Gempa dapat merasakan dirinya diseret keluar rumah sakit. Dia hanya bisa melihat sekelilingnya dengan tidak jelas, hingga akhirnya tentara itu mendorongnya dengan kasar ke tanah. Dia dapat mendengar tentara di sekelilingnya tertawa-tawa. Saat Gempa berusaha bangkit, dia melihat sebuah tas hitam di hadapannya.

"Sebetulnya aku ingin balas memukulmu, tapi aku punya tugas istimewa untukmu!" tentara itu berseru.

Si komandan menunjuk tas hitam itu.

"Tadi kami berhasil meringkus seorang teroris yang hendak melakukan bom syahid. Kami sudah mengirimnya ke neraka, tapi tasnya belum sempat diperiksa," jelasnya. "Tugasmu adalah memeriksa tas ini! Kami akan mengawasimu dari jauh, jadi jangan coba-coba lari! Kalau kau lari, maka kami akan melubangi kepalamu!"

Mereka kemudian pergi berlindung di sebuah bangunan terdekat, meninggalkan Gempa bersama tas itu.

Gempa gemetar. Dia melihat tas itu dengan penuh ketakutan.

Dia tahu soal aksi bom syahid itu. Yang berencana untuk melakukannya adalah salah satu anggota Hamas yang dia kenal. Informasi yang diketahui Gempa, bahwa orang itu akan mengebom kedutaan Israel hari ini. Bom yang dipakai menggunakan sistem timer, hitung mundur. Yang membuat Gempa ketakutan adalah waktu meledaknya sebentar lagi.

Bagaimana kalau saat dia membuka tas hitam itu, bomnya langsung meledak?

.

.

.

"Di kala Para Pencari Syahid meninggalkan bulu sayapnya di atas Bumi yang Terusir…" -Unknown


FAITH AND FIGHTER

Summary: Di tanah tempat cinta terbunuh ini, Kaizo justru menemukan kembali hatinya. [Warning: Palestine!AU]

Disclaimer: BoBoiBoy © Monsta Studio. Tidak mengambil keuntungan apapun dari pembuatan cerita ini.

Warning: Palestine!AU, Journalist!Kaizo, Typo(s), OOC akut, sadist, dll.

.

.

.

"Halilintar! Gempa! Ayo cepat!"

"Ya ampun, sabar Taufan! Bintangnya tidak akan kemana-mana kok!"

"Ayolah, lebih cepat lebih baik!"

Halilintar mendengkus kesal melihat betapa energiknya adiknya yang satu itu. Adiknya yang lain, Gempa, hanya tertawa kecil.

Setelah menaiki anak tangga dengan hati-hati, khawatir akan semakin retak jika sembarangan diinjak, akhirnya mereka sampai di puncak gedung.

Gedung ini bukan gedung yang tinggi, hanya lima tingkat. Tapi bagi mereka ini lebih dari cukup. Malam ini, langit Gaza bersinar terang oleh bintang-bintang.

Segala bintang terlihat di sini. Bahkan jika dilihat dengan teliti mereka dapat menemukan lengan dari Galaksi Bima Sakti yang perkasa.

Hal ini menjadi aneh, karena kota Gaza dengan predikat salah satu kota terpadat di Palestina justru menyajikan pemandangan yang harusnya hanya bisa dilihat di tempat yang tidak dijamah manusia. Pembatasan listrik yang semena-mena oleh Israel membuat kota ini menyediakan tempat bagi para bintang tersembunyi, sehingga Gaza menjadi anomali peradaban.

"Wah... malam yang indah ya!" seru Taufan senang sambil duduk di atas gedung. Gempa dan Halilintar turut duduk di sampingnya.

Keheningan sejenak meliputi mereka. Tidak ada yang menyadari kalau alih-alih menatap bintang, mata Halilintar justru mengarah kepada pemukiman Israel yang terhalang oleh dinding panjang yang mengurung Gaza. Giginya saling beradu, menahan rasa kesal.

"Kau kenapa, Halilintar?" tanya Gempa.

Halilintar tidak menjawab, dia merogoh kerah bajunya, mengeluarkan kalung dengan bandul berupa sebuah kunci tua yang terbuat dari tembaga. Dia menggenggamnya dengan erat.

"Tinggal 5 juz dan 10 hadist lagi..." gumamnya. "Maka aku akan berhasil memenuhi syarat untuk masuk HAMAS, melawan para zionis, lalu mengembalikan rumah kakek yang direbut mereka..."

Taufan dan Gempa menatap Halilintar dengan tertegun. Taufan lalu menepuk bahu Halilintar.

"Ayolah, sekarang jangan memikirkan hal-hal berat seperti itu! Kita kan sedang bersantai!" ujarnya ringan.

"Kau yang terlalu santai, Taufan! Kau pikir aku bisa tenang sementara pembunuh Ayah dan Kakek masih berkeliaran di luar sana?!" seru Halilintar sambil menepis bahunya. "Bisa saja saat ini mereka sedang menarget saudara-saudara kita untuk selanjutnya!"

"Halilintar, Taufan, tenang..." ujar Gempa menengahi. "Aku tahu kau sangat ingin memenuhi keinginan Ayah dan Kakek untuk membebaskan tanah ini. Tapi Taufan ada benarnya... ada saat di mana kita harus bersantai..."

Mata Gempa lalu beralih ke gugusan bintang yang di atas mereka.

"Bukankah kita bisa menikmati keindahan bintang-bintang, yang selalu mendoakan kemenangan untuk kita?"

Halilintar terdiam, lalu menghela napas. Kemarahannya sepertinya sudah reda.

"Halilintar, Gempa," panggil Taufan tiba-tiba. "Kita tidak tahu apa yang terjadi besok kan?"

Taufan lalu berdiri, lalu memandang kedua saudaranya.

"Bagaimana kalau sekarang kita berjanji," katanya. "Agar di umur berapapun kelak Allah memanggil kita, kita akan datang ke hadapannya sebagai pejuang! Kita harus mati dalam keadaan syahid! Agar tanah ini kelak menjadi saksi kalau kita sudah membelanya!"

Halilintar tertegun mendengarnya. Akhirnya dia tersenyum kecil sambil turut berdiri di samping Taufan.

"Baiklah..." ujarnya. "Aku akan berjanji kalau aku akan mati sebagai pejuang! Aku takkan biarkan nyawaku tercabut di tempat tidur!"

Mereka berdua menatap Gempa. Seolah menunggu jawaban darinya. Akhirnya dia turut berdiri bersama kedua kakaknya.

"Aku janji... aku akan turut berjuang demi tanah ini dan aku akan mati sebagai syuhada!" seru Gempa mantap.

.

.

.

Memori kebersamaan itu melintas di kepalanya. Mengingatnya membuat hatinya ngilu. Padahal dia masih ingin berjuang, tapi apa harus berakhir seperti ini?

Mata Gempa berkaca-kaca. Dia merasa putus asa. Tubuhnya masih lemah, dia tak sanggup untuk lari. Luka bekas jarum infus itu berdenyut-denyut menyakitkan.

Ya Allah ... Apa aku akan mati dengan cara terhina seperti ini? Menjadi mainan para zionis dan terbunuh oleh senjata kami sendiri?

Batinnya meratap.

"CEPAT, BOCAH!"

Teriakan itu makin memupus harapan Gempa. Dia tak punya pilihan. Dia pun merangkak, lalu membuka resleting tas itu.

"GEMPA!"

Mendengar namanya dipanggil, Gempa refleks menoleh. Taufan berdiri tak jauh darinya.

Tas itu tiba-tiba berbunyi. Terlihat sebuah kotak yang dikeliling kabel-kabel. Kotak itu menampilkan sederet angka.

00:05

Hanya lima detik sebelum ledakan terjadi!

"MENJAUH DARI TAS ITU!"

Teriakan Taufan menggema sementara dia berlari menuju Gempa.

Lima ...

Empat...

Tiga...

Dua...

Satu...

Nol.

.

.

.

Gempa membuka matanya.

"Gempa ... kau ... tidak apa-apa?"

Yang pertama kali dilihat oleh Gempa adalah Taufan. Anak muda itu berada tepat di depannya, sambil memegangi bahu Gempa erat-erat. Dia tersenyum, tetapi tampak seperti sedang menahan sakit.

Apa yang terjadi? Taufan menarik bajuku ... Ledakan ... Panas ...

Mata Gempa melebar saat melihat cairan merah pekat mengalir keluar dari telinga kakaknya.

"Taufan! Telingamu—"

"Haha ... Tidak apa-apa ... Gempa ... uh ..."

Taufan tiba-tiba roboh, tersungkur tepat di pangkuan Gempa. Saat itulah, Gempa baru melihat tubuh bagian belakang Taufan. Terutama punggungnya, tampak jelas tercabik-cabik. Aroma anyir darah bercampur bau hangus menusuk hidung Gempa.

"Maaf ... cuma ini ... yang bisa ... kulakukan ... untukmu," Taufan berbisik lirih, terputus-putus.

"TIDAK! TAUFAN! TAUFAN!" Di tengah jeritan pilu, air mata Gempa mulai mengalir. "TAUFAAAN!"

.

.

.

"Kita sebagai jurnalis dan fotografer, kadang harus tegaan, lho," Ejo Jo, salah satu jurnalis kontroversial, berkata pada Kaizo.

"Tegaan?" Tatapan Kaizo menajam. "Maksudmu, kita tetap menyiarkan berita, walau nanti obyek pemberitaan kita akan hancur? Itu melanggar kode etik."

"Oh, bukan ... Walau aku suka meliput skandal artis, tapi aku masih punya sopan-santun, kok," koreksi Ejo Jo. "Maksudku, jangan sampai nurani kita menghalangi kita meliput berita. Contohnya ini ..."

Ejo Jo memperlihatkan sebuah foto. Di dalam foto itu, tampak seorang anak Afrika meringkuk di tanah, terlihat sangat kurus dan menyedihkan. Tak jauh di belakangnya, seekor burung pemakan bangkai bertengger di tanah. Seolah menunggu kematian calon mangsanya.

"Foto ini berhasil menarik simpati dunia, sehingga bantuan kemanusiaan mengalir ke Afrika." Ejo Jo menjeda sejenak. "Tapi apa kau tahu? Beberapa bulan kemudian, fotografer yang mengambil foto ini bunuh diri karena tekanan batin. Dia merasa bersalah telah membiarkan anak itu mati. Tapi apa daya, waktu itu dia dilarang menyentuh anak itu karena mungkin dia berpenyakit."

"Jadi maksudmu ...?"

Kaizo mengamati foto itu dengan seksama.

"Maksudku, ada saat di mana kita harus tega demi berita. Mungkin obyek foto kita akan kehilangan nyawa, tapi berkat berita kita, orang-orang jadi tahu kejadian itu. Dengan demikian, akan mencegah terulangnya kejadian yang sama. Kalau kita langsung turun tangan? Selain kita sendiri terancam bahaya, kita juga akan kehilangan kesempatan untuk memberitakan kejadian itu pada dunia."

.

.

.

Itulah yang dilakukan Kaizo.

Kameranya merekam dengan jelas seluruh kejadian tersebut. Namun, hatinya tercabik-cabik. Tangannya gemetar menahan amarah. Tentara itu sungguh tak punya hati. Setelah ledakan terjadi, mereka pergi begitu saja.

Kaizo tidak tahan lagi. Dia segera menyimpan kameranya, lantas berlari menghampiri Taufan dan Gempa. Dengan hati-hati, dia merengkuh tubuh Taufan. Tubuh itu terasa dingin, tetapi Taufan masih bernapas.

"Taufan! Bertahanlah! Kita ke rumah sakit—"

Tangan Taufan tiba-tiba mencengkeram lengan Kaizo. Menahan gerakannya di udara.

"Kaizo ...," bisikan lirih Taufan terdengar, "Aku minta maaf ... sudah marah-marah ..."

"Jangan bicara sekarang! Kau akan baik-baik saja—"

"Tidak ... Aku tahu ... Setelah ini ... aku pergi ... ke tempat ... Halilintar ..."

"Dasar bodoh! Kau kuat! Hiduplah untuk tanah dan agamamu! Hiduplah untuk adikmu, Gempa!"

"Kaizo ... tolong ... gantikan aku ... ajak Gempa ... melihat bintang ... ya ...?"

"Hei—!"

"Laa ... ilaa ... ha ... ilallaah ..."

Napas Kaizo tertahan. Dia tahu kalimat terakhir yang diucapkan Taufan. Kalimatullah yang harus diucapkan seorang muslim di akhir hayatnya agar dinyatakan khusnul khotimah.

Di akhir hayatnya.

Kaizo menyaksikan mata Taufan yang masih terbuka. Namun, kosong. Itu cukup untuk menjelaskan bahwa Taufan yang ada di pelukan Kaizo sudah tidak bernyawa lagi.

Air mata yang tidak pernah keluar sejak hari pemakaman keluarganya, entah kenapa mulai keluar dari mata Kaizo. Dadanya terasa sesak. Dia lalu membaringkan tubuh dingin Taufan di tanah. Diusapnya wajah Taufan untuk menutup matanya.

Kenapa ... rasanya ... seperti aku kehilangan keluargaku untuk kedua kalinya?

"T-Taufan?!" Gempa dalam tangis mencoba mengguncang tubuh kakaknya.

"TAUFAN! TAUFAN! TAUFAAAAAN!"

.

.

.

Kaizo menyaksikan bagaimana Shielda menyelimuti tubuh Gempa di tempat tidurnya.

Memori kejadian sebelumnya kembali terbayang. Kaizo merasa salut dengan penduduk Palestina. Meski ini pasti bukan pertama kalinya terjadi, tapi mereka tetap memperlakukan Taufan layaknya pahlawan. Pemakamannya berlangsung khidmat. Kain kafannya harum akan kesturi. Dan banyak orang yang mengantarnya menuju peristirahatan terakhir.

Namun, mau tidak mau Kaizo menaruh simpati pada Gempa. Anak itu terus terisak sepanjang prosesi pemakaman. Dia bahkan tidak mau meninggalkan makam Taufan walau dibujuk berkali-kali. Akhirnya Kaizo yang menggendongnya kembali ke rumah sakit setelah Gempa tertidur di nisan Taufan.

Mata Kaizo tiba-tiba tertuju pada tikar tipis yang ada di samping ranjang Gempa. Di pinggir tikar itu ada beberapa barang pribadi milik Taufan, termasuk pigura foto yang sudah diselotip.

Kaizo merasa perutnya seolah terbalik ketika melihat pria di dalam foto itu. Dia seketika teringat bagaimana akhir nasib pria tersebut.

Apa dia menjalani berbagai siksaan di dalam penjara Israel, seperti yang kubaca di buku, sebelum nyawanya direnggut taring anjing liar?

"Satu lagi kisah tragis yang akan kaubawa pulang, huh?"

Suara itu berasal dari Sai, kembaran Shielda. Pemuda itu melihat Kaizo seolah dia adalah orang yang menyebalkan.

"Kau mungkin bisa menulis tentang Taufan dan Gempa, lalu menyebarkannya. Mungkin akan ada yang bersedih, tapi beberapa detik kemudian mereka akan kembali bersenang-senang! Kau tahu kenapa?"

Kaizo terdiam, tidak menjawab pertanyaan Sai.

"Karena Gempa hanya satu dari sekian banyak anak yang kehilangan keluarganya di Gaza, Kaizo. Hal seperti itu sudah biasa terjadi di sini. Sebagai jurnalis, kau tahu kalau pemberitaan yang monoton pasti akan membosankan, bukan? Padahal nyawa manusia itu sangat berharga!"

Sai menggeram. Lalu berjalan pergi meninggalkan Kaizo. Kaizo sendiri tidak membalas. Kejadian hari ini membuat kepalanya tidak bisa konsentrasi. Dia memutuskan pergi dari rumah sakit. Mungkin beristirahat adalah yang terbaik.

Saat berjalan menyusuri koridor, dia tiba mendengar suara umpatan. Dilihatnya rupanya Sai sedang bicara dengan Ramenman.

"Ini tidak adil! Mereka berusaha untuk terus hidup selama bertahun-tahun, dan sekarang Israel membunuhnya begitu saja! Dan warga dunia tidak ada yang peduli! Mereka pikir nyawa manusia itu apa?!" umpat Sai kesal.

"Aku setuju denganmu…" ujar Ramenman. Ada kemarahan dalam suaranya. "Ini semua gara-gara ideologi zionis yang dianut Israel! Mereka menganggap manusia selain mereka tak lebih dari hewan berkaki dua! Jadi bagi mereka, nyawa Taufan-ah, tidak. Bahkan nyawa kita sekalipun tidak ada artinya!"

Mendengar semua itu, Kaizo langsung mengepalkan tangannya. Ingin rasanya dia menuntut keadilan, tapi dia tidak bisa berbuat apa-apa.


TBC


AN: Maafkan diri ini baru bisa apdet sekarang… Mohon maaf lahir batin ya semuanya! /telat woi

Nanti saya usahain fic ini segera tamat deh! /plakk

Turut berduka cita atas apa yang menimpa saudara-saudara kita di Palestina saat ini. Semoga mereka diberi kekuatan dan ketabahan dalam menghadapi para penjajah zionis yang laknat.

Sampai jumpa di chapter selanjutnya!

REVIEW! REVIEW! REVIEW!