"Blaze dan Ice kok lama, ya?" celetuk Taufan yang sedang mengaduk isi panci yang mendidih di dapur. "Kemarin kamu sama Blaze pulang sebelum Asar, 'kan, Gem?"

Gempa melirik jam dinding. Sudah hampir jam empat sore dan dua adik mereka belum tampak batang hidungnya. "Iya nih. Apa mungkin hari ini lebih ramai dari kemarin?"

Taufan menyendok sedikit kuah yang dimasaknya, mencecapnya, lalu meludah ke wastafel. "Semoga, ya. Mungkin Blaze ada ide mendadak buat promosi Kokotiam. Biasa 'kan dia suka bikin kejutan."

Gempa tersenyum, setuju di dalam hati. "Iya. Paling nanti juga waktu mau buka mereka sudah pulang."

Namun, sampai lima belas menit sebelum azan Magrib berkumandang, keduanya tetap belum pulang. Tok Aba dan kelima saudara kembar sudah berkumpul di ruang makan.

"Jangan-jangan Kak Ice pingsan di jalan saking nggak sahur ..." seloroh Duri, matanya mulai berkaca-kaca.

"Kalau kayak begitu, mestinya Blaze telepon kita minta bantuan, lah. Lihat sendiri tadi pagi nggak ada yang kuat ngangkat badannya Ice," balas Halilintar yang meski badannya terlatih beladiri juga harus mengakui dia tak sanggup.

"Coba Kakak telepon?" usul Taufan. "Setahuku Blaze kasih nada dering khusus buat Kak Halilintar."

"Ke mana cucu-cucu Atok ini?" gumam sang kakek sambil melayangkan pandang ke luar jendela. Matahari sudah hampir terbenam.

Solar di kursinya juga tampak gelisah. Dia sendiri menunggu kepulangan kedua kakaknya dari tadi, tapi sepertinya tidak tepat kalau disampaikannya dugaannya sekarang, saat mereka belum pulang. Lagipula belum ada kabar dari Dokter Kaizo.

Bunyi sambungan terdengar dari ponsel Halilintar yang memasang mode loudspeaker. Semuanya menunggu. Sampai sambungan habis, panggilan itu tidak diangkat.

"Aneh," gumam Taufan, yang segera menghubungi nomor Ice. Hasilnya sama saja. Halilintar mengulangi panggilannya ke nomor Blaze, tapi tidak tersambung dan malah terdengar suara operator.

"Kok ponselnya mati?" Si sulung keheranan. "Fan, coba kamu telepon."

Taufan mencoba lagi menelepon Ice. Gempa dan Solar segera membuka ponsel masing-masing sementara Duri menatap dengan panik dan bingung.

"Medsosnya Blaze terakhir dilihat jam 14.45," ujar Gempa yang berusaha tampak tenang.

"Kak Ice jam 11.03," sambung Solar dengan dahi berkerut.

Duri bersuara, "Kak, kita datangi saja ke kedai? Siapa tahu ponsel mereka habis baterainya?"

"Tapi ke nomor Ice yang pertama tadi masih nyambung, kok?" balas Taufan yang sudah mencoba menghubungi nomor Blaze juga, dan tidak ada yang tersambung.

"Pertama dua-duanya tersambung tapi nggak diangkat. Yang kedua nggak ada yang tersambung. Kebetulan yang agak mencurigakan," tutur Solar menganalisis. "Seperti usul Kak Duri, kita ke kedai saja."

"Aku dan Taufan saja. Kalian tetap di rumah, siapa tahu mereka pulang," ujar Halilintar. "Ayo, Fan. Kamu bawa sepedamu, aku bawa motor Tok Aba. Atok, pinjam kunci, ya."

Sang kakek hanya bisa mengangguk karena cemas.

"Kenapa kamu bawa motor, Kak?" tanya Taufan sambil berdiri dari kursi, menelengkan kepala tak paham.

"Kalau memang Ice pingsan, mana kuat kita bawa pulang di boncengan sepeda? Kamu mau sepedamu gembos keberatan muatan?" balas Halilintar galak, bergegas ke kamar Tok Aba untuk mengambil kunci motor.

Di antara tujuh bersaudara memang baru Halilintar yang sudah bisa berkendara motor*. Si sulung pernah minta kursus kilat bermotor kepada Amato waktu ia dan sang ibu pulang. Sepeda motor di rumah itu memang hanya satu dan biasanya Tok Aba yang mengendarai.

Taufan sudah menunggu di ruang tamu ketika Halilintar kembali membawa kunci. "Pakai jaket, Fan. Anginnya dingin."

Solar tersentak menyadari sesuatu. "Kak, bawa jaket lagi, ya."

Taufan bergumam-gumam sambil mengambil jaketnya dari kamar, "Oiya, Blaze bajunya lengan buntung, ya. Bisa masuk angin dia kalau sampai malam di luar ruangan. Gem, pinjam jaketmu ya."

Gempa menyahuti, "Ya, Kak."

"Kak, aku ikut!" Solar berseru, tiba-tiba bangkit dari kursi.

Halilintar menoleh dengan raut kesal. "Buat apa? Kamu di rumah saja! Kalau beneran Ice pingsan toh kamu nggak akan kuat bantu!"

Dibentak begitu, Solar terdiam. Memang benar badannya yang ringkih tak akan bermanfaat kalau memang otot yang diperlukan. Tapi firasat Solar berkata bahwa otak juga dibutuhkan kali ini. Kalau memang iya, pastinya Solar perlu makan dulu tak seperti kedua kakaknya yang mau langsung pergi sebelum buka puasa. Dia mengalah dan membalas,

"Ya sudah. Kalau ada apa-apa, langsung berkabar ke kita, ya."

"Sudah tentu, lah!" balas Halilintar agak sewot. Solar memperlama gerak mereka. "Ayo, Fan. Kami pergi dulu. Assalamualaikum."

.

.

.

.

.


.

.

.

BoBoiBoy (c) Animonsta Studios

Bridge over Troubled Water (c) Roux Marlet

-Penulis tidak mengambil keuntungan material apa pun dari cerita ini-

Alternate Universe, Elemental Siblings without super powers

Family, Drama, Suspense

.

.

.


.

.

.

.

.

Chapter 5: The Truth

Chapter warning: lengthy chapter, over 8.000 words.

.

.

.

Satu jam sebelum seisi rumah berkumpul di meja makan sore itu, Solar bertanya pada kakeknya di ruang tamu, "Tok Aba, Atok ada minum obat apa sih yang diminum tiap subuh itu?"

"Ooh, itu. Obat tiroid," sahut sang kakek yang sedang menonton televisi.

"Tiroid?" ulang Solar, merasa pernah baca nama itu di buku anatomi.

"Itu nama kelenjar di leher sebelah sini," Tok Aba menerangkan, menunjuk pangkal leher bagian tengah, persis di atas tulang selangka. "Atok kekurangan hormon tiroid, jadi harus minum obat."

"Begitu ya, Tok," gumam Solar sambil mengamati kuku tangan sang kakek. "Sudah lama, Tok?"

Tok Aba berpikir-pikir. "Wah, lumayan. Dua puluh tahun ada, sejak waktu Amato belum menikah."

Solar mengerjapkan mata. "Itu menurun nggak ya, Tok?"

"Atok nggak tahu. Amato nggak ada sakit tiroid. Ayah dan kakek Atok nggak pernah ada yang sakit ini." Tok Aba tersenyum lembut. "Kamu nanti belajar tentang penyakit dan obat-obatan juga, ya, Solar?"

"Betul, Tok." Solar tiba-tiba dapat ide. "Aku boleh wawancara Atok ya buat tambah ilmu? Kalau sakitnya Tok Aba, gejalanya apa?"

"Hm … kulit Atok kering, lalu kaki dari lutut ke bawah sering bengkak."

Solar merenung. Sepertinya dia memang harus menunggu jawaban ahlinya sebelum bilang apa pun pada seisi rumah.

.

.

.

.

.

Halilintar dan Taufan keheranan mendapati Kokotiam kosong. Sepeda Blaze dan Ice masih ada di parkiran, terkunci. Di meja kedai ada dua buah cangkir kosong dan sekaleng serbuk cokelat yang belum dibuka.

"Mereka ada di mana?" Taufan menyuarakan isi pikiran Halilintar.

"Coba telepon lagi," ujar sang kakak sambil mengeluarkan ponsel. Dia dan Taufan sama-sama mencoba, tak ada yang tersambung. Kemudian ditunjuknya meja itu.

"Seperti ditinggal begitu saja," komentarnya datar, tapi Halilintar mulai merasa was-was. "Tak mungkin mereka meninggalkan aset di atas meja kecuali ada sesuatu yang gawat."

"Betul, Kak. Jangan-jangan Ice betulan pingsan karena nggak kuat puasa, lalu Blaze telepon ambulans? Dan mereka sekarang di rumah sakit?" usul Taufan dengan dahi berkerut. Sekali ini dia tampak serius, tak seperti biasanya.

"Lalu kenapa Blaze nggak telepon kita?" balas si sulung. "Oke, misalnya saja memang ponsel dia dan ponsel Ice mati. Di rumah sakit masa nggak bisa pinjam telepon?"

"Iya juga, ya ..." Taufan memandangi sekeliling. Saat itu azan Magrib mulai berkumandang. "Kita pulang dulu Kak, buka dulu, sambil kabarin yang lain. Nanti kita coba cari sama-sama."

Orang-orang yang ada di rumah tampak cemas ketika mereka berdua pulang. Buka puasa dan salat Magrib dijalani dengan masing-masing berusaha untuk tenang. Semoga saja perkiraan Taufan memang benar dan saat ini Blaze juga sedang buka puasa di kantin rumah sakit atau di mana pun itu, menunggui Ice yang kemungkinan sedang diinfus karena dehidrasi.

"Gimana? Kita telepon klinik dan rumah sakit terdekat satu per satu?" lontar Gempa yang sudah kelihatan tegang.

Halilintar mengangguk. "Kamu dan Solar coba telepon, pakai telepon rumah dan ponsel saja. Sambil jalan, aku dan Taufan cari di sekitar Kokotiam."

"Aku ikut cari," Solar menyela. "Kak Duri bisa bantu Kak Gempa telepon."

Gempa menggeleng, dia sudah melihat wajah pucat Duri yang pastinya tak bisa diajak berkomunikasi lurus-lurus saat ini. "Duri bantu Atok menyiapkan minuman panas dan makanan berbuka. Siapa tahu mereka belum bisa buka puasa. Kamu nggak harus ikut, Solar."

Solar membantah, "Tapi Kak, siapa tahu aku bisa dapat petunjuk."

"Kokotiam kosong, ada dua cangkir kosong di atas meja. Kurang apa lagi?" Halilintar mulai tak sabar. "Sudah kufoto, bahkan. Kalau kamu mau ke Kokotiam saja nggak apa-apa. Tapi jangan berkeliaran selain ke situ!"

"Kakak bilang cangkirnya kosong. Basah atau kering?" tantang Solar. Dia menahan diri untuk tidak menyeringai puas melihat Halilintar tak langsung menjawab.

"Sepertinya kering. Kaleng cokelatnya masih utuh," si sulung akhirnya bersuara. Untung sekali Solar tidak sedang pamer inteligensi di saat genting begini, bisa dipitingnya kalau si bungsu berani berbuat begitu. "Cangkirnya seperti belum terpakai."

"Nggak ada benda apa pun lainnya di Kokotiam? Yang tidak pada tempatnya?" selidik Solar lagi.

Kedua kakak tertua sama-sama berpikir. Saat itu ponsel Solar berdering, membuat semua orang terlonjak kaget.

"Fang ..." gumam si bungsu, segera melipir ke teras. "Halo?"

Taufan mengutarakan isi pikiran, "Sepertinya nggak ada yang lain yang nggak pada tempatnya, Kak?"

Halilintar tiba-tiba menjentikkan jari. "Kotak masker," sebutnya, melayangkan pandangan tajam ke arah Gempa. "Stok masker medis yang kamu taruh di kedai, Gem, tadi nggak ada di atas meja."

"Seingatku isinya kemarin masih banyak?" Gempa berusaha mengingat-ingat. "Masa habis dalam sehari?"

"Kita cek ulang Kokotiam, baru mencari di sekitar," Halilintar memutuskan.

"Perbekalan sudah siap," ujar Tok Aba yang keluar dari dapur bersama Duri, kelihatan jelas anak itu habis menangis. Mereka menenteng botol termos dan rantang makanan. Halilintar dan Taufan masing-masing menerima bekal itu.

"Terima kasih. Kami berangkat lagi, Tok."

"Terbaik lah Duri. Kami pamit ya. Assalamualaikum."

"Kak, tunggu!" seru Solar yang sudah kembali dari teras. Ponselnya masih di samping telinga, matanya berkedip-kedip cepat. "Kak Gempa tetap telepon rumah sakit, tapi minta ambulans. Dan kita perlu telepon polisi."

"Hah?"

"Apa, Solar?"

"Kenapa begitu?"

"Dokter Kaizo sudah menghubungi semua UGD rumah sakit dan klinik di wilayah kita, dan dalam enam jam terakhir nggak ada ambulans yang dikirim ke Kokotiam. Kak Blaze dan Kak Ice nggak pergi ke rumah sakit atau klinik."

"Jadi ke mana?" seru Halilintar, kaget bukan kepalang.

Solar mengernyit sambil menarik napas dalam, "Nggak tahu. Mereka hilang. Makanya kita perlu telepon polisi, lalu ambulansnya tetap perlu. Kak Ice sakit ... dan sakitnya berbahaya."

.

.

.

.

.


.

.

.

.

.

Blaze tak bisa melihat dengan jelas daerah sekitarnya karena tubuhnya dipikul dalam posisi tengkurap, namun bisa didengarnya debur ombak yang memecah dari arah sebelah kirinya. Mereka rupanya sudah dekat dari laut, makanya para penjahat ini membawanya dan Ice begitu saja, tanpa menggunakan kendaraan lagi. Bagaimana caranya membawa mereka berdua dari Kokotiam tadi? Seharusnya ada kendaraan untuk itu. Kokotiam cukup jauh di tengah Pulau Rintis kalau ditempuh dengan berjalan kaki.

"Bagus. Kalau kamu tenang dan menurut, mungkin akan kupertimbangkan untuk melelangmu lebih mahal," ujar Retak'ka dengan suara lembut, mendapati Blaze tidak bertingkah lagi. Tadi saat Ice pingsan di gendongan Gogobi, Blaze meronta hebat sekali sampai Retak'ka merasa terganggu. Direnggutnya tubuh Blaze dari atas bahunya lalu bicara di depan mukanya,

"Kau diam atau kusuruh Ayu Yu memperkosa adikmu di sini. Dia bisa melakukannya tanpa ribut-ribut."

Ancaman yang sukses membuat Blaze tak berkutik. Dia bersyukur Ice sedang pingsan sehingga tidak mendengar ancaman mengerikan itu. Tapi pingsannya Ice juga membuatnya cemas. Lemasnya mendadak, napasnya masih tersengal sampai sekarang, dan entah mengapa wajahnya seperti agak bengkak. Blaze merasa pingsannya Ice tak hanya disebabkan lapar dan haus dan habis muntah. Para penjahat ini tahu salah satu tawanannya pingsan, tapi membiarkan saja. Mereka berjalan tanpa bercakap-cakap, semuanya tidak mengenakan masker, memilih jalan di bawah bayang-bayang pohon.

Blaze hanya bisa berdoa. Apa lagi yang bisa dilakukannya? Alat komunikasi diambil dan dimatikan, tak ada yang bisa menelepon atau melacak mereka dengan GPS. Kedua tangan dan kaki sama-sama terikat, Ice dalam kondisi buruk, dia sendiri dibungkam mulutnya. Blaze tertawa pasrah dalam hati, teringat ajaran Kak Gempa bahwa anak saleh akan banyak pahalanya. Dia agak menyesal kurang rajin mengaji bersama kakak-kakak yang lain meski tak pernah telat salat atau bolong puasa. Tidak ada pahala menantinya di seberang lautan kalau dia jadi dijual kepada om-om mesum. Masih bagus kalau cuma diminta bekerja angkut-angkut barang, daripada bekerja di ranjang …

Sebuah suara mengusik keheningan ganjil itu. Seperti nada dering ponsel—bukan, tapi bunyi alarm, asalnya dekat dari telinga Blaze dan iramanya sangat riuh. Kelima penjahat berhenti berjalan dan saling berpandangan. Retak'ka segera merogoh sakunya, tempat dia menyimpan ponsel Blaze dan Ice.

"Ngapain kamu setel alarm jam tujuh malam?" desis si bos sambil mematikan alarm. "Goblok. Berisik sekali bunyinya."

Mendadak Blaze bersyukur kepada Tuhannya dan seketika berjanji untuk menjadi anak yang lebih saleh. Kawanan penjahat ini dari tadi berjalan dalam diam dan gelap, mungkin saja menghindari ketahuan warga sekitar di perkampungan nelayan. Blaze merasa ada secercah harapan. Tunggu saja, Retak'ka …

Alarm ponsel berdering lagi, kali ini ponsel Ice. Dengan gusar Retak'ka meraih isi saku dan mematikan alarm. Tepat saat itu alarm ponsel Blaze berbunyi lagi. Si bos mengambil ponsel itu dan menekan tombolnya dengan geram. Alarm ponsel Ice berbunyi lagi, begitu pula ponsel Blaze. Si anak nomor empat ingin tertawa keras.

Inilah kombo alarm ponsel di jam kritis ketika Ice selesai makan malam dan mulai mengantuk padahal harus belajar—tidak seefektif Pomodoro, tapi cukup ampuh membuat Ice terjaga sampai jam sepuluh malam. Blaze memasang dua puluh alarm yang akan berbunyi susul-menyusul tiap sepuluh detik, masing-masing sepuluh di ponselnya dan ponsel adiknya.

Blaze sudah mempersiapkan diri kalau tubuhnya tiba-tiba dibanting ke tanah, tapi itu tidak terjadi. Retak'ka menyerahkan kedua ponsel dari sakunya kepada Cakada dan Kechik. "Urus benda ini. Berisik!"

Dua orang yang dipasrahi alat komunikasi itu mengutak-atik dengan panik. Tak tahu saja mereka bahwa alarmnya ada sepuluh, dua puluh kalau ditotal! Dan Blaze sudah mengatur kalau alarmnya dimatikan dalam kondisi ponsel mati, otomatis setting alarm itu akan berganti menjadi tunda. Berhasil dimatikan semua pun, dalam lima menit dua puluh alarm akan berbunyi lagi. Blaze menyimpan senyumnya mengetahui kepanikan yang sempat timbul di antara kawanan penjahat itu.

"Cepat!" desis Retak'ka pada anak buahnya. "Lempar saja benda itu ke laut kalau repot!"

"Tapi kita masih agak jauh dari air!" balas Cakada dalam bisikan panik. "Nanti ceburannya bunyi keras sekali, Bos!"

"Cabut baterainya!" Retak'ka mulai habis sabar. "Atau injak-injak di tanah!"

Blaze bersyukur ia dan saudara-saudaranya beli ponsel dengan baterai tanam, jadi tak bisa dicabut baterainya. Para penjahat itu terhambat di perjalanan dan Blaze merasa mulas menahan tawa. Samar-samar dia bisa mendengar suara orang di jarak yang tak terlalu jauh. Ada bantuan! Semoga saja!

Tiba-tiba tubuh Blaze melayang lalu mendarat di tanah yang keras.

"Bocah sialan!" sembur Retak'ka dalam murka yang dahsyat, Blaze bisa melihat seluruh wajah si bos memerah di bawah remang-remang rembulan. Lakban di mulut Blaze ditarik lepas. Tangan besar Retak'ka menutup hidung dan mulutnya, menekannya tanpa ampun, memutus akses udara masuk ke paru-parunya. Blaze berusaha berontak tapi Retak'ka jauh lebih besar badannya dan dia sedang mengamuk. Bola mata Blaze mulai terbalik seiring menipisnya pasokan udara. Tampaknya Retak'ka tak peduli lagi dia bakal membuat Blaze sekadar pingsan atau mati sekalian.

"HEI!" Seseorang, dari suaranya yang berat sepertinya seorang pria, berteriak. "SEDANG APA KALIAN?"

Di kejauhan terdengar bunyi sirine. Apakah itu ambulans atau mobil polisi?

Retak'ka menyentakkan tangannya dan meninggalkan Blaze begitu saja di tanah, menginstruksikan kawanannya untuk segera naik ke kapal. Kedua ponsel yang masih berdering-dering ditinggalkan di dekat Blaze. Ice ada di gendongan Gogobi, yang langsung melemparnya ke geladak.

"Dia ditinggal?" Ayu Yu bertanya, menunjuk Blaze yang terkapar beberapa belas meter dari tepi dermaga. "Dia sudah tahu nama dan wajah kita semua, Bos!"

Retak'ka menyahut dengan tenang, "Kuminumkan dia phenobarbital dosis tinggi. Dia akan tidur sebelum pertolongan datang, untuk selama-lamanya."

Gogobi terbahak-bahak. "Rasakan, setan kecil!"

"Oh, si biru sayang, kamu masih pingsan, ya," gumam Ayu Yu, menarik Ice yang masih tak sadarkan diri ke dalam dekapannya. "Maaf ya, kakakmu nggak bisa ikut kita." Wanita itu membelai pipi Ice yang pucat. "Dingin sekali kamu. Sayang nggak ada minuman hangat di sini, tapi bersamaku kamu hangat, kok. Hihihi."

"Ayu Yu, cek kemudi!" perintah Retak'ka yang jengah menyaksikan tingkah wanita itu. "Bocah biru itu tak akan ke mana-mana."

Cakada dan Kechik melepaskan tambatan kapal berukuran sedang itu sementara orang-orang mulai bermunculan di tempat keributan yang pertama. Seorang nelayan mendekati tubuh Blaze, terkejut mendapati tangan dan kakinya terikat, bajunya koyak, wajahnya babak belur dan terlihat teler. Lebih banyak lagi orang yang datang ke arahnya dan menunjuk-nunjuk kapal yang berangkat.

"Tolong," gumam Blaze, pikirannya berpusar, air liurnya menetes tanpa bisa dicegah. Dia meludah beberapa kali sebelum menyambung, "Penjahat …"

Sebelum kesadarannya meninggalkannya, Blaze seperti mendengar ada yang memanggil namanya.

"BLAAAAAAAZE!"

.

.

.

.

.


.

.

.

.

.

Setengah jam sebelum azan Magrib, terjadi dialog berikut di sebuah rumah berjarak sembilan kilometer dari Kokotiam.

"Hipotiroid kronis? Myxedema coma?" Fang mengerutkan dahi mendengar istilah asing yang berbau medis itu dari kakaknya. "Abang yakin?"

Dokter Kaizo menatap foto-foto yang tadi dikirim sang adik ke ponselnya, di mana yang terakhir adalah hasil tangkapan layar dari status medsos, menunjukkan foto dua anak kembar berbaju rompi merah dan jaket biru di depan Kokotiam, ber-caption, "Hot or Cold, we are ready!"

Sang kakak bicara, "Kita perlukan dia untuk periksa ke rumah sakit biar pasti. Tapi kalau intuisiku benar dan penyakit ini sudah bertahun-tahun diidapnya, dia bisa collapse kapan pun, sewaktu-waktu, tanpa peringatan. Apalagi melihat fotonya yang terakhir hari ini. Sudah timbul edema—pembengkakan, di kaki biasanya, tapi di wajahnya bisa juga, dan sudah mulai ada. Tadi aku sudah hubungi teman-temanku yang jaga UGD di rumah sakit dan klinik di wilayah rumah Tok Aba, belum ada yang meminta ambulans atau datang ke UGD dengan ciri-ciri seperti temanmu itu."

"Ice sendiri belum balas chat dariku," sahut Fang, kembali mengecek aplikasi medsos. "Dia lagi jaga kedai. Tadi ada di status medsosnya Blaze."

"Yang membuatku cukup yakin adalah foto kukunya," imbuh sang dokter. "Kuku penderita kelainan tiroid banyak bagian putihnya, kukunya perlahan memisah dari bantalannya dan bisa betulan rompal tanpa rasa sakit. Hebat sekali Solar punya ide mencocokkan kuku semua saudaranya. Penyakit ini bisa dipicu stres berkepanjangan dan juga bersifat genetik, tapi kulihat hanya Ice yang punya kuku seperti itu. Kalau Tok Aba atau ayah-ibu mereka ada yang mengidapnya juga, aku tak akan heran."

Fang menyela, "Solar belum punya foto kukunya Blaze."

"Blaze itu kembar nomor berapa?" Kaizo mengernyit, sekarang menatap adiknya.

"Blaze nomor empat, Ice nomor lima," balas Fang sedikit pongah. Dia bisa menyebutkan urutan ketujuh anak kembar itu bahkan tanpa berhitung—dirinya memang sahabat sejak kecil yang patut dibanggakan, bukan? "Blaze pernah cerita dia dan Ice adalah yang paling dekat jarak kelahirannya. Orang-orang bilang mereka berdua adalah kembar yang paling identik. Kalau dari wajahnya aku cukup setuju sih, tapi Ice itu orangnya amat sangat malas gerak, kebalikannya Blaze."

"Itu juga bisa dari penyakitnya. Hipotiroid yang tak tertangani bisa membuat orang sering mengantuk dan lamban bergerak. Kira-kira kenapa?"

Fang berpikir-pikir. Kalau sudah begini, abangnya suka main tebak-tebakan. Sekalian mengasah kemampuan sang adik memahami sebab-akibat dari suatu penyakit. "Tadi Abang bilang salah satu fungsi hormon tiroid itu mengatur suhu tubuh. Kalau kekurangan tiroid, orang gampang kedinginan. Itu satu hal yang khas dari Ice. Dia selalu pakai jaket plus sarung tangan."

"Ya. Lalu?" tantang Kaizo bagaikan dosen menguji mahasiswa.

"Hormon tiroid juga berfungsi untuk metabolisme tubuh," lanjut Fang, mengintip catatan yang dibuatnya di ponsel. "Kalau kurang tiroid, metabolisme melambat, energi yang dihasilkan rendah, makanya jadi lamban dan malas gerak."

"Bagus, Fang," puji Kaizo dengan nada serius. "Apa lagi?"

"Hmm, aku mau tanya soal myxedema coma. Kenapa ada kata 'coma' di situ?"

"Karena mengancam jiwa. Orang bisa koma sampai meninggal kalau terlambat ditangani."

Jawaban Kaizo membuat adiknya tercengang. "Separah itu?"

"Separah itu."

"Kenapa?"

Kaizo melipat tangan di depan dada, tak serta-merta membagi jawaban. "Coba pikir."

Fang membaca ulang catatannya dan menganalisis. "Hormon tiroid berfungsi mengatur metabolisme tubuh, peredaran darah, kerja jantung, dan suhu tubuh. Kalau semuanya berkekurangan maka ..." pandangan horor hinggap di wajah sang adik. "Jantungnya melambat, suhu tubuh turun, pasokan oksigen ke seluruh tubuh terhambat."

"Makanya orang bisa mati karena itu," Kaizo membantu menyimpulkan kembali dengan cara yang Fang tidak sukai.

"Kalau begitu, Ice harus periksa TSH** malam ini juga?"

"Sebaiknya begitu," pungkas sang dokter singkat, padat, jelas.

Fang masih tertegun, tapi dia harus bertindak cepat. "Coba kuhubungi Solar dulu."

Lima menit kemudian, Fang malah dibuat kaget dengan berita dari Solar.

"Mereka belum pulang? Ta-tapi, abangku bilang tidak ada UGD rumah sakit dan klinik di sekitarmu yang menerima pasien seperti Ice. Tidak ada ambulans dikirim ke daerah Kokotiam enam jam terakhir."

.

.

.

.

.


.

.

.

.

.

Meski seandainya waktu bisa diulang, Ice merasa dirinya tetap tak akan bergerak dari kursi itu. Apalagi cuma untuk membuntuti dan mengawasi dua adiknya main kembang api. Ice selalu merasa mengantuk. Selalu merasa malas melakukan apa pun. Selalu lambat bergerak ke mana pun.

Duri dan Solar tak akan butuh kakak pemalas yang tak berguna macam Ice. Jadi biarlah, biar saja mereka main-main sendiri. Toh Ice sudah mengingatkan mereka untuk izin dulu ke Tok Aba atau Kak Gempa. Kalau sampai ada kenapa-kenapa, ya bukan tanggung jawabnya.

Tapi ternyata di pesta ulang tahun Fang yang kesepuluh itu betulan ada kenapa-kenapa. Ice sudah jatuh tertidur di depan gelas es buahnya ketika Blaze membangunkannya dengan raut panik.

"Solar kecelakaan!"

Saat itu juga, dunia Ice serasa runtuh. Duri menangis heboh dan hanya Kak Gempa yang bisa menenangkannya. Solar baru siuman dua hari pascaoperasi kraniotomi dan pulang dari rumah sakit seminggu setelahnya. Berminggu-minggu setelah itu, Ice menunggu dan menunggu akan datangnya tuduhan dari Duri atau Solar sendiri, menyalahkannya atas pembiaran yang berujung malapetaka. Tapi yang ditunggunya tak kunjung datang.

Padahal adalah salah Ice, membiarkan dua adiknya itu pergi ke tempat kembang api. Dia bisa mencegah mereka pergi, tapi tidak mencegah. Dia bisa memanggil Tok Aba atau yang lain, tapi tidak memanggil. Dia bisa ikut untuk mengawasi, tapi dia tetap di tempatnya.

Sikap Solar memang berubah, tapi sejak awal dia memang tak terlalu dekat dengan Ice dan semua saudaranya pun sama-sama merasakan perubahan itu. Sedangkan Duri malah makin lengket dengannya, terutama setelah ujian kelulusan sekolah dasar. Tak ada seorang pun yang menyalahkannya atas kecelakaan yang menimpa Solar.

Tapi Ice tahu dia bersalah. Dia sudah membuat dosa besar di usia sepuluh tahun dan hidup bersamanya selama tujuh tahun terakhir. Setiap tahun mereka merayakan Idul Fitri dan Ice belum sanggup berkata maaf kepada Solar dan Duri untuk hal yang satu itu. Jadi ketika hari itu dia membuat sebuah lagi dosa besar dengan menelan alkohol, seharusnya tak jadi masalah, 'kan? Ice toh sudah jadi pendosa yang abai dengan adik sendiri.

Namun nuraninya berkata lain. Kesalahan yang ini bukan dari dirinya. Ini perbuatan penjahat. Sudah cukup dirinya hidup menanggung satu dosa besar yang tak satu pun saudaranya yang lain tahu. Termasuk Kak Blaze.

Mungkin tak ada yang menyalahkannya karena yang tahu keterlibatan (atau pembiaran) Ice dalam kejadian itu hanya Ice sendiri, Duri yang polos, dan Solar yang sepertinya tak bisa mengingat beberapa hal di sekitar waktu kejadian. Ice tak pernah cerita pada siapa pun, sekali lagi, bahkan kepada Kak Blaze, seorang yang lahir hanya selisih beberapa saat sebelum dirinya, menjadikan Blaze dan Ice adalah kembaran yang terdekat jarak kelahirannya di antara mereka bertujuh.

Biarlah ini menjadi rahasianya sampai mati, entah sampai umur berapa Ice nanti.

Dan mungkin hari ini, kematian Ice akan dipercepat datang, ketika dia mulai mencium aroma asin air laut.

.

.

.

.

.


.

.

.

.

.

Ide Solar kadang out of the box tapi rupanya ampuh. Selepas meminta bantuan Fang dan abangnya, serta setelah Halilintar menelepon polisi, dia mengusulkan Taufan dan Gempa mengirim lokasi rumah Tok Aba ke media sosial chatting Blaze dan Ice. Kalau ponsel mereka suatu saat hidup lagi, lokasi Blaze dan Ice akan bisa terlacak melalui GPS.

"Kalau sekarang pasti hanya lokasi kita yang muncul di peta daring?" Solar berhipotesis.

"Betul," gumam Gempa, menatap layar ponselnya lekat-lekat. "Kita bisa coba cara ini. Seingatku memang kalau ponsel penerimanya sedang menyala dan ada akses internet, lokasi pengirim dan lokasi penerima sama-sama muncul di peta."

"Bagaimana kalau tidak ada internet?" sela Taufan, memadamkan setitik harapan yang menyala kecil di hati saudara-saudaranya. Semuanya langsung murung. "Eh, apa? Beneran, kalau mereka di tempat susah sinyal macam mana?"

"Ya, ini sebuah gambling, Kak Taufan. Kalau cukup beruntung, kita bisa tahu posisi mereka. Cara lain, kita retas akun Kak Blaze atau Kak Ice dan lihat recent location mereka ada di mana saat terakhir ponselnya masih aktif."

Tok Aba hanya mendengarkan dengan bingung diskusi cucu-cucunya di ruang tamu. Teknologi zaman sekarang memang sulit dipahaminya.

"Retas akun? Siapa yang bisa?" Halilintar bertanya. "Kamu bisa, Solar?"

Yang ditanya menggeleng. "Makanya aku nggak mengusulkan yang itu."

"Kalau alamat email Blaze aku tahu. Password-nya, mana tahu?" balas si sulung lagi, dahinya berkerut dalam.

"Coba-coba saja login?" usul Gempa setengah hati. "Kita tebak saja Blaze pakai password apa. Mungkin berhubungan dengan basket?"

"Kalau gagal login sekian kali bukannya akun diblokir, ya?" gerutu Solar sambil cemberut. "Aku nggak setuju cara itu dan nggak mau mengusulkannya. Riskan. Kita bicara soal data pribadinya Kak Blaze di sini. Kalau hilang semua bagaimana?"

"Um," Duri bersuara takut-takut. "Kak Blaze pernah login email di ponselnya Duri. Password-nya dia simpan di ponsel Duri. Katanya malas ngetik lagi."

Seketika tiga wajah kembaran yang tertua ikut glowing seperti mukanya Solar tadi pagi.

"Terbaik lah Duri!" Ketiganya kompak memuji, tak lupa acungan ibu jari.

"Dari tadi dong, Kak Duriiii!" omel Solar sambil mengacak-acak rambut kakaknya dengan gemas.

"Solar, nggak sopan!" tegur Halilintar yang segera menarik si bungsu menjauh.

Duri hanya terkekeh sambil mengeluarkan ponselnya lalu menyodorkannya pada sang adik. "Nih, Solar aja yang buka. Duri nggak paham maksud Solar tadi gimana."

"Alamak, Duri," seloroh Gempa yang hanya bisa mengelus dada, berusaha maklum, sementara Solar langsung mengutak-atik ponsel Duri.

"Tak apa, Duri, Atok pun tak paham Solar ngomong apa," Tok Aba ikut terkekeh. Duri mendekati sofa lalu memeluk sang kakek dengan ceria. Paling tidak kini mereka punya langkah yang jelas untuk melacak jejak Blaze dan Ice, membuat ketiga kakak tertua cukup lega.

"Hah?" Solar berseru. Ketiga kakaknya segera mendekat.

"Apa? Apa?"

"Di mana mereka?"

"Sekitar Kokotiam?"

"Mereka di tepi laut." Solar mendapati suaranya bergetar. "Di pinggir Pulau Rintis bagian selatan!"

Keheningan menyusul. Gempa yang pertama bicara lagi,

"Kok bisa mereka ke sana? 'Kan jauh sekali. Kita ini di daerah utara. Itu lima kali lipat jaraknya dari sini ke rumah Fang."

"Jangan-jangan mereka diculik," seloroh Halilintar, teringat pada film-film yang ditontonnya.

"Diculik? Oleh siapa? Buat apa? Kenapa nggak ada telepon minta tebusan?" sambar Taufan yang selera nonton filmnya satu frekuensi dengan si sulung.

"Ish, Kak Taufan ini! Jadi kamu berharap ada yang telepon minta uang tebusan?" gerutu Gempa sambil meninju bahu kakaknya. "Aku telepon polisi lagi, mengabarkan hal ini."

Saat itu menjelang pukul tujuh dan keempat saudara menunggu dengan tegang selagi Gempa meneruskan lokasi terakhir Blaze dan Ice. Satuan kepolisian segera dikirim menuju ke sana untuk memeriksa, tapi mereka juga akan memeriksa daerah sekitar rumah dan Kokotiam.

Gempa menghela napas lega dan sedang ingin menegur kedua kakaknya yang suka sensasi ketika mendadak ada notifikasi di ponselnya, membuatnya seketika melupakan nasihat yang sudah hampir terlontar. "Eh, ponselnya Ice aktif! Kak Taufan, coba cek tempatmu!"

Si anak nomor dua buru-buru mengecek ponsel. "Ponsel Blaze juga! Eh, tapi hilang lagi. Eh, muncul lagi!" Taufan memelototi layar. "Yaah. Hilang lagi."

"Cepat di-screenshot lokasinya, Kak Gempa!" seru Solar buru-buru. "Mungkin ada keajaiban dan ponsel mereka bisa nyala sesaat saja."

Gempa sudah melakukan yang diminta. Tepat saat itu titik lokasi Ice menghilang dari layar. Ponsel Ice sudah mati lagi, tapi mereka sudah dapat lokasi.

"Mereka masih di tepi pantai selatan Pulau Rintis," ujar Gempa, napasnya memburu. "Kukabari polisi sekali lagi."

"Aku dan Taufan pergi ke sana," timpal Halilintar sambil mengeluarkan kunci motor.

"Alamak, Kak, itu jauh banget lho!" Solar berseru tak percaya. "Bisa tiga-empat jam naik motor!"

"Jadi kita mau diam dan tunggu aja?" sergah si sulung, menyorot adik bungsunya dengan pandang galak. "Kalau mereka betulan diculik, aku nggak akan tinggal diam."

"Aku di rumah saja boleh nggak? Hehe ..." Taufan tertawa malu. "Kak, yang bisa bela diri di rumah ini tuh cuma dirimu."

"Kita sudah minta bantuan polisi juga, Taufan," Halilintar menghela napas lelah, tapi kilatan di matanya penuh determinasi. "Kamu ikut atau tidak?"

Yang ditanya menelan ludah. "Ikut, deh."

"Rantang dan termosnya dibawa, Kak," ujar Duri polos dengan suara pelan. "Kalau mereka diculik, pasti belum buka puasa. Kak Ice bisa beneran sakit nanti. Terakhir dia cuma minum kopi kemarin jam sepuluh malam."

Solar merasa tadi dia sudah cukup menjelaskan bahwa Ice memang sakit. Tapi sudahlah, kakaknya yang satu ini memang sulit dibuat paham dan Solar sudah belajar untuk maklum.

"Akan kubawa. Terima kasih ya, Duri," balas Halilintar, nadanya melembut seraya mengelus kepala Duri. Taufan melakukan hal yang sama padanya, membuat Duri senang. Anak nomor enam yang memang berbeda itu tidak suka hal-hal yang menegangkan.

"Kalian juga tetap aktifkan GPS ya, siapa tahu bisa membantu polisi," kata Gempa yang juga ikut menepuk-nepuk kepala Duri. "Masker, jangan lupa."

.

.

.

.

.


.

.

.

.

.

"Jangan maju lebih dari ini atau anak ini kami bunuh!"

Ancaman Gogobi membuat armada polisi yang mengejar dengan kapal terpaksa menahan pergerakan. Anak berbaju biru yang ditahannya tampak terkulai, sepertinya tak sadarkan diri.

Setelah memastikan tak ada kapal polisi yang bergerak lagi, Gogobi melepaskan Ice yang memang masih pingsan. Ayu Yu menangkapnya sebelum menghantam lantai kapal, tapi karena berat badan Ice mereka berdua malah jatuh bersama-sama.

"Perlakukan dia dengan lembut, dong!" protes wanita itu, yang kemudian mengelus-elus bahu Ice yang pertama kali berbenturan dengan lantai kayu.

"Kita sedang krisis, Ayu Yu, tak bisakah kau berhenti main-main sebentar?" bentak pria berbadan besar itu.

"Kalau kita dicegat di perbatasan, habislah sudah," sambung Cakada dengan ngeri, memandangi bos mereka yang dari tadi diam saja.

Retak'ka bicara dengan tenang, "Kita masih punya tawanan. Polisi dan pemerintah tak akan berani macam-macam selama satu warga sipil kita tahan."

"B-bos ..." seloroh satu-satunya kaum hawa di kapal itu. "Tadi anak ini sudah diberi sedikit air minum. Tangannya malah semakin dingin, ini."

"Apa?" Para pria di atas kapal berseru.

Retak'ka mendekati Ice yang dipeluk Ayu Yu lalu berjongkok di depan mereka. Disentuhnya tangan Ice, kemudian wajahnya yang pucat. Ditariknya kelopak mata Ice, kiri dan kanan. Selanjutnya dicarinya nadi di leher anak itu.

"Dia sudah mati," si bos mengumumkan, membuat Ayu Yu terbelalak kaget.

"Betulkah?" tanya Gogobi yang merasa prihatin. Dia merasa Ice bisa jadi aset yang berharga tinggi baik untuk keberlangsungan tim mereka (motivasi bagi Ayu Yu) maupun kepada pembeli, tapi apa boleh buat. Mereka memang bukan komplotan human trafficking, tapi kadang jualan narkoba perlu diselingi hal-hal semacam ini biar mereka tidak bosan.

Si wanita meraba sendiri leher Ice yang dingin dan tidak menemukan denyut nadi. Napas Ice yang tadi sempat tersengal, sekarang juga tidak ada. Kenapa dia baru menyadarinya? Mata Ayu Yu berkaca-kaca dan dia tidak berpura-pura. "Oh, Anak Manis … malang sekali nasibmu."

"Setidaknya dia bisa menyusul kakaknya," Retak'ka menaruh tangannya di bahu Ayu Yu, bicara simpatik namun kejam. "Anak kembar memang ditakdirkan untuk selalu bersama-sama. Mungkin dia bisa merasakan kakaknya sudah tidak ada lagi, jadi dia juga pergi."

Air mata Ayu Yu menetes tapi segera dihapusnya dengan kasar. "Ya sudahlah. Bonus di luar rencana memang bukan kuasa kita."

"Lalu kita apakan dia, Bos?" Kechik bertanya, melihat Ice kini sebagai sebuah beban di atas kapal.

"Buang saja ke laut," Retak'ka berujar dingin. "Setelah kita lewati perbatasan."

.

.

.

.

.

"BLAZE!"

Pemilik nama yang dipanggil tak langsung merespon, rasanya dia tadi sempat pingsan, megap-megap membenahi napasnya. Belum pernah dia dibekap orang sampai merasa dekat sekali dengan sakratul maut, apalagi orang itu sekaligus mencekokinya dengan sebuah tablet besar yang (untung sekali) tersangkut di gigi Blaze jadi tidak sampai tertelan. Saat itu dia bisa merasakan tubuhnya terangkat, kali ini dengan tandu dan cara yang manusiawi. Ponselnya masih berdering-dering dengan berisik di tanah dan ada orang yang menangani alat itu.

"Blaze! Kau oke?"

"... Fang?" gumamnya dengan kepala masih terasa berputar. "Astaga, Fang!" Blaze segera duduk dan seketika merasa pusing lagi. "Ice … di mana Ice?" Dia memaksakan diri menoleh ke sekeliling. Ada ambulans, petugas medis, dan orang-orang yang tampaknya nelayan yang tinggal di daerah itu.

Fang menggeleng sedih. "Polisi sedang mengejar komplotan penculik itu."

Blaze memelototi kawannya itu. "Mereka lari naik kapal!"

"Iya. Kamu tenang dulu, Blaze. Kamu mau dibawa ke rumah sakit."

"NGGAK!" bentak Blaze keras kepala. "Aku harus ambil Ice dari tangan mereka. Aku baik-baik saja."

"Baik-baik saja dengan itu?" Fang menunjuk ke sampingnya. Blaze baru melihat ada kantong darah yang diinfus ke pergelangan tangannya.

"Kenapa aku?" Blaze bertanya kebingungan.

"Kakimu disayat senjata tajam parah sekali. Kamu nggak kerasa?"

Blaze terbelalak, kini ganti menatap kedua kakinya yang sudah dibungkus perban. Bisa dilihatnya warna merah merembes dari bebatan kain putih itu.

"Alamak ..." Pantas saja Blaze merasa dirinya juga perlahan-lahan lemas. Kalau melihat rembesannya saja seperti itu, berarti dia sudah kehilangan banyak darah? Berarti Retak'ka yang berbuat demikian padanya selama perjalanan?

"Untung kamu nggak sampai syok kekurangan darah. Mungkin kakimu diberi bius lokal tanpa kamu sadari. Mereka buronan pengedar narkoba, pasti bisa dapat obat-obat seperti itu."

"Sebentar. Kamu tahu dari mana?" tanya Blaze mengernyit.

"Kakak sepupuku, Sai, dia kepala polisi sektor sini. Kalau sesuai ciri-ciri yang disampaikan nelayan sekitar sini, mereka dikenal dengan nama Geng Kristal***, buron sudah lama." Fang lalu menunjuk ke arah hutan yang gelap. "Jejak darahmu lumayan jauh, sekitar satu kilometer ke arah sana. Kamu dipikul sampai ke sini?"

Blaze mengangguk kalut. "Fang … mereka hampir membunuhku. Apa jadinya dengan Ice?"

Fang mencoba menenangkan kawannya meski dia sendiri sebetulnya tak tenang. "Polisi pasti menyelamatkannya."

"Mereka keji, Fang … kau tak tahu," desis Blaze, air matanya tiba-tiba menetes. "Mereka … Ice …"

"Ice sudah diamankan oleh polisi," ujar sebuah suara dari belakang Fang.

"Dokter Kaizo?" Blaze membelalak. "Benarkah? Ice selamat?"

Kaizo memandangi lautan sambil mematikan ponsel. "Kita belum tahu. Barusan mereka menemukan Ice terkatung-katung di sana."

"Ya ampun," gumam Fang terkejut.

"Jaketnya Ice anti-air ..." seloroh Blaze, menduga-duga alasan kenapa bocah segendut Ice masih bisa terapung di air. Dia belum bisa merasa lega sampai bertemu dengan Ice langsung.

Kaizo menggeleng. "Laporan menyebutkan ada tumpukan karet seperti pelampung di dalam bajunya. Sepertinya penjahatnya ingin kita menemukan dan menjemput Ice."

Blaze mengerjap. "Maksudnya bukan …?" Sepasang mata Blaze berkeliaran tak tenang dan dia mendadak histeris, "Aku … Ice belum mati! Tidak bisa! Dia tidak mati! Dia masih hidup!"

Fang menepuk-nepuk punggung kawannya—berhubung bahu dan lengannya juga penuh perban. "Blaze, tenang dulu, tenang. Saudara-saudaramu mencemaskanmu dan Ice. Coba kau telepon mereka dulu. Tempat ini jauh sekali dari rumahmu."

Blaze tak peduli gengsi lagi. Dia menangis sejadi-jadinya di pundak Fang.

"Ice, jangan mati," isaknya tak terkendali sambil dibawa masuk ke ambulans bersama Fang. Kamu ada urusan yang belum selesai dengan adik-adikmu! batin Blaze dalam hati. Dia masih menangis ketika sudah di rumah sakit, terus menangis sampai energinya terkuras habis dan selama itu Fang tetap menyediakan bahunya (kecuali saat dokter jaga UGD memeriksa Blaze). Kaizo yang akhirnya menelepon rumah Tok Aba dan mengabarkan perkembangannya.

Kaizo tadi bicara kepada Gempa di telepon demikian, "Kalau Blaze sudah diperbolehkan pulang, biar dia menginap di tempat Fang saja. Oh? Halilintar dan Taufan dalam perjalanan ke pantai? Gila apa? Mereka mau pulang tengah malam? Ya sudah, kalau mereka ke sini, ikut menginap saja. Aku sendiri jaga malam, masuk jam sepuluh nanti. Kalau Ice sudah datang, nanti kukabari lagi. Eh tapi, maaf. Menu makanan di rumah kami hari ini haram semua. Kalau mau biar kumintakan menyiapkan menu sahur yang aman untuk besok. Eh. Yakin? Rantang yang mereka bawa untuk dua orang saja, 'kan? Kalian mau bagi empat? Oh, tidak, tidak. Menurutku Blaze boleh saja kalau mau langsung puasa lagi besok. Tapi kita lihat dulu kondisinya tengah malam nanti. Kalau Ice … aku tak bisa bilang."

Petugas polisi juga datang ke UGD dan meminta kesediaan Blaze untuk diwawancarai perihal kejahatan yang dialaminya malam itu juga, karena segi waktu cukup krusial. Fang menemaninya, membantu mendorong kursi rodanya untuk pindah ke ruangan tertutup di mana mereka bisa bicara dengan leluasa. Kaizo minta izin untuk ikut mendengarkan. Dipandu pertanyaan dari polisi, Blaze menceritakan semuanya. Kronologi kejadian, identitas para penjahat, apa saja yang dilakukan penjahat-penjahat itu terhadap dirinya dan Ice—tangis Blaze pecah lagi dalam amarah ketika sampai pada bagian alkohol.

Kaizo mengerutkan dahi dalam-dalam. Sepertinya keadaan Ice bisa jadi sangat buruk setelah itu terjadi … diam-diam Kaizo mengetik sesuatu di ponselnya.

Fang menepuk-nepuk punggung Blaze lagi, menguatkannya untuk terus bercerita, meski dia sendiri juga ikut berkaca-kaca. Kejamnya para penjahat itu dan betapa malangnya kedua kawannya ini!

Wawancara Blaze akhirnya selesai dalam satu jam. Fang membujuknya alias memaksanya untuk makan, "Atau kau lebih suka mereka memasukkan selang lewat mulut ke perutmu? Kamu belum buka puasa! Ini sudah jam sembilan malam!" Blaze merasa sangat lelah, kesakitan, dan sedih sehingga makan pun tak ada rasanya. Dia bahkan tak merasa lapar sama sekali. Luka di kakinya mulai terasa berdenyut-denyut mengganggu dan Blaze merasa jantungnya sendiri berhenti berdetak ketika Ice dibawa masuk ke UGD. Dia dan Fang tetap menunggu di situ karena Blaze bersikeras menanti kedatangan sang adik. Rambut Ice tampak basah kuyup sementara pakaiannya sudah dilepas dan digantikan beberapa lapis selimut, wajahnya pucat pasi, dan semacam alat berbentuk balon tersambung ke mulutnya, dipegangi oleh seorang perawat yang menekan-nekan balon itu seperti memompa udara masuk ke dalam sang adik. Blaze hendak mendorong kursi rodanya mendekat.

"Jangan! Dia harus langsung masuk ICU!" seru Kaizo, segera memakai jas putihnya—selama mendampingi Blaze tadi, ia hadir sebagai kakak dari temannya, bukan sebagai dokternya, lagipula tadi belum jam sepuluh malam sehingga secara teknis dia belum berdinas. "Ganti iv drip dengan norepinefrin! Pasien usia tujuh belas dengan suspek myxedema coma! Kondisi hipotermia dua jam terakhir!" Masih banyak lagi hipo-hipo yang perlu disebutkan Kaizo, tapi nanti saja kalau mereka sudah masuk intensive care unit.

"Apa yang terjadi? Ice 'kan tidak tenggelam?" Blaze menatap tim medis itu bergegas-gegas membawa adiknya di atas brankar, dengan sendirinya menyadari sesuatu tapi berusaha menyangkalnya. "Dia hanya belum makan dan minum, iya 'kan, Fang?"

Fang tahu sudah waktunya menyampaikan kebenaran pada Blaze. "Ice sakit, Blaze. Kalau bukan karena diculik, harusnya dia sudah diperiksa sejak tadi." Tiba-tiba Fang teringat sesuatu dan langsung meraih tangan Blaze.

"Eh, apa-apaan, Fang?" tepis Blaze yang langsung meradang ketika disentuh tanpa izin, bahkan meski oleh temannya sendiri. Sepertinya dia bakalan trauma seumur hidup terhadap kejadian hari ini.

Kawannya itu meringis minta maaf. "Sori. Aku mau lihat kukumu sebentar. Boleh, ya?"

Blaze belum paham tapi membiarkan tangannya dipegang oleh Fang sekali lagi. "Apa hubungannya dengan Ice? Ice sakit apa?"

Tak langsung menjawab, seketika Fang merasa lega setelah mengamati sebentar. Kuku Blaze baik-baik saja, normal seperti saudaranya yang lain.

"Ini semua berkat Solar," Fang mengawali cerita. "Jadi begini ..."

.

.

.

.

.

Pada akhirnya Blaze dirawatinapkan di rumah sakit karena tak mau diajak pulang ke rumah Fang yang jaraknya satu jam perjalanan dengan mobil, tapi dia perlu istirahat. Dengan keras kepala Blaze bilang dirinya tak perlu tidur dan mau menunggu sampai Ice sadar. Fang sendiri terlihat capek dengan semua ketegangan dan merasa dirinya bisa tidur sampai dengan besok sore, apalagi Blaze yang mengalami semua itu. Sekali lagi karena tak tega membiarkan Blaze sendirian sekaligus menjaganya agar tidak nekat masuk ke ICU untuk menengok Ice, Fang juga menginap di kamar rawat Blaze. Kembar nomor empat itu rewel sekali, tak mau disuruh tidur dan berkali-kali Fang mencegahnya turun dari ranjang.

"Tuh, kakimu berdarah lagi!" gerutu Fang yang kewalahan, kali itu memaksa menahan Blaze dengan sengaja memegang bahunya yang terluka. Blaze mengerang-erang dan akhirnya menyerah. Dia mengalihkan fokus pembicaraan dari Ice,

"Fang, seingatku abangmu kerjanya di rumah sakit pusat? Tempat Solar dioperasi dulu? Bukan di sini?"

"Oh, iya, dia part-time di tiga rumah sakit, memang yang ini yang terjauh dari rumah kami."

Setelah yakin tak akan ada keributan lagi, Fang menyodorkan ponsel milik Blaze dan Ice. "Ini tadi sempat diperiksa polisi. Sudah nyala lagi. Untung baterainya masih ada, ya? Polisi jadi bisa dapat laporan di mana posisi kalian."

Banyak notifikasi chat dan panggilan tak terjawab di kedua ponsel itu. Blaze menutup semuanya dan berusaha untuk istirahat, tapi tetap tak bisa. Dia baru tahu Ice sakit kronis dan dia yang satu kamar dengannya tak pernah tahu. Kakak macam apa dia ini? Malah Solar yang duluan menduga bahwa kantuk parahnya dan lamban geraknya Ice serta tak tahannya dia dengan hawa dingin adalah gejala dari penyakit?

Dokter jaga akhirnya menyuntikkan obat tidur kepada Blaze karena sepertinya dia tak mau disuruh tidur.

Menjelang jam sebelas malam, ketika Blaze sudah hampir jatuh tertidur karena pengaruh obat, Halilintar dan Taufan tiba di rumah sakit. Wajah keduanya juga tampak lelah dan tegang, tapi mereka sudah bersyukur mendapati Blaze cukup baik-baik saja.

"Terima kasih, Fang. Kau pulang saja, istirahat di rumah," ucap Halilintar dengan tulus.

"Biar kami yang jaga Blaze," imbuh Taufan sambil mengusap-usap pantatnya sendiri, merasa keram karena hampir empat jam duduk di boncengan motor.

Fang melirik ke arah Blaze yang matanya sudah terpejam. Lebam-lebam di wajahnya masih tampak jelas, dan kedua saudaranya pasti bisa melihat perban yang ada di bahu dan lengan atasnya. Fang menyingkapkan selimut Blaze sebentar untuk menunjukkan kaki yang juga diperban. "Baiknya kuceritakan dulu apa saja yang kudengar tadi ..."

.

.

.

.

.

Kalau Ice diberi pilihan untuk bisa pergi dari dunia ini dan melupakan satu dosa besarnya, mungkin Ice mau saja. Apalagi dia sudah berada di batas antara hidup dan mati. Dia sedang koma. Tim medis yang menolongnya sudah mengupayakan yang terbaik terhadap anak hipotermia-hipoglikemia yang basah kuyup, nyaris tenggelam di laut. Mereka menyambung bantuan hidup dasar darurat di atas kapal polisi itu dengan pertolongan pertama untuk sesuatu yang Ice belum pahami. Bahkan sampai dengan dibawa dalam ambulans pun Ice tetap dalam kondisi setengah hidup-setengah mati.

Petugas medis menyebut kondisinya sesuatu berakhiran coma. Artinya dia sedang koma, 'kan? Sedikit langkah lagi menuju ke kematian dan Ice akan pulang dengan perasaan lega.

Tapi dia dipanggil-panggil oleh yang ada di kehidupan. Ada yang menahannya untuk pergi. Terus-menerus setiap kali Ice sudah mengumpulkan keberanian untuk menyeberang ke kematian, ada saja yang menahan. Entah sudah berapa hari berlalu dan hari itu panggilan yang dimaksud kedengaran paling keras.

Panggilan oleh suara familier yang membangunkannya setiap pagi, setiap malam ketika dia butuh dibangunkan untuk belajar, setiap saat dirinya butuh seseorang untuk diandalkan.

"IIIIICEEEEEE!"

Suara itu ...

"Ice! JANGAN MATI! Tetaplah hidup, Ice!"

… Kak Blaze.

"ICE! DENGARKAN AKU! Solar nggak pernah benci padamu, Ice! Dia sayang dan peduli padamu! Buktinya dia yang pertama kali punya dugaan kamu sakit! Bangun, Ice! BANGUN!"

Ice tersentak. Apa iya Solar tidak membencinya? Ah, barangkali Solar belum ingat soal Ice yang membiarkan dia dan Duri pergi sendiri ke tempat kembang api. Seruan Blaze masih berlanjut,

"Solar ingat semuanya, Ice! Itu bukan salahmu! Duri juga nggak menyalahkanmu! Kecelakaan itu bukan salah siapa-siapa!"

Tunggu dulu. Kak Blaze tahu dari mana …?

"Nggak ada yang benci sama Ice! Jadi Ice jangan benci diri sendiri!"

Ice merasa seperti tertampar.

"Yang terpenting, bagaimana melanjutkan hidup setelah kecelakaan waktu itu," sambung sebuah suara yang jarang didengar Ice di pagi hari, suara tenang yang penuh percaya diri dari seorang ber-IQ tinggi. "Bangun, Kak Ice! Semuanya menunggumu. Kak Duri juga menunggu dipeluk olehmu lagi."

"Kak Ice banyak berkorban buat Duri, biar Duri bisa dapat nilai bagus," dialog satu arah itu dilanjutkan oleh suara yang kekanak-kanakan dan polos. "Duri belum sempat balas budi, belum jadi belikan gelato cokelat yang waktu itu kita lihat di toko. Kak Ice jangan mati dulu sebelum Duri beliin gelato!"

"... beneran ya, Duri?" Ice menyahut dengan suara lemah, matanya masih terpejam. "Janji, lho?"

"ICE?!"

"KAK ICE?!"

"Alamak, dia betulan bangun setelah dengar kata 'gelato', ckckck," komentar Halilintar datar, tapi sambil tersenyum kecil di balik masker.

"Ice … Alhamdulillah ..." seloroh Gempa terharu melihat Ice membuka mata pelan-pelan.

"Aku kabarin Tok Aba!" jerit Taufan sambil mengeluarkan ponsel dan menyingkir dari ranjang.

"Kak Ice oke?" Solar bertanya dengan serius dari kaki ranjang. "Kamu koma dua minggu penuh."

"Kamu pun harusnya nggak boleh dikunjungi seramai ini. Lagi Covid pula. Baru tadi pagi kamu dipindah dari ICU ke bangsal biasa karena ada perbaikan. Kita cuma dikasih waktu sepuluh menit," sambung Blaze, cemberut.

"Tenang, Kak Ice, Duri janji beliin gelato!" Duri berujar riang di sisi ranjang, masih ingat janjinya tadi.

Ice tersenyum lemah mengamati saudara-saudaranya satu per satu. Pandangannya berhenti di kaki ranjang.

"Maaf ..." seloroh Ice, menatap Solar lurus-lurus. "Aku nggak pernah minta maaf ke kamu soal itu, Solar. Padahal—"

"Nggak," Solar menyela sambil membetulkan letak kacamatanya. "Kak Ice waktu itu sudah mengingatkan kami sebelum pergi. Kakak nggak salah. Kalau ada yang patut disalahkan, ya aku sendiri."

"Berhenti nyalahin diri sendiri," tegur Blaze dengan nada lembut yang agak ganjil kalau diucapkan si anak nomor empat. "Kamu tadi bilang sendiri, Solar. Yang penting, gimana setelah itu?"

"Pelajaran apa yang kamu dapat dari kecelakaan itu? Begitu, 'kan, Solar?" imbuh Taufan yang sudah selesai menelepon.

"Ya, ya, Kak Taufan, main kembang api harus hati-hati," Solar memutar bola mata.

"Kalau pergi harus pamit Kak Gempa!" Duri mengacungkan jari dengan polos.

"Pada siapa pun yang ada saat itu," koreksi Gempa setengah tertawa geli.

"Oi, Dokter Kaizo dan Fang mau ke sini sebentar lagi," Halilintar mengumumkan sambil mengacungkan ponsel. "Kita harus bubar sekarang."

"Tenang saja Ice, karena kamu sudah bangun, sebentar lagi pasti boleh pulang!" kata Blaze bersemangat, mendekati ranjang dengan langkah tertatih dan meraih tangan Ice yang hangat. "Kita belum boleh peluk kamu sebelum diperiksa dokter. Peluknya di rumah aja, ya!"

"Kak Blaze ..." Mendadak air mata Ice menetes. "Kakimu kenapa?"

"Err … ceritanya panjang," Blaze meringis. Dia sudah berusaha berjalan normal tapi ternyata tetap kelihatan oleh adiknya ini.

Ice tidak terima. "Pendekkan ceritanya lah, Kak."

"Kakinya disayat Retak'ka sepanjang jalan ke dermaga," ujar Halilintar dengan nada dingin. "Mereka belum tertangkap."

"Di-disayat?" ulang Ice dengan bibir gemetar. Solar ikut gemetar, tak berani membayangkan Blaze yang berdarah-darah.

"Sudah baik kok, lukanya," timpal Blaze dengan riang. "Kamu tenang saja."

"Kak Blaze masih bisa main basket?" keluh Ice sedih, memikirkan hal terpenting yang pasti juga menjadi hal pertama yang dipikirkan kakaknya.

Blaze terdiam sejenak. "Belum coba, sih. Tapi, kamu tenang saja, Ice! Aku ini kuat, nggak gampang sakit! Kalau sakit begini pasti cepat sembuh," serunya penuh optimisme.

"Jadi ingat. Mulai sekarang kamu harus minum obat rutin, Ice," ujar Gempa. "Nanti Dokter Kaizo akan jelaskan padamu."

"Waktu habis, ayo bubar," Halilintar berkata tegas. "Sampai nanti, Ice."

"Bye, Ice," sambung Taufan sembari melambaikan tangan.

"Da-dah, Kak Ice!" Duri bersorak heboh.

"Cepat pulang, Kak," lontar Solar, tersenyum simpul.

"Kita bikin party nanti kalau kamu sudah pulang," imbuh Blaze, seringai terbit di wajahnya. "Mmmm, pasti sedap, minum es cokelat siang-siang."

"Oi, masih bulan puasa, Blaze!" tegur Gempa.

"Ice 'kan belum boleh puasa!" kilah Blaze jahil. "Kasihan kalau dia pesta sendirian. Kutemani, lah!"

"Alasan!" sambar Halilintar. "Sudah, sudah, ayo."

Ice merasa masih banyak hal yang ingin dia tanyakan, tapi dia bersyukur masih diberi kesempatan untuk terus hidup ketika sudah di ambang kematian dan akhirnya mengetahui kebenaran yang membahagiakan.

Dengan banyak tawa dan keriuhan, enam saudaranya melangkah ke luar kamar, dengan Blaze yang digandeng oleh Taufan. Saat ini mungkin mereka bisa tertawa, tapi beberapa waktu sebelumnya ada yang menangis. Waktu itu mereka mungkin menangis, tapi sekarang mereka tertawa.

Tidak ada yang tahu arus seperti apa yang akan menghadang mereka di kemudian hari, apakah airnya tenang atau beriak, akankah ada badai atau mentari yang cerah menanti di masa depan.

Dalam agenda sesenang apa pun dan dalam situasi serumit apa pun, mereka ada untuk satu sama lain.

.

.

.

.

.

Finished.

.

.

.


.

.

.

Author's Note:

*Usia minimum mendapatkan driving license sepeda motor di Malaysia adalah 16 tahun.

**TSH: thyroid stimulating hormone, hormon yang dihasilkan oleh kelenjar pituitari. Pemeriksaan laboratorium TSH biasanya digunakan sebagai diagnosis awal hipotiroid, dengan hasil TSH yang meningkat dibandingkan kondisi normal.

***Kristal: istilah untuk narkoba jenis methamphetamine, Crystal Meth. Para penjahat itu (minus Retak'ka) 'kan memang penambang kristal di canon, jadi Roux rasa cocok saja :D

Fakta tambahan: methamphetamine berbentuk kristal juga sering disebut blue ice, yang akan jadi relevan di extended ending.

.

.

.

Oke, cerita ini mungkin seperti roller coaster, ya :") maafkan imajinasi liar Roux yang sebelum ini memang suka nulis di genre Crime/Mystery. Yang penting, semoga pesannya tersampaikan, ya!

Sebelum tamat, tak lupa saya mencantumkan disclaimer yang agak terlambat tentang sumber judul fanfiksi ini: Bridge over troubled water, lagu ciptaan Paul Simon dan dipopulerkan oleh Simon & Garfunkel tahun 1970.

Akhir kata, terima kasih banyak sudah membaca dan mengikuti kisah para kembar elemental, terutama Blaze dan Ice, sampai sejauh ini. Kritik dan saran sangat diterima.

Selamat merayakan Idul Fitri bagi yang merayakan, mohon maaf lahir dan batin. Juga, selamat hari raya Kenaikan Yesus Kristus bagi yang merayakan.

Sampai jumpa di sekuel berikutnya! \^o^/

14.05.2021

.

.

.


.

.

.

Extended Ending

.

.

.

"Ayu Yu, jangan bilang kau sekarang makin miring dari pedofil jadi nekrofil? Kamu mau apa dengan mayat bocah itu?"

"Berisik, Kechik. Biarkan aku memberinya salam perpisahan."

"Ngapain kau buka-buka bajunya segala?"

"Diam, lah!"

Ayu Yu sedang melilitkan pelampung karet kecil ke sekeliling badan Ice, berpura-pura sedang melucuti baju anak itu untuk memuaskan nafsu. Tak boleh ada yang tahu tentang ini: denyut pembuluh nadi besar di leher Ice masih ada, lemah sekali, dan tersamarkan oleh lemak yang tebal di lehernya. Bahkan Retak'ka mengira Ice sudah mati. Ayu Yu tak sanggup membiarkan anak manis ini ditenggelamkan hidup-hidup ke laut meski kakak kembarnya sudah mati sekalipun. Dirapatkannya kembali baju dan jaket biru Ice untuk menutupi pelampung itu dan kemudian sekali lagi merengkuhnya erat-erat. Kawan-kawan komplotannya tak ada yang mau melihat, semua mengalihkan pandangan ke arah lain.

"Namamu 'Ice', ya? Nama yang unik untuk anak yang manis," gumam Ayu Yu cukup keras sambil membelai rambut hitam anak itu, teringat cara kakaknya memanggilnya saat ditawan tadi. "Kau sudah membuatku ketagihan, tahu, namamu sungguh cocok," kikiknya.

Angin laut yang dingin mulai bertiup.

"Selamat jalan, Blue Ice. Sampai ketemu lagi." Wanita itu berbisik di telinga Ice yang dingin, mengecup pipinya singkat, sebelum memanggil Gogobi untuk bantu mendorongnya ke laut.