3. Tersekap
"Nngghhh!" Solar melenguh tertahan ketika ia mencoba memutar kedua pergelangan tangannya dengan harapan telapak tangannya bisa ia posisikan saling berhadapan. Posisi telapak tangannya yang saling bertolak belakang saat ini sudah terasa sangat menyiksanya karena membuat lengannya yang dipaksa terpuntir itu keram. Perekat yang menempel pada lilitan lakban itu melekat kuat pada kedua pergelangan tangannya dan belum menunjukkan tanda-tanda akan terlepas.
"Ayo... Lepasss." Sementara itu Thorn berusaha untuk menarik-narik kedua kakinya supaya terlepas dari jeratan lilitan lakban pada pergelangan kaki dan lututnya. Usahanya tidak membuahkan hasil karena jumlah lilitan lakban pada pergelangan kaki dan lututnya itu terlalu banyak.
Menolak untuk menyerah begitu saja, Solar merebahkan dirinya dibelakang badan kakaknya. "Kak Thorn diam ya, coba kugigit lakban di tangan kakak itu."
"Memangnya aku mau pergi kemana, Sol? Bergerak saja aku ngga bisa!" sahut Thorn sambil memutar kepalanya dan berusaha untuk melihat adiknya yang sudah merebah dibelakang badannya.
Dengan hati-hati Solar mengigit lakban yang meliliti kedua pergelangan tangan kakaknya. Usahanya seharusnya berhasil, kalau saja lakban itu bukan jenis duct tape seperti yang digunakan oleh para penculik itu untuk mengikat mereka berdua. "Huah...Aku nyerah. Ngga bisa kak, terlalu tebal. Gigiku ngga kuat."
Tidak banyak lagi yang bisa Thorn dan Solar perbuat dalam keadaan mereka yang terikat dan tidak berdaya. kedua lengan mereka sudah terasa sangat pegal dan letih. Usaha mereka untuk melepaskan diri belum ada yang membuahkan hasil, bahkan hanya menguras tenaga dengan percuma.
Solar hanya bisa memandangi ruangan tempat ia dan kakaknya disekap. Sepertinya ruangan itu adalah sebuah kamar mandi yang berukuran besar dalam sebuah rumah yang sudah lama ditinggalkan pemiliknya. Lantainya sudah penuh dengan debu dan tanah. Sebuah shower yang sudah karatan dan rusak terlihat masih meneteskan air yang berwarna kekuningan. Pada sudut kamar mandi bobrok itu terlihat kepingan-kepingan keramik berserakan yang berasal dari sebuah wastafel yang pecah. Di dekat wastafel yang pecah itu terdapat sebuah toilet yang sudah mengering dan beberapa buah botol kimia pembersih toilet berserakan.
Baru saja Solar akan berusaha untuk menggeser dirinya mendekati wastafel yang pecah itu ketika pintu kamar mandi tempatnya disekap terbuka.
Salah seorang penculiknya yang bertubuh pendek terlihat berdiri di ambang pintu kamar mandi itu. Di tangannya tampak terlihat sebuah ponsel bercasing hijau milik Thorn yang sedang dalam mode video call. "Nah kau lihat sendiri. Kedua adikmu itu masih hidup."
Solar dan Thorn langsung mengenali wajah yang terlihat di layar ponsel itu dan langsung berteriak dengan sekuat tenggorokannya mampu. "KAK GEMPA! KAK HALI! TOLONG! KITA DICULIK!"
"THORN, SOLAR, DIMANA KALIAN?" Di layar ponsel itu jelas terlihat kakak mereka berdua, Halilintar dan Gempa yang berada di rumah. Ekspresi wajah Gempa terlihat cemas sementara ekspresi wajah Halilintar terlihat sangat murka.
"KITA DISEKAP Di-" Belum sempat Solar menyelesaikan kata-katanya ketika penculiknya memutus video call itu.
Robert, si penculik yang bertubuh pendek itu hanya menyeringai sinis melihat kedua korbannya yang tidak berdaya itu "Semoga kakakmu itu mau membayar tebusan kalian," ujarnya sembari terkekeh setan. "Yah, kalau tidak pun kalian masih bisa kita pakai untuk sandera."
"Tolong ... Lepaskan tanganku ... Sakit ..." Thorn berusaha mengiba belas kasihan. Memang benar, lilitan lakban yang mengikat kedua tangannya itu sudah beberapa kali membuat lengannya yang pegal menjadi keram.
"Oh, lalu kau mau kabur ... jangan mimpi"
"Boleh ... minta... minum?" Mendadak Solar bertanya. Tenggorokannya terasa kering karena belum ada setetes air pun yang membasahi tenggorokannya sejak ia dan kakaknya diculik.
Robert terdiam sejenak sebelum mengangguk kecil. Ia pergi dan kembali dengan sebuah baskom agak besar berisikan air. Dengan hati-hati baskom itu diletakkan di pinggiran bak mandi yang paling lebar.
"Tolonglah, lepaskan ikatan kita... Paling ngga bagian kaki ... Mana bisa kita minum kalau begini?" Solar mencoba untuk memohon sedikit kelonggaran.
Robert hanya mendengkus ketika mendengar permintaan Solar. "Sudah! Masih bagus kalian kuberi minum. Usaha sendiri sana." Penculik itu langsung membalikkan badan dan melangkah keluar dari kamar mandi yang digunakannya untuk menyekap kedua kakak-beradik itu. Pintu kamar mandi itu dibanting dengan kasar dan dikuncinya dari luar.
Dengan bersandar pada tembok, Solar berusaha mendorong dirinya bangkit berlutut. Perlahan-lahan ia mendekati baskom itu sampai jaraknya cukup dekat dengannya.
Thorn hanya mengalihkan mukanya ketika ia melihat adiknya berusaha untuk minum seperti seekor kucing yang kehausan. Dia tahu bahwa tidak ada cara lain namun Thorn tidak tega melihat Solar terpaksa berbuat seperti itu. Dan Thorn juga tahu bahwa dirinya harus mengikuti cara adiknya itu kalau ia ingin menghilangkan dahaganya.
"Minum kak ... ngga ada cara lain." Ujar Solar sambil melihat kearah kakaknya yang enggan untuk minum dengan cara seperti itu. "Ayo kak, minum."
Dengan berat hati Thorn mengikuti cara adiknya. Setelah berhasil mendorong dirinya untuk bangkit berlutut, ia mendekati baskom yang berisikan air itu. Dengan hati-hati ia menundukkan kepalanya sampai bibirnya menyentuh permukaan air di dalam baskom itu.
"Jangan dihabiskan kak ... Aku ada ide," gumam Solar sembari melihat kakaknya yang sedang menjilat-jilat permukaan air di dalam baskom itu.
Seketika itu Thorn berhenti menjilati air yang tengah diminumnya itu. Dahinya langsung mengerenyit setelah mendengar perkataan adiknya itu. "Ide apa?"
"Ide untuk kabur dari tempat ini." Untuk pertama kalinya sejak ia diculik dan dibawa ke tempat itu, Solar kembali tersenyum. Kedua matanya kembali bergerak-gerak seakan mengikuti gerakan imajiner dirinya sendiri jika berhasil melepaskan diri dari lilitan lakban yang mengikat kedua tangannya.
Bersambung.
