Halo, Shuukou Jin di sini.

Bagian keempat dari Project Exawings telah terbit! Sebelum kita lanjut ke bagian kelima, besok akan ada interlude dahulu.

(definitely not an April Fools episode)

Aight, selamat membaca!


Sudah beberapa hari sejak Djeeta tergabung di Ordo Kesatria. Perlahan ia membiasakan diri, hidup di kota yang diselimuti malam tanpa ujung ini. Untuk penghidupannya, ia memutuskan tinggal bersama Gran dan teman-temannya; membuka bistro kecil di Penginapan Lazuline. Pekerjaan sederhana, memang, namun ia kerjakan dengan sepenuh hati.

Kala itu ia baru saja pulang dari arena latihan, mukanya masam. Bagaimana tidak, pedang yang ia pinjam dari Gran patah selagi tanding latihan. Kalau sudah begini, bagaimana ia harus mengganti rugi? Sementara pendapatannya belum seberapa ...

Langkahnya terhenti tepat di depan sebuah toko senjata, dengan papan nama "Drachenblut Workshop" terpampang di pintunya. Ia ingat betul nama toko itu; toko senjata favorit Lancelot, yang disebut "punya harga terjangkau, tapi kualitasnya luar biasa". Barangkali aku bisa perbaiki pedang itu di sana, Djeeta bergumam pada dirinya sendiri.

Segera saja ia memasuki toko itu, disambut oleh ucapan 'selamat datang' dari pemiliknya. Agaknya penampilan pemilik toko itu mencuri perhatian: pria berambut cokelat kemerahan, panjang tergerai. Sorot matanya serius, namun menyiratkan kepedulian. Ia ingat pria ini; yang kerap kali menjadi mentor bagi Lancelot. Walau dahulu ia belum sempat bicara dengannya, tapi kini kesempatan telah tiba.

"Ada yang bisa kubantu, Miss?" ucap sang pemilik toko.

"Ah, itu ... aku ingin memperbaiki pedang ini." Djeeta menunjukkan patahan pedang yang ia bawa. "Bisakah? Dan ... kira-kira berapa biayanya?"

"Hmm." Diperiksanya patahan pedang itu dengan teliti, sebelum si pemilik toko merespon, "Tentu bisa. Biayanya sekitar 5 ribu rupie."

"Lima ribu?" Mendengarnya saja sudah mengundang heran. "A-anu ... apa nggak salah? Itu murah banget ..."

"Nggak perlu sungkan. Ini mudah, kok."

Namun Djeeta masih mengelak. "Tapi tetep aja, rasanya terlalu murah. Kapten Lancelot bilang kalau--"

"Hoo, jadi kamu tahu toko ini dari Lancelot, ya. Dia memang pelanggan setia di sini, dan dia selalu bilang kalau senjata produksiku berkualitas tinggi. Padahal aku cuma melakukan apa yang kumampu." Pemilik toko itu terkekeh, meletakkan patahan pedang itu di meja kerjanya. "Baiklah, aku akan mengerjakan perbaikannya, tapi sebelum itu aku ingin bicara denganmu. Bolehkah?"

"Tentu, Sir ... um, siapa namamu?"

"Ah, rupanya kamu belum tahu. Namaku Siegfried." Usai memperkenalkan diri, Siegfried bertanya, "Kudengar kau berasal dari Feendrache. Apa kau tahu perang besar Feendrache dengan Kekaisaran Erste?"

Djeeta mengangguk. "Ya. Aku masih ingat Kakak membawaku, lari dari desa Drachenmeer yang mulai hangus terbakar ..."

"Hmm. Lalu apa yang terjadi setelahnya?"

"Setelah itu, aku dan kakakku hidup bersama penyintas lainnya di pengungsian. Memang, Feendrache bisa bertahan ... sampai mendiang Raja Josef terbunuh dan Kapten Siegfried--tunggu. Jangan-jangan, kau ...?"

Siegfried bungkam, tidak punya pilihan lain kecuali mengangguk. Teringat akan bagaimana fitnah menghancurkan hidupnya.

"Jadi kau ... tapi, aku nggak ngerti." ujar Djeeta, hatinya sarat akan keraguan. "Kenapa kau diakui sebagai pahlawan? Bukannya ... mendiang Raja Josef, kau yang ...?"

"Kalau kuberitahu yang sebenarnya, apa kau akan percaya?" sela Siegfried, menatap Djeeta tajam.

"Tergantung. Jika tempat kita bermukim ini didasari keadilan, nggak mungkin dia salah pilih."

"Baiklah, mumpung di sini masih sepi, akan kuceritakan semuanya." Duduk di kursi kerjanya, Siegfried mulai bercerita. "Malam itu, hujan turun dengan derasnya. Aku dipanggil menghadap Raja Josef di ruang tahta. Namun, yang kutemukan justru beliau, terkapar di sana, darah menggenang di lantai.

Tentu saja hal pertama yang kulakukan adalah mencoba menolong beliau. Sayang, kondisinya sudah tidak tertolong lagi. Ketika itulah beberapa kesatria merangsek masuk, dan menuduhku sebagai pembunuh.

Aku mencoba menghalau mereka, dan melarikan diri. Tetapi, suatu hari mereka menemukan kelemahanku; sebab darah Fafnir mengalir di tubuhku, mereka bisa gunakan sihir penyegelan untuk memblokir kekuatanku. Saat itulah aku tertangkap, dan ... selebihnya kau tahu sendiri."

"Sidang menjatuhkan hukuman gantung terhadapmu. Itu yang kudengar dari paman dan bibiku." Djeeta memungkas, menghela napas berat. "Tapi, sebab itu pula morale kesatria kita jatuh, dan karena itulah Feendrache kalah."

"Rupanya kamu mengerti." Siegfried merespon, tersenyum sendu. "Namun, pada akhirnya tidak ada gunanya merenungi masa lalu terus, bukan? Yang terpenting adalah misi kita ke depannya."

Lekas-lekas Siegfried kembali bangkit, mengencangkan apron yang dikenakan; sebelum mulai bekerja memperbaiki pedang milik Djeeta dengan cermat. Sementara Djeeta, ia hanya memperhatikan lekat-lekat; separuh hatinya memang masih tidak percaya bahwa pria yang dulu dicap pengkhianat itu ternyata punya sisi lain dalam kisahnya. Tapi, toh, pada akhirnya Keadilan tidak akan salah pilih.


"Satu, dua! Satu, dua!"

Derap langkah memecah hening, kala Vane berlari santai mengitari markas Rozendrache. Satu lagi hari baru baginya, yang kini menjadi kapten baru dari gerakan perlawanan itu. Terkadang ia merasa keputusan itu terlalu cepat; mengingat ia dilantik 48 jam setelah kepergian adiknya itu. Namun ia memaklumi, tahu bahwa perlawanan tidak dapat menunggu.

Hatinya masih terasa sakit tiap kali teringat gadis itu, adik kandung semata wayangnya. Namun, di saat yang sama rasa sakit itulah yang jadi kekuatan. Mengukuhkan janji untuk merebut kedamaian, agar tidak ada lagi yang menderita sepertinya. Cukup ia saja yang merasakan pahitnya pengkhianatan.

Usai menyelesaikan olahraga pagi, ia beranjak menuju markas untuk beristirahat sejenak; setelah itu, barulah ia akan mulai tanding latihan. Langkahnya pelan, menuju ruangan berjendela lebar tempat altar rahasianya berada. Memang, mencurahkan keluh kesahnya di hadapan altar itu menjadi pelampiasan atas lara yang mencekik, memberinya kekuatan ...

Sampai di ruangan itu, Vane berlutut di hadapan altar berhias bunga astragalus itu, memanjatkan doa untuk kedamaian sahabatnya. Kemudian, ia bercerita seorang diri, "Pagi, Lanchan. Apa kabar kamu di sana? Apa kamu ketemu sama adikku, Djeeta? Kalau iya, aku minta titip salam buatnya.

Kamu tahu, sekarang aku ngerti gimana beratnya jadi seorang pemimpin. Djeeta pun, memang awalnya kewalahan ... tapi ia berhasil. Harusnya aku pun nggak boleh kalah, aku harus jadi kapten yang lebih baik lagi ..."

Sembari ia berkisah, ia menyirami bunga-bunga itu dengan sedikit air dari botol minumnya. Ketika itulah ia menyadari sesuatu yang ganjil; setangkai tanaman astragalus yang layu, dan bunga dandelion mekar menggantikannya.

Ditatapnya bunga itu lekat. Mungkinkah ini pertanda?


Pukul limabelas. Djeeta menanti di teras toko senjata, belum bisa pulang karena derasnya hujan yang tiba-tiba turun. Bisa saja ia meminjam payung pada Siegfried, namun urung ia lakukan; tidak ingin membebaninya yang tengah melayani pelanggan lain yang mendadak berdatangan. Berharap mungkin Gran atau Lyria datang menjemput secepatnya, namun sebelum itu biarlah ia menikmati pemandangan hujan dalam hening.

Benaknya masih kalut mendengar cerita Siegfried barusan. Cemas karena biar bagaimana pun, sulit bagi Siegfried untuk membersihkan namanya dari tuduhan saat kembali ke Semesta Langit nanti. Ingin Djeeta membantu, tapi apa yang bisa ia perbuat?

"Oi, Djeeta! Di situ ternyata."

Seseorang menghampiri, rupanya Lancelot. "Nggak nyangka kamu ada di sini."

"A-aku ke sini buat perbaiki pedang yang kupinjam dari Gran." Djeeta membalas canggung. "Sir Lancelot sendiri?"

"Aku cuma kebetulan lewat, terus ketemu kamu di sini... Gimana kalau kuantar pulang?"

Djeeta menolak halus. "Nggak apa-apa nih? Tapi nanti ..."

"Udah, nggak apa-apa. Kebetulan aku juga mau ketemu Gran. Ayo."

Keduanya pun segera menuju penginapan, menembus derasnya hujan. Agaknya pengalaman sepayung berdua dengan Lancelot terasa asing bagi gadis itu; sedari tadi ia hanya memperhatikan jalanan saja, tanpa bicara. Hal itu tentu mengundang heran bagi Lancelot, yang segera memutus senyap, "Djeeta, kamu kenapa diem aja? Jangan bilang kamu masuk angin."

"Aku nggak apa-apa, kok." Djeeta tersipu, "Cuma, yah ... cuacanya memang agak dingin. Apa memang kayak gini?"

"Justru nggak." Lancelot menggeleng, "Di sini nggak pernah turun hujan. Kalau sampai hujan begini, itu pertanda besar."

"Pertanda ... apa?"

"Matahari bakal segera terbit. Dengan kata lain, kita bakal segera kembali ke Semesta Langit."

Mendengarnya saja sudah membuat Djeeta terkesiap. "Ehh?? Serius? Padahal aku baru beberapa hari di sini ..."

"Aku juga nggak ngerti kenapa bisa secepat ini. Yang pasti, misi kita baru dimulai."

"Hmm ..." Djeeta terdiam sesaat, menimbang-nimbang; mungkin lebih baik jika ia cerita soal Siegfried pada Lancelot. "Sir Lancelot, um, apa kau tahu soal ... masa lalu Sir Siegfried?"

"Ya, aku tahu." Lancelot mengiyakan. "Apa yang terjadi padanya benar-benar sulit dipercaya. Tapi aku yakin ia tidak bersalah."

"Aku juga. Jadi ... kalau kita kembali ke Feendrache, gimana kalau kita bantu dia juga? Aku cukup kenal dengan adik mendiang Raja Josef, jadi kita bisa cerita yang sebenarnya pada beliau."

"Ide bagus. Tapi, tetep aja, kita perlu bukti ... nanti kita cari sama-sama, oke?"

"Tentu!"

Hujan masih turun dengan lebatnya, menjadi tanda dimulainya babak baru. Dalam hati Djeeta bertanya, akan seperti apa tanah airnya saat ia kembali nanti?


Jam latihan hari itu telah usai. Vane baru saja selesai membereskan loker, juga turut andil dalam piket ruang latihan. Mengunci loker miliknya, ia memadamkan lentera terakhir di ruangan itu dan melangkah pulang.

"Sir Gunther, apa itu tidak terlalu kejam?"

Sayup terdengar seseorang berbicara dari salah satu kamar kosong. Terdorong oleh rasa penasaran, Vane berhenti dan menyimak dari jauh.

Terdengar Gunther membalas, "Apa maksudmu? Wajar kalau dalam perjuangan ada pengorbanan, bukankah begitu?"

"Tapi, Sir ... mendiang Djeeta masih di bawah umur waktu itu. Ditambah dia perempuan ..."

Mendengar nama adiknya disebut, Vane semakin ingin tahu. Apa sebenarnya yang terjadi?

"Justru karena itu dia cocok jadi kapten boneka. Ditambah dia masih polos ... mudah buat dimanipulasi."

Napas Vane tersengal mendengarnya. Sama sekali tidak ia kira, bahwa terpilihnya Djeeta sebagai kapten hanya bagian dari dusta yang lebih besar. Bagaimana perjuangan adiknya itu, yang berusaha keras menjadi pemimpin yang sempurna, sebenarnya sia-sia saja ...

Cukup. Cukup dengan omong kosong ini!

"Apa maksudmu?!" Tanpa pikir panjang Vane membanting pintu, menggertak ke arah Gunther. "Jadi selama ini kamu manfaatkan adikku?!"

Gunther tidak membalas, hanya memerintahkan kesatria yang tadi berbicara dengannya untuk angkat kaki dari ruangan itu.

Tentu saja Vane semakin berang. "Jawab aku, keparat! Apa maksudnya adikku jadi 'kapten boneka', hah?!"

"Tentu saja, posisinya hanya sebagai kedok." balas Gunther. "Sudah tentu musuh akan lengah, sebab dikiranya pemimpin pemberontakan itu hanya seorang gadis kecil.

Dan rupanya, rencana itu sukses. Mereka menganggap Rozendrache sudah mati dengan terbunuhnya gadis itu, padahal kenyataannya kita masih bertahan.

Toh, aku juga sudah tahu duluan kalau Gareth adalah penyusup. Cara apa yang lebih baik buat memperdaya penyusup kalau tidak memanfaatkan umpan?"

"Bajingan ... apa kamu nggak tahu cara berterima kasih?!" Kemarahan Vane semakin menjadi, "Adikku udah berbuat banyak hal demi gerakan ini! Aku ingat dia sering tidur larut malam karena latihan berpedang semalam suntuk. Aku ingat dia pernah nangis jam tiga pagi saking cemasnya, takut nggak bisa memimpin dengan baik. Bahkan di saat terakhirnya pun, dia udah jadi pemimpin yang hebat! Dan sekarang kamu bilang kau itu semua sia-sia, gitu?"

"Adikmu memang berdedikasi, terlalu berdedikasi. Tapi, toh, pada akhirnya kamu cuma kehilangan adikmu."

"Cuma, katamu?! Djeeta itu satu-satunya keluarga yang kupunya! Tahu apa kamu soal kehilangan?!"

"Kau tanya aku kehilangan apa? Aku kehilangan Kriemhild dan Licht saat perang itu! Kau tidak akan mengerti bagaimana rasanya, kehilangan istri dan putra tercinta begitu saja ..." Kesabaran Gunther mulai habis. "Lagipula, kau pantas mendapatkannya. Aku tahu rahasiamu, kau pernah membunuh anak dari paman dan bibimu itu ... Lancelot, ya, namanya?"

Vane terdiam. "Tahu ... dari mana ...?"

"Kudengar pembicaraanmu dengan adikmu lima bulan lalu." Nada bicara Gunther kian pahit, "Apa kau tidak memikirkan rasa sakit paman dan bibimu itu, kehilangan putra semata wayang mereka? Temanmu itu, yang seharusnya punya masa depan gemilang ... tapi kau malah menghabisinya. Anggaplah tewasnya adikmu sebagai karma."

Kemudian, Gunther berlalu, meninggalkan Vane yang terpaku di ruangan usang itu. Kesatria berambut pirang itu jatuh terduduk, napasnya susul-menyusul. Bahunya gemetar, teringat kembali akan beratnya dosa yang ia pikul; sadarlah ia bahwa yang dikatakan Gunther itu benar. Nyawa berbalas nyawa, dosanya membunuh Lancelot berbalas terenggutnya nyawa Djeeta.

Lantas untuk apa ia berjuang sekarang?

(Bersambung.)