"Kak Gempa~"
Pemilik nama yang dipanggil mendongak dari buku yang sedang dibacanya di meja belajar. Tumben sekali panggilan Solar seperti berlagu begitu. Mengingat gelagat baru si bungsu sejak kecelakaan kedua yang lebih ringan, bisa saja Solar saat ini sedang ingin pamer sesuatu, seperti menurut cerita Taufan saat Solar mengumumkan cita-citanya menjadi dokter bedah minggu lalu. Benar saja, tanpa Gempa bicara pun, Solar sudah masuk kamar yang pintunya memang terbuka dengan wajah berbinar dan ponsel di tangan.
"Kak Gempa tahu kotoran di bawah kuku bisa menularkan Covid?"
"Err ... sepertinya, ya?" sahut Gempa kebingungan, seketika beristigfar karena barusan berburuk sangka pada adiknya itu. "Karena itu kita harus rajin cuci tangan, 'kan?"
Solar menunduk dan mengutak-atik layar ponselnya. "Iya betul Kak. Tapi cuci tangan enam langkah yang diajarkan itu tetap kurang efektif kalau orang malas potong kuku."
Gempa mengangkat alis, masih belum paham arah diskusi ini. Kedua kakak Gempa punya agenda sendiri memperbaiki meja pingpong yang sudah rusak dan teronggok di gudang sejak bertahun-tahun lalu sehingga memang hanya dia seorang yang ditemui Solar di kamar. Atau memang itu intensi Solar sesungguhnya? Berhubung dua hari yang lalu Blaze juga bermanis-manis mendekatinya demi meminjam topeng oni buat mengagetkan Fang yang berulang tahun. Tapi Solar bukan tipe pembujuk rayu agar keinginannya dikabulkan macam Blaze, pasti ada alasan rasional di balik pembicaraan kali ini.
"Kuku jari tangan Kak Gempa sih pendek-pendek," komentar Solar kemudian, mengamati jari-jari tangan kakaknya di pinggir buku.
"Iya lah. Aku potong kuku tiap satu minggu," balas Gempa kalem, memandangi kuku tangannya sendiri. Saat itu terdengar bunyi jepretan kamera dari ponsel Solar, yang terarah ke tangan Gempa. "Eh, buat apa difoto?"
"Buat dokumentasi," Solar berkata dengan nada serius. "Kak Gempa 'kan memang murid teladan bahkan meski belajar di rumah. Tapi belum tentu yang lain juga, 'kan? Karena sekolah libur, tak ada Pak Guru yang memeriksa kerapian kuku. Kakak mau rumah kita jadi klaster penularan Covid gara-gara kuku panjang?"
Logika sang adik ada benarnya. Gempa menghela napas lalu menutup bukunya. "Jadi, Solar mau apa?"
Solar tersenyum simpul. "Bantu aku inspeksi kuku yang lain."
.
.
.
.
.
.
.
.
BoBoiBoy (c) Animonsta Studios
Bridge over Troubled Water (c) Roux Marlet
-Penulis tidak mengambil keuntungan material apa pun dari cerita ini-
Alternate Universe, Elemental Siblings without super powers
Family, Drama, Suspense
.
.
.
.
.
.
.
.
Chapter 4: The Cold Empathy
Chapter warning: gross stuff
.
.
.
.
.
Ice berjalan ke arah lemari es. Ada susu langganannya di sana, ini sudah jatuh tempo dua minggu yang diultimatumkan Halilintar. Tapi kenapa lemari es itu terasa sangat jauh? Rasanya dia sudah masuk dapur, berjalan dan terus berjalan, kakinya sudah melangkah dan terus melangkah tapi tidak sampai-sampai. Seolah ada yang memegangi tangannya, menahannya untuk terus.
Menoleh, Ice terkejut melihat betulan ada yang memeganginya. Sosok anak laki-laki kecil bertopi putih yang sedang menunduk. Pegangannya pada tangan Ice begitu kuat dan sepertinya Ice mengenalinya.
Solar? Ice coba memanggil.
Kepala bertopi putih itu mendongak. Anak itu memang Solar yang jauh lebih kecil, sudah berkacamata, sepasang mata di baliknya putih sama sekali tanpa iris dan kornea. Tanpa berbicara, 'Solar' mengangkat topinya dan Ice membeku di tempat. Kepala anak itu plontos tanpa rambut dan ada bekas luka jahit melingkar di sana.
Kenapa, Kak? Sosok 'Solar' itu bersuara, lirih, samar-samar, dan Ice tak sanggup menjawab. Seketika sekelilingnya menggelap lagi. Tak ada dapur, tak ada lemari es, tak ada susu. Tak ada Solar.
Tak ada Solar? Solar 'kan ada di rumah. Solar baik-baik saja. Ya, dia baik-baik saja … Ice berusaha meyakinkan diri sendiri, tapi dia diserang keraguan dalam gelap.
Lalu ada yang meneriakkan namanya. Keras. Berulang-ulang. Seperti alarm berisik di pagi hari yang dingin. Suaranya cempreng agak serak yang khas, suara yang belasan tahun ini menempati kamar yang sama dengannya dan berhasil membangunkannya tiap pagi.
"ICE! BANGUN!"
Itu suara Blaze. Ice merasa tubuhnya dingin, tapi kelopak matanya sangat berat. Rupanya lemari es dan 'Solar' tadi memang hanya mimpi, tidak nyata. Kalau begitu, rasa dingin ini dari mana?
"ICE! ICE! BUKA MATAMU! IIIIIICE!"
Jeritan Blaze makin rewel saja. Berisik sekali, Ice 'kan mau tidur. Tapi sulit tidur kalau hawanya sebegini dingin. Jadi Ice membuka mata dan jantungnya serasa meloncat.
Di depan matanya ada sesosok wanita berambut merah muda, seringainya merekah mengerikan di bibir yang juga berwarna merah muda.
"WAAAAAAH!"
Ice menjerit sekuat tenaga, baru menyadari hal yang lebih mengerikan: wanita itu sudah membuka jaket Ice dan saat ini memegangi leher baju Ice seolah hendak menyobeknya.
"ICE! TENDANG DIA! PEREMPUAN JAHANAM!" pekik Blaze sekeras mungkin di sampingnya. "KOTORAN BUSUK! SINGKIRKAN TANGANMU—"
Gerakan kaki Ice tertahan oleh sesuatu dan serapah Blaze dibungkam oleh sesuatu yang lain. Ice menggeliat ngeri. Tenang dulu, tenangkan pikiran. Apa yang mau dilakukan perempuan itu padanya? Apa yang terjadi pada kakaknya?
"Sudah cukup main-mainnya, Ayu Yu." Sebuah suara menyela.
Si perempuan bernama Ayu Yu mendesah kecewa, tapi dia masih sempat melayangkan cubitan kecil ke pipi Ice yang tertutup masker. Dia berdiri dan Ice mendapatkan gambaran yang cukup tentang apa yang terjadi. Rupanya kakinya diikat jadi dia tak bisa menendang—meski diajarkan untuk tidak menendang kaum hawa, tapi untuk membela diri hal itu tidak dilarang. Tangannya juga terikat di belakang tubuhnya, posisinya terbaring miring di lantai.
"BEDEBAH!" maki Blaze sekali lagi, suaranya sangat serak seolah sudah sedari tadi berteriak. Seorang pria berbadan besar mendekat dan menendang perut si kembar yang lebih tua, lagi-lagi membungkam Blaze dengan rintihan tanpa suara.
"Kak Blaze ..." Ice hanya bisa berujar lirih. Kedua matanya kini membelalak penuh rasa takut. Kenapa mereka bisa di sini? Siapa orang-orang ini?
Blaze menggeram sambil menatap pria yang menendangnya barusan penuh amarah yang berapi-api.
"Kayaknya yang satu ini nggak bisa diam," ujar si badan besar sambil mengayunkan kakinya sekali lagi ke daerah perut sasarannya. Tubuh Blaze terdorong ke arah Ice diiringi erangan dan sang adik bisa melihat ada bekas cakaran memerah di lengan atas kakaknya.
"Berhenti," gumam Ice tercekat, memompa suaranya keluar sebisanya.
"PENJAHAT!" raung Blaze keras kepala.
"Kak Blaze, cukup," Ice berujar sambil beringsut mendekati kakaknya. "Hemat energimu."
Blaze mengatur napasnya, masih menatap dengan nyalang. Saat itu suara seorang pria yang lain terdengar, "Sudahlah Gogobi. Kau buang tenaga saja menendanginya. Sebentar lagi Cakada pulang membawa lakban, biar dia diam."
"Anak kembar ya rupanya? Mereka manis-manis," komentar Ayu Yu dari pojok ruangan. "Yang baju merah pun manis meski sedang marah."
"BERISIK, MANIAK KEJI!" balas Blaze berang. "LEPASKAN KAMI!"
"DIAM, BOCAH!" Pria yang dipanggil Gogobi menghajar wajah Blaze dengan sepatunya sampai anak itu terguling, kini berhadapan dengan adiknya. Mata Ice berkaca-kaca menyaksikan itu semua, kantuknya sudah sirna.
Blaze meringis menahan sakit, nada suaranya berubah, "Ice? Kamu jangan nangis, nanti puasamu batal."
Air mata sudah terlanjur menetes di wajah Ice, dia berkilah, "Kak Blaze sendiri sudah batal dari tadi. Kakak ngomong kotor terus."
"Heee? Oh, iya juga, ya. Astagfirullah."
"Jadi yang baju merah itu kakaknya? Hmm, boleh juga. Lenganmu kelihatannya kuat. Bisa jadi kuli kalau terjual nanti." Suara berat yang pertama kedengaran lagi.
Dua pasang iris berbeda warna dari wajah yang kembar saling tatap dengan pandangan horor. Ice mendongak, mencoba melihat sosok yang berbicara. Sulit mengubah posisi kalau tangan dan kaki diikat seperti itu, tapi Ice berhasil melihat orang itu: pria tinggi besar dengan rambut jabrik berwarna perak-biru, sedang duduk di kursi sementara yang lain berdiri, layaknya seorang raja.
"Si merah itu ototnya liat. Oh, aku bisa memegangnya sepanjang hari," kikik Ayu Yu.
Bagaimana Blaze tidak merinding mendengar itu? Perempuan jahat itu tadi memegang-megang dan mencakar lengannya yang tak tertutup pakaian dan itu saja belum cukup, dia juga menyentuh Ice, memanfaatkan situasi anak itu yang tidak segera terbangun sehabis kena setrum stun gun. Dia menyesali tadi mendekati dua pria itu di pinggir jembatan dekat Kokotiam dan mendapati mereka sedang menghitung uang dengan gelagat mencurigakan. Dia lengah dan Ice ikut kena batunya. Blaze yang sudah sadar duluan saat badannya dipegang-pegang seperti boneka terang saja langsung berkobar marah. Dikatai seperti barusan pun membuat kepalanya ingin meledak karena kemarahan yang dahsyat. Tapi matanya bersitatap dengan netra biru laut milik Ice yang meski didominasi rasa takut, di sana masih ada sisa ketenangan yang biasanya memang tidak ditemukan dalam diri Blaze. Dia berharap Ice dengan sikap tenangnya itu punya rencana, jadi Blaze menelan kembali amarahnya.
"Nah, nah, si biru meski rada gendut, ternyata bisa menjinakkan kakaknya. Menggemaskan sekali, 'kan?" seloroh Ayu Yu dengan senyum lebar. "Kalau dia tidak laku di luar sana, biar buat aku saja, boleh, Bos?"
Pria berambut perak-biru itu ternyata bosnya. Dia terbahak keras. "Seleramu tak berubah, Ayu Yu. Mereka ini masih bocah, tahu!"
"Tapi memang lah, kalau kita bawa yang merah terlalu lama, dia bakal merepotkan," komentar si pria besar, Gogobi. "Kita jual dia pada pembeli pertama yang mau, sedangkan yang biru kita bawa terus."
Gigi Blaze mulai bergemeletuk dalam kemarahan yang bangkit kembali ketika Ice berkata setengah terisak,
"Kakak mau bawa kami ke mana?"
Blaze sampai tak paham lagi Ice betulan masih menangis atau hanya pura-pura. Dia tidak tahu apakah mereka masih di Pulau Rintis atau tidak dan jam berapa saat itu. Tidak tampak ada jendela di sekitar. Teriakan Blaze dari tadi bergema, sepertinya ruangan ini tidak begitu luas tapi tertutup rapat. Pikirannya makin kacau ketika yang mendekat ke arah mereka adalah Ayu Yu. Wanita itu berjongkok di sisi Ice, membalikkan badannya (dengan usaha yang cukup keras) lalu menangkupkan tangannya ke wajah anak itu dan bersuara mengiba,
"Aduh, kasihan anak imut ini. Tenang, kalau kamu menurut, kamu akan baik-baik saja."
"Aku mau sama kakakku. Jangan pisahkan kami," rengek Ice sambil membalas tatapan Ayu Yu, posisinya kini memunggungi Blaze. Tangan kanan Ice membentuk sebuah tanda dan Blaze melihatnya. Jempol dan telunjuk membentuk lingkaran, 'O.K'. Blaze merasa harapannya bangkit. Jadi Ice sedang berakting sekarang, memanfaatkan balik ketertarikan Ayu Yu terhadapnya.
Ayu Yu melirik ke arah Blaze dengan pandangan menghina. "Kalau dia merepotkan, tak ada yang menjamin—"
"Kalian siapa? Kami mau dibawa ke mana?" Ice bertanya pelan-pelan, suaranya bergetar. "Nanti Atok cari kami kalau tidak pulang."
"Hoo, kalian tinggal sama Atok?" Si bos bersuara lagi. Bunyi kursi berderit menandakan dia bangkit dari tempatnya. "Yang punya kedai cokelat itu ya? Di mana rumah kalian?"
Baik Ice maupun Blaze gemetar mendengar pertanyaan bernada dingin itu. Saat itu azan Magrib pertanda buka puasa berkumandang menenangkan, tapi suaranya terdengar jauh sekali. Apa itu artinya mereka masih di Pulau Rintis?
"Ada apa, Nak? Kenapa mendadak diam?" Si bos membungkuk di atas Ice. Blaze sudah hendak membalasnya dengan makian tapi Ice lebih cepat,
"Sekarang Atok sedang buka puasa," ujarnya tenang, "tapi kami belum pulang. Pasti Atok cemas."
"Hoo, begitu ya. Berapa umur Atok kamu?"
Ice pura-pura berpikir keras. "Berapa, ya? Pokoknya Atok sudah tua."
"Kamu sendiri, umur berapa?"
Untuk pertanyaan itu, Ice merasa perlu berhati-hati. "Kelihatannya aku umur berapa, Paman?"
Si bos menjawab sambil menyeringai mengejek, "Empat belas," sedangkan Ayu Yu menyahut, "Tujuh belas." Ice merasa perlu menghindari pandangan Ayu Yu yang tebakannya benar sambil berpikir, langkah apa yang selanjutnya perlu diambilnya. Saat itu terdengar nyaring bunyi ponsel, membuat Ice membeku. Itu nada dering telepon milik Blaze yang sengaja disetelnya khusus hanya untuk satu orang yang paling ditakuti di rumah: Kak Halilintar.
Kakak sulung mereka menelepon. Artinya seisi rumah sudah tahu Blaze dan Ice belum pulang sampai Magrib.
Mengetahui sumber suara, Gogobi mendorong Blaze dengan kasar dan merogohi saku-saku celananya. Blaze tidak diam saja dibegitukan, dia mempersulit usaha si penawan dengan meronta sekuat tenaga dan berusaha menyodok lawannya dengan lutut. Berbuah bogem ke pelipis, tentu saja, tapi Blaze belum menyerah. Dengan susah payah dan beberapa baku hantam, Gogobi akhirnya berhasil mendapatkan ponsel Blaze dan mengacungkannya pada si bos.
"Bos Retak'ka, kita apakan benda ini?" gerutunya.
Pria bernama Retak'ka itu meraih si ponsel yang masih berdering. Dibacakannya nama yang tertera,
"Halilintar … siapa dia?"
Retak'ka bertanya kepada Ice yang dari tadi dirasanya bisa diajak kerja sama. Ice tidak menjawab sementara Blaze masih mengerang kesakitan. Sepertinya kalau sampai telepon itu habis dan tidak ada yang mengangkat, maka berikutnya ponsel milik Ice yang akan dihubungi.
"Bos, mestinya si biru juga bawa ponsel," seloroh Ayu Yu sambil menyeringai lagi. "Biar kuperiksa!"
Begitu deringnya habis, Retak'ka langsung mematikan ponsel Blaze. Betul saja, Ice segera merasakan sakunya bergetar-getar. Dia sendiri tidak pakai nada dering untuk telepon dari siapa pun.
"Nah, di mana kamu simpan ponselmu, Anak Manis?" bujuk Ayu Yu sambil meraih resleting jaket Ice yang terbuka. "Di saku baju atau di celana? Atau biar kucari sendiri?"
Blaze menggerung dan menyerudukkan kepalanya ke arah Ayu Yu, membuat wanita itu terjengkang dengan tidak elite sambil menjerit.
"Gogobi! Setrum saja dia lagi biar mampus!" pekik Ayu Yu.
"Salahmu sendiri main-main," balas Gogobi enggan. "Tapi bocah satu ini memang perlu dihajar."
"Jangan …" rintih Ice dengan nada memelas. "Jangan apa-apakan kakakku. Ponselku di saku celana sebelah kiri."
"Dari tadi, dong," gerutu Ayu Yu sambil menyingkapkan jaket Ice yang panjangnya sampai ke pinggul dan mencari alat komunikasi itu di saku yang dimaksud. "Ugh. Kamu perlu diet ya," komentar wanita itu. Ice tidak menanggapi, berharap sempitnya celananya di bagian paha bisa mengulur waktu biar teleponnya tetap di saku. Tapi akhirnya Ayu Yu berhasil mengeluarkan alat komunikasi itu.
Blaze hanya melotot saja mendapati ponsel Ice berpindah tangan ke Retak'ka.
"Yang ini namanya 'Taufan'. Kakak kalian juga? Kalian berapa bersaudara?" Bos berambut biru-perak itu menyipitkan mata ke arah Ice. Sepertinya dia sudah mendapatkan cara untuk membuat anak itu bicara. Dia menoleh ke arah Blaze. "Ayu Yu, buatlah sesukamu pada yang merah."
"Haaa?" Wanita itu agak kecewa karena dia lebih menyukai Ice yang kalem daripada Blaze yang beringas. Tapi dia mendekati Blaze juga dan meraih rompi tanpa lengannya yang sudah terbuka.
"Mau apa kau?!" bentak anak itu sambil menarik diri. Ayu Yu segera merobek bagian atas kaos Blaze yang meronta-ronta.
"Dengar ya, kalian mungkin memang kembar tapi aku tak suka bocah imut yang terlalu berisik." Wanita itu mencakar kedua bahu Blaze dan dengan sebelah lutut menindih perutnya yang pasti sakit karena ditendangi. Blaze melolong kesakitan.
"Berhenti!" seru Ice.
"Jawab dulu pertanyaanku," sahut Retak'ka dengan dingin, memberi kode pada Ayu Yu untuk menghentikan aksinya.
"Betul, kakak kami yang menelepon," Ice bicara cepat. "Kami sudah dicari. Harus pulang."
"Tidak setelah bocah ini melihat apa yang tak boleh dilihat," Gogobi menggeram, mengedik ke arah Blaze. "Kenapa Cakada dan Kechik lama sekali, sih?"
"Mereka sekalian menyiapkan kapal," sahut Ayu Yu yang masih menindih Blaze.
"Kapal?" ulang Ice, tapi suaranya tidak keluar. Tiba-tiba dia merasa sangat lemas dan kedinginan hingga menggigil sedikit. Dipejamkannya mata sambil berdoa jangan sampai pingsan karena kelaparan dan kehausan.
"Ice ..." panggil Blaze dengan nada cemas kendati keadaan dirinya sendiri perlu dicemaskan. "Jahanam kalian! Dia hampir dua puluh empat jam tidak makan-minum! Pulangkan kami!"
"Begitu ya?" balas Retak'ka yang tersenyum miring, tampak menikmati perubahan kondisi Ice yang begitu drastis. Anak itu sekarang diam sama sekali dengan mata tertutup, tapi dahinya yang mengerut-ngerut menunjukkan bahwa dia masih sadar.
"Kenapa bisa begitu?" tanya sang bos penjahat lugas pada Blaze. "Puasa 'kan tidak sampai selama itu?"
"Tadi pagi dia terlambat bangun, tidak sahur," sembur Blaze kesal. Kenapa pula dia harus menjawab pertanyaan macam begitu? Di luar dugaannya, Retak'ka tertawa keras.
"Kasihan, kasihan," imbuh Retak'ka. "Kamu sendiri, masih makan-minum tadi pagi, 'kan?"
Blaze bingung ke mana arah pertanyaan itu dan dia menyalak, "Kalau iya lalu kenapa?"
"Aku hanya punya satu minuman. Kalau melihat adikmu seperti ini, tampaknya dia saja yang kuberi minum duluan. Bagaimana?" Tanpa menunggu jawaban Blaze, Retak'ka bicara pada kedua anak buahnya, "Bangunkan si biru."
Blaze mengerang kecil ketika beban di perut dan bahunya terangkat, merasa sedikit lega. Rupanya si bos malah yang paling manusiawi di antara ketiga penjahat itu. Blaze sendiri tak masalah belum bisa minum sekarang, yang penting Ice tidak sampai dehidrasi! Setidaknya ada sesuatu yang bisa dilakukan untuk Ice, sekecil apa pun itu.
Ayu Yu dibantu Gogobi berhasil membuat Ice terduduk. Si wanita menepuk-nepuk pipi Ice untuk membangunkannya. Anak itu perlahan membuka mata lagi, tampak linglung.
"Ice! Mereka mau kasih kamu minum!" ujar Blaze bersemangat. "Kalau kamu sudah segar kembali, kita akan baik-baik saja."
"Huuh?" gumam Ice setengah sadar.
Ayu Yu melepaskan masker Ice dari wajahnya dan seketika memekik, "Imut sekali! Pipinya tembem!" Segera saja dicubitnya pipi Ice dengan kedua tangan.
Gogobi memutar bola mata, saat itu dia memegangi punggung dan lengan Ice untuk menahannya duduk. Punggung anak itu terasa hangat tapi lengan di bawah jaketnya dingin sekali.
"Kasihan, sampai sedingin ini pipinya," komentar Ayu Yu, lagi-lagi dengan suara mengiba. "Kamu haus dan lapar, ya?"
Retak'ka menyodorkan sebotol minuman pada wanita itu, yang menerimanya dengan seringaian. Mendadak Blaze jadi curiga. Masa iya, para penjahat ini sebaik itu? Dia saja belum tahu transaksi apa yang mereka lakukan tadi. Jangan-jangan isi botol itu …
"Racun!" pekik Blaze, matanya melotot. "Jangan diminum, Ice!"
Mendengar seruan Blaze, senyum di wajah Retak'ka terkembang dan bos penjahat itu terbahak-bahak. Mampuslah, ternyata benar kecurigaannya!
Ice tidak mendengar. Pandangannya sudah tidak fokus dan insting primitifnya melihat ada air disodorkan di depan mata adalah membuka mulut untuk minum. Satu tegukan cukup untuk mengirim alarm peringatan yang terlambat dari indera pencium dan perasanya ke otak. Ice terbatuk ketika mengenali cairan apa yang diminumkan kepadanya dan segera memalingkan wajah.
Alkohol? Seperti yang dia pakai praktikum di laboratorium sekolah? Masya Allah, sedikit cairan itu sudah terminum dan Ice merasakan pelupuk matanya panas. Semoga saja ini hanya mimpi … tapi rasa terbakar di kerongkongannya itu nyata.
Blaze melotot ketika aroma minuman yang menyengat itu tercium menembus maskernya. Seketika seluruh tubuhnya merinding.
Melihat Ice menolak minum, Gogobi mencengkeram belakang kepala anak itu dan memaksanya menghadap Ayu Yu. Wanita itu memencet hidung Ice, yang tak punya pilihan selain membuka mulut dan langsung dicekoki cairan memabukkan itu.
Satu, dua, tiga kali Ice menelan. Dia menarik napas pada jeda yang pendek, tapi Ayu Yu tetap memaksanya terus minum. Ice merasa sudah tak punya energi untuk melawan lagi, air matanya mengalir tanpa bisa ditahan ketika menyadari kenyataan yang sedang dihadapinya. Setengah isi botol itu sudah berpindah ke dalam perut Ice ketika Ayu Yu melepas jepitan tangannya dari hidung anak itu.
"I-ice?" cicit Blaze dengan suara gemetar. Dia tak percaya apa yang barusan dilakukan orang-orang ini terhadap adiknya.
Ice masih duduk dengan pandangan kosong, bibirnya yang basah bergetar hebat. Napasnya satu-satu, kombinasi sempat tak bisa bernapas dan fakta bahwa dirinya melanggar salah satu perintah agama. Perasaan bersalah membuat Ice berusaha memuntahkan apa yang diminumnya barusan. Kemauan kuat bercampur putus asa berhasil mendorong organ pencernaannya menuruti keinginan. Air matanya berjatuhan sambil dikeluarkannya isi perut ke lantai—hanya ada cairan, karena sudah dua puluh jam lebih tak diisi makanan.
Ayu Yu berdiri menjauh, demikian pula Gogobi.
"Diberi minum pun tak mau!" seru Retak'ka, masih terbahak-bahak seperti orang gila.
"Anda memang suka merusak anak muda, Bos," komentar Gogobi sambil menguap.
"Hei, 'kan itu kerjaan kita setiap hari?" balas Ayu Yu sambil mengamati kukunya yang dicat sewarna rambut dan bibirnya.
"Kau sendiri, lebih-lebih," sambar Gogobi lagi. "Merusak anak-anak lelaki muda, dasar pedofil."
Ayu Yu memberengut. "Mereka ini sepertinya sudah enam atau tujuh belas, lah. Bos saja yang tak pandai memperkirakan umur. Anak-anak zaman sekarang itu memang imut-imut, tahu! Kalau memang benar tujuh belas, aku belum terlalu tua di atas mereka."
Blaze seolah melihat dalam gerakan lambat ketika Ice muntah dengan penuh penderitaan. Adiknya itu menangis tanpa suara, mungkin karena memang sudah tak bertenaga. Kedua tangan Blaze yang terikat mengepal. Dia harus berbuat sesuatu selagi para penjahat itu menikmati penyiksaan mereka terhadap Ice. Tapi, apa? Dan kenapa Ice mendadak jadi lemas tadi, padahal sebelumnya masih bisa bicara dengan tenang? Blaze punya firasat tak enak tentang ini.
Tawa Retak'ka mereda ketika ada orang yang datang. "Cakada, Kechik, kalian lama sekali."
"Maaf, Bos. Cari lakban susah," jawab si kumis tebal sambil mengacungkan benda yang dimaksud.
"Cepatlah lakukan. Kita harus segera pindah dari sini." Perintah tegas Retak'ka membuat semua orang segera berkemas.
"Adikku sakit!" seru Blaze marah.
Retak'ka menggeleng cuek. "Dia hanya butuh makan dan minum. Tapi nanti, tidak sekarang."
Blaze memberontak ketika Gogobi menahan tubuhnya di lantai dan si pria berkumis yang sepertinya bernama Cakada menarik lepas maskernya. Tapi ini bukan saatnya khawatir dengan virus Corona! Mulut Blaze segera dibungkam dengan lakban dan Gogobi mengeratkan ikatan di tangan dan kaki anak itu.
"Ke … mana …?" Ice masih bisa bertanya terisak selagi tubuhnya diangkat dengan mudahnya oleh Retak'ka. Para penjahat tak merasa perlu melakban mulut Ice yang menurut mereka tidak menimbulkan ribut, lagipula napas anak itu masih tersengal-sengal.
"Dia cukup berat," gumam si bos. "Gogobi, kau bawa yang ini saja. Bisa encok Ayu Yu kalau menggendong yang satu ini."
"Ayu Yu bawa yang merah saja, dia lebih ringan," Gogobi main perintah, membuat si wanita merengut.
"Setrum dulu dia! Nanti habis rambutku dijambaknya!" balas Ayu Yu.
Retak'ka berujar, "Aku saja yang bawa si merah. Kita lihat seberani apa dia."
Ada sesuatu dalam suara si bos yang membuat Blaze tunduk ketakutan. Agaknya pria itu tega saja melakukan apa pun kalau Blaze sampai berbuat macam-macam, jadi dia tak memberontak lagi ketika Retak'ka mengangkat tubuhnya dan memikulnya di bahu kanan.
"Kami mau dibawa ke mana?" Ice mengulangi pertanyaannya yang belum mendapat jawaban, suaranya lirih tapi jelas.
Retak'ka terkekeh pelan sambil berjalan keluar. "Kamu berdua di luar rancangan kami. Tapi kurasa di Filipina akan ada saja orang yang tertarik membeli kalian."
"Yang baju merah itu tampaknya sehat dan bugar, apa kita jual saja ginjalnya, Bos?" ujar sebuah suara yang asing, mungkin pria yang dipanggil Kechik.
Gogobi menggeleng, menanggapi, "Jangan dijual ginjalnya, uangnya tak seberapa. Sewakan saja pada tante-tante kesepian, seumur hidup bisa menghasilkan uang."
"Di luar sana ada juga om-om kesepian yang suka anak-anak laki-laki," sahut Retak'ka, membuat Blaze merinding parah. "Aku kenal beberapa yang pasti mau membeli si merah ini. Mereka suka mainan yang bisa melawan."
"Lalu yang biru boleh buatku?" tanya Ayu Yu lagi. Tak ada yang menggubrisnya.
Cakada menimpali, "Mereka anak kembar. Kita lelang saja siapa yang mau beli sepasang. Terserah pembeli mereka mau diapakan."
"Hmmmmmph," gerung Blaze dalam pembicaraan gila yang menganggap ia dan Ice itu barang dagangan. Retak'ka menepuk pantat Blaze satu kali sambil berkata,
"Sepasang kembar yang imut-imut, dengan sifat berlawanan seperti air dan api."
Tawa gila memenuhi udara dan pikiran Blaze yang kalut. Kesadaran Ice memudar lagi, kali ini lebih cepat. Dia diangkut oleh Gogobi persis di sisi Retak'ka yang membawa Blaze dan masih sempat berbisik di sela napasnya yang pendek-pendek,
"Kak Blaze ... aku … nggak kuat lagi ..."
Ingin sekali Blaze meraih tangan Ice, menggenggamnya dan meyakinkannya bahwa akan ada jalan keluar. Tapi dia sendiri buntu pikiran. Ponsel mereka sudah disita dan sebentar lagi mereka berdua mau dibawa ke luar negeri dengan kapal. Ketika cahaya bulan dan bintang menimpa mereka, Blaze baru bisa mengamati profil adiknya benar-benar. Mata Ice sembab karena menangis, tapi betul komentar Ayu Yu bahwa pipi Ice tampak tembem—perasaan tadi pagi wajahnya belum sebundar itu? Wajah Ice seperti bengkak, padahal yang tadi dihajar mukanya 'kan Blaze. Para penjahat itu sama sekali tidak memukul wajah si adik.
"Ice sayang Kak Blaze," Ice menggumam, matanya terpejam. Bibirnya yang pucat menyunggingkan senyum sekilas sebelum pemiliknya terkulai tak sadarkan diri.
ICE …?!
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
Beruntung berkat bantuan Kak Gempa, Solar berhasil mendapatkan lima foto kuku tangan—milik Halilintar, Taufan, Gempa, Duri, dan Solar sendiri. Taufan terciduk belum potong kuku sebulan terakhir, kukunya panjang dan hitam-hitam, saking menjijikkannya membuat Gempa hampir semaput.
"Dan selama ini kamu tidur persis di atasku, Kak Taufaaaaaan!" Gempa berseru merinding, sementara Taufan meringis-ringis dan buru-buru mencari gunting kuku. Halilintar hanya geleng-geleng, agenda perbaikan meja jadi tertunda sejenak.
Tapi bukan masalah penularan Covid yang sebetulnya mengganggu Solar, yang membuatnya gelisah sepanjang siang. Hasil inspeksi kuku saudara-saudaranya, ditambah pengamatannya pada hasil foto yang sangat tajam oleh Taufan waktu mereka SMP, dan pencarian tak tentu arah di internet membentuk sebuah hipotesis, tapi Solar belum berani mengambil kesimpulan. Lagipula dia belum tahu apa pun soal dunia medis.
Blaze dan Ice belum pulang sampai lewat jam empat sore—dia sudah punya foto kuku Ice, sumber penelitian dadakannya hari ini, dan tinggal mencocokkan yang terakhir dengan milik Blaze—tapi Solar jadi tak sabar. Akhirnya diputuskannya untuk menelepon seseorang dan berencana mengusulkan pada Ice untuk segera periksa ke rumah sakit, nanti malam sekalian kalau kakak-kakak mereka setuju. Solar harus punya kepastian dulu.
"Halo?"
"Halo, Fang," sapa Solar terburu-buru. "Aku mau minta tolong, tanyakan abangmu. Apa ada gejala penyakit di mana orang sering kedinginan, sering mengantuk, berat badan naik tanpa sebab jelas, jadi pelupa, dan bentuk kukunya aneh?"
"Hah?" Fang menjeda, sepertinya mengambil alat tulis. "Apa saja tadi, Solar?"
Solar mengulang menyebutkan lima gejala yang tadi, yang kesemuanya ada pada kakaknya, Ice, dan yang kelima baru diketahuinya kemarin saat belajar bersama. Ke sekolah dan di rumah pun Ice hampir selalu mengenakan sarung tangan dan hanya karena sesi belajar mereka kemarin melibatkan olahraga di dalamnya maka kali itu Ice melepasnya. Saat coba membangunkan Ice waktu sahur tadi pagi, Solar sempat mengambil gambar kuku yang aneh itu.
Dan foto yang diambil Taufan tiga tahun yang lalu, saat Ice meraih juara lomba panahan tingkat SMP, mengabadikan Tok Aba bersama si anak nomor lima yang berpose kalem dengan busurnya tanpa sarung tangan. Berkat kecanggihan kamera hadiah ulang tahun sang ayah dan kelihaian Taufan membidikkan lensa, jari tangan para objek dalam foto terlihat jelas bahkan saat di-zoom.
Keanehan kuku itu sudah ada pada Ice sejak tiga tahun yang lalu. Tok Aba juga punya bentuk kuku yang hampir sama anehnya. Sehabis menelepon Fang nanti, jika Tok Aba sudah bangun dari istirahat sorenya, Solar akan menanyai sang kakek.
"Kukunya aneh, maksudnya gimana?" tanya Fang lagi. "Solar, kamu nggak sedang membicarakan kakakmu, Ice, 'kan? Aku sudah dengar dari Duri tentang hasil ujian yang dia lupa nomor urut ..."
Solar menyela, "Kukirim fotonya setelah ini."
.
.
.
.
.
to be continued.
