Satu tahun kemudian...

.

.

.

Dari arah dapur, terlihat sosok pemuda berambut pirang, mengenakan kaos hitam tanpa lengan, dan juga celemek kotak-kotak. Sepertinya ia sedang bersiap untuk memasak, ketika sang pemuda berbalik badan, mata biru lautnya membulat dengan raut terkejut.

"Kau mengejutkanku! aku kira kau belum bangun," Naru mengusap pelan dadanya, lalu mendengkus pelan sambil memerhatikan bahan-bahan masakan yang sudah ia siapkan. "Kejutan, gagal." katanya sambil tersenyum masam.

Hinata berusaha menahan tawa, namun gagal. Naru menggelengkan kepalanya, berkacak pinggang sambil mengacak rambut pirang pendeknya. Mata birunya lalu menoleh menatap sang gadis yang masih terdiam.

"Tadinya aku ingin membuatkan sarapan sebelum kau bangun. Tapi kau malah sudah bangun bahkan sebelum aku mulai memasak."Naru berdecak pelan, terlihat kesal karena rencananya gagal. Namun tak lama kemudian, ia mendapatkan ide hingga kembali tersenyum lebar. "Bagaimana kalau kita buat sarapan bersama?"

"Ide bagus, Naru-kun bisa menyiapkan bahan, sementara aku yang memasak!" Hinata mengacungkan ibu jari sambil tersenyum lebar.

Hinata segera menaruh ponsel pintarnya di salah satu rak dinding tempat bumbu-bumbu. Ia lalu mulai menyiapkan peralatan memasak dan mengambil beberapa bahan di kulkas. Sementara layar ponselnya tetap menyala, memutar video ASMR Boyfriend dari youtuber favorite Hinata, Naru-kun.

"Jangan lupa, panaskan panci terlebih dulu!" suara Naru terdengar lebih besar dan jernih di ruangan yang memang hanya ada Hinata sendiri.

"Um!" Hinata menyahut riang, menyalakan kompor lalu menaruh panci sebelum menuang minyak sayur satu sendok makan. "Hm, aku harus ke kantor agensi dua jam lagi. Sebaiknya masak omelet saja untuk sarapan hari ini."

Ia lalu menoleh ke ponselnya, melihat Naru sedang sibuk memotong bawang. "Naru-kun, hari ini masak omelet saja, bagaimana?"

Naru menoleh kemudian mengangguk sebagai jawaban, sebelum kembali memotong bahan. Walau sudah mengikuti channel ASMR BoyFriend Role-Play yang dibuat oleh Naru selama setahun lebih. Hinata masih merasa takjub dengan keakuratan pria itu.

Setelah hampir setengah jam berkutat di dapur, akhirnya sepiring omelet selesai dibuat. Hinata menaruh masakannya di meja makan, menaruh ponsel dengan bantuan sandaran berbentuk gajah lucu, baru kemudian ia duduk, dan kembali menekan tanda play.

"Akhirnya selesai juga, Yuk! kita makan, sepiring berdua biar romantis seperti pengantin baru." suara Naru terdengar riang sambil menunjukkan sepiring telur dadar dan nasi putih. "Omong-omong, aku belum mandi, muka berminyak, semoga tidak membuatmu jadi hilang napsu makan, ya!"

Hinata menggeleng cepat, ia tersenyum manis sambil memandang wajah Naru di layar ponsel. "Naru-kun mau sudah mandi, atau belum, tetap tampan! paling the best kalau baru bangun tidur," sambil mengacungkan kedua ibu jarinya, gadis itu menyengir lebar.

"Hm, siapa yang mengajarimu bersikap manis seperti ini?"

"Naru-kun!"

Pria berambut pirang itu menarik sudut bibir, tersenyum simpul. "Sekarang buka mulutmu, ini suapan pertama untuk gadis paling cantik di depanku."

Hinata membuka mulut, mendekatkan dirinya ke arah ponsel, lalu tangan kanannya memegang sendok yang siap masuk ke dalam mulut.

"Aang~"

"Bagaimana? enak?" raut Naru terlihat ragu ketika bertanya. Seakan tidak percaya diri dengan hasil masakannya. "Aku yakin masakanku tidak seenak buatanmu, tapi sesekali aku ingin membuatkan makanan untukmu." katanya lagi, tanpa lupa menatap layar dengan tatapan malu-malu.

"Masakan Naru-kun terenak sedunia!" sahut Hinata gemas, ia bahkan sudah berhenti makan dan hanya memandang wajah Naru dengan pipi merona. "I love you, Naru-kun!"

Hinata merasa puas sekali mengawali pagi hari, dengan melihat Naru tersenyum hangat. Saling mengobrol seperti ini, membuat sarapan bersama. Rasanya apapun yang akan terjadi hari ini, ia siap untuk melewatinya. Begitulah suasana hati Hyuuga Hinata dua jam sebelum berperang.

...

Di kantor berlantai tujuh yang terletak di pusat kota Tokyo. Di salah satu ruang meeting, Hinata mengebrak meja bersama sebuah majalah yang terbit setiap bulan. Amarah terlihat jelas diwajahnya, kedua alisnya bahkan sudah menyatu, hingga membuat Ino terdiam. Gadis cantik itu menurunkan pundaknya, wajahnya ditekuk, sedih bercampur takut, melihat sang manager berubah menjadi iblis.

"Bagaimana bisa mereka membuat artikel seperti ini?" Hinata mengebrak meja sekali lagi, "Yamanaka Ino hanyalah idola bermodal tampang tanpa talent?! mereka berani membuat komentar seperti itu, bahkan setelah melihat deretan penghargaan yang kau dapatkan?!"

"Te-tenanglah Hinata-chan, komentar seperti itu sudah biasa dan bukan pertama kali." ujar Ino terbata, berusaha menenangkan sang manager.

Namun amarah gadis itu tidak juga reda, malah semakin membara. "Yang lebih membuatku kesal adalah komentar dari Fujikaze Yukie!" Hinata menarik majalah yang sudah lecak akibat diremuk. Ia lalu membaca kembali kata-kata yang bertuliskan, "Drama ini aku tulis dengan sepenuh hati, karena itulah aku berharap mereka yang terpilih benar-benar seorang bintang dengan kemampuan akting yang tidak diragukan lagi. Bukan hanya sekedar bermodal tampang, maupun pencari sensasi."

"Dia berkomentar seperti itu, setelah ditanya pendapatnya, tentang kau sebagai salah satu kandidat kuat, yang dipilih oleh penonton untuk bermain di dramanya. Bukankah itu sama saja bilang, Yamanaka Ino tidak bisa berakting?! jelas saja majalah ikut berkomentar seperti itu."

Hinata kembali melempar buku berisi dua puluh halaman itu, membuat Ino kembali tersentak kaget. Jika sang manager sudah marah-marah seperti ini, lalu merasa tertantang, maka kata-kata yang akan Hinata ucapkan berikutnya, sama hal dengan suara ketukan palu para hakim.

"Yamanaka Ino!" Hinata memanggil tiba-tiba, mata peraknya melirik tajam. "Apapun yang terjadi, kau harus mendapatkan kursi peran utama wanita."

Ino menurunkan pundaknya, benar apa yang ia takutkan. Ketukan palu dari Yang Mulia Hinata sudah diketuk. Wanita cantik berambut pirang itu harus menjalani latihan neraka demi mendalami karakternya sebelum mengikuti audisi. Itu artinya, tidak ada waktu baginya untuk merawat diri, pergi kesalon, maupun menyiram bunga-bunganya. Diam-diam Ino mengutuk sang manager yang terlalu berkompeten. Walau begitu, ia tetap menurut, karena jika ia berhasil menjadi pemeran utama wanita di drama Fujikaze Yukie. Maka sudah dipastikan karir Yamanaka Ino akan naik satu tingkat.

...

Dua bulan kemudian, di salah satu gedung berlantai sepuluh. Hinata bersama Ino sudah berdiri di pintu masuk. Penampilan sang manager yang biasanya sedikit santai dan agak berantakan, kali ini terlihat rapi dengan setelan jas berwarna abu-abu dengan dalaman berwarna hitam. Rambut panjangnya ia gerai, wajahnya ia poles dengan make up natural. Sosoknya terlihat seperti seorang manager yang berkompeten.

Sementara di sampingnya, Yamanaka Ino berdiri dengan dress one piece berwarna lavender. Rambut pirangnya ia gerai hingga pinggang, sosoknya sangat menawan, terlihat seperti seorang malaikat yang jatuh dari surga. Terdengar berlebihan, namun itu adalah gambaran sempurna di mata para laki-laki yang sejak tadi tidak bisa melepaskan tatapan mereka dari Ino.

Hinata berbalik, menatap yakin pada aktris-nya. "Kau sudah menjalani latihan untuk mendalami karaktermu. Jadi, tidak perlu gugup, masuk kedalam dan hajar mereka tanpa ampun, mengerti?"

"Aku sungguh tidak suka melihat karaktermu seperti ini, Hinata-chan." Ino mulai merengek pelan, "Kembalilah menjadi Hinata-chan yang hangat, lembut, dan manis!"

Melihat Ino yang sudah berkaca-kaca, membuat sang manager tersenyum simpul. Ia menangkup wajah aktris-nya, keduanya saling bersitatap. "Kau akan melihatnya, jika berhasil membawa pulang tiket peran utama wanita."

Bibir ranumnya ia tekuk, Ino menampilkan wajah masam menahan tangis. Namun ia mengangguk pasrah dan mulai memasuki tempat audisi drama. Hinata berdiri memandang punggung aktris-nya sambil melipat tangan di dada. Raut wajahnya terlihat siap berperang, hingga membuat orang-orang menjaga jarak darinya.

.

.

.

Continue...