa air sungai itu belum tercemar oleh suatu hal yang jahat walau rasanya aneh.
Inilah waktunya Dia dan Regulus berjalan dan meninggalkan kuda ini.
Kardia berbisik pada kuda, "Kembalilah ke perkemahan itu, telusurilah jalan tadi dan jangan berada di naungan bayangan pohon. Berlarilah sesuka hatimu."
Lalu Regulus membantu Kardia melepas pelana kuda tersebut, agar jika Dia bertemu musuh, Mereka akan mengira kuda ini liar dan belum pernah ditunggangi. Disembunyikannya di bawah pohon dan ditutupi rerumputan.
Keduanya menyebrangi sungai sedangkan kuda tadi kembali ke perkemahan para pengembala.
Air sungai tersebut tidak berarus deras. Airnya tidak dingin maupun panas. Mungkin dalamnya sepaha orang sedewasa Sisyphus, namun adalah sepinggang bagi Kardia dan Regulus.
Pangeran itu meraba dasar sungai dengan tongkat sedangkan Kardia menelusuri langkahnya.
Di tepian Mereka istirahat sebentar sambil menjemur diri. Rumput ilalang di pinggiran sungai menyamarkan keberadaan Mereka.
Regulus melihat hulu sungai yang berasal dari pegunungan nan jauh di sana, beratapkan awan kelabu.
"Kau sedang menikmati pemandangan, 'kan?"
Dia menoleh pada Kardia yang sedang memakan roti kering, "Apa yang ada di sana?"
"Pegunungan berlereng curam. Ada banyak gua di dalamnya, itu wilayah Goblin."
Mata Regulus melebar. Dia menunggu Kardia menghabiskan rotinya hingga bisa kembali melanjutkan.
"Yang kemarin Kita hadapi adalah Goblin gunung itu."
"Kau pernah ke sana?"
"Hn, butuh tiga hari untuk keluar dari kawasan itu, kalau Kau mau tahu," penyataan itu membuat Regulus kembali memandang ke pegunungan di sana.
Kardia melanjutkan, "Sungai ini juga berasal dari sana. Beruntungnya, sebodoh dan sejahat-jahatnya Troll dan Goblin, Mereka takkan meracuni sumber air."
Kembali Regulus termenung. Hatinya begitu kacau mengingat semua hal yang dilakukannya, berapa banyak Goblin dan Troll yang sudah Mereka habisi?
"Kecuali jika Mereka bukan lagi diri Mereka."
"Hah?" Regulus tak mengerti maksud Kurcaci itu.
Kardia memakai sepatunya, "Goblin dan Troll menyukai gelap dan dinginnya pegunungan. Lalu jika ada yang datang pada Mereka dan menawarkan dunia luas seperti yang Mereka inginkan, apa Mereka akan menolak? Mereka tamak dan serakah. Dan sama seperti Dwarf, Mereka menyukai benda berkilau."
Mereka melanjutkan perjalanan. Regulus memakai tudung jubahnya karena sinar matahari makin terik. Dia berjalan beriringan dengan Kardia, menyimak apa yang dikatakan Kurcaci itu.
"Tapi, Aku curiga kalau pikiran Mereka juga dipengaruhi."
Raut muka Regulus jadi serius, "Sama seperti Tiga Pangeran?"
"Mungkin ya dan mungkin tidak."
Ada bukit batu di kejauhan sana. Tempat itu dikelilingi pepohonan flamboyan. Itulah tujuan Mereka. Baik Regulus mengira-ngira, apakah Singa Nemea tengah tidur siang?
"Itu...?"
Seluruh tubuh Regulus merinding kala melihat rombongan singa betina kembali berburu, Mereka membawa bangkai segar di masing-masing mulut. Juga ada dua singa jantan berjalan paling belakang.
"Kau siap?" Kardia menoleh sedikit padanya dan tersenyum tipis.
Regulus masih mengamati singa-singa di kejauhan sana. Air matanya bertumpuk dan mengalir. Lalu pangeran itu menutup mata dan tersenyum, "Ya, Aku siap."
Dalam hati Dia membatin, 'Aku pulang, Ayah.'
.
.
.
.
.
.
.
.
.
Bersamboeeeeng...
Bismillahirrahmanirrahim. Taqabbalallahu minna wa minkum. Minal Aidin Wal Faidzin. Semoga Kita masih bisa dipertemukan dengan bulan suci ini lagi. Aamiin Allahumma Aamiin...
Juga Selamat Hari Kenaikan Isa Al-Masih untuk kawan-kawan yang merayakan..
(mohon maaf kalau kata-kataku salah)
Btw saya minta pendapat nih. Menurut Kalian bagus ndak kalau perjalanan Regulus-Kardia dpt hambatan? Rencanaku pengen ketemuin Mereka berdua ama Rhadamanthys sebelum sampe sarangnya Nemea. Jd sempet ada percakapan (cekcok) antara Regulus n Rhadasengkle.
.
.
.
.
Boyolali, Kamis - 13 - Mei - 2021
