Jujutsu Kaisen belongs to Gege Akutami

! Warning !

Mengandung konten BxB, OkkoIta, harem Yuji, semua orang suka Yuji, 18+, noncon, dubcon, NFSW, sedikit BDSM, yandere Yuta Okkotsu, possessive Yuta Okkotsu, pokoknya Yuta Okkotsu serem, maybe OOC, disini mereka anak sekolah biasa, gak ada kutukan, bottom Yuji, konten agak morally questionable, tolong jangan lanjut baca kalau anti sama hal-hal di atas ya.


Yuji berbaring di atas kasur ruang kesehatan sekolah. Pandangan matanya kosong, menatap ke langit-langit ruangan. Tidak ada binar-binar kebahagiaan seperti biasa. Digantikan dengan tatapan mata gelap, seolah tak bernyawa. Sekitar kelopak matanya dihiasi dengan kemerahan dan bengkak. Semua omongan-omongan siswa siswi di lorong sekolah tadi masih tertinggal di otaknya.

Yuji Itadori pembawa sial.

Yuji menutup kedua matanya dengan tangan. Ia tidak ingin berpikir begitu, namun sekarang Yuji mulai merasa bersalah. Bisa jadi omongan mereka benar...

Saat Yuji terisak, sebuah kain basah nan hangat mendekati wajah Yuji. Choso sedang mengelap wajahnya.

"Kak Choso..."

"Nggak papa, Yuji. Jangan ditahan."

Yuji makin terisak. Air mata sudah terkuras habis, kepalanya pusing. "Kak Choso, lebih baik jangan dekat-dekat aku. Nanti kakak ikut sial."

"Yuji, aku nggak percaya yang begitu. Kamu nggak pernah bawa sial." Choso memeras kain basah tersebut dan merendamnya kembali.

"Tapi..."

"Yuji." Choso menggenggam tangan Yuji. "Kalau memang kamu bawa sial, sejak dulu nggak ada yang mau berdekatan sama kamu. Selama ini kan kamu selalu bawa kebahagiaan buat orang-orang sekitar. Sedangkan musibah tersebut terjadi baru-baru ini saja."

"Percaya, kamu nggak salah. Oke? Kakak akan terus di pihakmu."

Yuji menatap Choso berkaca-kaca. Ia mengangguk kecil, tanda setuju. Choso tersenyum tipis. Ia mengelus kepala Yuji, lalu berdiri dan pamit keluar agar adik kelasnya bisa beristirahat.

Setelah Choso pergi, Yuji kembali sendiri. Ingatannya terlempar saat ia pertama kali mengenal Choso. Kakak kelasnya yang satu itu selalu miskin ekspresi seperti tak memiliki semangat hidup. Awalnya Yuji takut dengan Choso, tetapi lama-lama Yuji mengetahui bahwa Choso adalah orang yang lembut dan penyayang. Ia juga tahu setelahnya, bahwa Choso saat itu sedang berduka karena kehilangan kedua adiknya di sebuah kecelakaan.

Yuji yang bersimpati pada Choso terus-terusan menyapa dan menghibur Choso. Ia ingin mengisi kekosongan di hati kakak kelasnya satu itu. Pada akhirnya, Yuji berhasil membuat Choso lebih terbuka dan lebih sering berekspresi. Choso sudah menerima Yuji di dalam hatinya sebagai adik.

Semenjak itu pula, Choso bertekad untuk selalu melindungi Yuji. Ia tidak ingin kehilangan orang yang ia sayang untuk kedua kalinya. Senyum Yuji yang berharga, tidak boleh memudar barang sedetikpun.

Grek

Choso menggeser pintu ruang kesehatan. Ia berjengit kaget tatkala melihat Sukuna, Maki dan Nobara tepat di depan wajahnya. Tiga orang itu terlihat resah.

"Choso, ayo bicara." Sukuna berbicara dengan raut serius.

.

.

.

Helaan napas yang ketiga kali keluar dari mulut Maki. Sudah lima menit semenjak mereka berempat duduk di kantin sekolah, namun belum ada satupun dari mereka yang membuka percakapan. Nobara hanya menunduk gelisah. Sukuna terlihat jengkel. Choso seperti orang kebingungan.

"Oke." Akhirnya Sukuna angkat suara. "Jadi tadi, aku memikirkan sesuatu."

"Langsung ke poinnya saja, Sukuna." Maki bertopang dagu.

Sukuna mengangguk. Ia mencondongkan badannya maju. "Choso, apa kamu nggak curiga?"

Choso mengangkat alis kanannya. "Curiga kenapa?"

"Kak Okkotsu Yuta." Kali ini, Nobara yang berbicara. Ia memainkan jarinya dengan gugup. "Nggak tahu kenapa, aku merasa dia aneh. Apalagi musibah yang menimpa Fushiguro dan Pak Gojo terjadi setelah dia pindah, kan?"

"Tapi bisa saja kebetulan..."

"Nggak." Maki memotong cepat. "Nggak begitu. Kita awalnya juga berpikir begitu. Tapi setelah menemukan sesuatu, mau nggak mau kita curiga."

Nobara mengeluarkan suatu benda dari saku roknya. Mata Choso melebar tak percaya. "Itu..."

"Kalung Pak Gojo, gelang Fushiguro." Ucap Sukuna. "Dua-duanya adalah barang pemberian Yuji. Dua barang ini terjatuh dari loker Okkotsu Yuta yang agak terbuka tadi. Untung Kugisaki sadar dan cepat memungutnya. Bukannya aneh, kalau barang yang selalu Fushiguro dan Pak Gojo pakai tiba-tiba nyasar di tempat Okkotsu?"

"Tapi, apa kalian punya bukti..." Omongan Choso terpotong saat melihat seseorang datang menghampiri.

"Waahh, kalian lagi ngobrol apa?"

Deg. Obrolan mereka terhenti. Keringat dingin mulai menjalari pelipis empat orang itu, terutama Nobara yang masih menggenggam kalung beserta gelang tersebut. Maki melirik takut-takut. Sukuna tak berani memalingkan wajah. Okkotsu Yuta berdiri dengan senyuman manis di sisi kanan Nobara.

Yuta menatap Nobara. Lebih tepatnya kalung dan gelang di genggaman gadis itu. "Ah? Itu kan punya Pak Gojo dan Fushiguro Megumi? Kok bisa ada di kalian?"

"A... Aku... Nggak sengaja nemu..." Nobara tercicit takut.

"Keren ya, Kugisaki-san bisa menemukannya. Padahal kan harusnya itu sudah tersimpan di tempat lain." Omongan Yuta membuat nyali Nobara semakin ciut.

"Berikan padaku." Perintah Yuta tiba-tiba. Nobara mengangkat kepalanya, terkejut.

"Tapi kenapa?"

"Biar aku saja yang simpan."

Dengan gemetar, Nobara menyerahkan kalung dan gelang berliontin harimau tersebut ke tangan Yuta. Namun belum sempat Yuta menerima kedua benda tersebut, Choso menahan pergelangan tangan Nobara.

"Kenapa harus kamu? Kamu bahkan nggak dekat dengan Yuji." Choso melirik Yuta, sinis. "Lebih baik kita saja yang simpan. Itu pemberian Yuji kan? Biar kita berempat yang mengembalikannya pada Yuji nanti."

"Haaa?" Yuta tertawa sarkas. "Kamu, kalian, juga bukan siapa-siapanya Yuji kan?"

"Aku kakaknya."

"Aku nggak ingat Yuji punya kakak."

"Bukan urusanmu. Sekarang mending kamu pergi."

Maki, Sukuna, Nobara terperangah melihat keberanian Choso. Sedangkan Yuta, pria itu memasang wajah dingin, lalu ia pergi tanpa berkata apa-apa. Begitu punggung Yuta menghilang dari pandangan, Maki menghembuskan napas lega.

"Sudah kubilang. Dia itu mencurigakan. Aku yakin dia mengincar Yuji." Sukuna berdecak kesal. Tiba-tiba ia berdiri dari tempat duduknya. "Aku sudah nggak tahan. Aku akan langsung memukul wajah menyebalkannya itu."

"Sukuna, jangan!" Maki menahan lengan Sukuna. "Aku tahu kamu sayang dengan Yuji! Tapi kita nggak tahu dia itu orang yang seperti apa, atau apa yang direncakanannya! Jangan gegabah!"

"Tapi..."

"Kak Sukuna, Kak Maki benar. Kita nggak boleh gegabah."

"Kalau begitu, biar aku yang nanti langsung tanya ke dia." Celetuk Choso, membuat tiga orang yang sedang berdebat kaget.

"Kak Choso!?"

"Nggak papa. Dia nggak bisa menyakitiku."

Sukuna menggeram. Ia melepas paksa tangan Maki yang memenjarakan lengannya, lalu berlari menyusul Yuta.

Maki terlonjak, badannya refleks berdiri. "SUKUNA!" Teriaknya, tetapi tidak dihiraukan oleh Sukuna. "Ugh... POKOKNYA KALAU ADA HAL DARURAT, HUBUNGI KITA!"

Sukuna hanya menengok sejenak sambil memberikan jempol, lalu kembali berlari kencang. Maki memijat pelipis. Ia kembali duduk dan menatap Choso serta Nobara.

"Pokoknya, kita harus hati-hati dan lindungi Yuji, oke? Tapi kita nggak boleh sampai mencelakai diri atau celaka. Ini semua demi Yuji."

Choso dan Nobara mengangguk mantap.

"Kalau begitu," Maki mengambil tasnya. "Aku pergi dulu. Habis ini aku ada ulangan, dan dua jam setelahnya aku ada praktik memasak."

"Sendiri?" Nobara bertanya cemas. Maki hanya tersenyum. "Iya, nggak papa kok. Sampai nanti, semua."

.

.

.

Maki yang sudah menyelesaikan ulangannya langsung bergegas mengambil perlengkapan untuk pelajaran memasak. Ia harus sedikit cepat karena jarak ruang memasak agak jauh dari ruang kelasnya. Maki berlari, dan untungnya dia belum telat. Uraume, guru mata pelajaran memasak, baru saja bersiap-siap.

Maki masuk dan menyapa Uraume. Ia mengambil meja di dekat jendela, di sebelah Miwa Kasumi. Tak lupa Maki memasang apron dan topi khusus memasaknya.

"Oke selamat siang anak-anak. Senang berjumpa kembali dengan kalian di pelajaran memasak. Hari ini kita akan praktik memasak menggunakan burner. Hati-hati ya, dalam penggunaannya." Uraume berdiri di depan kelas dengan apron merah jambu. Rambutnya yang berwarna silver berhiaskan percikan warna merah muda di bagian belakang kepala terbalut rapi dengan topi khusus memasak. Ia mulai mengawasi murid yang sekarang sedang sibuk mempersiapkan bahan makanan.

Maki mengedarkan pandangannya. Ia melipat lengan pakaian sambil sibuk mencari-cari burner tidak terpakai. Pandangannya mendadak tersita saat melihat satu burner tergeletak di atas meja. Buru-buru, ia mendekat untuk melihat benda itu.

Maki mengernyitkan dahi. Pasalnya, burner tersebut beda dari yang lain. Di sekeliling badan burner, terlilit rapi sebuah label bertuliskan 'MAKI ZENIN'. Maki melirik murid lain, mengecek apakah mereka juga memiliki label namanya masing-masing. Namun tidak. Milik mereka tidak memiliki label nama.

Maki mengendikkan bahu tak peduli, ia berpikir bisa jadi itu kerjaan Mai, kembarannya, karena sebelum ini adalah jadwal kelas Mai untuk praktik.

Saat Maki memencet tombol nyala, sebuah api besar melahap tangan dan wajahnya dengan cepat. Murid-murid yang sedang sibuk memasak berteriak ketakutan. Uraume terkejut, kemudian ia berlari sambil membawa air dari atas mejanya untuk memadamkan api.

"Panggil bantuan, cepat! Guru kesehatan, Bu Ieiri Shoko!" Titah Uraume. Salah seorang murid mengangguk, dan berlari dengan kecepatan super untuk memanggil Bu Ieiri.

Maki, ia terjatuh dan pandangannya perlahan menggelap. Sebelum matanya terpejam sepenuhnya, Maki seolah berhalusinasi melihat Yuta yang berdiri tenang di antara murid-murid yang berkerubung panik. Yuta menyunggingkan senyuman sinisnya.

Bibirnya bergerak, membentuk kalimat, "Jangan macam-macam."

Badan Maki mulai melemah, ia bergumam, "Awas kamu, Okkotsu Yuta... Akan kubalas berkali-kali lipat..."

Kemudian, Maki pingsan.

.

.

.

"Hei, dengar deh. Tahu Maki Zenin dari kelas sebelah, kan? Kabarnya tadi ada keributan di ruang memasak, lho."

"Emangnya ada apa?"

"Ish, dengar dulu. Katanya, saat Maki mau memakai burner, ternyata burnernya rusak. Jadi api yang dikeluarkan terlalu besar. Wajah dan tangannya pun terbakar."

"Yang benar?"

"Iya, aku juga lihat ramai sekali di ruang memasak."

Choso terdiam mendengar percakapan para gadis soal Maki. Pria itu menggigit bibir bawahnya. Ia mengetuk-ngetuk meja pertanda gelisah.

Bisa jadi ini adalah murni kecelakaan, bisa jadi ini adalah sesuatu yang disengaja seseorang.

Saat ini Maki sudah dilarikan menuju rumah sakit. Jadi Choso tidak bisa menghubungi gadis itu kecuali saat menjenguk.

Mendadak, Choso teringat sesuatu. Sukuna. Pria bersurai merah jambu itu belum memberi kabar sama sekali. Choso pun memutuskan untuk menghampiri Sukuna secara langsung. Lebih cepat daripada menunggu Sukuna membalas pesan atau panggilan teleponnya.

Suasana di lorong sekolah cukup ramai karena peristiwa barusan. Mereka semua terlihat ketakutan. Wajar. Mendapat kabar seseorang terbakar saat memasak, siapapun akan panik. Setelah ini pun Kepala Sekolah Yaga akan melakukan penyelidikan dan mengecek kembali apakah ada kerusakan pada alat-alat praktikum. Tidak hanya pada pelajaran memasak, bahkan laboratorium pun juga akan dicek nantinya.

"Kak Choso!" Choso menghentikan langkahnya tatkala mendengar Nobara berseru dari belakang.

"Kugisaki, kenapa?"

"Anu... Barusan Kak Sukuna..."

Choso melotot. "Ayo kita hampiri Sukuna sekarang." Terburu-buru, Choso menarik tangan Nobara. Cepat cepat mereka berbalik arah menuju ke belakang sekolah untuk mencari Sukuna. Mereka terus berlari tanpa henti dengan kecepatan penuh, seolah dunia akan hancur bila mereka berhenti semenit saja.

Perkataan Nobara barusan terus terngiang-ngiang di otak Choso.

"Barusan... Kak Sukuna... Aku melihat dia nggak sadarkan diri, penuh memar dan darah di belakang sekolah. Karena aku nggak bisa membawanya sendiri, aku datang ke sini mau meminta bantuan kakak."

Tidak ia sangka, raja preman seperti Ryomen Sukuna dikalahkan sampai tidak sadarkan diri.

Choso menyipitkan mata. Pasti ulah Okkotsu Yuta.

Ya, memang siapa lagi yang bisa dicurigai sekarang? Sukuna tadi pergi berbicara dengan Yuta, otomatis anak itu terlibat. Choso yakin.

Area di daerah lorong sekolah mulai sepi. Siswa siswi sudah masuk ke ruang kelas untuk memulai pelajaran. Ini membuat Nobara dan Choso dapat berlari bebas. Begitu mereka sudah hampir dekat dengan anak tangga menuju lantai satu, Choso terbelalak melihat Yuta yang berada di belakang Nobara. Dalam sekali kedipan mata, pria itu mendorong Nobara.

Refleks, Choso menarik dan membawa Nobara ke dalam pelukannya. Choso merasa badannya melayang di udara, kemudian jatuh mendarat di tengah tangga. Kepala dan punggungnya terbentur cukup keras, sedangkan Nobara masih terpejam takut di pelukan Choso.

Dari atas tangga, Yuta menatap Choso dan Nobara datar. "Sudah kuduga, insting kakak selalu membuatmu berusaha melindungi adik kelasmu ya."

"Karena kamu kakak tersayang Yuji, dan kamu adalah teman dekatnya, kali ini aku biarkan lepas." Selesai berkata begitu, Yuta meninggalkan tempat tersebut.

Nobara meringsut pelan. Ia membebaskan diri dari tangan Choso, kemudian memegang badan pria itu dengan panik. "Kak Choso!"

Choso, yang kesadarannya hampir menurun, berkata lirih. "Kugi... Saki... Tolong cepat sampaikan pada Yuji di chat... Hati-hati dengan Okkotsu Yuta..."

Gadis itu mengangguk paham dan melaksanakan perintahnya. Choso berusaha duduk namun gagal. Kepalanya terasa sangat sakit, dan sepertinya ia barusan melihat darah menetes ke seragam putihnya.

"Kugisaki, nggak papa ?"

Nobara menaruh telepon genggamnya ke saku rok. "Kaki kananku keseleo sih. Tapi kondisi Kak Choso lebih parah, tahu. Khawatirkanlah diri sendiri dulu."

"Yuji... Semoga dia aman..."

Setelahnya, pandangan Choso menggelap. Suara Nobara yang memanggil namanya perlahan tidak terdengar lagi.

.

.

.

Yuta menggeser pintu ruang kesehatan perlahan. Ia mengintip sebentar dan menemukan Yuji sedang terbaring di atas kasur. Yuta tersenyum lega. Ia masuk, kemudian menutup pintu sepelan mungkin agar Yuji tidak terganggu. Tak lupa, diganjalnya pintu geser tersebut dengan sebuah tongkat.

Yuta mengambil tempat di sebelah kanan Yuji. Digenggamnya tangan lembut sang adik kelas, dan perlahan Yuta mengecupnya.

"Yuji, nggak perlu khawatir. Siapapun yang mengganggu dan membuatmu menangis akan aku hancurkan." Bisiknya di balik punggung tangan Yuji.

Yuji-nya yang manis, Yuji-nya yang imut, Yuji-nya yang baik hati. Semua hal tentang Yuji sudah membuat Yuta jatuh cinta sejak awal mereka bertemu.

.

.

.

Pada pertengahan bulan Desember, Okkotsu Yuta resmi diadopsi oleh pasangan kaya yang menyayanginya. Yuta mendapat segala hal, kecuali teman bermain. Orang tua angkatnya sangat sibuk sehingga jarang memiliki waktu untuk Yuta. Sedangkan pelayan yang bekerja di rumah Yuta menjaga jarak dari si Tuan Muda karena takut dianggap tidak sopan.

Yuta kesepian. Berita tentang Yuta sebagai anak hasil perselingkuhan sudah tersebar luas. Setiap ia pergi berjalan, yang ia dengar hanya cemoohan, hinaan, juga makian untuknya. Tak jarang Yuta selalu dilempar pasir saat ia kebetulan melewati segerombolan anak nakal.

Semua penindasan itu Yuta tahan sendiri. Ia tak mau membuat orang tua angkatnya khawatir. Maka dari itu Yuta selalu tersenyum dan berkata semua baik-baik saja.

Sampai suatu hari, seorang anak berkata. "Yuta, kalau sudah dewasa jangan jadi pelacur seperti ibumu ya!"

Saat itu juga, urat kesabaran seorang Okkotsu Yuta terputus. Ia marah. Yuta hampir memukul anak itu sampai mati kalau saja sebuah suara lucu tidak terdengar dari belakang. Anak berambut merah jambu, berpipi gembil. Anak itu memegang banyak batu di tangannya. Ia melempar batu itu pada segerombolan anak yang menghina Yuta sampai mereka lari.

Yuta terperangah. Setelah anak itu selesai melempar batu terakhirnya, anak itu tersenyum manis pada Yuta.

"Sekarang sudah nggak ada yang bisa menghina kakak!"

Hari itu, detik itu, Okkotsu Yuta resmi jatuh cinta pada anak berambut gulali bernama Itadori Yuji. Yuji adalah anak yang memiliki banyak teman dan ia sangat ramah kepada siapapun. Termasuk pada Yuta yang sering dihina anak haram.

"Kalau kata mama, anak haram itu nggak ada kak! Semua anak sama! Makanya, kakak jangan sedih! Ada Yuji disini!"

Pipi Yuta merona. Taman bunga mulai tumbuh memenuhi perutnya, kupu-kupu berterbangan naik membawa benih cinta menuju dadanya. Ia merasa bahagia. Tidak pernah ada yang berkata begini pada Yuta sebelumnya.

"Tapi Yuji jadi dijauhi anak lain..."

Yuji menggeleng polos. "Nggak papa, kan Yuji punya Kak Yuta!" Yang dilanjutkan dengan sebuah tubrukan di perut Yuta.

Yuji memeluknya. Yuta merasa ia akan kehabisan oksigen saking imutnya Yuji. Ia senang. Yuji memiliki Yuta, Yuta memiliki Yuji. Mereka saling memiliki. Tidak ada orang lain yang boleh masuk dan menginterupsi dunia milik Yuta dan Yuji.

Begitulah, rasa cinta Yuta pada akhirnya makin dalam, berubah menjadi obsesi yang meluap-luap. Yuta ingin menyimpan Yuji untuk dirinya. Tidak boleh ada orang lain mengambil Yuji. Itu semua sangat tidak sehat, tetapi Yuta tidak peduli. Asalkan ada Yuji, dirinya tidak peduli orang lain.

Namun suatu peristiwa yang terjadi secara mendadak membuat Yuta merasa kehilangan dunianya. Yuji harus pindah rumah karena menjalani sebuah operasi. Yuta menyesal, Yuta benci dirinya karena tidak mengetahui keadaan Yuji selama ini. Akhirnya mereka pun berpisah tanpa saling bertukar kata 'selamat tinggal' untuk terakhir kalinya. Bertepatan dengan kepindahan Yuji, Yuta berkenalan dengan seorang gadis yang menyukai Yuta. Ia bernama Rika.

Gadis itu memiliki koneksi yang luas. Ayahnya adalah ketua mafia dari kelompok paling ditakuti di Jepang. Tidak ada yang berani macam-macam dengan keluarga Rika. Dan Rika mencintai Yuta. Gadis itu rela melakukan apapun untuk Yuta, bahkan setelah mengetahui bahwa Yuta mencintai orang lain. Yuta jelas memanfaatkan keadaan ini untuk mengorek informasi soal Yuji selama bertahun-tahun. Hingga akhirnya, saat SMA Yuta memantapkan hatinya untuk bertemu Yuji kembali.

Tetapi ada masalah. Yuji tidak mengingat Yuta. Yuta kecewa, namun memaklumi. Ia sudah tumbuh menjadi pria tampan. Wajar Yuji tidak mengenali Yuta. Karena itu, tugas Yuta adalah membuat Yuji mengingatnya, apapun caranya. Oh, dan juga, menyingkirkan orang -orang yang berpotensi mencuri Yuji dari dirinya.

.

.

.

Yuji mengerjap pelan. Sudah berapa jam sejak Yuji tertidur? Langit yang biasanya didominasi warna biru sudah berubah menjadi gradasi jingga yang cantik, dengan goresan awan putih berbentuk tak beraturan. Tanpa harus melihat jam, Yuji sudah tahu bahwa ini waktunya pulang sekolah. Saat akan menggerakkan tangan, ia merasa pergerakannya tertahan.

Okkotsu Yuta tertidur sambil menggenggam erat tangan Yuji Itadori.

"Kak... Okkotsu?"

Mendengar suara Yuji memanggil namanya, Yuta ikut terbangun. Ia menatap Yuji dan tersenyum tipis setelahnya.

"Yuji, kamu sudah sehat? Aku ambilkan minum dulu ya." Yuta bangkit dan berjalan menuju meja dekat pintu.

"Lumayan kak, terima kasih." Jawab Yuji kikuk. Manik coklat mudanya melirik telepon genggam yang terletak di nakas. Ia mengambil benda berbentuk kotak tersebut. Banyak pesan masuk dari semua temannya. Ada satu yang menarik perhatian mata. Pesan dari Nobara.


Yuji. Hati-hati dengan Kak Okkotsu Yuta. Dia orang berbahaya. Kak Okkotsu barusan mendorongku dan Kak Choso dari atas tangga. Keadaanku tidak terlalu parah, tetapi Kak Choso pingsan, jadi aku harus mencari bantuan. Aku akan menemuimu nanti, setelah mengobati kakiku dan Kak Choso. Pokoknya selebihnya aku ceritakan kalau kita bertemu. Tolong jaga dirimu dan jauhi Kak Okkotsu untuk sekarang.

[3 attachment]


Badan Yuji melemas saat membuka tiga foto yang dikirim Nobara. Foto pertama, Choso tergeletak tak berdaya dengan darah di dahi dan seragamnya, foto kedua, gambar kaki kanan Nobara yang terlihat membengkak, foto ketiga, gambar loker Yuta yang agak terbuka, menampilkan kalung beserta gelang yang menjulur dari balik pintu loker. Dua benda pemberiannya untuk orang yang Yuji sayang, bisa ada pada Yuta? Ditambah...

Yuji melirik punggung Yuta. Pria itu mencelakai Nobara dan Kak Choso?

Mungkin Yuji memang harus mencari tahu lebih lanjut karena ia tidak ingin salah paham. Namun orang ini jelas patut diwaspadai. Pantas perasaan Yuji tidak enak dari kemarin. Perlahan, Yuji turun dari kasur. Ia membereskan barang-barangnya pelan-pelan tanpa berusaha membuat suara sekecil apapun. Semua barang sudah beres, Yuji akan cepat keluar dari ruangan yang menyesakkan dada ini.

Nasib Yuji sial. Pintu terganjal oleh tongkat. Ia tidak bisa langsung keluar. Saat ini, posisi Yuji dan Yuta masih saling membelakangi. Keheningan masih menyelimuti mereka.

"Yuji, mau kemana? Minum dulu."

Yuji berjengit tatkala nada suara Yuta yang dingin memasuki indra pendengarannya. Saat Yuji berbalik, Yuta menyekap hidung dan mulut Yuji dengan saputangan. Jelas saputangan tersebut sudah ditetesi obat bius, karena setelahnya Yuji terjatuh di pelukan Yuta.

"Padahal kalau Yuji jadi anak baik aku nggak akan pakai cara ini. Huft."

Yuta mengelus pipi Yuji. "Ayo kita pulang." Bisiknya.

.

.

.

Tbc