Bisnis.

Chapter 4. Rekruitmen Taufan dan Thorn

Sebelum tidur di pagi hari itu Solar mendapatkan sebuah ide yang ia rasa dapat menaikkan penjualan di kedai mereka. Namun untuk melaksanakan rencana itu, ia memerlukan bantuan.

Karena itulah Solar setelah cuci muka dan gosok gigi meninggalkan kamarnya dan berjalan menuju kamar lain yang berada berdekatan.

"Kak Ufan?" panggil Solar sembari mengetuk pintu kamar itu.

Tidak ada jawaban.

Ogah menungu lebih lama, Solar langsung membuka pintu kamar dan melongokkan kepalanya melalui celah bukaan daun pintu kamar itu. "Kak Ufan!" teriak Solar ketika mendapati kakaknya itu sedang berbaring di atas ranjang dengan bercelana pendek saja sambil mendengarkan musik melalui headphone yang terpasang di telinga.

"Eh? Solar! Ada apa!" Taufan tersentak kaget melihat kepala Solar menyembul dari balik daun pintu kamarnya dan berteriak balik.

"Lepas headphone-nya dulu!" sahut Solar sembari menunjuk ke arah telinganya sendiri.

Menuruti saran adiknya, Taufan melepaskan headphone di telinganya. "Ada apa Sol?" Taufan bertanya dengan suara yang lebih pelan sembari menggulung headphone-nya itu dan menaruhnya berserta ponselnya di atas sebuah meja di sisi ranjangnya.

Solar melangkahkan kaki kedalam kamar keramat itu. Gempa, dan terutama Halilintar melarang semua adik-adiknya untuk sembarangan masuk ke dalam kamar yang dihuni oleh tiga orang bersaudara kembar bermarga BoBoiBoy itu. Hanya Taufan saja yang tidak peduli akan siapa yang boleh dan tidak boleh memasuki kamar itu.

Kini Solar sudah berada di dalam kamar milik Taufan yang berbagi dengan Halilintar dan Gempa. Beruntung kedua kakaknya yang lain itu sedang menjaga kedai sehingga tinggalah Taufan seorang diri saja. "Aku ada ide lagi Kak," ujarnya sembari mendudukkan diri di atas ranjang milik Taufan.

"Sebentar." Taufan beranjak bangun dari ranjangnya dan meraih sebuah baju dari dalam lemari. "Nah, apa idemu, Sol?" tanya si kakak sambil mengenakan baju lengan pendek yang baru saja diambilnya.

"Memang kenapa kak kalau telanjang dada begitu?" Solar bertanya balik melihat kakaknya yang seperti salah tingkah

Taufan langsung cengengesan dikomentari begitu dan menggaruk pipinya yang masih gembil di usianya yang lebih dari duapuluh tahun itu. "Aku merasa agak risih saja kalau telanjang dada begitu di depan adik-adiku ... beda perkara kalau aku lagi sendirian atau mau tidur."

Solar menggelengkan kepalanya saja. "Sayang ... padahal badan Kak Ufan lumayan bagus ..."

Mendengar pujian Solar tidak membuat Taufan menjadi semakin salah tingkah ataupun senang, sebaliknya, si kakak malahan menjadi curiga. "Oke ... Biasanya kalau kamu memuji ini ada buntutnya, Sol ..."

"Oh, ngga koq, kak... Justru aku kagum lho... Kak Ufan ngga pernah olahraga, beda dengan Kak Hali, atau Blaze... Kak Ufan ngga pakai olahraga saja juga sudah terlihat..." Solar berhenti sejenak memikirkan kata-kata yang tepat diucapkan untuk memuji badan kakaknya itu. "Wow ..."

Taufan mengangkat sebelah alisnya mendengar komentar adiknya itu. "Maksudmu?"

"Duh, masa Kak Ufan ngga ngerti sih? Aku kan sering liat kalau Kak Ufan stretching pemanasan sebelum main skateboard ngga pakai baju. Badan Kak Ufan keren, tahu ... Dibilang langsing seperti papan cucian ngga, dibilang berotot kekar juga ngga ... Yah ideal, idaman para fans Kak Ufan."

Taufan terbengong-bengong mendengar pujian dan deskripsi Solar. "Masa iya?" tanya si kakak sembari menyibakkan bajunya yang baru saja dikenakannya. Sejenak dicobanya untuk mengencangkan otot-otot di bagian pundak dan lengan sembari menahan napas untuk menarik perutnya agak cekung kedalam.

Sebuah senyuman mengulas di wajah Solar. "Bagus kan kak begitu... Coba Kak Ufan peragakan kalau lagi stretching sebelum main skateboard."

Menuruti saran Solar, Taufan pun mencoba dan memperlihatkan beberapa gerakan pemanasan yang biasa ia lakukan sebelum main skateboard seperti menarik lengannya ke sisi yang berlawanan, mengangkat kedua tangannya keatas dengan posisi telapak tangan menghadap keatas setinggi mungkin.

"Betul dugaanku, Kak ... Sekarang aku tahu mengapa penggemar kakak bisa jadi tergila-gila."

Taufan menghela napas panjang dan kembali mengenakan baju yang tadi dilepaskannya. "Oke, sekarang aku jadi makin penasaran... Apa rencanamu sebenarnya, Solar?" tanya Taufan dengan raut wajah yang serius.

"Ini rencanaku, kak ..."

... ... ...

Dari ekspresi wajah Taufan yang tercengang kaget dan terbengong, bisa jadi ide Solar kali ini terlalu radikal. Jarang sekali Taufan bisa sampai begitu apabila ada yang meminta bantuan darinya. Hampir semua permintaan tolong adik-adiknya itu bisa dipenuhinya karena sifat Taufan yang fleksibel dan ringan tangan. Tapi mungkin kali ini permintaan tolong Solar terlalu ekstrim baginya.

"Solar, kamu gila ya?" Taufan menggelengkan kepalanya, ia masih belum sepenuhnya percaya dengan apa yang baru diutarakan Solar dan sangat tidak percaya bahwa ide Solar itu melibatkan dirinya sendiri, Halilintar, Blaze dan Thorn. "Thorn atau Blaze masih gampang aku bujuk, Sol ... tapi Hali ... kamu mau bujuk dia?"

"Nah, justru disitu aku butuh bantuan Kak Ufan. Lagian kan Kak Ufan yang paling dekat umurnya dengan Kak Hali."

"Umur, ya," sahut Taufan sembari menghempaskan dirinya diatas ranjang milik Solar. "Otot, ngga... Aku ngga mau dipasung diranjang lagi oleh Halilintar atau Gempa!"

"Separah itukah?"

"Lain kali coba kamu kuikat di ranjang satu hari penuh biar tahu rasanya, Solar," gerutu Taufan sambil bergidik merinding.

Solar meneguk ludahnya membayangkan dirinya yang terkena hukuman seperti itu. Namun ia tidak mau menyerah begitu saja dan beralasan balik. "Tapi kan Kak Ufan larinya lebih cepat daripada Kak Hali-"

"Ya dan setiap kali aku lari pasti tertangkap juga koq... Jangan nekat begitu deh, Sol... Serius, aku masih sayang nyawa." Kali ini Taufan malah terlihat seperti memelas.

Solar menghela napas panjang mendengar penolakan Taufan yang ia harap bisa diandalkan. "Sayang... Padahal bagian Kak Ufan lumayan besar, kalau berhasil," ujar si adik sembari berdiri dan melangkah keluar dari kamar.

Kedua kelopak mata Taufan membuka lebar dan kedua alis matanya terangkat ketika mendengar kata-kata Solar. "Tunggu!" seru Taufan memanggil dan menghentikan langkah adiknya itu. "Berapa bagianku?"

"Oh, yah ... lumayan ... 15 persen."

"Terlalu kecil untuk resiko sebesar itu ..."

"Sebut saja harga Kak Ufan berapa... Aku terbuka negosiasi kok."

"50 persen."

Solar menggelengkan kepalanya sembari kembali duduk di atas ranjang Taufan. "Terlalu besar. Aku yang malah ngga ada untungnya. "Bagaimana 20 persen?"

"Kecil sekali Sol ... belum resiko kalau ada apa-apa ..." Taufan menawar balik dengan wajah yang dipasang sesendu mungkin. "Tegakah kau menghargai diriku ini sebesar 20 persen saja? Kan kamu yang bilang badanku ini bagus ..."

Solar memutar bola matanya mendengar komentar Taufan. 'Masih lebih bagus Kak Hali... Tapi aku memang ngga ada bahan lain yang bisa kumanfaatkan...' Ia membatin dan berpikir sebuah harga untuk jalan tengah negosiasinya dengan Taufan."25 persen ...?"

Sejenak Taufan terdiam. Penawaran Solar untuk dirinya, lebih tepatnya badannya tidak terlalu tinggi. Namun Taufan juga tidak bisa menolak tawaran uang yang begitu mudah akan diperolehnya dengan usaha yang minimal. "Oke, aku setuju, 25 persen."

'YES!' teriak Solar dalam hati sembari mengulas senyum yang sangat lebar. "Senang berbisnis dengan Kak Ufan!" ujarnya lagi sembari menyalami tangan kakaknya dan berdiri dari ranjangnya. "Sekarang Thorn ..."

"Selamat berjuang..."

.

.

.

Kembali Solar mengetuk sebuah pintu kamar yang jaraknya berdekatan. Kali ini kamar tidur yang biasa dihuni oleh kedua kakaknya, Blaze dan Thorn. "Kak Thorn? Sudah bangun?"

"Solar? Masuk saja, ngga dikunci koq" Sebuah suara menjawab dari dalam.

"Kakak lagi ngapain?" tanya Solar sembari melongokkan kepalanya kedalam kamar yang biasa dihuni oleh Blaze dan Thorn itu.

Thorn yang siang itu berbaju armless hitam terlihat sedang duduk bersila di atas lantai dan bersandar pada ranjangnya. Nampak bertumpuk-tumpuk buku dan sebuah gelas berisi es jeruk berada di sisinya. "Aku lagi baca-baca komik lama... Banyak yang aku beli dobel ternyata," jawab si kakak sembari menengok ke arah adiknya yang tengah melangkah masuk ke dalam kamar.

"Mau kakak apakan komik yang terbeli dobel-dobel itu?" tanya Solar sembari memperhatikan tumpukan komik yang sengaja dipisahkan oleh Thorn.

"Paling aku berikan ke anak tetangga yang masih kecil (Ingat BoBoiBoy Season 1? Bayi yang melihat BoBoiBoy membuat payung petir?)," jawab Thorn. "Sayang kalau dibuang... Pasti masih ada yang butuh." Suka menolong dan peka terhadap orang yang kesusahan adalah salah satu sifat unik Thorn yang tidak dimiliki oleh saudara-saudaranya yang lain.

Solar menghela napas panjang dan dalam hatinya berharap rencananya berhasil. "Kak Thorn, bagaimana menurut kakak usaha kita semalam?"

Mendengar pertanyaan itu, Thorn langsung menghentikan kegiatan menyeleksi buku komiknya. Ia meraih segelas es jeruk yang berada dekat tumpukan komik itu dan meneguknya. "Hebat!" puji si kakak sembari tersenyum lebar. "Belum pernah kedai kita seramai itu."

Mendegar pujian itu Solar terkekeh saja sambil menggaruk-garuk kepalanya. "Iya, aku juga ngga sangka ideku bakal laku begitu ... tapi lain kali jangan pegang-pegang benda yang kamu sebut balon itu ya kak..."

"Oh.. itu." Thorn langsung tertunduk dengan wajah yang memerah ketika ia memunguti benda-benda seperti balon itu tadi pagi "Aku kira itu balon ... ternyata bukan."

Solar meneguk ludahnya sekaligus sweatdrop melihat kakaknya tersipu malu. "Ah ya ... maaf ... Aku lupa bilang sama kamu sebelumnya kak ..."

Thorn mendehem dan menengok ke arah adiknya. "Tumben kamu sudah bangun jam segini, Sol? Kukira kamu bakal tidur sampai malam," tanya si kakak sekaligus mengalihkan topik pembicaraan.

Sebuah senyuman mengulas di bibir Solar sembari menggelengkan kepalanya. "Kak Thorn lupa? Aku kan bisa tidur satu kali dalam dua malam."

"Kamu benar-benar kebalikan Ice ya?"

"Jangan salah kak. Justru Ice lebih kuat lagi bergadangnya. Tapi dia mesti tidur panjang dulu."

Thorn memutar bola matanya keatas dan menghela napas panjang. "Kenapa adik-adikku ngga ada yang normal?"

"Umur seperti kakak tapi ngga tau kondom lebih aneh lagi lho."

"Ish, jangan diungkit!" ketus Thorn.

Solar hanya tertawa saja melihat reaksi Thorn yang wajahnya kembali tertunduk malu. 'Ekspresi wajah yang sempurna ...,' bisiknya dalam hati.

"Kamu ada rencana apa lagi untuk kedai, Sol?" tanya Thorn sembari mendorong dirinya berdiri dari duduknya di lantai untuk duduk diatas ranjangnya dimana Solar sudah duduk.

"Banyak kak... Tapi aku perlu bantuan... Kak Ufan sih setuju, tinggal kamu sama Kak Blaze saja yang belum." Solar melipat kedua tangannya di depan dada dan mengeluh dengan dramatisnya. "Tanpa kakak-kakak semua rencanaku pasti gagal kali ini..."

"Eh? Koq bisa? Katakan saja, Sol. Aku siap membantumu!" Thorn menatap adiknya yang terlihat sedang kesusahan itu sembari meletakkan tangannya di atas pundak adkinya itu.

Solar mendundukkan kepalanya dan menghela napas panjang, seakan-akan dirinya tengah memikul beban dunia yang sangat berat bagaikan Dewa Atlas. "Bebanku benar-benar berat, Kak Thorn ... aku ngga mau Kak Gempa kecewa ..."

"Apapun akan kukerjakan, Sol. Selama itu bisa membantumu menjadikan kedai kita ramai kembali. Percayalah padaku!"

'Ini dia, kena kau Kak Thorn!' pekik Solar di dalam batinnya. Thorn pun tidak melihat sekilasan seringai setan yang bagaikan kilat melntas di bibir Solar.

Perlahan-lahan Solar mengangkat kepalanya dan dengan kedua matanya yang nanar ia menatap Thorn. "Ini rencanaku kak ..." Solar mendekatkan mulutnya pada telinga kakaknya.

... ... ...

"EEEHHHH?!" Thorn tersentak kaget mendengar rencana Solar itu. Wajahnya pun langsung merah padam.

"Aku serius, kak... Aku perlu bantuan kakak," pinta Solar dengan kedua matanya yang berkaca-kaca.

Thorn pun mulai berkeringat dingin melihat tatapan Solar yang begitu pilunya. Hatinya tidak tahan melihat adiknya bersedih, namun di satu sisi rencana adiknya itu terdengar terlalu ekstrim baginya.

"Kak Thorn bilang apapun akan kakak perbuat... Tolonglah aku, kak... Coba Kak Thorn bayangkan bagaimana kecewanya Kak Gempa kalau aku gagal." Bahkan bibir Solar nampak mulai gemetaran. "Kalau kedai kita bangkrut... Kita mau makan apa kak?... Kak Thorn mau dikirim kembali kerumah? Ngga ada teman, sekolah ngga nyaman."

Thorn menggelengkan kepalanya perlahan dan warna mukanya kembali berangsur normal. Namun keringat dinginnya masih mengucur. "Aku ... ngga mau pulang kembali ke rumah ... Papa sama mama kan diluar negeri terus ..."

"Makanya kak ... tolonglah ... bantu aku, ya kak?" Solar mengamit kedua tangan kakaknya dan mendekapnya di dadanya. "Kumohon, Kak Thorn ..."

Tidak tahan lagi dengan lirihan memelas adiknya itu, Thorn akhirnya menganggukkan kepalanya. "Oke... Solar... Aku mau," jawab Thorn dengan sangat berat hati.

Solar langsung melompat dan memeluk kakaknya yang polos itu. "Terima kasih Kak Thorn... Harapan hidupku tumbuh kembali." bisiknya dengan suara yang lirih. 'Sekarang tinggal Blaze ... dan Kak Hali ...,' Bisik Solar dalam batinnya.

.

.

.

Bersambung.