Chapter 4
.
.
.
Hari-hari selanjutnya kembali seperti empat bulan yang lalu. Di mana ia biasa menghabiskan waktu istirahat pertama di perpustakaan untuk membaca. Sendirian.
Walau selama lebih dari setahun ia selalu berada dalam keadaan seperti ini, namun nyatanya sangat terasa kekosongan yang kentara ketika Sakura tidak lagi duduk bersisian dengannya.
Dilihat dari sudut manapun juga, Naruto tak bisa menapik kalau kehadiran Sakura berdampak besar pada dirinya.
Dua hari berlalu dan Naruto masih belum bisa bertatap muka lagi dengan gadis itu. Setiap kesempatan luang, pertanyaan tentang kenapa Sakura tidak lagi menemuinya tanpa absen menyergap benaknya.
Kenapa Sakura tidak pernah lagi mengiriminya pesan kecil atau sekedar mengucapkan selamat pagi padanya?
Kenapa, Sakura-chan seolah menghilang?
Tapi, hanya dari sekelilingnya saja. Karena gadis itu masih ada, masih tetap memberi senyum ceria pada semua orang. Kecuali padanya.
Senyum Sakura masih sama. Sosok gadis itu semakin berkilau di manapun berada. Orang-orang akan mengerumuninya sehingga membuat ia tak bisa walau sekedar menyapa atau memberi satu senyum kecil. Tapi ia terus berusaha. Ia butuh penjelasan kenapa gadis itu tiba-tiba menjauhinya.
Meskipun melihat Sakura baik-baik saja pun, sudah membuat ia menghela nafas lega. Sakura dikelilingi orang yang menyayanginya. Ia selalu melihat dua sahabat Sakura menemaninya. Dan di beberapa kesempatan, ia jadi tau seberapa besar kasih sayang dari kedua gadis itu untuk Sakura. Terutama sahabat Sakura yang memiliki rambut hitam kecoklatan dengan mata bulat yang senantiasa memberikan tatapan hangat untuk gadis itu.
Namun ia butuh dan ingin penjelasan dari Sakura.
Ia pernah mencoba menghampiri Sakura di tengah kerumunan siswa-siswi yang mengelilingi sosok tubuh kembang sekolah itu. Ia sudah menyiapkan hadiah bahkan sehari setelah Sakura mengatakan kalau dirinya akan mengikuti olimpiade Matematika dua bulan yang lalu. Karena ia yakin Sakura akan menang. Dan ternyata dugaannya benar. Gadis itu kini pulang dengan medali emas beserta semerbak wewangian yang semakin membuat harum sekolah.
Dan ia sudah siap dengan sekotak hadiah dengan harapan bisa menemukan kejelasan tentang semua yang terjadi.
Tapi ternyata itu cukup sulit. Banyak pula yang ingin memberi hadiah sepertinya. Kebanyakan adalah para siswa, sehingga sempat ia terjatuh karena tidak sengaja tersenggol oleh beberapa orang.
Ia tak tau sebelumnya kalau ternyata orang-orang yang menyenggolnya sengaja melakukan itu.
Tiba-tiba ia diseret paksa oleh empat siswa menuju kelas kosong tak terpakai. Ia mengenal mereka. Wajah-wajah yang menindasnya dua minggu lalu. Bersama Utakata. Tapi gengamannya pada kotak kecil hadiah berwarna merah muda itu masihlah seerat sosok Sakura yang melekat di ingatannya.
Ia memberi perlawanan ketika hendak dimasukan ke dalam kelas kosong itu. Sekuat tenaga melepaskan cekalan telapak tangan mereka di kedua lengannya. Lantas segera melayangkan tinju tepat mengenai mata siswa berambut oranye. Yang kemudian terdengar lolongan kesakitan dari bibirnya.
"Brengsek!! Cepat bawa dia ke dalam!!" Amarah jelas ada di setiap suku kata dari siswa yang terkena tinjunya barusan.
Namun sebelum tangan mereka kembali mencekal lengannya, ia sudah lebih dulu menendang perut siswa di samping kanan, lalu memelintir tangan yang berhasil menyergap pergelangan tangannya di sebelah kiri. Jerit kesakitan lolos ketika ia semakin memelintir lengan siswa itu, dan terhenti ketika ia menghempas tubuhnya dengan tendangan di dada.
Ia kehilangan fokus sehingga kotak kecil di genggaman tangan kirinya terjatuh akibat sebuah tinju mengenai sebelah wajahnya.
Tanpa hiarukan rasa sakit yang menyengat di sudut bibirnya yang berdarah, ia lantas merangkak dengan gesit untuk meraih kotak kecil berwarna merah muda itu yang tergeletak di antara sepasang kaki kokoh siswa berambut oranye.
Namun sebelum sempat mencapai kotak kecil itu, sebuah tendangan ia dapatkan mengenai bagian samping rusuk dari arah kanan. Yang mengakibatkan tubuhnya terhempas menggelinding sehingga kini posisi tubuhnya telentang dengan jerit tertahan karena rasa sakit yang dirasakan.
Selanjutnya, ia tak bisa melakukan apapun lagi selain menggigit bibir menahan perih di sekujur tubuh, akibat kepalan tangan-tangan keempat siswa itu yang tak berhenti meninjui badannya.
Ia meringkuk berusaha agar tinju-tinju, serta tendangan mereka tidak sampai mengenai bagian lemah dari tubuhnya.
Terlintas di pikirannya kalau ia mungkin tak akan sempat memberikan hadiah itu kepada Sakura. Kacamatanya sudah patah menjadi dua dengan retakan di lensa kacanya. Pandangannya memburam ketika ia samar melihat seseorang berseragam putri berdiri cukup jauh dari tubuhnya yang sudah tidak berdaya.
Lalu pukulan menyakitkan itu serempak terhenti ketika gadis itu berteriak memerintahkan mereka untuk berhenti.
Suasana menghening seketika ketika derap langkah kaki gadis itu menggema di koridor yang sepi.
Ia kini bisa dengan jelas melihat siapa perempuan itu. Helai hitam kecoklatan, mata bulat milik sahabat Sakura. Dia Yukari.
"Utakata yang menyuruh kalian?" Suara Yukari sangat dingin nan datar. Membuat keempat siswa itu menyadari ketidaksukaan Yukari akan tindakan mereka.
"Ya. Tidak ada yang lebih baik dari memberinya pelajaran agar dia sadar diri kalau Sakura sudah membuangnya." Ungkap siswa berambut oranye tenang.
Mata safirnya terbelalak ketika mendengar ucapan itu. Benarkah? Tapi, ia bukan tipe manusia yang mudah percaya bila belum mengetahuinya langsung. Namun, ia tak mengelak kalau keresahan itu ada.
Kemudian yang ia dengar, helaan nafas Yukari.
"Katakan pada Utakata untuk mengingat kembali syarat dariku."
Ia masih bisa menyadari kalau ucapan Yukari barusan terdengar sedikit aneh_meski sedang kesakitan.
Yang bisa dirasakan selanjutnya adalah tangan putih Yukari yang mulai membantunya bangkit.
"Bisa berjalan? Aku akan memapahmu menuju UKS." Tutur gadis itu.
Ia hanya mengangguk lemah. Namun masih dalam keadaan duduk. Sementara safirnya sudah tak menemukan keberadaan keempat siswa itu.
Sebelum Yukari mengalungkan lengannya di leher gadis itu, ia bergumam lirih ketika menemukan kotak berwarna merah muda miliknya tergeletak tak jauh dari tempatnya.
"Sebentar..., aku ingin mengambil dulu kotakku.." ujarnya lirih.
Yukari yang menyadari ada benda berwarna merah muda yang sudah tak berbentuk itu, lantas bergegas mengambilnya. Lalu diberikannya pada pemuda pirang itu. Sepertinya suruhan Utakata tadi yang merusak kotak itu.
"Untuk Sakura ya? Hadiahmu sudah hancur." Ujar Yukari tenang.
Ia tersenyum kecil karena kotak merah muda itu tidak hilang.
"Iya. Tapi tak apa, kuyakin isinya tidak sehancur bungkusnya." Jelas Naruto.
"Baiklah. Ayo, lukamu harus segera diobati." Tanpa menunggu balasan dari Naruto, Yukari lantas mengalungkan lengan pemuda itu di lehernya. Lalu memapah tubuh besar Naruto.
"Terimakasih.."
Sementara Yukari, hanya mengangguk dengan kesenduan di balik netra cokelat mudanya.
•
•
•
Yukari duduk tenang di samping bankar Naruto sedangkan lelaki itu tengah diobati oleh Shizune yang merupakan guru petugas UKS.
"Tidak ada luka dalam. Tapi begitu banyak luka lebam di tubuhmu. Salah satu sudut bibirmu robek. Matamu membengkak keunguan, hidungmu mengalami pendarahan, sementara tubuhmu dipenuhi luka bekas pukulan...
Kau habis dikeroyok Naruto?" Tampak kekhawatiran dari pancaran mata guru muda itu. Dan Naruto, mengangguk sebagai balasan. Ia tak memiliki celah untuk menyangkal atau berbohong.
"Kau bisa melaporkan mereka pada kepala sekola Naruto. Bahkan kepada polisi. Ini sudah termasuk tindak penganiayaan." Ujar Shizune.
"Tidak apa sensei. Aku tak ingin membesarkan masalah ini." Balas Naruto kaku. Bibirnya masih perih untuk bicara.
Shizune menghela nafas mendengarnya. Anak lelaki memang selalu seperti itu.
"Baiklah. Lukamu sudah selesai kuobati. Tapi sensei menyarankan untuk pergi ke dokter," Naruto mengangguk membalasnya.
"_sensei harus pergi sebentar. Tak apa kan, di sini sendirian?" Lagi, Naruto mengangguk sebagai balasan. Lalu mengucapkan terimaksih atas pertolongan guru muda itu.
Yukari tak ikut keluar saat Shizune pergi. Ia memang berencana menemani pemuda itu sebentar.
"Aku ingin di sini dulu. Boleh kan?" Lagi, Naruto mengangguk namun kali ini diselipi satu senyum tipis, yang menandakan kalau ia tak keberatan ditemani gadis itu.
"Hontou ni arigatou gozaimasu, Yukari-san. Aku tidak bisa mengira akan seperti apa kalau kau tidak ada di sana menyelamatkanku." Naruto sedikit meringis kecil usai mengucapkannya. Namun ia merasa lega dan sangat bersyukur atas pertolongan gadis itu.
"Sama-sama." Balas Yukari tenang.
Suasana berubah hening dalam kecanggungan. Tapi hanya untuk Naruto. Karena Yukari terlihat biasa saja, malah terkesan kalem meski sedang menatap lekat Naruto. Sementara yang ditatap, cuma bisa menunduk karena gugup.
Akan tetapi, Naruto seakan tertegun karena mengingat sesuatu. Ia lantas balas menatap Yukari dengan sorot mata serius.
"Aku ingin menanyakan sesuatu." Suara berat Naruto memecah keheningan itu.
Seolah sudah pamah tujuan ucapan Naruto, Yukari hanya tersenyum kecil mendengarnya. "Sakura ya.." terkesan bukan pertanyaan, melainkan pernyataan.
Naruto pun tak ingin buang-buang tenaga untuk berbasa-basi karena merasa sedikit malu_Yukari bisa menebaknya tanpa ia mengatakannya.
"Iya."
"Naruto, aku sudah mengerti maksudmu. Tentang kenapa Sakura menjauhimu, kan?_Yukari kembali tersenyum tipis ketika melihat tatapan Naruto berubah sendu_ Sakura... dia sewaktu-waktu bisa terlihat sangat terbuka pada kami, tapi juga bisa sangat tertutup. Tapi yang pasti, Sakura akan berbicara kalau dia ingin. Dan kami tidak pernah berhasil memaksanya menceritakan masalahnya. Ketika melihat dia tiba-tiba menjauhimu, aku sama tidak mengertinya saat dia mengatakan menyukaimu. Selama lebih dari tujuh tahun kami bersahabat, aku maupun Ino masih belum bisa membedakan saat-saat di mana Sakura serius atau hanya sekedar mempermainkan. Termasuk kepada lelaki."
DEG!!
Apakah?
"_kau, mengerti kan? Aku hanya mengantisipasi, sebaiknya kau melupakan Sakura._berdiri dari duduknya, Yukari mendekatkan diri pada Naruto yang masih mematung, lalu membawa telapak tangan besar Naruto untuk digenggamnya_ kau pemuda baik Naruto. Kau harus lebih bersabar dan menunggu untuk melihat siapa yang benar-benar mencintaimu dengan tulus. Maafkan sahabatku." Jelas Yukari dengan raut wajah sedih.
Yang hanya sekarang Naruto sadari, adalah hatinya terluka.
Tidak dengan seringai Yukari.
•
•
•
Naruto belum pernah membayangkan sebelumnya kalau patah hati mampu mengerucutkan fokusnya hanya pada rasa sakit di dalam dada. Seolah membius luka fisiknya sehingga tak terasa.
Ia berjalan terseok pelan. Pandangannya memburam kehilangan kacamata. Namun masih dapat menangkap surai merah muda jauh di depan sana. Berdiri. Memicingkan mata berusaha memperjelas penglihatannya, namun ia gagal. Buram itu menyamarkan wajah Sakura. Membuatnya tak mampu melihat emerald indah menyorotkan apa.
Namun, pergerakan gadis itu mampu membuka matanya. Sosoknya berjalan mendekat bersama kejelasan yang terlihat di matanya. Sampai, safir itu sukses terbuka sempurna ketika Sakura benar ada. Di depannya.
Nafasnya seakan tertahan oleh ketidakpercayaan kalau ia bisa melihat emerald itu lagi secara dekat seperti ini.
"Maaf."
Entah sejak kapan remasannya mengerat pada kotak merah muda yang sudah tidak berbentuk lagi. Naruto bahkan lupa dengan semua kesakitannya saat mendengar bibir renum itu berbicara lagi padanya.
Hanya saja, seakan memang tak memberinya kesempatan untuk menikmatinya lebih lama, hempasan itu datang tiba-tiba bagai sapuan ombak yang menghanyutkan kehangatan dalam hati, lantas mendeburkan segala harapan yang bahkan belum sempat ia terbangkan.
"Jauhi aku seperti aku menjauhimu."
Naruto sadar kalau sekarang ia benar-benar sakit.
Mematung dengan satu deguban yang mengehentak sanubari, seoalah menghentikan waktu, membuatnya lupa untuk bernafas.
Rasa sesak itu terasa begitu benar kali ini.
Menghujamnya keras, lantas membuka lebar kedua matanya.
Banyak tanda tanya memenuhi pikiran Naruto, namun ketupan bibirnya merapat tak membiarkan satu kata pun keluar, bahkan untuk 'kenapa?',
Harum Sakura masih tertinggal di sini, namun sosoknya sudah berlalu membawa kehampaan dalam hati Naruto. Meninggalkan ia yang menjulang kaku tak tau harus bagaimana.
•
•
•
"Aku punya pundak. Kau boleh meminjamnya kalau mau menangis."
Ucapan Utakata menyadarkan Sakura dari lamuannnya. Ia lantas terkekeh kecil, namun terdengar miris.
"Aku tak ingin membasahi bajumu," ujar Sakura tenang.
"Tidak masalah. Jika itu bisa sedikit mengurangi kesedihanmu. Atau kau mau aku menemanimu lagi di atap, seperti minggu lalu?"
Sakura berpura-pura merajuk. Bibirnya mengerucut ketika mendengar perkataan Utakata.
"Aku baru dapat medali, memalukan kalau langsung membuat masalah lagi." Sakura jelas-jelas mencoba membuat suasana mereka menjadi sedikit humor. Dan, berusaha menutupi kegundahan di
hatinya.
Namun, suasana mereka malah menghening. Tak ada balasan dari Utakata.
Sakura menolehkan kepalanya ke samping, dan mendapati jelaga Utakata tengah menatapnya intens.
"Kenapa?"
"Aku tau kau butuh melampiaskan kesedihanmu. Jangan terlalu keras mencoba terlihat baik-baik saja ketika sebenarnya kau sendiri muak. Sakura, aku tak ingin hanya menjadi penonton atas kesedihanmu tanpa bisa membantumu. Itu terdengar sangat pengecut." Ungkap Utakata.
Sementara Sakura, menyendu perlahan. Apa yang diucapkan Utakata memang benar. Ia butuh meluapkan kesedihannya, meninggalkan topengnya.
"Aku tak akan bertanggungjawab kalau bajumu basah." Sakura tersenyum kecil, namun senyumnya bergetar menahan tangis.
Menghela nafas, tanpa bicara lagi, Utakata segera menarik pundak gadis itu merapat padanya. Menenggelamkan wajah Sakura di dada bidangnya. Merangkum Sakura oleh pelukan yang erat.
Isakan kecil Sakura mulai terdengar bersama hangat air mata gadis itu membasahi baju menembus kulit dada bidang Utakata.
"Aku punya banyak pelayan di rumah. Biar mereka yang mencuci bajuku."
Utakata tau, ia hanya berusaha menghibur gadis dipelukannya ini, atau mencoba menghibur dirinya sendiri?
Rasa bersalah dan sakit hati itu,... Utakata merasa sangat buruk.
•
•
•
Sakura sedang menyamankan posisi duduknya di kursi samping kemudi Bugatti veyron Utakata. Bel pulang sudah berbunyi dan Utakata dengan senang hati menawarinya tumpangan.
Setelah kejadian beberapa saat lalu di taman, apa yang diucapkan Utakata memang benar, ia merasa sedikit lega. Meski tak sepenuhnya benar-benar merasa bebas atas kesedihannya.
"Sudah siap?" Tanya Utakata.
"Ya." Balasnya singkat.
Sakura kemudian menggulirkan kedua emeraldnya dari Utakata. Namun sesaat setelah pandanganya menetap lurus ke depan, sendu itu kembali membayangi netra indah Sakura.
Di depan sana, Naruto ada. Berjongkok menghadap motornya seperti tengah mengecek sesuatu. Utakata masih mencoba mengeluarkan mobil yang ditumpangi mereka dari posisi parkir. Jadi Sakura bisa melihat apa yang terjadi dengan pemuda pirang itu.
Ban motor Naruto terlihat kempis, entah karena memang bocor, atau apa. Tapi, kenapa bisa kebetulan langsung dua-duanya?
Sakura sedikit menggeram ketika ia menduga kebenarannya. Segerombolan siswa urakan melintasi Naruto dengan berbagai kalimat yang tak begitu jelas terdengar karena Sakura berada di dalam mobil. Namun, ia yakin kalau mereka mengejek Naruto, dan menertawakan keadaan pemuda itu. Terpampang jelas dalam raut menyebalkan serta tatapan mencemooh itu dari mereka.
"Apa mereka yang sengaja mengempiskan ban motor Naruto?"
Rasa sakit dan sedih itu mengembang lagi dalam hatinya. Sakura merasa pedih ketika ia tak bisa melakukan apa pun lagi untuk Naruto. Ia juga sangat kecewa pada dirinya, karena bahkan untuk sekedar menanyakan keadaan pemuda itu pun, ia tak bisa. Enggan. Namun risau.
Sakura memang seharusnya tidak begini. Ia dan Naruto tak memiliki hubungan apa pun selain hanya dua orang yang selama empat bulan sebelumnya mendekat.
Sakura semestinya tidak merasa dikhianati atas apa yang dilakukan Naruto dengan permpuan itu di perpus. Karena memang mereka berdua bukan siapa-siapa.
Naruto bebas melakukan apa pun dan bersama siapa pun. Naruto pantas menyukai orang lain yang bukan dirinya. Naruto wajar bila ingin bersama yang lain. Dan Sakura tak punya hak untuk melarang.
Sakura harus sadar, bahwa di sini hanya dirinya lah yang menyukai.
"Aku tak akan menahanmu bila ingin menemui dia, Sakura."
Sakura tersentak dari lamunannya saat mendengar ucapan Utakata. Ia meringis kecil karena mungkin saja Utakata merasa jengah karena terus melihat dirinya seperti ini karena lelaki lain. Sementara Utakata selalu berusaha menghiburnya.
"Maaf," cicit Sakura.
"Tak apa. Aku mengerti. Jika kau memang ingin menemui dia, lakukanlah! Aku tak mungkin melarang." Jelas Utakata kalem.
Sementara Sakura menunduk dalam.
"Aku tidak tau apa yang harus kulakukan kalau menemuinya," ujar Sakura.
"Kau mungkin bisa mengobati lukanya. Aku tau kau khawatir, Sakura." Sekarang, Utakata merasa sangat munafik. Seharusnya ia tak perlu melakukan ini, karena dirinya sendiri yang menyuruh kawan-kawannya untuk menindas Naruto.
Mungkin, ia ingin terlihat baik dan tulus di mata gadis itu. Munafik kan.
"Aku... tak bisa."
Sakura berpikir, Naruto tak mungkin lagi membutuhkan pertolongannya, sebab Naruto sudah ada gadis itu yang siap mengobati lukanya kapan pun 'kan.
Meski begitu, Sakura tak menapik kalau resah bercampur kekhawatiran menyergap hatinya kala mendapati Naruto dengan banyak luka lebam. Bahkan pertanyaan tentang kenapa Naruto bisa begitu pun, sudah ada ketika ia secara tersirat memberitahukan kalau ia tak ingin mengalami lagi kontak apa pun dengan Naruto. Dan, kacamata pemuda itu, kemana?
"Baiklah. Aku tidak mungkin memaksamu untuk menemui dia. Karena aku tak ingin menyakiti diriku sendiri." Ujar Utakata.
Sementara Sakura, hanya tersentak dengan senyum sendu setelahnya.
Mendengar perkataan Utakata.
Apa dirinya seperti memanfaatkan lelaki ini?
•
•
•
"Aku tau ini terlalu cepat. Tapi biarkan aku mencoba Sakura."
Sakura tak tau harus menampilkan reaksi seperti apa kecuali raut terkejut yang kentara terlihat di mimik wajah seputih pualamnya.
Pandangannya lantas menunduk menatap makanan mereka yang terlihat menggiurkan namun tidak berhasil mengalihkan Sakura dari kecamuk pikiran dalam kepalanya.
"Kau tau aku masih belum bisa melupakannya." Sakura belum menaikan pandangan saat kalimat itu keluar dari mulutnya.
"Aku bersedia menunggu. Percaya padaku Sakura, berikan aku kesempatan untuk membuatmu membalas perasaanku. Dan kita bisa sama-sama bahagia dengan saling menyayangi." Tak ada keraguan dalam setiap kata yang Utakata lontarkan. Bukan bualan, karena ia memang betul-betul akan berusaha.
Sakura tersenyum tipis tak terdefinisi. Lalu kemudian netranya balas menatap jelaga hitam Utakata.
"Apa kau tidak takut tersakiti nantinya? Menjalani hubungan dengan seorang gadis yang masih terikat oleh masa lalunya. Masih... mencintai lelaki lain. Di saat kau mampu menggenggam tanganku, sementara tidak dengan hatiku?" Sakura tau ini menyakiti Utakata. Namun Sakura tak ingin membuat Utakata semakin terperosok dalam harapan karena ia tidak bisa diharapkan.
"Aku takut. Tentu saja. Tapi aku sudah terbiasa Sakura. Melihat kau bersama dia, sementara aku bahkan tidak bisa untuk sekedar menyapa dan dekat denganmu seperti dulu. Rasa sakit ini, tidak akan terlalu jauh beda rasanya kan? Kalau keadaannya berbeda kali ini. Dengan aku yang akhirnya bisa selalu dekat denganmu, bisa leluasa mnggenggam tanganmu, itu membuatku semakin banyak memiliki kesempatan membuatmu balas menyukaiku. Memiliki waktu untuk menunggumu, 'kan?" Tatapan Utakata menghangat setelahnya.
Sakura hanya terpaku dalam jerat hangat netra kelam milik pemuda di depannya kini.
Sakura sudah sadar sekarang. Ia jadi tau bagaimana rasanya terkhianati karena rasa cinta yang tumbuh dari satu pihak saja.
Sakura terlampau sakit. Merasakan hampir separuh nafasnya selalu berakhir tercekat dan sesak ketika tiba-tiba mengingat alasan kepedihannya. Bagaimana ia yang tak pernah absen dihantui oleh kilasan-kilasan menyenangkan namun berujung menyakitkan karena semua itu palsu.
Untuk waktu ini, Sakura merasa paling mengerti perasaan Utakata. Ia, sangat paham.
Lucu bukan? Ketika pada akhirnya ia dan Utakata sama-sama gagal mendapatkan cinta. Ketika itu. Tapi, kini ia yang memegang kemudi.
Kejam kan? Kalau Sakura berpikir, ia mungkin tidak bisa mewujudkan harapankan akan Naruto, namun ia bisa membuat Utakata merasakan kebahagiaan atas harapannya yang terwujud. Namun semu.
Tapi, Utakata akan berusaha kan. Dan Sakura, hanya perlu menerima serta mencoba membuka perlahan hatinya.
"Kau akan menerima konsekuaensi menjadi pelampiasanku kalau terus kukuh seperti ini." Sakura hanya mencoba menggoyahkan hati Utakata.
"Tidak masalah. Tapi aku yakin itu takan lama. Asal kau bisa tertawa tanpa kepalsuan karena aku pun, bisa membuatku percaya kalau harapanku, pasti terwujud." Jelasnya. Utakata kemudian tersenyum aga lebar, dan ketegangan dalam suasana mereka entah kenapa seakan hilang.
"Kau pemuda paling bodoh di dunia." Sakura serius dalam ucapannya, namun dibalut candaan tentunya.
"Tak apa. Aku lelaki terbodoh yang beruntung."
"Kenapa?"
"Karena dirimu."
"Pandai sekali rayuanmu."
"Aku hanya menggombali pacarku saja."
"Siapa pacarmu?"
"Tentu saja Anda."
"Percaya diri sekali."
"Aku memang tampan. Sangat malah."
"Tidak nyambung."
"Kau juga sangat cantik."
"..." Sakura membuang muka. Kesal sekali meladeni pemuda ini. Dan ia sadar kalau suasana mereka sekarang mencair, ceria.
"Dan si cantik ini maukan jadi pacarku?"
Tapi, kembali berubah serius. Ketika Sakura meluruskan pandangan pada hitamnya netra Utakata.
"Ya. Aku mau."
Bagai hembusan angin, Utakata terkesiap dengan nafas yang tertahan.
"Terimakasih..." satu-satunya kata yang mewakili semuanya.
Malam itu, mereka duduk berdua dalam kencan mereka. Dengan hubungan baru yang entah siapa lagi akan tersakiti karenanya.
•
•
•
Berita mengenai kabar hubungan pangeran sekolah dengan kembang sekolah ternyata menyebar sangat cepat.
Siswa-siswi lebih memilih bergerombol berdesak-desakan agar bisa melihat foto-foto dua sejoli berbeda warna rambut itu tertempel di mading. Entah siapa yang melakukan hal itu. Foto ketika Sakura dan Utakata tengah kencan dan malam kala hubungan mereka telah resmi menjadi sesadang kekasih, tertempel di sana.
Tak sedikit yang patah hati, entah itu karena gagal menggandeng kembang sekolah, atau pun pangerannya.
Namun terlepas dari semua itu, siswa-siswi mendukung penuh atas hubungan mereka. Begitu cocok dan serasi. Pemikiran yang hanya melihat dari luarnya saja.
Menanti kabar kejelasan hubungan dua idola besar di sekolah mereka, nyatanya kini mereka mendapatkan apa yang diharapkan.
Berita tersebut sangat ramai diperbincangkan, hingga keberadaan Naruto seakan pupus tak terlihat. Di mana sebelumnya, pemuda itu menjadi ancaman besar bagi mereka.
Sementara, Naruto memang kembali lagi menjadi siswa tak dikenal. Menyendiri, diam, dan tak dianggap.
Satu minggu Naruto berada dalam abu-abu dan ketidaktahuannya akan keadaan mereka. Keadaan di mana tiba-tiba Sakura menarik diri dari kehidupannya. Membuat ia bertanya-tanya, kenapa bisa seperti itu.
Namun pada akhirnya, hari ini, Naruto mendapatkan jawabannya.
Penindasan komplotan Utakata, perkataan Yukari, menjadi sebuah kebenaran kala kabar itu berembus mengenainya.
Sakura, memang hanya hadir untuk mempermainkan dirinya.
Ia, tak pernah sesakit ini.
Langkah kakinya sangat lesu. Gairah hidup itu seakan melebur hancur seperti kacamatanya kemarin. Luka-luka di sekujur tubuhnya masih basah. Dan Naruto..., ditekan luar dalam oleh rasa sakit.
•
•
•
"Sakura-chan terlihat bahagia."
Hanya dirinya sendiri yang tersiksa.
Naruto memilih menghabiskan kedua waktu istirahatnya di perpus. Berusaha menyibukan walau itu percuma. Karena pikirannya selalu kerap kali tau tau diri mengulang kilasan menyenangkan di waktu lalu. Bersama dia.
Tapi setidaknya, ia hanya disiksa oleh kenangan-kenangan mereka. Perpustakaan menjadi tempat paling damai di mana ia tak perlu terus didengungi oleh perkataan orang-orang tentang kabar pasangan serasi itu. Tidak payah lagi menahan sakit hati dan rasa terhina atas cemoohan para siswa mengenai nasibnya yang malang karena dibuang oleh kembang sekolah.
Naruto juga jadi memiliki sedikit kesempatan melihat Utakata yang gemar memamerkan kemesraan.
Karena akhir-akhir ini, ia adalah pengecut yang patah hati.
Ia hanya bisa menatap sayu ketika Sakura dan Utakata berlalu melewati dirinya.
Ia tak mungkin lagi memberikan helmnya untuk dipakai Sakura karena mobil Utakata yang pastinya melindungi gadis itu.
Naruto memang bodoh ketika ia memutuskan untuk membeli helm baru agar Sakura tak perlu khawatir lagi sebab ia akan memberikan helmnya pada Sakura dan membiarkan dirinya mengemudi tanpa menggunakan helm. Helm yang dibeli Naruto dengan uang jajannya, nyatanya kini menjadi seonggok barang yang tidak berguna. Percuma.
Naruto termakan perlakuan manis Sakura. Senyum manis itu, tingkah lucunya, serta tatapan Sakura yang tak berhenti menyorotkan cinta yang tulus. Apakah memang benar semua itu palsu?
Ia bingung. Namun tak ingin berharap kalau sebenarnya Sakura benar-benar tulus. Untuk saat ini.
TBC
So, menurut kalian apa Yukari emang bener suka sama Naruto?
