Chapter 3. Hunter's Hunted
Jam pada ponsel milik Taufan tepat menunjukkan pukul dua pagi ketika alarmnya berbunyi dengan suara yang cukup keras memecah keheningan pagi dini hari itu didalam tenda yang dihuni oleh Taufan bersama seorang adiknya, Blaze.
Taufan yang tengah tertidur dengan bercelana pendek saja dan beralaskan matras gulung perlahan membuka kedua kelopak matanya. Sangat berat rasanya untuk membuka kelopak matanya apalagi tidurnya hanya sebentar saja dan tidak nyenyak.
Dengan cepat Taufan meraih ponselnya yang tergeletak begitu saja di dekat kepalanya. Suara alarm itu langsung lenyap ketika dinonaktifkan oleh pemiliknya.
Menyusullah sebuah suara menguap terkantuk-kantuk yang membuat Taufan menengok kearah sebuah sleeping bag. Penghuni sleeping bag itu adalah Blaze, yang mulai terlihat mulai sadar dari alam mimpinya oleh suara alarm ponsel milik Taufan.
"Bangun, Blaze ...," ucap Taufan seraya menggoyangkan sleeping bag yang dihuni oleh Blaze.
"Mhhhmmm." Dengan susah payah Blaze membuka kedua kelopak matanya. "Sudah jam dua pagi ya?" tanyanya seraya menyibakkan sleeping bag miliknya yang memang sudah rusak retsletingnya.
"Iya," jawab Taufan singkat sembari meregangkan tubuhnya dengan cara mengangkat kedua tangannya setinggi mungkin melewati kepalanya. Seluruh tubuhnya terasa pegal karena ia tidak biasa tidur beralaskan matras gulung saja.
Dengan cepat Taufan menggulung matras yang menjadi alas tidurnya. "Aku mau mandi di sungai dulu," ucapnya setelah selesai menggulung matras yang dijadikan alas tidurnya.
"Tunggu, aku ikut." secepat mungkin Blaze yang sedari malam tidur bercelana pendek saja seperti Taufan langsung bangkit berdiri. Dari dalam tas ranselnya ia mengambil peralatan mandinya dan mengikuti Taufan yang sudah merangkak keluar dari tenda.
Dengan bermodalkan penerangan sebuah lampu senter Maglite (tm) yang cukup terang, kedua kakak beradik itu berjalan menuju sungai yang tidak jauh berada dari tempat mereka berkemah. Keduanya bersyukur karena cahaya sinar rembulan dan bintang-bintang dilangit dini hari itu turut membantu menerangi jalan setapak kecil yang mereka lalui untuk menuju ke sungai
Sesampainya ditepi sungai, Taufan dan Blaze memutuskan untuk membasuh diri mereka menggunakan air sungai yang masih terlihat jernih secara bergantian.
Dari tepi sungai Blaze menyinari kakaknya yang mengambil giliran pertama untuk mandi.
Taufan memutuskan untuk mandi dibagian sungai yang tidak terlalu dalam. "Alamak! Dingin!" sahutnya ketika ia mencelupkan kaki kedalam sungai.
"Memang Kak Taufan berharap apa? Sauna?" ketus Blaze yang duduk bersila diatas sebuah batu besar seraya menerangi setiap langkah kaki kakaknya.
"Alamat masuk angin aku ...," keluh Taufan tanpa terdengar oleh Blaze. Perlahan-lahan ia memaksakan dirinya melangkah lebih jauh dan mencari bagian sungai yang kedalamannya sesuai untuknya mandi.
Akhirnya Taufan berhenti ketika ketinggian air ditempat ia mandi hanya mencapai lututnya. Netra biru safirnya memejam erat ketika ia mencoba menenggelamkan seluruh tubuhnya sampai sebatas leher. Dinginnya air sungai itu terasa menusuk-musuk sampai ketulangnya, apalagi tubuhnya yang langsing itu nyaris tidak memberikan perlindungan terhadap air sungai yang dingin itu.
Secepat mungkin Taufan menggosok-gosok tubuhnya yang terendam aliran air sungai dengan tangan untuk membersihkan daki dan kotoran-kotoran lainnya yang menempel. Memang tidak bersih sempurna, namun dinginnya air sungai itu cukup untuk membuat dirinya kembali merasa segar.
Tubuh langsing Taufan menggigil kedinginan ketika ia melangkah keluar dari sungai. "Uh... Blaze, ma-matikan sebe-sebentar se-senternya?" ucapnya ditengah gemelutuk giginya.
"Memang kenapa kak?" Blaze yang masih menerangi Taufan bertanya balik.
Taufan menghela napas panjang. "A-Aku mau g-ganti ce-celana!" ketusnya sembari membalikkan badannya, membelakangi adiknya yang tidak peka itu.
"Ooh." Barulah Blaze menyorotkan lampu senter yang berada dalam genggamannya itu kearah lain sembari menunggu kakaknya itu berganti celana.
Setelah Taufan selesai memakai celana pendek dan celana dalam yang bersih barulah tiba giliran Blaze untuk membasuh diri.
"Grrhh!" Blaze melenguh tertahan ketika ia melangkahkan kakinya kedalam aliran sungai. Ia berusaha sekuat tenaga untuk tidak menjerit karena dinginnya air sungai karena enggan terlihat lemah dan memalukan di hadapan Taufan yang mulai cengar-cengir sendirian.
"Dingin ya Blaze?" ledek Taufan seraya memain-mainkan lampu senter yang berada dalam genggaman tangannya. "Maklum, bukan sauna!"
Ingin sekali rasanya Blaze mengambil batu dari dasar sungai untuk melempari Taufan, namun ia sendiri enggan membayangkan apa yang akan terjadi jika Taufan mematikan cahaya lampu senter yang menjadi penerangannya. Gelap-gelapan ditengah sungai seorang diri bukanlah ide yang bagus. Oleh karena itu, Blaze memilih untuk diam saja dan meneruskan mencari titik yang dirasanya cocok untuk membasuh diti.
Agak berbeda dengan Taufan, Blaze memilih bagian sungai yang lebih dalam. Setelah menemukan bagian sungai yang dalamnya mencapai bagian pinggangnya, barulah Blaze mulai membasuh dirinya.
Kebalikan dengan Taufan, hal pertama yang Blaze lakukkan adalah justru melepaskan celana pendek dan celana dalamnya.
"Astaga, Blaze." Taufan menggelengkan kepalanya ketika melihat cara adiknya itu membasuh diri. "Hati-hati!" serunya dari tepi sungai.
"Kenapa kak?!" sahut Blaze dengan suara yang agak keras supaya terdengar karena jaraknya dengan Taufan yang cukup jauh.
"Hati-hati nanti itumu dicaplok ikan!" ujar Taufan ditengah cekikikannya. "Katanya disungai ini masih banyak ikan arowananya."
Blaze meneguk ludahnya dan langsung mengenakan celana pendeknya kembali dengan harapan kain bahan celananya cukup ampuh untuk melindungi harta berharganya dari gigitan mahluk yang tidak diundang.
Setelah lebih yakin barulah Blaze lanjut membasuh diri. Sebisa mungkin ia menggosok seluruh daki dan kotoran lain yang menempel pada kulitnya dengan tangannya.
Seusai membasuh seluruh tubuhnya, Blaze melangkah kearah bagian sungai yang lebih dangkal. Ia menyempatkan diri untuk menggosok giginya sebelum akhirnya keluar dari sungai.
"Nih handukmu," ucap Taufan sembari menyerahkan sebuah handuk berwarna merah tua.
"Terima kasih," balas Blaze selagi ia melilitkan handuk miliknya pada pinggangangya. Barulah Blaze melepaskan celana pendeknya dan mengenakan sebuah celana dalam dan celana pendek yang baru.
Kedua kakak beradik itu segera kembali ke perkemahan mereka. Setibanya di perkemahan, mereka kembali kedalam kemah yang mereka tempati untuk berpakaian.
Blaze mengurapkan lotion anti serangga pada semua bagian tubuhnya sebelum berpakaian. Sebuah baju kaus lengan panjang merah berserta celana panjang jeans hitam menjadi pilihan Blaze kali itu.
Begitu pula dengan Taufan yang menirukan cara Blaze. Ia mengurapkan lotion anti serangga pada seluruh tubuhnya sebelum mengenakkan pakaiannya. Pagi itu ia memakai baju kaus lengan panjang putih dan celana panjang jeans.
"Kak Taufan ...," panggil Blaze selagi ia mengenakkan kaus kakinya.
"Ya, Blaze?" sahut Taufan yang juga sedang mengenakkan kaus kaki.
"Kamu yakin kak? Menerobos hutan pagi-pagi begini?"
Taufan yang hendak mengenakkan sepatunya menengok kearah adiknya itu. "Yakin lah, apa susahnya sih, aku buka jalan, kamu tinggal main senter," jawab Taufan dengan entengnya. "Sana, ambil parang dan senter satu lagi"
"Semoga mereka bertiga cuma tersesat saja." ucap Blaze sebelum merangkak keluar dari tendanya yang berbagi dengan Taufan.
Sepeninggal Blaze, Taufan langsung menarik napas panjang. Ia mengepalkan tangannya erat-erat. "Sebetulnya aku ngga yakin ...," gumamnya seorang diri seraya memandangi tangannya yang mengepal. "Tapi betul kata Gempa, aku ngga bisa berdiam diri lagi," ucapnya lagi seraya menyelipkan sebuah pisau lipat kedalam saku celananya. Sepenggalan do'a singkat dilantunkannya sebelum Taufan beranjak meninggalkan kemahnya.
Diluar kemah telah menunggu Gempa dan Blaze dengan dua buah bilah parang dalam genggamannya.
"Hati-hati kalian," ucap Gempa dengan kekhawatiran yang jelas terlihat pada wajahnya. "Jangan lupa tinggalkan jejak seperti pesan Solar."
"Tenang Kak Gem, aku sudah persiapkan." Blaze memperlihatkan sekumpulan tali rafia berwarna kuning dalam genggaman dan saku celananya. "Pisau lipat sudah, lotion anti serangga sudah, korek api, senter cadangan ... Lengkap," ujarnya lagi sembari merogoh deretan saku-saku kecil pada celana panjang yang dikenakannya.
"Kalau begitu kami pergi dulu, Gem ...," ucap Taufan sembari menerangi bagian hutan yang sudah sedikit terbuka karena diterobos Halilintar dan Solar pada siang hari tadi.
Gempa menghela napas panjang dan terlihat enggan untuk membiarkan hanya Taufan beserta Blaze saja yang menerobos hutan untuk mencari Halilintar, Solar, dan Thorn. Dalam dirinya, Gempa ingin sekali ikut dengan kedua saudaranya itu.
Sudah terlalu lama Hallintar, Solar, dan Thorn menghilang tanpa ada kejelasan. Taufan dan Gempa tidak mau menunggu sampai pagi untuk kembali ketitik awal perjalanan mereka yang jaraknya cukup jauh, namun tidak mungkin juga mereka berempat menerobos masuk kedalam hutan. Kejadian seperti itu harus dilaporkan kepada pihak penjaga hutan untuk dilakukkan pencarian.
Maka solusi Gempa dan Taufan adalah berbagi tugas.
Gempa dan Ice berjalan kembali menuju titik awal keberangkatan mereka untuk memberi informasi kepada pihak penjaga hutan. Sementara Taufan dan Blaze yang dianggap lebih mumpuni akan masuk kedalam hutan untuk mencari Halilintar, Solar, dan Thorn.
Taufan dan Blaze berdiri di tepi hutan yang sudah sedikit terbuka . Sebilah parang sudah terhunus didalam genggaman Taufan. Demikian juga Blaze yang sudah siap mengikuti Taufan dari belakang dengan sebuah lampu senter Maglite (tm) melekat erat dalam genggaman tangannya.
"Ayo, Blaze." Taufan menengok kearah adiknya yang bernetra merah terang itu seraya tersenyum kecil. "Giliran kita."
Blaze yang raut wajahnya terlihat tegang hanya menganggukkan kepalanya. "Ayo kak... Sebelum aku berubah pikiran." ucapnya setelah meneguk ludah.
Taufan menarik napas panjang dan kembali melantunkan do'anya. Akhirnya ia melangkahkan kaki dan berjalan menerobos hutan yang sudah sedikit terbuka itu dan langsung diikuti oleh Blaze.
Suasana hutan pada dini hari itu berbeda jauh dengan siang hari. Hanya kearah Blaze menyorotkan lampu senter yang dibawanya itu yang terlihat jelas oleh Taufan. Praktis keduanya buta dengan apa yang ada di sebelah kanan atau kiri mereka yang tidak terkena pancaran cahaya sinar lampu senter tipe LED itu.
Jarak pandang Taufan dan Blaze pun sangat terbatas. hanya sejauh sinar lampu senter yang dibawa oleh Blaze mampu menerangi. Sinar lampu senter itu juga tidak bisa terlalu jauh menerangi karena Blaze juga harus menerangi kearah dimana Taufan melangkahkan kakinya. Belum lagi lebatnya hutan yang tengah diterobos itu menghalangi pancaran cahaya LED dari lampu senter yaang dibawa oleh Blaze.
Sesekali Taufan mengayunkan parangnya untuk menebas akar dan ranting yang menjulur turun dari atas pohon yang dirasa olehnya menghalangi jalan. Sebuah akar yang terlihat menggantung nampak menarik perhatian Taufan. "Lihat, tali rafia kuning." ucapnya seraya sebuah menunjuk akar yang menggantung dengan parangnya.
Blaze langsung menerangi akar gantung yang dimaksud oleh Taufan.
Seutas tali rafia berwarna kuning nampak terikat pada akar yang menggantung dari sebatang pohon besar.
"Solar dan Halilintar pasti lewat sini," ucap Taufan sembari menyentuh tali rafia yang diikatkan pada akar gantung itu. "Kita tinggal ikuti saja."
"Ya, tali rafia itu dan semak-semak yang sudah diterobos Kak Hali." tambah Blaze seraya menyorotkan cahaya lampu senternya kearah semak belukar yang masih terbuka dan jelas sekali bekas ditebas oleh benda tajam.
"Ayo, makin cepat kita bisa menemukan mereka, makin cepat juga masalah ini selesai," ujar Taufan yang kembali melangkahkan kakinya dan berjalan mengikuti semak belukar terlihat yang sudah terbuka dan terurai.
Pepohonan dan semak belukar berangsur menjadi semakin lebat dan tertutup ketika Taufan dan Blaze menelusuri hutan semakin dalam. Blaze yang mencoba menengok kebelakang pun sudah tidak bisa melihat lagi perkemahan mereka karena pandangannya tertutup oleh lebatnya semak dan pepohonan.
Mendadak Taufan menghentikan langkahnya. Tangannya yang memegang parang dibentangkannya sebagai isyarat untuk jangan bersuara bagi Blaze yang mengikuti dibelakang.
"Ada apa kak?" tanya Blaze dengan suara berbisik seraya menyorotkan cahaya dari lampu senter dalam genggamannya itu lurus kedepan.
Taufan melipat tangannya yang sebelah kiri kebelakang badannya. "Pinjam satu senternya ..."
Sebuah senter Maglite (tm) yang tidak digunakan langsung berpindah tangan dari Blaze kepada Taufan. Dengan senter itu Taufan mengamati keadaan disekelilingnya.
Keheningan hutan pada dini hari itu sesekali dibuyarkan oleh suara serangga tonggeret yang tengah sibuk menggesekkan sayap kecil mereka. Namun daun telinga Taufan masih cukup peka untuk bisa menangkap bunyi semak belukar yang tengah diterobos oleh sesuatu.
"Cabut parangmu Blaze," desis Taufan seraya memposisikan parang miliknya melintang didepan tubuhnya.
Tak ayal Blaze meneguk ludahnya. Ia pun dapat mendengar bunyi gesekan yang didengar oleh kakaknya itu. Tanpa membuang waktu, Blaze langsung memindahkan lampu senter ke tangan kirinya dan mencabut parang dari sarungnya dengan tangan kanannya.
"HALILINTAR?! SOLAR?! THORN?!" Taufan mencoba berteriak memanggil sekuat pita suaranya mampu.
Kedua kakak beradik itu kembali terdiam dengan telinga mereka yang awas. Keduanya berharap ada jawaban yang menyahut balik teriakan Taufan.
"KAK HALI!? THORN?! SOLAR?!" Kali ini Blaze yang mencoba berteriak memanggil. Sama seperti Taufan, suaranya seakan tenggelam diantara pepohonan dan semak belukar yang rimbun
Sesaat suara gesekan yang didengar oleh Taufan dan Blaze terhenti. Untuk beberapa saat lamanya hanya keheningan saja yang terdengar, bahkan suara serangga yang terdengar sahut-menyahut pun menghilang begitu saja.
Taufan dan Blaze saling bertatapan ketika mereka mencoba menyimpulkan apa yang terjadi didalam benak mereka masing-masing.
Ketika Taufan dan Blaze saling bertatapan itu pulalah suara benda yang bergesekan pada semak belukar itu kembali terdengar.
Blaze mengacungkan jari tenga dan telunjuknya. "Ada dua... Apapun itu." gumamnya kepada Taufan dengan raut wajah yang semakin tegang.
Taufan menganggukkan kepalanya. "Ya... Lebih dari satu." ucapnya tanpa mengendurkan pegangannya pada gagang parang yang berada dalam genggamannya.
Blaze memiringkan kepalanya, berusaha mendengar lebih jelas suara-suara gesekan yang sayup-sayup melintas di telinganya. "Bunyinya menjauh"
"Sepertinya, ya." ucap Taufan yang langsung bernapas sedikit lebih lega. "Ayo kita lanjut, Blaze..."
"Ayo," ucap Blaze selagi mengembalikan parangnya kedalam sarungnya yang tergantung dari sabuk pinggangnya.
Kembali kedua kakak beradik itu berjalan mengikuti jalan yang sudah terbuka dan bertandakan tali rafia berwarna kuning.
Tidak ada kata-kata yang terucap dari kedua kakak adik yang terkenal bandel dan jahil itu. Fokus mereka berdua hanyalah mengikuti jejak yang ditinggalkan Solar ketika adiknya yang terkecil itu lebih dahulu masuk kedalam hutan bersama kakak mereka yang tertua, Halilintar.
Sampai pada akhirnya tanda tali rafia kuning itu tidak berlanjut lagi pada sebuah bagian hutan yang agak terbuka.
"Jejak mereka berhenti." ucap Taufan yang sudah menghentikan langkahnya.
Blaze mengeluarkan ponsel miliknya dari dalam sakunya. Seperti dugaannya, sinyal ponselnya terlihat minim. "Lumayan jauh juga. Hampir dua jam kita berjalan," ujarnya seraya melihat jam pada layar ponselnya itu.
Kembali Taufan meminta pinjam senter dari Blaze. Dengan dua buah lampu senter LED yang berkekuatan cukup tinggi, Taufan dan Blaze bisa memperluas areal pencarian.
"Kak Ufan, itu!" Blaze mengarahkan lampu senternya kepada dua buah benda yang menancap diatas tanah. "Parang yang dibawa Solar dan Kak Hali!"
Taufan langsung bergerak menghampiri kedua bilah parang yang ditunjuk oleh Blaze.
"Posisinya aneh," gumam Taufan seraya mengamati letak dan jarak antara dua bilah parang yang menancap diatas tanah. "Feeling-ku kedua parang ini dipegang oleh satu orang saja ..."
"Kak Hali?" tanya Blaze yang kini berdiri disebelah Taufan. "Ngga mungkin Solar bisa menancapkan parang sampai sedalam ini."
"Tebakanku sama, Blaze." Taufan menarik napasnya dan kembali menyinari tanah disekitarnya.
Baru saja Blaze melangkahkan kakinya ketika ia mendengar gemeretak sebuah benda dibawah kakinya.
"Kacamata Solar!" sahut Blaze ketika ia mengangkat kakinya dan melihat apa yang baru saja diinjaknya. "A-apa yang terjadi nih?" ucapnya lagi seraya membungkuk untuk mengambil kacamata model visor yang rusak terinjak olehnya.
"Blaze ...," panggil Taufan dengan suaran yang gemetaran.
Blaze menengok kearah kakaknya. Kedua netra merahnya langsung terbelalak ketika ia melihat apa yang berada ditangan Taufan.
Sebuah topi hitam yang berhiaskan corak tribal menyerupai akar tumbuhan berwarna hijau.
"Thorn ..."
"Bukan cuma itu," ucap Taufan masih denga suara yang gemetar. Topi milik Thorn itu kini berpindah tangan kepada Blaze.
"Darah?" Blaze meneguk ludahnya ketika menyadari ada noda yang tidak biasa pada topi itu.
Taufan mengangukkan kepalanya. "Blaze ... kuharap karatemu cukup lumayan ... Ini bukan perbuatan binatang liar lagi, lihat..." Kembali Taufan menyorotkan lampu senternya. Kali ini ia menyinari bagian hutan yang terlihat belum lama diterobos.
Namun yang lebih menarik perhatiannya Taufan adalah lembaran-lembaran tali rafia kuning yang tergeletak diatas tanah dan tersangkut pada semak belukar.
Blaze melihat apa yang disinari oleh Taufan. Tanpa disebut pun ia tahu siapa yang meninggalkan jejak seperti itu.
"Karateku ngga sebagus Kak Hali sih. Tapi lebih baik daripada ngga sama sekali." Blaze menarik napas panjang dan kembali mengeluarkan ponsel miliknya dari dalam sakunya.
Sebuah pesan singkat melalui SMS dikirimnya kepada Gempa dengan harapan pesan singkat itu bisa terkirim jika sinyal ponselnya membaik. 'Halilintar, Solar, Thorn belum ditemukan. Ini bukan perbuatan binatang liar lagi. Kita masih mengikuti jejaknya.' Begitulah isi pesan singkat Blaze kepada Gempa.
Setelah menyimpan ponselnya kembali kedalam sakunya, Blaze mencabut parang miliknya keluar dari sarungnya. "Aku merasa seperti di film action." ucap Blaze yang berusaha untuk tetap tenang.
"Film action sih jagoannya pasti menang, Blaze ... ini dunia nyata ... Belum tentu jagoan yang menang." ucap Taufan seraya mengeratkan genggaman tangannya yang berisikan gagang dari parang miliknya. "Hali, Solar, Thorn ... Tunggu kami ..."
.
.
.
Dengan bersandar pada dinding yang terbuat dari susunan balok kayu, Halilintar berusaha untuk tidur. Sekedar memejamkan kedua kelopak matanya memang mudah, tapi rasa pegal dan kebas pada lengan dan pergelangan tangannya yang terikat dibelakang badannya membuatnya tetap terjaga.
Halilintar hanya mampu meringis-ringis tanpa suara ketika ia mencoba memutar pergelangan tangannya yang terikat lilitan tali. Penyebabnya adalah kulit pada bagian pergelangan tangannya yang memerah dan lecet terbakar oleh gesekan tali.
Terbesit dalam benak Halilintar untuk membentur-benturkan kepalanya pada tembok kayu yang dijadikan tempatnya bersandar. Mungkin jika ia pingsan, penderitaannya akan sedikit berkurang dan ia bisa tertidur.
Namun Halilintar tidak bisa mendorong dirinya untuk berbuat itu. Selain rasa sakit, ia masih bertanggung jawab atas kedua adik-adiknya yang disekap bersamanya. Apapun yang terjadi, Halilintar mempunyai tanggung jawab untuk membela mereka.
Namun tidak bisa dipungkiri kalau sedikit rasa iri timbul didalam hatinya selagi ia memperhatikan kedua adik-adiknya. Solar dan Thorn yang kedua tangannya hanya diikat didepan badan mereka masing nampak terlelap diatas tumpukan rumput kering yang tertutup terpal.
Ingin sekali Halilintar merebahkan tubuhnya untuk tidur, namun ia tidak bisa tiduran terlentang karena posisi tangannya yang terikat dibelakang punggung dengan lengan bawah yang membentuk sudut siku-siku. Sebentar saja rasa pegal dan kebas pada tangannya akan bertambah parah.
Tiduran dalam posisi tengkurap juga tidak bisa diperbuat Halilintar karena tali yang melilit lengan atas dan dadanya akan membuat napasnya menjadi sangat sesak
Halilintar sempat mencoba untuk berbaring pada sisi kanan atau kiri badannya. Hasilnya malah lebih tidak enak lagi. Tidak ada tempat baginya untuk meletakkan kepalanya dan sebentar saja pundaknya terasa pegal.
"Taufan ... Gempa ... tolong ...," lirihnya dengan suara berbisik. Pertahanan mental Halilintar tergerus sedikit demi sedikit seiring berjalannya waktu dan rasa pegal nyeri yang tak kunjung reda.
Sebaliknya rasa pegal nyeri pada pundak, lengan dan tangannya membuat Halilintar menundukkan kepalanya. Kedua rahangnya dikatupkan erat-erat ketika ia merasakan kedua bibirnya mulai gemetar. "Ngga ... Aku ngga boleh nangis ...," desisnya seorang diri.
Namun rasa ketidakberdayaannya, ditambah rasa nyeri pegal yang tak kunjung reda, dan ketidakpastian akan nasib adik-adiknya beserta nasib dirinya sendiri meruntuhkan pertahanan mental Halilintar.
Tanpa bisa dicegah lagi napas Halilintar bertukar menjadi sesegukan kecil yang sangat ditahan-tahan. Upayanya untuk mengalihkan pikirannya berakhir sia-sia ketika air matanya mulai menitik pada sudut matanya yang terpejam erat.
"Kak ... Hali?"
Halilintar tersentak kaget ketika namanya dipanggil. Ia langsung menoleh kearah sumber suara yang memanggilnya. "Th-Thorn," ucap Halilintar dengan suara yang tercekat dan langsung memalingkan wajahnya.
Halilintar tidak ingin terlihat lemah oleh adik-adiknya. Apalagi kini dirinya dalam keadaan terikat tidak berdaya dan sedang menangis meratap nasibnya.
Namun Thorn tidak peduli. Seburuk apapun keadaan Halilintar, ia adalah kakaknya yang tertua dan yang selalu membela mereka.
Thorn merintih kesakitan ketika ia menyibakkan bagian bawah baju tanpa lengan hijau tuanya. Dengan bagian bawah bajunya dan dengan kedua tangannya yang terikat, Thorn menyeka garis air mata yang membasahi wajah kakak tertuanya itu.
Bahkan Halilintar tercengang ketika air matanya diseka dengan lembut oleh Thorn. Adiknya itu rela menahan rasa sakit tak terbayangkan akibat terjangan peluru pada lengan kanannya hanya untuk sekedar menyeka air mata.
"Te-terima kasih, Thorn," ucap Halilintar yang berusaha keras untuk menenangkam dirinya.
Thorn menggelengkan kepalanya sebelum duduk disamping kakaknya yang terikat tanpa daya itu. "Aku yang harus bilang terima kasih Kak ... Kak Hali dan Solar mati-matian mencariku ... Bahkan melawan pemburu haram itu."
Halilintar menghela napas panjang. "Thorn ... Kalau tanganku ngga diikat begini, aku pasti sudah mengelus kepalamu," ucap Halilintar dengan suara yang masih gemetaran. "Boleh aku minta tolong? Pipiku gatal ... Tolong garuk ...," pinta Halilintar pada adiknya itu
Belum pernah Thorn melihat kakaknya, Halilintar selemah ini. Baru kali ini Halilintar terlihat tidak berdaya dimata Thorn. Selama ini ia selalu menganggap Halilintar atau Gempa sebagai kakaknya yang terkuat, namun kali ini Halilintar terlihat sangat lemah, jauh lebih lemah daripada dirinya sendiri.
"Ngghhh!" Thorn meringis pedih ketika ia mengangkat kedua tangannya yang terikat itu mendekati wajah Halilintar. Luka menganga pada lengan kanannya itu terasa berdenyut ketika otot yang tersobek timah panas pemburu siang tadi mencoba menopang bobot tangan sebelah kanan.
Dengan susah payah Thorn berhasil meletakkan kedua tangannya diatas pundak Halilintar.
"Te-terima kasih Thorn," lirih Halilintar yang langsung mengusapkan pipinya pada ujung jari-jari Thorn.
Thorn langsung memalingkan wajahnya. Ia tidak sampai hati melihat betapa lemah dan menderita sang kakak tertuanya itu.
"Thorn ... kamu ... demam?" ujar Halilintar seusai mengusapkan pipinya pada ujung jari-jari adiknya.
Thorn mengangukkan kepalanya seraya meringis kesakitan ketika ia menarik tangannya turun dari atas pundak Halilintar. "Kata Solar lukanya infeksi."
Halilintar memperhatikan balutan perban yang tidak rapih dan asal-asalan pada lengan kanan adiknya. Perban itu tampak basah dan lembab oleh rembesan darah yang berasal dari luka yang ditutup asal-asalan.
"Berani-beraninya mereka mencelakai adikku," desis Halilintar. Tatapan sendunya berangsur menghilang digantikan tatapan tajamnya yang khas. Kedua tangannya yang terikat dibelakang badannya mengepal kuat. Ia merasa ingin segera bebas dari berutas-utas tali yang mengekangnya. Halilintar ingin segera bebas untuk membalaskan penderitaan dan rasa sakitnyang menimpa dirinya dan kedua adik-adiknya.
Hanya saja ia tidak tahu bagaimana caranya hendak meloloskan diri dari ikatan tali-temali yang mengekangnya. Kalau saja simpul ikatan tali itu tidak ditetesi power glue oleh para pemburu itu, tentunya Solar atau Thorn bisa membantunya melepaskan diri, namun simpul ikatan tali yang menjerat lengan, tangan dan badannya itu menjadi hampir sekeras batu dan tidak mungkin diurai lagi.
Thorn memandangi kedua tangannya yang terikat dan simpul ikatannya terlihat keras membatu. "Apa ... apakah kita ... tamat, selesai ditempat ini kak?" tanya si adik dengan netra hijau tuanya yang berkaca-kaca seraya menumpangkan tangannya diatas paha kakaknya.
Halilintar berusaha menenangkan adiknya dengan tatapan mata yang selembut mungkin. "Jangan takut, Thorn ...," ucap Halilintar yang benar-benar ingin membelai kepala adiknya itu namun tidak mampu karena kedua tangannya terkekang ikatan tali-temali para pemburu haram yang menyekapnya. "Taufan dan Gempa pasti datang ... Solar memberi tanda jalan yang kita tempuh waktu mencarimu, Thorn."
.
.
.
Bersambung.
Terima kasih untuk yang sudah review, vote, fave atau comment. Nantikan kelanjutan ceritanya...
