Rei masih enggan bergerak dari ruang tv. Chiyo-baasan membuatkannya banyak onigiri siang tadi, dan beberapa teman yang menjenguk juga membawa bingkisan untuknya. Walau tak banyak, Rei sangat senang bahwa teman-temannya begitu peduli saat tahu ia tidak masuk sekolah karena sakit. Ini sudah petang dan sebentar lagi Kaa-sannya pasti pulang. Ia masih setia menonton acara kartun favoritnya tanpa menyalakan lampu selain di ruang tengah. Kepalanya masih sedikit pusing tapi demamnya sudah benar-benar sembuh. Saklar lampu cukup tinggi dan ia malas menyeret-nyeret kursi. Jika ibunya pulang maka lampu itu akan dinyalakan nantinya. Namun hingga malam hari ia belum mendapati ibunya itu pulang. Sampai acara tv sudah berganti menjadi dorama yang tak ia sukai, Rei pun mulai beranjak mengecek keadaan luar yang sekarang masih diguyur hujan deras sejak sore. Hanya kegelapan dan suasana sunyi yang ia dapati.
Memilih tetap menonton tv, Rei berfikir mungkin ibunya masih memiliki pekerjaan untuk diselesaikan sehingga ia terlambat pulang. Tapi sampai malam yang semakin larut Rei sama sekali tak mendapat kabar. Biasanya Kaa-sannya akan menelpon untuk sekedar memberinya kabar jika hari itu ia pulang terlambat. Rei pun mencoba menelpon Hinata berulang kali tapi sama sekali tak diangkat. Bocah itu mulai cemas. Buku PR yang terbuka tak ia teruskan karena ini sudah jam 10 lebih, dimana itu adalah waktu paling larut ibunya pulang ke rumah. Rei yang lapar memilih memakan sisa onigiri Chiyo-baasan di kulkas. Membuat susu coklatya sendiri hingga tangan kecilnya sedikit terkena air panas karena termos yang cukup besar. Selesai dengan acara makannya, ia mulai mengantuk. Beranjak ke ruang tengah dengan tv yang masih menyala, Rei mencoba menghubungi ibunya lagi. Namun nihil.
Rei mengantuk dan tak kuat lagi. Berfikir positif bahwa ibunya akan pulang sebentar lagi dan ia tak perlu mencemaskan apapun. Toh, apa yang bisa terjadi? Karena di pikiran polosnya Hinata adalah wanita kuat yang bisa mengatasi apapun di luar sana. Ibunya yang tangguh dan begitu Rei kagumi.
Rei mematikan tv dan lampu di ruang tengah. Beranjak menggelar futon hangat yang biasa ia tiduri bersama sang ibu. Menyalakan lampu di kamar untuk berjaga-jaga karena lampu di seluruh rumah tak ia nyalakan. Mungkin saat ibunya pulang nanti ia akan 'mengomel' dan merajuk ingin bermanjaan dengannya saat hari libur nanti. Rei masihlah anak kecil yang belum tahu apa-apa. Dipikirannya yang murni hanya ada Hinata dan waktu bersama untuk bisa bergembira bersamanya. Meski terkadang sikapnya bisa berubah tegas dan dewasa, sejatinya ia hanya membuat benteng tersebut untuk melindungi diri dan ibunya saja. Rei, masihlah anak laki-laki seperti pada umumnya. Ia polos, murni, dan belum tahu apa-apa.
Terlelap dalam alam mimpi, suara pintu depan yang terbuka samar membuat mata beratnya terbuka. Rei seperti mendengar suara ibunya dan... seorang asing lain. Cepat-cepat ia bangun dan mengucek mata. Meski sedikit terhuyung karena masih mengantuk, ia berusaha mencari keberadaan ibunya dan saat tiba di ujung pintu,
"Kaa-san..." ia melihat tubuh tinggi menjulang di hadapannya. Rei terpaku sejenak. Rasa kantuk seketika lenyap.
"Kaa-san," ia segera beringsut ke arah Hinata yang tengah mengulurkan tangan padanya. Ia merasakan situasai kurang mengenakkan saat ini. Rei bersembunyi di belakang ibunya tanpa melepaskan tatapan waspada ke arah pria dewasa yang kini menatapnya dengan sorot mata aneh.
"Siapa anak itu, Hinata?"
Rei merasakan tangan ibunya bergetar. Ia pun mengeratkan genggaman tangannya untuk menenangkan Kaa-sannya yang terlihat seperti ketakutan.
"Gaara!" Lalu secepat kilat ia mendapatkan ibunya sudah berjongkok di hadapannya dengan rentetan pertanyaan yang membuatnya hanya bisa menjawab dengan datar. Rei melihat keanehan lain. Kaa-sannya seperti tidak biasa. Ia tak pernah melihat Kaa-sannya seperti sekarang ini. Raut wajah khawatir, suara dan tubuh yang bergetar, lalu beberapa luka dan pancaran wajah yang tak pernah ia lihat sebelumnya. Rei mulai takut. Ia menduga pria yang terlihat menjulang disana adalah pelakunya. Namun sebelum sempat melakukan apapun, tubuhnya sudah diangkat dan dibawa ke kamar. Ia ingin membantah dan berlari keluar kembali untuk mengusir pria itu, atau mencegahnya agar tak menyakiti sang ibu, tapi ibunya dengan tegas melarang dan menguncinya di dalam kamar.
Tentu Rei semakin khawatir. Ia mulai sangat takut. Dan tiba-tiba suara keras menggelegar disana membuatnya tersentak. Pria tadi berteriak marah dan samar ia mendengar ibunya menangis. Hati Rei memanas. Dengan cepat ia meraih pintu yang terkunci itu dan meneriakkan nama ibunya berulang kali. Menggedor pintu kayu itu dengan tangan kecilnya. Ia masih mendengar teriakan dan tangisan itu. Perkataan-perkataan yang sama sekali tak bisa Rei pahami apa makna dan maksudnya. Lalu suara benda-benda terlempar dan hancur membuat Rei semakin kalut. Tubuhnya mulai bergetar karena takut ibunya kenapa-kenapa. Dengan cepat ia beralih ke jendela yang cukup tinggi di kamar. Ia semakin panik karena kini ibunya yang berteriak kencang dengan suara yang seolah mampu merobek hati kecilnya. Mata Rei mulai panas. Ia kesal karena tak bisa mencapai jendela. Lalu sekuat tenaga ia menggeser meja kayu di pojok ruangan hingga menjatuhkan beberapa barang, akhirnya Rei berhasil meraih jendela dan membukanya cepat. Melompat ke bawah dengan cukup keras lalu berlari ke pintu depan yang tak terkunci dan membantingnya keras. Ia berlari sekuat tenaga sampai mendapati ibunya yang menangis didekap erat oleh pria yang ia percaya telah menyakitinya.
Rei mengamuk. Berusaha menjauhkan pria jahat itu dari Kaa-sannya. Ia berusaha menyakiti dan menghajarnya sebisanya. Namun tenaganya kalah jauh hingga pria itu berhasil menghentikannya. Membuatnya sedikit terpaku mendapat genggaman hangat dari tangan besar itu yang membawa perasaan aneh dalam batinnya. Ditambah mata jade pria itu yang menatapnya dengan sorot yang mampu meredakan sedikit amarah Rei. Sebelum terlambat, Rei berusaha menguasai diri dan berusaha lepas darinya. Lalu panggilan lemah dari ibunya seketika membuat Rei beringsut ke arah wanita yang terlihat begitu terluka disana. Merasakan perasaan aneh yang datang kembali saat pelukan ibunya ia rasakan, setelah sebelumnya pria tadi memegang dua tangannya. Rei terpaku, tapi ia berusaha tetap sadar dan mengawasi pria berambut maroon disana. Pria itu terus mengocehkan hal yang sama sekali tak ia mengerti tapi dengan aneh Rei tetap membiarkannya. Lalu dekapan hangat itu datang dan membuat tubuh bergetar ibunya mulai tenang. Rei masih bingung. Ia masih tak mengerti. Dan saat ia mendapati pria itu dengan berani mencium ibunya, Rei sepenuhnya sadar. Apalagi secara langsung ia melihat ibunya yang tengah memejamkan mata dan kembali menangis karena ulah pria itu. Dengan kemarahan meledak, sekuat tenaga bocah itu menghantamkan kepalan terkuatnya untuk menyingkirkan pria kurang ajar itu dari sang ibu.
.
.
.
.
.
.
.
.
Rain
Summary: Hinata hanya tahu bahwa ia dikhianati dan Gaara hanya tahu bahwa ia ditinggalkan.
WARNING:
Typo, ide pasaran, bahasa kasar, membosankan, dan masih banyak kekurangan lainnya
.
.
.
Ch 5 Rain (2)
Happy reading!
.
.
Hinata telah selesai membalut luka Gaara yang terakhir. Tak menghiraukan tatapan intens pria itu yang tak pernah luput memperhatikan wajahnya dari dekat. Setelah Rei memukul rahang Gaara hingga memar, mau tak mau Hinata harus melerainya sebelum terjadi hal yang tak diinginkan –meski Gaara sendiri hanya mengerang tanpa ada rasa marah sedikit pun-. Pikiran Hinata masih dipenuhi berbagai hal. Tapi ia sudah sangat lelah. Belum tidur dan semua menguras energinya hari itu. Lebih memilih untuk merenungkannya besok daripada harus mendapati diri ambruk karena letih. Ia akan membiarkan semuanya dulu untuk sementara.
Putranya menatap kegiatan sang ibu dan si pria asing di sisi yang agak berjauhan. Mengawasi. Memastikan Kaa-sannya tak kembali tersakiti. Terkadang ia mendapat tatapan aneh dari si pria, tapi dibalasnya dengan pelototan yang ia buat semenakutkan mungkin. Juga merasa tak rela futon yang biasa ia tiduri dengan ibunya kini diduduki olehnya. Dan saat ibunya beranjak dari kamar untuk membereskan peralatan mengobatinya, tinggalah ia berdua saja dengan pria itu yang kini sepenuhnya fokus untuk menatap ke arahnya.
"Kemarilah," Gaara begitu gemas mendapati tatapan benci dari bocah 6 tahun disana.
"Kau sudah selesai, segera pergilah!" jawab Rei masih ketus.
Gaara hanya menghela napas dengan menyunggingkan senyum tipis di bibir.
"Galak sekali," Walau galak, Rei masih terlihat menggemaskan di matanya. Perasaan membuncah itu tak kunjung hilang. Tak pernah puas memandangi sosok putranya dengan sorot penuh minat karena kekaguman yang besar. Gaara serasa ingin tertawa jika masa kecilnya dulu ia pernah membuat ekspresi seperti itu.
"Aku ini ayahmu lho," Gaara merasa menang. Senyumnya semakin mengembang hingga menyipitkan mata. Begitu penasaran dengan reaksi bocah itu selanjutnya.
"Shitte iru," tapi jawaban bocah itu malah membuatnya speechless dan tak percaya. Senyum mengembang Gaara tergantikan dengan bibirnya yang kembali datar dengan kedua alis yang terangkat tinggi ke atas. Ekspresi yang jelas menunjukkan keheranannya.
"Kau mirip denganku. Mata, wajah, dan sedikit warna rambut," tutur Rei gamblang, meneruskan ucapannya karena mendapati ekspresi pria itu yang berubah menjadi terlihat bodoh.
Gaara yang berhasil menguasai diri kembali mulai melunakkan wajah.
"Lalu?" ia mencoba mempertanyakan alasan Rei yang masih terlihat memusuhi walau tahu Gaara adalah ayah kandungnya.
"Aku tak peduli denganmu. Kalau kau kesini hanya untuk meyakiti Kaa-sanku, pergilah! Aku tak akan membiarkanmu melakukan hal yang buruk pada Kaa-san!" Rei masih murka. Hinata menangis karena ulah Gaara. Meski tak tahu apa masalah sebenarnya, ia benci jika mendapati ibunya sampai tersakiti seperti tadi dan terluka ketika bertemu dengannya.
"Kemarilah," Gaara menyuruh Rei mendekat untuk kedua kalinya, kali ini sembari melambaikan tangan yang hanya mendapat tatapan tak suka dengan alis menekuk bocah lelakinya.
"Aku tak sudi," jawabnya rendah. Tapi Gaara tak habis akal. Menghadapi sosok yang mirip dengan wataknya, tentu ia yang lebih tahu harus menggunakan cara apa agar bocah itu mau menuruti keinginannya.
"Kau ingin aku segera pergi bukan? Jadi kemarilah, aku akan pergi setelahnya," Rei tak percaya. Ia masih menatap waspada. Sebenarnya ia masih begitu penasaran dengan sosok 'ayahnya' ini. Hanya saja mengingat keadaan ibunya tadi, membuatnya enggan untuk menampakkan sisi ramahnya pada pria maroon tersebut. Namun karena ucapannya barusan, membuat Rei merasa tak ada ruginya jika ia menuruti kemauan pria itu barang sejenak. Ia pun mulai berdiri dan melangkahkan kakinya mendekat ke arah Gaara. Dan pada saat ia sudah berada dalam jangkauan, secepat kilat Gaara menarik lengan kecilnya hingga jatuh terduduk dalam pangkuan dan rengkuhan besarnya. Tentu Rei yang mendapat 'serangan' mendadak itu seketika memberontak kuat. Namun tenaganya kalah dari pria besar bertubuh keras itu. Ia pun berhenti berontak ketika terasa sia-sia dan mendengar suara bariton Gaara padanya.
"Berapa umurmu nak?" ucap Gaara. Ia begitu senang dapat merengkuh tubuh mungil nan hangat yang memiliki aroma Hinata dan wangi khas bayi ini.
Rei menatap sangar ke arah Gaara agak lama. Namun akhirnya ia menjawab datar pertanyaan tersebut.
"Enam tahun," Gaara tersenyum lembut. Ia menciumi wajah menggemaskan dan rambut maroon gelap itu agak 'brutal' yang tentunya mendapat perlawanan keras dari si bocah.
"A-apa yang kau lakukan, sialan! Lepas! Aku tak sudi!" justru malah membuat Gaara tertawa di tengah kegiatannya. Rei tak lama memberontak karena perasaan aneh itu datang lagi. Perasaan nyaman dan hangat dari semua perlakuan dan pelukan pria besar itu.
"Kenapa kau begitu menggemaskan?" tapi sungguh menyebalkan setiap mendapati perkataannya yang seolah merendahkan karena tak menanggapi semua raut dan tindakan serius Rei.
"Apa makanan kesukaanmu? Mainan apa yang kau inginkan? Adakah tempat yang ingin kau kunjungi?" karena tak mendapat respon dari pertanyaan –pernyataan- sebelumnya, Gaara pun mulai memberondongi berbagai macam pertanyaan.
"Kau sangat tampan. Pasti banyak anak perempuan yang menyukaimu. Apa kau punya teman perempuan yang kau sukai?" yang diselingi pernyataan karena rasa gemasnya pada Rei. Bocah itu masih memberontak tapi tak sekeras di awal tadi. Pelukan tubuh keras Gaara entah kenapa terasa nyaman, dan ciuman juga gelitikan yang kadang ia layangkan membuat Rei sedikit terkikik walau di akhir ia menutupinya dengan sikap yang dibuat sangar. Sebutlah Rei sedang bersikap tsundere, tapi hanya ini yang bisa ia lakukan untuk menghadapi ayah 'nakal'nya itu.
Hinata yang beringsut membereskan baskom dan peralatan P3K, menjadi beralih membersihkan area dapurnya yang berantakan. Saking lelahnya ia tak mampu memikirkan apapun dan berorientasi untuk segera membereskan semua kekacauan itu sebelum sulit dibereskan. Cukup memakan waktu, namun di ujung perkerjaannya ia teringat telah meninggalkan Rei berdua bersama Gaara di kamar. Hinata pun merasa penasaran karena keadaan yang sangat tenang. Dan ketika ia membuka pintu untuk masuk ke kamar, dilihatnya Gaara yang masih terduduk dengan Rei yang tertidur pulas dalam pangkuannya. Ini sudah dini hari dan wajar jika putranya itu tidak bisa menahan kantuknya.
Hati Hinata begitu menghangat melihat adegan itu. Bagaimana Gaara yang menatap sayang Rei dengan salah satu tangan menepuk-nepuk pelan pantatnya. Senyum di bibir pucat Hinata sedikit tersunggingkan. Sebagaimana apapun pikiran kacaunya, Hinata tetap merasa senang dan lega saat melihat interaksi Gaara dengan putranya. Jauh dalam hati, Hinata ingin mengenyahkan yang telah lalu, dan memulai lembaran baru bersama pria itu. Namun kini, hanya ada kebingungan yang begitu besar mendominasi setelah semua gelombang perasaan yang menerpa beberapa waktu sebelumnya.
Gaara yang menyadari pintu terbuka karena Hinata, beralih menatap wanita itu. Ia memberikan senyum hangat yang jarang sekali ia berikan pada orang lain, terkecuali keluarga dan Hinata seorang.
"Kemarilah, kau terlihat sangat lelah," Hinata tak menampiknya dan ia pun menghampiri Gaara yang kini memposisikan tubuh kecil Rei pada tengah futon. Hinata hanya beringsut mendekat dan bersimpuh di dekat Gaara untuk membantu memposisikan Rei. Saat sudah terlentang, bocah itu menggeliat dan sedikit mengerang memanggil ibunya.
"Ssshh... Kaa-san disini..." ucap Hinata pelan sambil mengusap untuk menenangkan anaknya. Gaara tak bisa berhenti merasa bahagia melihat dua orang berharganya itu, apalagi interaksi yang mereka lakukan. Hinata begitu keibuan dan Rei layaknya anak kecil manja yang menggemaskan.
"Tidurlah, aku khawatir dia akan terbangun kalau kau tidak di dekatnya," Hinata menatap sekilas pada Gaara lalu mulai memposisikan diri untuk berbaring sambil memeluk Rei. Ia sangat lelah dan yang memang ingin ia lakukan sekarang adalah beristirahat. Namun posisi nyaman yang baru ia lakukan kembali tersentak saat selimut Gaara naikkan pada tubuhnya dan Rei, sedang pria itu sendiri juga ikut berbaring di sisi Rei yang lain walau tanpa alas maupun selimut. Hinata akan terbangun kembali namun tertahan oleh rengkuhan tangan panjang Gaara yang mampu menjangkau tubuhnya yang berada di seberang sisinya.
"Aku sangat merindukanmu. Aku begitu bahagia bisa menemukan kalian." Gaara tahu Hinata masih belum terbiasa.
"Setidaknya izinkan aku memeluk kalian saat ini," Tapi ia belum tahu seperti apa isi hati wanita itu sekarang. Hinata masih dipenuhi oleh keraguan. Dia tahu hubungannya dengan Gaara memiliki kemungkinan untuk kembali meski sudah hancur betahun lalu. Namun ia masih merasakan sesak dan tak rela dalam batinnya. Ia masih ragu dengan semuanya. Semua serba tidak bisa ia temukan penyelesaiannya karena ia begitu lelah saat ini. Hidupnya yang mulai tertata kembali terselipi hal lain yang membuatnya harus menata ulang untuk kebaikan terbaik, terutama bagi Rei.
"Mmh..." dan Hinata lebih memilih membiarkan saja apa yang Gaara inginkan sekarang. Toh ia merasa begitu nyaman. Rei pun sangat nyaman. Dan ia merasa bahagia karena putranya bisa merasakan kebersamaan bersama ayah kandungnya. Hinata terlampau lelah untuk menolak. Semoga saja hati kecilnya esok bisa menemukan pilihan terbaik untuk kebaikan semuanya.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
Hiashi berusaha menggeser pintu dengan bantuan tongkatnya. Hari beranjak pagi dan ia ingin sedikit menghirup udara segar di depan kolam ikan dekat kamarnya.
Sejak kepergian Hinata, pria paruh baya itu lebih banyak diam di rumah. Kesehatannya semakin memburuk dan ia sering kesulitan menjalani harinya. Dojo pun diambil alih oleh putri bungsu bersama Kou dan beberapa murid kepercayaannya yang lain. Hiashi menerapkan peraturan yang begitu ketat saat ini. Ia melarang Hanabi keluar jika tidak mendesak. Lebih memilih pendidikan privat di rumah daripada harus melepaskan putri yang ia miliki satu-satunya saat ini keluar hanya untuk bersekolah. Namun ketika ia sudah harus memasuki bangku perkuliahan, Hiashi pun dengan berat mengizinkan putrinya itu kembali berada di lingkup sosial luar dengan jam rumah yang begitu ketat.
Pria paruh baya itu selalu memiliki banyak pikiran. Pikiran akan keluarga, dojou, kesehatannya, juga Hanabi. Pikiran akan bagaimana keadaan putri sulungnya disana. Bayang-bayang Hinata yang selalu hadir dalam mimpi. Dirinya yang berdiri membelakangi Hiashi dengan menggendong seorang bayi kecil di dekapannya. Hiashi tak terlalu bisa melihat raut wajah putrinya itu karena terhalang oleh rambut indigo panjangnya. Namun setiap kali bayang itu datang, selalu diikuti perasaan sesak akan rasa sesal dan bersalah yang begitu besar. Hiashi merindukan Hinata. Sangat. Ia menginginkan putrinya itu kembali. Tapi keinginan besar untuk mencarinya selalu tertahan akan pikiran bahwa ia akan gagal menghargai keputusan Hinata jika melakukannya. Hiashi yang telah menyerahkan semuanya kepada Hinata, dan ia sama sekali tak bisa begitu saja membuat kehidupan putrinya saat ini terusik karena keinginannya.
Walau pun di luar sana ia tak tahu bagaimana nasib Hinata, tapi ia percaya akan semua pada putri sulungnya itu. Gadis itu terlihat lemah, tapi ia memiliki hati paling tegar di antara semuanya. Dia adalah pemberi cahaya dalam keluarga ketika ibunya tiada. Ia adalah pengganti mendiang Hikari –istri Hiashi- yang selalu ada ketika ayah dan adiknya membutuhkan curahan kelembutan dan kasih sayang darinya. Hinata selalu mampu membuat hati Hiashi menghangat dengan semua sikapnya. Ia juga selalu bisa membuat Hanabi cepat melupakan kesedihan karena kehilangan sang ibu saat masih sangat belia. Hinata adalah gadis yang kuat. Dia adalah cahaya bagi ayah dan adiknya. Dan Hiashi begitu merindukan putrinya itu.
Rasa kehilangan dan kesepian sangat terasa ketika Hinata tiada. Hiashi seolah kehilangan separuh kekuatan untuk hidup sampai menjadi sakit-sakitan.
Ah... andai waktu bisa diulang kembali...
"Tou-san..." pria itu menoleh ketika mendapati suara putri bungsunya dari arah belakang. Hanabi yang masih mengenakan seragam latihan berjalan mendekat ke arah sang ayah. Sepertinya ia selesai berlatih pagi di dojo yang memang rutin dilakukan.
Hiashi jadi teringat. Hinata lemah dalam ilmu bela diri dan sempat ia marahi habis-habisan karena Hiashi pikir para putrinyalah yang kelak akan meneruskan dojo Hyuuga, selain juga sebagai perlindungan diri. Hinata kecil yang menangis karena dimarahi ayahnya langsung berlari ke arah sang ibu yang saat itu menggendong Hanabi. Hiashi yang masih emosi meninggalkan Hinata begitu saja yang tengah mengadu pada ibunya. Malam harinya Hikari menenangkan Hiashi dan memberinya pengertian secara hati-hati. Hingga pria itu pun luluh dan tak pernah memaksakan kehendak lagi kepada putri sulungnya itu. Nyatanya Hanabi lebih menguasai bela diri dibandng kakaknya, maka Hiashi pun mulai fokus melatih putri bungsunya tersebut. Hinata lebih menekuni pekerjaan rumah, sedang Hanabi lebih berjiwa bebas dan menyukai kegiatan di dojo. Hingga Hikari tiada, membawa pukulan besar bagi keluarga Hyuuga, hanya Hinata yang hadir dan mampu menggantikan beberapa peranan yang sang ibu lakukan dahulu. Memasakkan makanan kesukaan ayah dan adiknya, membersihkan rumah dengan beberapa maid disana, atau mengatur segala yang ada di rumah dengan sentuhan familiar nan nyaman yang hanya Hinata dan sang mendiang ibu yang bisa melakukannya. Hiashi bersyukur akan nasihat istrinya dulu. Ia bersyukur telah diberikan dua buah hati yang begitu membahagiakan hati. Ia bersyukur memiliki Hinata dan Hanabi.
Namun kini wajahnya surut akan rasa itu. Hinata telah pergi. Mansion Hyuuga serasa kehilangan sentuhan hangatnya. Hanabi yang mulai beranjak dewasa juga sibuk dengan kegiatan yang tentu Hiashi sendiri merasa tak berhak untuk terlalu mengatur kehidupannya. Dan melihat putrinya itu kini mengurus usaha dojo mereka seorang diri, membuat Hiashi trenyuh.
"Kenapa Tou-san keluar sendiri disini? Jika terjadi sesuatu bagaimana?" Hanabi merasa perlu untuk sedikit mengomel kepada ayahnya yang keras kepala itu.
"Hanabi..." Hanabi yang tengah membereskan makanan ikan yang tak sengaja tersandung kakinya mendongakkan kepala.
"Apa kau ingin berhenti dari dojo?" gadis 21 tahun itu mengangkat sebelah alisnya.
"Kenapa Tou-san bertanya seperti itu?" Hanabi menyukai dojonya dan ia memang bertekad untuk meneruskannya. Ia pun kembali menegakkan tubuh untuk berhadapan dengan wajah sang ayah yang sudah terlihat letih karena usia.
Hiashi menghela napas.
"Apa Tou-san khawatir? Daijobu, selesai kuliah mungkin aku akan lebih fokus ke dojo," mengingat ia mengambil jurusan komunikasi masyarakat, Hanabi merasa ia tak masalah jika nanti berkecimpung ke dojo saja.
Tapi Hiashi hanya menatapnya tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Hanabi pun mencoba berbicara sehati-hati mungkin sambil menggamit lengan sang ayah dan menatap mata yang serupa dengan miliknya itu.
"Nanti kalau aku sudah menikah, akan kusuruh suamiku nanti bantu mengurusnya. Jadi Tou-san tenang saja," dahi Hiashi sudah sedikit mengkerut.
"Kau kencan dengan seseorang?" Hanabi berubah cemberut melihat perubahan wajah ayahnya.
"Tou-san, aku sudah dewasa. Apa aku tak boleh berkencan dengan seseorang?"
"Sudah berapa jauh hu-"
"Kita baru berpacaran. Tapi aku sudah mengenalnya lama, jadi Tou-san jangan khawatir!" hanya Hanabi yang berani memotong ucapan Hiashi dan berseru kepadanya seperti itu. Ia berharap ayahnya tidak akan bereaksi berlebihan seperti ketika mendapatinya di antar oleh seorang teman laki-lakinya tempo hari.
"Mou, Tou-san..." Hanabi merajuk mendapati wajah ayahnya yang masih kusut.
Ia menghela napas. Hanya kakaknya yang tahu siapa sosok yang ia kencani saat ini. Dulu ia sering berceloteh kepadanya. Hanya dia tempat dimana Hanabi bisa dengan bebas menceritakan semua. Tapi kini berubah. Tidak ada lagi yang bisa ia ajak bercerita dengan leluasa. Hanabi merasa sendu jika mengingat sang kakak telah tiada.
"Siapa dia?" Hiashi mencoba mengalah agar tidak terjadi perdebatan yang tak perlu karena sifat overprotektifnya yang kambuh.
"Konohamaru,"
.
.
.
.
.
.
.
.
.
Rei merasakan mimpi yang sangat indah. Ditambah kenyamanan memeluk tubuh lembut sang bunda dan mencium aromanya, juga perasaan hangat di punggung yang tak pernah ia rasakan ketika tubuhnya tertidur menghadap ibunya.
Tunggu.
Punggung?
Bocah itu dengan malas mencoba membuka matanya yang masih berat. Hal pertama yang ia tangkap adalah berada dalam dekapan Kaa-san tersayang yang begitu nyaman. Namun juluran lengan lain yang lebih kekar berada di atasnya yang juga ikut merengkuh tubuh sang ibu dalam dekapan sosok yang ada di belakang punggungnya. Rei bergerak menolehkan kepala dan mendapati dada bidang seorang pria dengan aroma kurang familiar, tapi bisa segera membawanya pada sekelebat kejadian beberapa waktu lalu.
Ia terdiam. Mencoba tenang dan perlahan bangkit untuk menyingkirkan lengan berat itu dari tubuh ibunya. Gerakan yang sudah ia lakukan sehati-hati mungkin tersebut nyatanya tak bisa membawanya mencapai tujuan yang ia inginkan, dan malah kini lengan itu membelitnya, membuat ia terbaring kembali tapi dalam rengkuhan lain –pria itu- sepenuhnya.
"Angh!" Rei mengerang kecil. Terkesiap karena jade pria itu sudah terbuka walau sedikit sayu padanya.
"Ohayou, Rei-kun," satu ciuman dari hidung mancungnya begitu menggelitik dan Rei tak rela ia diperlakukan seperti itu oleh orang lain kecuali ibunya.
"Lepas..." ia masih mengantuk dan tenaganya tak seberapa.
"Kau bilang kau akan pergi," geram Rei karena pria itu semakin gencar menciuminya. Gaara terkikik kecil yang membuat Hinata mau tak mau juga ikut terbangun dari tidur pulasnya. Gerakan yang cukup luwes dari dua orang di dekatnya, juga suara-suara sedikit bising itu membuatnya tak bisa terjerat lebih lama dalam lelap.
"R-rei-kun..." suaranya yang serak terdengar begitu seksi di telinga Gaara. Ia sepenuhnya menahan tubuh putranya agar tak bisa berontak lagi untuk memberikan atensi penuh pada wanita yang ia cintai itu. Namun Hinata yang baru bangun tidur dan sepenuhnya belum terkumpulkan nyawanya, hanya mencoba meraih tubuh Rei untuk menenangkan si bocah.
"Ohayou, Hime," dari jarak yang tak seberapa itu Gaara dengan mudah mencuri ciuman di kening Hinata yang membuat wanita itu sepenuhnya tersadarkan dan tahu situasi macam apa yang menimpa saat ini. Ia hanya bisa menatap ragu Gaara yang tertidur di tatami karena futonnya hanya bisa memuat dirinya dan Rei di dalam. Jujur Hinata bingung harus menghadapi Gaara seperti apa sekarang.
"Kau masih mengantuk? Tidurlah," Gaara hanya belum tahu bahwa wanita itu belum sepenuhnya menerima kehadirannya saat ini. Ia hanya tahu bahwa dirinya ingin menikmati momen-momen kebersamaan yang nyaman dan sangat dirindukannya dengan mereka. Dengan Rei dan Hinata. Seolah lupa akan ucapan tegasnya semalam yang mau melakukan apapun agar Hinata tetap mau bersamanya, dan malah dengan sendirinya memutuskan secara sepihak apa yang ingin ia lakukan terhadap mereka. Itu mafhum, karena pria itu sudah begitu lama menderita. Sudah lama ia merasa tersiksa. Dan ketika di hadapkan suatu kesempatan berharga untuk mengentaskan rasa rindu guna memperoleh kebahagiaannya kembali, ia hanya ingin mengikuti naluri untuk bisa menyenangkan hati dan menebus semuanya. Tak terpintas sedikitpun dalam pikiran apakah Hinata sudah menerimanya, rela melakukannya, dan tidak keberatan terhadapnya.
"K-kaa-san..." Rei yang terkungkung erat mencoba lepas dan meminta bantuan sang ibu. Ia merasa Kaa-sannya tidak sesigap biasanya dan terkesan membiarkan. Bocah itu sedikit memberengut karena merasa Hinata tak sayang lagi padanya. Padahal kenyataannya wanita itu hanya masih bingung, tak tahu apa yang harus diperbuat dan lakukan. Dan ketika Rei tadi memanggil untuk 'meminta tolong', ia pun seakan ditunjukkan oleh sebuah jalan untuk melakukan apa yang saat itu dibutuhkan. Dengan sigap ia berusaha meraih tubuh Rei kembali ke dekapannya, walau Gaara masih gemas untuk mengungkung tubuh kecil itu untuk menggodanya, pada akhirnya ia mengalah karena Hinata sudah turun tangan.
Rei langsung menenggelamkan kepalanya ke dada sang ibu. Menyembunyikan raut kesal dan sedikit rembesan air mata karena merasa kesal dengan dua orang dewasa di dekatnya. Sikap sok dewasanya lenyap dan tergantikan sikap manjanya yang biasa. Kini ia sedang merajuk.
"G-gaa-" Hinata saat ini bahkan bingung harus memanggil Gaara seperti apa. Panggilan akrabnya semalam ia lakukan karena terbawa suasana. Tapi ketika kenyataan tiba dan pikirannya mulai bisa berjalan jernih, ia malah bingung harus memanggil pria di hadapannya itu seperti apa.
"K-kau tidak bekerja?" pada akhirnya ia tidak menggunakan panggilan apapun.
"Masa bodoh. Hari ini aku ingin libur," Gaara mendekatkan diri untuk bisa merengkuh dua orang yang lebih kecil dari badannya itu. Hinata sedikit beringsut tapi tetap saja Gaara berhasil meraih dan mengurungnya. Pria itu mengartikan tingkah Hinata yang sedikit kaku tersebut karena gugup, dan tak mengasumsikan bahwa wanita itu tengah bingung untuk menghadapinya. Gaara memejamkan mata kembali untuk menyesap aroma anak dan wanitanya itu sepuas hati. Rei cuek, membiarkannya, asal wajah cengengnya sekarang tak tertangkap basah oleh mereka karena harga dirinya terlalu tinggi. Dia juga masih mengantuk, dan mulai memejamkan mata kembali. Hinata hanya diam dengan pikiran yang mulai berdatangan untuk berkecamuk dalam otak. Sedikit menggerakkan kepala untuk memeriksa waktu, wajahnya datar saja mendapati jarum jam sudah menunjukkan angka satu jam lebih dari waktu Rei biasa berangkat sekolah. Tak mengherankan mereka bangun cukup siang karena kejadian semalam. Dalam hati ia berharap, semoga saja pertengkaran tadi malam tak sampai di telinga para tetangga.
"Hinata, menikahlah denganku,"
Jantung Hinata mencelos, seolah berhenti berdetak sepersekian detik. Tubuhnya kaku, tak berani digerakkan.
Gaara membuka jadenya, menatap amnethyst yang terlihat gelisah di bawah sana. Terdiam tanpa mengeluarkan sepatah kata pun.
"Hinata..." mendekatkan wajahnya untuk mendapat atensi wanita itu.
"A-aa..." Hinata menggerak-gerakkan bibirnya karena semakin bingung harus berkata apa. Ia mencoba menghindari jade Gaara, tapi seolah tak bisa, manik itu terus mengikuti ke arah tatapannya berada.
"A-aku..." Hinata menggigit bibir bawah bagian dalamnya.
"...A-aa-"
"Ikutlah ke Suna bersamaku," merasa mulai tak tenang akan sikap Hinata, Gaara mencoba mengambil alih. Mengelus pelan pipi putih Hinata yang masih gelisah tak bisa berkata-kata. Wanita itu terkesiap ketika Gaara meraih tubuh Rei yang tertidur kembali ke dalam gendongannya. Bocah itu seketika merengek namun langsung reda karena Gaara menenangkannya dalam posisi senyaman mungkin di tubuhnya.
"Kita berangkat,"
"E-eh?" karena lama tak memiliki jawaban, Gaara berinisiatif ingin membawa mereka terlebih dahulu pulang ke rumah. Mungkin disana ia bisa leluasa berdiskusi dan membujuk Hinata. Sikap egois dan ambisiusnya kambuh. Meskipun dalam batin mulai bergolak terhadap apa yang ia lakukan ini sudah salah dan menyalahi ikrar yang sempat ia ucapkan, Gaara meyakinkan diri dan menanamkan kepercayaan dalam batin, bahwa Hinata pada akhirnya akan bisa luluh dan menerima lamarannya.
"Cuci muka dan bawakan saja apa yang diperlukan, aku akan menjaga Rei disini," seolah tak terbantahkan. Hinata masih linglung dan bingung untuk berbuat. Ia merasa tak tenang. Namun ia pun memilih beranjak karena tak tahan mendapat sorot intens dari Gaara.
Hinata segera menutup pintu dan menguncinya saat Garaa dan Rei sudah keluar ketika Chiyo-baasan dan beberapa tetangganya tengah berada di depan rumah. Hinata tersenyum kikuk mendapat tatapan heran mereka, namun Gaara dengan tenang membungkukkan badan untuk menyapa.
"Ara..." sedikit tak bisa berkata karena mendapati seorang pria tampan keluar dari rumah Hinata yang dikenal sebagai single parent disana. Namun secepat mungkin mereka menyapa dan berbasa-basi biasa. Niat untuk menanyakan keributan semalam mungkin harus sedikit terselubungi dan diucapkan secara hati-hati untuk menjaga perasaan Hinata yang terlihat gugup –tak seperti biasa-. Orang-orang paham, ada suatu hal yang bagi mereka tidak boleh ikut campur terlalu jauh kecuali jika memang sudah membahayakan. Gaara sebenarnya tak keberatan untuk menjelaskan, namun orang-orang itu hanya bersikap ramah dan berbasa-basi tak penting serta memilih memperhatikan Hinata untuk memastikan keadaannya.
Hinata yang sudah segar kembali karena telah membersihkan diri, berganti pakaian, dan sedikit merias untuk menutupi 'lukanya' juga terlihat baik-baik saja. Orang-orang pun bisa lega dan hanya mengucapkan hati-hati karena melihat 'pasangan' itu seakan ingin pergi ke suatu tempat dengan si bocah Hinata yang terlelap. Bocah yang sekilas saja diperhatikan sangat mirip dengan pria yang menggendongnya itu. Para warga pun mulai berspekulasi dalam hati akan suatu simpulan yang jelas sekali apa ujungnya.
Semua memperhatikan dan menanyakan keadaan Hinata diam-diam yang membuat wanita itu terharu memiliki para tetangga yang begitu baik padanya. Apalagi nenek Chiyo yang sama sekali tak melepaskan genggaman tangannya pada tangan Hinata karena ia sudah menganggap ia layaknya cucunya sendiri. Dan begitu mereka akan berangkat, Gaara pun dengan sopan meminta izin untuk pergi setelah mendapat beberapa pertanyaan kecil dari seorang pak tua padanya. Warga pun mengucapkan doa untuk keselamatan dan ungkapan hati-hati kepada mereka. Hinata memeluk nenek Chiyo agak lama sebelum akhirnya ia pun meluncur meninggalkan Kiri yang sudah memberinya beragam warna kehidupan selama 7 tahun ini.
Hinata duduk di samping kursi pengemudi bersama Rei dan hanya diam dengan beragam pikiran. Gaara terlihat antusias dan berbinar walau wajahnya kusut belum sempat ia basuh sama sekali. Mencoba mengajak mengobrol dan ditanggapi Hinata sekenanya. Hinata masih merasa aneh karena ada sesuatu yang tak nyaman dalam dirinya. Mengeratkan pelukannya pada Rei yang mulai bergerak terbangun tak lama setelah mobil meninggalkan kawasan desa tempat rumah mereka berada.
"Kaa-san..." beragam pikiran Hinata segera enyah tergantikan oleh atensi kepada sang putra. Ia lebih memilih meberikan perhatian kepada Rei daripada dikerubuti berbagai macam hal dalam otaknya.
"Hm...?"
"Kita dimana?" bocah itu langsung celingak-celinguk karena berada di sebuah tempat asing yang terasa bergerak. Dan ketika mata bangun tidurnya mengarah ke Gaara, ia pun mengerutkan kening tak suka.
"Kita akan pulang, nak. Tou-san akan membawamu ke Suna," tak hanya Rei, Hinata pun ikut terbelalak. Gaara benar-benar sudah mendeklarasikannya. Ia sudah mengklaim Rei sebagai anaknya. Hinata mulai merasa takut, sedangkan Rei mencebik tak suka. Ia belum mengakui pria itu walau memang benar dia adalah ayahnya. Dan secara berani juga seenaknya ia sudah menganggap dirinya sebagai Tou-sannya.
Rei menoleh cepat ke arah Hinata yang hanya bisa menelan ludah sebelum tertawa kaku ke arahnya. Ia pun menoleh ke arah Gaara yang sedang menyetir sembari meremat pakaian sang ibu untuk memberi kekuatan pada batinnya yang gemetar setiap mencoba berkomunikasi dengan Gaara.
"Aku tidak mau!"
"Hm?" Gaara hanya menoleh sejenak sambil mengangkat salah satu alisnya. Merasa lucu melihat raut mengeras Rei yang tak pernah berubah dari semalam. Ditambah muka khas bangun tidur yang malah membuatnya terlihat imut di mata Gaara.
"Kenapa tidak?"
"Aku dan Kaa-san sudah punya rumah!"
"Mulai sekarang Rei-kun akan tinggal di rumah Tou-san, bersama Kaa-san juga," jawab Gaara kalem. Hinata yang mendengarnya menatap ngeri ke arah Gaara yang tak ditanggapi sama sekali oleh pria tersebut. Ia belum menyetujui dan pria itu sudah menyatakan suatu hal seperti itu di depan anaknya. Hinata ingin mendebat, tapi ia tak mau memulainya di depan Rei secara langsung. Tidak. Setidaknya tidak sekarang. Hinata lebih mementingkan kesehatan mental sang putra.
"Katanya kau akan pergi!"
"Aku memang pergi. Kita akan pergi," seringai licik Gaara yang semakin membuat Rei kesal.
Menghela napas untuk mengatur golak tak tenangnya, Hinata mencoba menenangkan Rei yang terus mencoba 'mengajak berkelahi' ayahnya. Gaara sendiri pun terlihat santai dan menikmati interaksi mereka saat ini. Ia menganggap sikap galak Rei itu menggemaskan, dan ia pun mencoba mengabaikan ketikdaktenangan yang jelas sekali terpancar dari wanitanya.
Mereka sampai di pusat Kota Kiri yang masih jauh dari Suna. Gaara membelokkan mobilnya ke arah sebuah mall dan memarkirkannya di basement. Pusat Kota Kiri tergolong lenggang dibanding kota lain seperti Konoha atau Suna. Membuat mereka tak terlalu lama untuk mendapatkan pelayanan untuk sarapan di waktu yang sudah menjelang siang ini. Hinata hanya bicara jika itu perlu kepada Gaara. Ia lebih memilih diam atau bercakap dengan Rei yang kelaparan dan fokus kepada makanannya. Rei menjeda sejenak tatapan permusuhannya kepada sang ayah yang tak henti menunjukkan rasa gembiranya. Hinata sendiri mencoba menahan perasaannya yang bergelombang naik turun. Antara bahagia dan sendu, dalam berbagai banyak hal yang membuat perasaannya seperti itu. Rei pun juga membiarkan saja ketika Gaara mencoba memberinya suapan atau menyodorkan makanan. Selera makannya yang besar ingin segera dituntaskan.
Ketika hampir usai, Gaara berinisiatif mencuci muka dan ke kamar mandi. Tapi meninggalkan Hinata dan Rei disini begitu saja, sama dengan memberikan akses pada mereka untuk mencoba kabur darinya. Gaara sudah benar-benar tahu Hinata belum menerimanya. Maka, saat si bocah telah tandas meminum air yang mengakhiri sesi makannya, Gaara segera meraih bocah itu dalam gendongannya yang membuat Hinata sedikit tak rela.
"Kami akan ke kamar mandi sebentar, Rei juga belum mencuci muka bukan?" ucap Gaara ke arah Hinata. Rei mulai kembali merengek tapi tak terlalu keras. Ia kekenyangan dan mulai merasa nyaman dengan perlakuan Gaara.
"B-biar aku saja. Aku juga i-"
"Tak perlu. Lebih praktis kalau kami berdua ke toilet bersama," tanpa menunggu ucapan selanjutnya, Gaara pun melesat meninggalkan Hinata. Mau tak mau wanita itu pun duduk menunggu di meja itu seorang diri. Ia menyangga kepalanya dengan satu tangan. Merasa lelah walau sudah beristirahat. Angannya untuk bisa memikirkan dengan jernih dan menemukan solusi untuk semua setelah beristirahat, pupus sudah. Gaara seolah bisa memanfaatkan berbagai celah dengan semua perkataannya. Dan Hinata sendiri tak mampu untuk mendebat karena ada batas Rei di antara mereka. Sungguh ia tak mau anaknya itu mendapati lagi hal mengerikan seperti semalam. Menemukan luka lecet di lutut karena nekat melompat dari jendela hanya untuk melerainya. Watak putranya sebelas dua belas dengan Gaara. Begitu nekat dan tidak tolerir dalam suatu keadaan. Hinata hanya tak ingin ia menjadi terluka atau berada dalam bahaya.
Saking tenggelam dalam pikirannya, Hinata tak menyadari bahwa kedua lelaki yang ia pikirkan telah kembali. Rei terlihat lebih ceria dan sesampainya di hadapan sang ibu ia langusng menggeliat turun. Ia jengah diperlakukan sebagai anak kecil –walau memang masih kecil-. Ia memang bisa manja, tapi itu hanya pada orang-orang tertentu yang ia percaya. Dan Gaara, entah kenapa masih ia ragukan meski telah memperlakukannya dengan baik dan membuat nyaman. Mungkin karena bawaan Hinata yang terlihat gusar ketika berada di dekat ayah biologisnya itu.
"Kaa-san," Rei meraih tangan Hinata untuk ia genggam. Menyalurkan perasaan menenangkan karena wajah ibunya yang terlihat 'gelap' semenjak tadi.
"Kita berangkat," Gaara pun mengambil alih tangan Rei yang lain untuk menuntunnya menuju mobil. Tanpa ada yang menolak karena si bocah yang berusaha menguatkan sang bunda, sedang Hinata yang berusaha menguasai diri agar tidak membuat khawatir sang putra. Gaara membeli sebuah children seat untuk Rei agar Hinata tak kebas karena terus memangkunya. Menggandeng tangan mungil bocah kecilnya dengan Hinata yang berjalan mengikuti di dekat mereka. Orang awam yang melihat pasti mengira mereka adalah sebuah keluarga kecil yang bahagia.
Pukul enam petang lebih mobil Gaara sudah memasuki pelataran mansion Sabaku. Mata jade bulat Rei begitu takjub mendapati bangunan bak istana yang belum pernah ia lihat sebelumnya. Hinata terlihat lelah dan pasif. Gaara segera membukakan pintu untuk Hinata dan meraih Rei yang sebenarnya enggan untuk digendong –memilih berjalan sendiri-, namun karena rasa takjubnya ia pun cuek saja. Hinata tersenyum getir melihatnya.
"Besar sekali..."
"Tentu saja! Ini adalah rumah kita sekarang," Hinata menggigit bibirnya. Rei menatap ayahnya tak percaya.
"Uso..." Gaara hanya terkekeh melihat ketakjuban putranya.
"Hai', kita masuk sekarang,"
Gaara menjinjing tas besar Hinata di pundak kanan dan menggandeng tangan wanita itu untuk mengikuti langkahnya. Tangan kirinya membopong Rei yang masih terkagum-kagum melihat 'rumah' barunya. Suasanya begitu sepi di mansion itu, walau sebenarnya terdapat banyak penjaga di beberapa sudut, namun untuk maid dalam rumah hanya ada beberapa saja. Keluarga Sabaku tidak terlalu suka keberadaan orang asing di kediamannya, sehingga sebisa mungkin meminimalisir keberadaan para pelayan. Hingga saat ia memasuki rumah, hanya ada dua orang yang menyambutnya dengan sedikit heran –karena melihat Hinata dan Rei-. Pelayan lain hanya akan muncul jika tuan rumah membutuhkan, selebihnya mereka akan tetap berada di tempatnya masing-masing.
Gaara cuek mendapati tatapan heran para pelayannya. Ia melepas tautan tangannya sejenak pada Hinata untuk menyerahkan tas besar yang ia bawa kepada mereka. Mengatakan untuk membawa benda tersebut ke kamarnya. Hinata pun langsung menoleh ke arah Gaara –hendak protes-, tapi sekali lagi pria itu tak acuh saja. Menitahkan untuk menyiapkan air mandi, setelah itu menggendeng tangan Hinata untuk mengikutinya. Setelah rasa takjub, Rei hanya terdiam ketika memasuki rumah itu. Ia merasa tidak familiar dan terkesan menciut, apalagi mendapati tatapan aneh –takjub- dari para pelayan –karena rupanya yang begitu mirip Gaara-. Ia hanya diam sepanjang tangga menuju lantai dua hingga memasuki sebuah kamar besar bak kamar hotel mewah yang sering ia lihat di iklan tv.
Pelayan yang mengikuti Gaara pun segera melaksanakan apa yang diperintahkan tadi. Gaara mendudukkan Rei di kasur, sedang Hinata hanya bisa berdiri diam di dekatnya.
"Rei-kun lapar? Mau makan apa untuk makan malam?" Rei yang berubah sedikit gugup hanya melihat ke arah Hinata. Beringsut ingin beralih pada sang ibu walau tidak terlalu ditunjukkan untuk menjaga ekspresi 'gengsinya'. Hinata pun paham. Ia beringsut mengambil alih sang putra. Dia mungkin sedikit 'syok' dengan kehidupan serba mewah ini karena terbiasa hidup sederhana. Gaara yang melihat perubahan Rei seperti itu padanya pun merasa kecewa.
"Okaa-san,"
"Hm?"
"Aku ingin masakan Kaa-san saja," bisik Rei sepelan mungkin. Hinata hanya tersenyum kecil dan akan menanggapi ketika Gaara lebih dulu menyela.
"Kaa-san pasti lelah, kita makan masakan buatan para Oba-san untuk malam ini ya..." ucap Gaara ketika mendengar bisikan kecil Rei. Bocah itu tak terlalu menunjukkan kegalakannya lagi namun lebih kepada perasaan hati-hati. Gaara mencoba mafhum karena mungkin hal ini butuh waktu.
Rei yang mendengar penuturan itu pun dalam hati mengiyakan. Ibunya lebih banyak diam dan pasti lelah karena perjalanan panjang kemari.
"Gaara-sama, airnya sudah siap,"
"Hm, kau boleh pergi," Gaara menginstruksikan untuk membuat makan malam dengan beberapa kriteria yang ia inginkan. Hinata mencoba mengalihkan perhatian Rei agar bocah itu merasa lebih baik. Selain juga untuk membuat perasaannya sendiri membaik.
"Rei-kun lelah? Apa sudah mengantuk?" tapi Rei tak menanggapi dan mengajukan pertanyaan lain padanya.
"Kaa-san, apa kita benar-benar akan tinggal disini?" bisiknya. Hinata terdiam sejenak sebelum menjawab, walau ia masih bimbang dengan semua.
"Untuk sementara, iya," ikut berbisik pelan ke telinga Rei.
"Rei, mandi bersama Tou-san sekarang ne," Rei sedikit terkejut ketika tubuhnya terangkat dan sudah berada di dalam rengkuhan Gaara. Mendapat kecupan basah di pipi yang langsung membuatnya kesal dan mengomel marah ke arahnya. Hinata segera berdiri ketika dua lelaki itu beranjak menuju suatu pintu dalam kamar tersebut.
"G-ga-" ia ragu, tapi pada akhirnya melakukannya juga.
"Gaara-san," memanggil nama pria itu.
Gaara sedikit terhenyak mendapat panggilan seperti itu dari Hinata, namun sebisa mungkin mengontrol ekspresinya kembali menjadi lembut. Ada Rei di dekat mereka.
"S-sebentar," Hinata tak yakin kamar mandi Gaara memiliki peralatan mandi balita. Walau sudah besar, Hinata masih sangat memperhatikan perawatan tubuh dan nutrisi putranya. Jadi ia mengeluarkan satu pouch yang berisi keperluan mandinya dan Rei. Lalu membukanya untuk mengambil pouch yang lebih kecil dan di dalamnya adalah keperluan yang biasa Rei pakai.
"Hai'," menyodorkan pouch itu yang langsung diterima Gaara.
"Hn," ia pun berlalu memasuki kamar mandi bersama sang putra. Beruntung wanita itu merelakannya –terpaksa merelakan- untuk 'memonopoli' Rei meskipun ia sendiri terlihat tidak rela dengan semua sikap Gaara semenjak pagi. Tapi...
'Apa-apaan itu? Gaara-san?' batin Gaara agak dongkol.
Hinata hanya termangu di sofa saat menunggu dua lelaki yang terdengar –entah kenapa- begitu riang di dalam sana. Tawa cekikikan Rei dan suara berat Gaara. Tak bisa dipungkiri Hinata menghangat setiap mendapati interaksi mereka berdua, terutama sikap Rei yang terlihat begitu bahagia. Hinata sangat lega. Tapi memang masih ada yang mengganjal di hatinya, membuat ia merasa tak tenang dan belum siap menerima semua. Terlalu mendadak, sepertinya ia masih butuh waktu.
Cklek!
Gaara keluar dengan hanya lilitan handuk di pinggang yang membuat wajah Hinata memerah. Rambut maroon basahnya terlihat mempesona apalagi bentukan tubuh kokoh setengah telanjang yang...
... awalnya selalu membuat gugup tak nyaman, tapi karena kehadiran Rei rasa itu berubah menjadi perasaan gugup karena malu saja. Rambut maroon gelap Rei juga basah dengan tubuh terbungkus handuk putih dan ia masih terkikik entah karena apa. Tubuhnya begitu mungil pada Gaara, berbeda jika Hinata yang menggendongnya, bocah itu nampak lebih besar dan memberatkan sang ibu.
"Kaa-san, kamar madinya sangat menyenangkan! Disana sangat besar dan luas! Tou-san juga mengajariku bermain tembak-tembakkan dengan air!" ucap Rei girang sambil menangkupkan kedua tangan mungilnya memperagakan apa yang baru saja ia katakan.
Sifat galaknya benar-benar sirna. Rei bahkan sudah memanggil Gaara dengan panggilan akrab yang menunjukkan ia sudah mengakui sang ayah. Ia benar-benar tampak seperti anak kecil pada umumnya yang begitu senang ketika bermain bersama ayahnya. Mau tak mau membuat Hinata tersenyum lebar mendapati sikap bahagia sang putra, walau ada kesenduan disana. Ia hendak meraihnya untuk memakaikan baju namun dicegah oleh Gaara.
"Biar aku saja, kau mandilah," yang seketika membuat senyum itu pudar. Hinata merasa ada yang hilang dalam genggamannya.
Gaara berlalu untuk membawa Rei ke atas kasur king sizenya dan mulai menghandukinya agar tak kedinginan. Berdiri di tepi ranjang dengan tubuh setengah telanjang yang menampakkan punggung tegapnya pada Hinata.
"Kau belum menata barang?" Gaara menoleh ke arah Hinata yang termangu karena melihat tas besar yang ia bawa masih utuh dengan barang di dalamnya. Gaara berasumsi tindakan Hinata yang seperti itu seolah ia telah siap untuk pergi meninggalkannya kapan saja.
"A-ah, a-apa harus?" jawab Hinata gugup. Ia benar-benar tidak tahu.
Gaara menghela napas dalam, mencoba mengontrol emosinya. Ia tak mau membuat Hinata tersakiti atau Rei yang mulai 'menerimanya' ini kembali memusuhinya. Tapi jujur saja, mendapati sikap Hinata yang masih mengecewakannya itu membuat hatinya sakit.
"Tak apa, mandilah dulu," titahnya.
"T-tidak..." Hinata cepat-cepat membongkar isi tasnya untuk bersiap menatanya seperti yang Gaara inginkan.
"Mandilah dulu, biar aku-"
"Tak perlu!" Suara tegas Hinata muncul kembali meski hanya sekejap. Ia pun memejamkan mata dan menghirup napas dalam. Menghentikan membongkar isi tasnya, ia memilih untuk mengambil satu stel pakaian Rei dan minyak telon. Meski Rei sering protes ia tak perlu memakai 'benda untuk bayi' itu lagi, tapi suhu di Kiri yang sering dingin membuat Hinata masih rutin memberikannya ketika ia yang memandikan Rei atau sebelum tidur malamnya.
"T-tak perlu, biar aku saja nanti," Gaara yang sedang bermain-main dalam menghanduki Rei dengan menenggelamkan kepala bocah itu ke perutnya menoleh Hinata sejenak. Kepala Rei yang tertutupi handuk dan gusakan Gaara yang membuat ia terus tertawa menjadikannya tak menangkap pembicaraan canggung kedua orang tuanya.
"Hn," Gaara meraih minyak telon yang diletakkan Hinata tadi.
"Apakah ini untuk perut?" Hinata mengangguk.
"Nanti kau bisa menata barangmu di lemari sana," Gaara merujuk sebuah pintu ganda besar yang difungsikan sebagai lemari. Ia menghentikan gusakannya pada Rei untuk membuka minyak telon yang membuat bocah itu segera menyingkirkan handuk di kepalanya. Lalu mengoceh ria yang ditanggapi dengan gemas oleh Gaara.
"B-baiklah,"
"Ini adalah kamarku, kau bisa menyisihkan barang-barangku jika perlu. Jangan khawatir," Hinata tersenyum kecut mendengarnya.
"Hai'," meletakkan sebotol lotion di dekat Rei yang terlentang sambil meraih-raih Hinata ketika ibunya itu berada di jangkauannya.
Hinata hanya mencubit sebentar pipi Rei lalu beranjak ke arah kamar mandi dengan beberapa potong pakaian di tangan. Menoleh ragu ke arah Gaara, sebelum lenyap di balik pintu kamar mandi.
Selepas kepergian Hinata, Gaara terdiam sejenak sebelum melanjutkan memberi lotion pada putranya.
Selama makan malam pun Rei tak jauh-jauh dari Gaara. Pria itu ingin menikmati kebersamaan yang selama ini belum pernah ia rasakan bersama sang putra. Para maid masih menunjukkan ekspresi heran, tapi sama sekali tak ada yang berani berkomentar apalagi menggunjing di hadapan majikan mereka yang terkenal pendiam dan temperamental. Kepala pelayan yang lebih dekat dengan tuan rumah pun sedang tidak ada sehingga kehadiran Hinata dan Rei masih menjadi teka-teki bagi mereka karena tak ada yang berani bertanya. Hinata sendiri pun hanya bisa memberikan sedikit senyum enggan dan kikuk, juga lebih banyak diam. Gaara sibuk dengan Rei dan bocah itu pun mulai nyaman dengan keadaannya. Ia kadang menyodorkan suapan kepada sang ibu sebagai bentuk sayang, dimana ia sendiri mendapat suapan dari ayahnya. Walau awalnya Rei menolak untuk dipangku Gaara, namun saat ini ia terlihat menikmatinya. Menghabiskan makan malam yang luar biasa mewah dan berlimpah yang belum pernah ia rasakan. Meski masakan ibunya masih menduduki peringkat pertama dalam hatinya.
"R-rei-kun, apa belum mengantuk sekarang?" Hinata mencoba mengambil atensi Rei karena ia merasa 'terabaikan'. Gaara seolah ingin memonopoli putranya itu seorang, dan itu membuat Hinata semakin takut. Pria itu seakan ingin mengambil Rei darinya. Rasa takutnya beralasan, karena ia masih belum bisa menerima Gaara, sedangkan kini putranya terlihat begitu menikmati kebersamaan dengan ayahnya, juga karena sang ayah yang lebih memiliki segalanya dibanding ibunya.
"Hnggh..." mendengar pertanyaan Hinata, Rei menyadari bahwa tubuhnya begitu letih sehabis perjalanan jauh ditambah ia sangat kenyang saat ini. Sedikit menggeliatkan badannya yang pegal.
"Unn..." ia mengangguk sambil mengucek mata lucu.
Serasa mendapat angin segar, Hinata sekali lagi beranjak untuk meraih tubuh Rei namun kembali dihalangi oleh Gaara. Pria itu berdiri sambil menggendong tubuh kecil bocahnya.
"Tahan sebentar ya, Tou-san ingin membawamu ke suatu tempat," ia berkata di depan wajah mengantuk Rei yang tak memberinya respon tapi seolah mempersilakan saja apa yang akan dilakukan. Gaara menoleh ke arah Hinata untuk memberi pandangan sejenak agar mengikutinya.
Mereka berjalan ke arah sisi bangunan yang agak berjauhan dari tangga menuju sebuah lorong berjendela besar yang memperlihatkan taman dan kolam indah di luar. Mata Rei sedikit terhibur ketika mendapati pemandangan tersebut. Lalu langkah Gaara terhenti pada sebuah pintu kayu besar dan tanpa mengetuk, ia pun masuk begitu saja diikuti oleh Hinata.
Ketika pertama kali menapakkan kaki ke dalam, Hinata terpaku dengan mata terbelalak melihat penampang seorang pria tua yang terbaring lemah dengan alat monitor jantung di sampingnya. Tapi genggaman tangan Gaara pada tangannya membuat ia kembali melangkahkan kaki untuk mendekati sosok pria yang tak sadarkan diri di ranjang tersebut.
"Tou-san, aku pulang..." Hinata menolehkan kepalanya. Mendapati raut sendu pria itu yang sama sekali tak pernah ia lihat begitu dalam seperti ini.
Gaara mendudukkan diri dengan hati-hati di ranjang dan Rei ia dudukkan di sampingnya. Hinata hanya berdiri mematung di dekat kedua laki-laki itu. Mata Rei takjub mendapati rambut pria tua itu yang sangat mirip dengannya meskipun telah banyak ditumbuhi oleh uban.
"Tou-san?" ia menatap bingung ke arah Gaara untuk meminta penjelasan.
"Rei, perkenalkan, ini adalah Jii-san..." Gaara meraih tangan kecil Rei untuk menyentuhkannya pada punggung tangan Rasa.
"Jii-san?" Rei merasa takjub. Ternyata di dunia ini ia masih memiliki keluarga selain ibu dan ayah yang baru ia ketahui. Rei tak pernah bertanya lebih jauh mengenai keluarga, karena setiap ia mencoba bertanya, ibunya pasti akan menampakkan raut sedih yang membuatnya sakit. Dan ketika ia dihadapkan oleh sesosok pria tua yang terbaring menutup mata disana, mau tak mau membuatnya takjub karena masih memiliki seorang kakek yang memiliki warna rambut sepertinya.
Rei menangkupkan tangan mungilnya yang satu lagi dan membungkkkan tubuh kecilnya.
"Konbanwa, Jii-san. Hajimemashite... Hyuuga Rei desu," Gaara merasa itu salah.
"Tidak Rei, namamu Sa-"
"Gaara!" ucapan Gaara terhenti karena tangan mungil Hinata yang membalik cepat bahu Gaara. Memberinya sorot mata untuk melarang meneruskan ucapannya itu.
Tak peduli, ia meraih tangan Hinata di bahunya dan memaksa wanita itu duduk di dekat Rei.
"Namamu Sabaku Rei, ingat itu," ucapnya tegas tanpa melepaskan tangan Hinata yang mulai bergetar.
"Sabaku?"
"Hm, benar,"
"Tapi itu akan menjadi berbeda dengan nama Kaa-san," ucap Rei polos. Ia menatap ibunya tak mengerti.
Hinata tak bisa menampik ia tengah ketakutan.
"Tidak. Nama Kaa-san juga akan berubah nantinya," Gaara melirikkan mata ke arah Hinata yang gelisah.
"Benarkah?" binar senang Rei mau tak mau membuat rasa kebingungan semakin menyerang Hinata.
"Hm," Gaara mengacak pelan rambut Rei sebelum menatap kembali ayahnya.
"Mungkin Tou-san sudah mengetahuinya tujuh tahun lalu, tapi aku akan mengenalkannya sekali lagi. Dia adalah Hinata. Dia adalah wanita yang sering kuceritakan padamu," membawa tangan bergetar itu untuk ikut menangkup pada punggung tangan Rei dan Rasa.
"Sebentar lagi kami akan menikah," Hinata sontak melepaskan tangkupan itu untuk menariknya kembali. Mengusap tangannya dan menunduk dalam.
"Kaa-san?"
"D-daijobu..." memaksakan senyum pada bocah kecilnya untuk menghalau rasa khawatir yang mulai muncul di jadenya.
"Jadi... apakah kita benar-benar akan bersama? Rei dan Kaa-san akan tinggal disini bersama Tou-san dan Jii-san?" ucap Rei agak ragu pada Hinata yang dijawab oleh Gaara.
"Benar sekali. Kita akan terus bersama mulai sekarang," Gaara merengkuh tubuh Hinata dan Rei sekaligus. Menunduk, menghirup aroma di leher Hinata yang meremang.
"Kita akan terus bersama," lebih kepada Hinata tepat di telinganya.
"Kau tidak bisa pergi lagi, Hinata," berbisik untuk menekankan ucapan yang sekali lagi membuat Hinata merasa tak terima. Ia butuh waktu, Gaara juga sudah pernah mengikrarkan akan melakukan apapun untuk menebus semuanya. Tapi apa yang ia lakukan kini seolah ia ingin mengingkari semua ucapannya.
"Kembalilah. Rei pasti sudah mengantuk. Aku masih punya beberapa keperluan yang harus diurus," usai melepas pelukannya, Gaara masih mendapati mata amnethyst yang bergerak gelisah itu. Tapi tak lama karena Hinata segera bangkit untuk keluar dari ruangan tempat Rasa terbaring koma.
"Kaa-san, sebentar," Rei beringsut turun dari rengkuhan Hinata dan mendekatkan diri dengan Rasa.
"Jii-san, Rei pamit mau tidur ya..." sambil mengecup sisi wajah tirus di dekat alat bantu napas kakeknya singkat.
"Oyasuminasai..." Membuat sebuah gerakan kecil pada jari pria tua itu yang tidak disadari oleh mereka. Hati Gaara menghangat, namun Hinata semakin merasakan suatu tekanan. Gaara mengacak rambut Rei dan menciuminya gemas, sedang Hinata menatap lamat pria tua yang saat ini begitu kurus dan pucat tersebut barang sejenak. Hatinya berdesir sakit nan iba. Begitu ingin membuat orang yang hanya pertama kali ia temui 7 tahun lalu itu bisa membuka mata. Dia adalah pria yang tak banyak bicara namun sorot mata hangatnya terlihat begitu menyukai kebersamaannya dengan Gaara. Wanita itu mengeratkan bibir, lalu membungkuk singkat sebelum membawa Rei pergi.
Selepas kedua orang berharganya dari sana, Gaara menelpon sekretarisnya di Kiri untuk menguruskan semua yang ia tinggalkan, menginstruksikan beberapa hal yang perlu segera dilakukan. Mengirim pesan singkat ke Kankurou agar mencari pengganti dirinya sebagai pimpinan di Sabaku Smart Digital secepatnya. Malas menanggapi jika anikinya itu bertanya berbagai hal jika ia memilih menelpon. Gaara menonaktifkan ponselnya sebagai bentuk penolakan terhadap semua pesan dan panggilan, juga ketidakpeduliannya terhadap hal lain selain Hinata dan Rei sekarang. Gaara ingin istirahat, keluar dari rutinitas yang sebenarnya setiap waktu membuatnya sesak, tapi selalu ia pilih sebagai bentuk pelarian semenjak ayahnya jatuh koma beberapa tahun lalu.
Sekarang ia ingin memfokuskan diri untuk mendapatkan Hinata. Gaara masih tak tahu kenapa wanita itu seolah terlihat belum menerimanya. Ia sudah menjelaskan kesalahpahaman mereka dan Gaara yakin Hinata sudah paham. Tapi kenapa? Kenapa wanita itu belum menerimanya? Apakah ia perlu menjelaskan kepadanya secara gamblang?
"Tou-san..." Gaara menatap sendu ke arah sang ayah yang selalu menjadi tempat ia mencurahkan segala bebannya selama ini. Pria itu tak tahu lagi ingin menceritakannya kepada siapa, ia tak punya rasa percaya yang cukup pada orang lain untuk menceritakan masalahnya. Hanya bercerita pada Rasa yang sedang koma, terkadang bisa membuat ia sedikit tenang dan meringankan beban yang ada. Namun ketika ia telah menemukan Hinata, Gaara seolah putus asa karena tidak bisa mendengar suara sang ayah untuk memberikan nasihat atau arahan pada dirinya saat ini.
"... Aku telah membuat dosa yang begitu besar. Aku telah sangat menyakitinya. Dan sepertinya ia belum benar-benar memaafkanku..." Gaara beringsut mendudukkan diri ke lantai untuk bisa meraih tangan kurus itu pada dahinya. Mencoba menghilangkan rasa sakit dalam batinnya. Semua belum terselesaikan setelah 7 tahun ini. Keadaan masih begitu samar dan terasa sulit. Ini tidak mudah dan Gaara benar-benar merasa sendiri.
"...Tapi aku ingin memilikinya, Tou-san. Aku benar-benar mencintainya..." ia menghembuskan napas panasnya yang begitu lelah.
"... Apa yang harus kulakukan?" jemari Rasa bergerak kembali. Gerakan kecil yang tak bisa Gaara sadari karena keadaannya yang terguncang. Ia lama terdiam mendekap tangan ayahnya, sebelum beranjak pergi untuk menyelesaikan urusannya yang lain. Tanpa tahu bahwa setetes air keluar dari sela sudut mata pria tua itu.
TBC
Sekali lagi gomenasai...!
Uma gaada niatan bikin sampai lebih dari 5 chapter, tapi apa boleh buat. Kemarin udah bikin dan sampai 70 lembar lebih T_T
Jadi Uma potong saja menjadi 3 chapter dan finalnya akan ada di chappy 7
Hontou ni gomenasai...
Semoga Reader-sama tak protes, mohon reviewnya juga sebagai bahan masukan, dan tetap beri semangat ke Uma :))
*maksa lu!
See you next!
