Disclaimer: Haikyuu! adalah karangan Furudate Haruichi. Author tidak mengambil keuntungan materiil.
Warning: Iwaizumi x OC, timeline canon tapi tidak mencolok.
.
.
reality hits hard
Chapter 5: Masih Berusaha
by Fei Mei
.
.
Oikawa sudah terbiasa dengan temperamen sahabatnya. Kalau Iwa-chan sedang kesal pasti ada saja sesuatu yang ia lempar. Kadang, kalau sedang kesal pada Setter-nya, Iwaizumi melempar pemuda itu sendiri. Masalahnya saat ini Oikawa bukanlah penyebab kekesalan sahabatnya. Oke, Oikawa salah, tapi bukan pemuda itu dalangnya.
Tahu-tahu, sedang asyik membaca majalah voli di kamarnya, Iwaizumi masuk dan melempar bola voli yang ada di dekat pintu dengan kasar. Jelas saja Oikawa yang tidak siap langsung merasa sakit karena bola itu mengenai kepalanya.
"Iwa-chan apa-apaan sih—sakit tahu!" sahut Oikawa sebal.
Iwaizumi membanting tutup pintu kamar itu, dengan cepat langsung melempar dirinya sendiri ke ranjang dan merebahkan diri disana, tak peduli harus sempit-sempitan karena si pemilik kamar sendiri sedang tengkurap di tempat itu. Oikawa ingin mencebik, tapi ia berhasil menahan diri karena melihat betapa kusutnya sang sahabat.
Jadi Oikawa menghela, menutup majalah dan menyingkirkannya, lalu menggeser sedikit tubuhnya agar mereka tidak terlalu kesempitan.
"Ada apa?" tanya Oikawa. Masih sebal karena kepalanya sakit, tapi ia khawatir juga.
Sahabatnya itu mengeluarkan geraman kecil. Satu tangannya seakan memijat dahi, padahal Oikawa bisa melihat bahwa temannya sedang berusaha menyembunyikan matanya. Terakhir kali Oikawa melihat rahang Iwaizumi yang mengeras itu adalah jika mereka kalah dalam pertandingan voli—itu adalah bentuk kekecewaan Iwaizumi terhadap dirinya sendiri dan sedang berusaha untuk tidak menangis. Ya, walau tampak garang, ganas, dan galak, Oikawa mungkin adalah satu-satunya orang yang tahu betapa sensitifnya seorang Iwaizumi Hajime.
"… ada apa?" ulang Oikawa, kali ini tidak ada nada sebal sama sekali.
Tetapi Iwaizumi tidak membalas. Rahang si Ace tampak makin keras, tapi Oikawa bisa melihat betapa memburunya nafas pemuda itu.
Oikawa menghela pelan. "Aku gak bakal ngerti kalau kamu gak mau ngomong …"
Si pemilik kamar memutar otak sambil ikut rebah di samping sahabatnya. Bukan ingin berpikir jelek, tapi satu-satunya dugaan yang bisa Oikawa pikirkan adalah tentang Iwaizumi yang entah bagaimana akhirnya tahu bahwa Nacchan suka Kunimi-chan. Sejauh ini, Oikawa masih tidak tahu apa yang membuat Minami menembak Iwaizumi padahal yang ia sukai adalah orang lain. Jadi ada kemungkinan juga itulah yang membuat Iwaizumi tampak depresi saat ini.
"Iwa—"
"—tantangan," ujar Iwaizumi garang.
"Eh?"
"Minami menembakku, itu hanya tantangan dari teman-temannya saat main jujur atau berani."
Oikawa mengerjap, menatap teman di sebelahnya dengan tak percaya. Oke, jadi sebelum ini, dia memang sudah tahu bahwa Minami suka Kunimi. Tapi … jadi alasan Minami pacaran dengan Iwaizumi awalnya hanya tantangan? Loh, terus—
"Terus kenapa dia masih tetep pacaran—"
"—Dia cuman bingung gimana ngaku ke aku!" raung Iwaizumi, menggebrak ranjang dengan satu tangannya yang tidak menutupi mata.
Disitu Oikawa mulai mendengar isakan sahabatnya.
"Semuanya palsu, dia gak pernah suka aku, dia suka orang lain!" raung Iwaizumi.
'Kunimi,' pikir Oikawa dalam hati sambil membuang wajah.
"Dan elu tahu ini, brengsek!"
Oikawa terbelalak, lalu menoleh pada temannya lagi. "E—eh?!"
Iwaizumi menyingkirkan tangannya, membuat hati Oikawa hancur melihat air mata sahabatnya. "Kamu tahu! Makanya Minami selalu ketakutan kalau ada kamu!"
Oikawa bungkam.
"Kenapa kamu gak pernah ngomong sama aku?!"
Rahang Oikawa mengeras. "Karena aku gak tahu pasti," ujarnya dingin. "Dan bukan hakku untuk mencampuri hubunganmu dengan dia gara-gara hal yang aku gak punya bukti konkritnya. Dan lagi, kamu tahu soal alasan Minami nembak itu darimana?"
"Aku denger dia ngomong sama temen-temennya tadi!"
Mata Oikawa menyipit. "Terus kamu main labrak aja, gitu? Gak dengerin penjelasan lanjut dari dia? Main pergi aja?!"
"Daripada aku ngamuk di rumahnya?!"
Terus sebagai gantinya lu santai aja gitu ngamuk di rumah gua?! "Dia juga gak nelpon atau apa gitu?"
Iwaizumi membuang muka. "Habis aku lari dari rumahnya, dia telpon ke hapeku terus, jadinya kumatiin aja ponselku."
Oikawa langsung menepuk dahi sendiri.
Iwaizumi berusaha menghentikan isakannya, tapi Oikawa bisa mendengar tangisan sang sahabat malah menjadi padahal tadinya sudah mulai tenang. "Kalau—misalkan, aku tanya, tentang yang kamu ketahui atau duga d-dari Minami, kamu mau ngasih tahu aku?"
"Kalau kamu tanya, aku akan jawab."
Si Ace menoleh dan menatap tajam sahabatnya. "Kamu tahu siapa yang disukai Minami?"
Oikawa yang membalas tatapan matanya tidak mengubah ekspresi. Tapi keduanya sudah mengenal satu sama lain sejak kecil, jadi Iwaizumi pasti sadar bahwa tatapan mata sahabatnya saat ini berarti 'ya'.
Jadi Iwaizumi tidak perlu mendengar jawaban Oikawa lagi untuk menanyakan pertanyaa selanjutnya. "Siapa?"
Sebelum menjawab, Oikawa menghela kecil lalu duduk. "Semua orang berhak suka sama orang lain, dan orang yang cintanya bertepuk sebelah tangan gak bisa nyalahin gebetan dari gebetan sendiri."
Iwaizumi, yang isakannya kembali mereda, ikut duduk juga.
"Minami memang salah karena dia nembak dan pacaran denganmu di saat dia suka sama orang lain, tapi," tekan Oikawa, "orang yang disukai Minami, dia sama sekali gak bersalah atas kasus ini."
"… kita kenal orangnya, ya?" tebak Iwaizumi pelan.
Oikawa tersenyum miris. "Haji, kalau aku kasih tahu kamu orangnya, kamu gak boleh apa-apain dia, lho, dia sama sekali gak salah—kupikir tahu bahwa Minami suka dia aja enggak."
Iwaizumi tampak ragu, tapi Oikawa yakin sahabatnya itu paham. Jadi ketika Iwaizumi mengangguk, Oikawa menyebutkan nama anak itu.
"Kunimi."
"Sorry?" Iwaizumi mengerjap.
"Nacchan suka Kunimi-chan," jawab Oikawa. "Sudah beberapa kali aku melihat tandanya, tapi aku menghiraukan semuanya karena kupikir itu kebetulan dan hanya hal remeh. Tapi saat aku menyudutkan Minami, walau dia tidak mengaku, ekspresi ketakutannya sudah cukup menjadi jawaban bahwa dugaanku benar."
Iwaizumi, yang tampak masih kesal, kini malah jadi bingung. "Kok bisa?"
Oikawa mencibir lalu merebahkan diri lagi. "Ya mana aku tahu? Kamu suka Nacchan aja aku gak ngerti kenapa bisa begitu?!"
Si Ace tidak mengatakan apa-apa lagi. Ia ikut merebahkan diri dengan kasa di samping sahabatnya. Dari sudut mata, Oikawa bisa melihat Iwaizumi masih memasang wajah sebal. Iyalah, Oikawa juga bakal kesal dan marah setengah mati jika tahu gadis pujaannya pacaran dengannya hanya karena tantangan. Kalau si gebetan ngegebet balik sih, mending!
"Iwa-chan, gimana kamu sama Nacchan sekarang?" pancing Oikawa, berusaha hati-hati.
Iwaizumi mendecak. "Apanya yang gimana?"
"Yah, kalian putus? Apa gimana?"
" … gak tahu."
"Jadi tadi di rumahnya kamu cuman marah terus kabur tanpa mau dengerin penjelasan dari dia, dan kamu sendiri gak tegasin hubungan kalian yang sekarang tetep lanjut apa enggak?" ucap Oikawa sebal. "Kasus ini dari pihak Minami aja udah ribet, elu bikin tambah ribet tau gak?!"
"Ya gua juga gak tahu harus gimana, Shittykawa!"
Oikawa mendecak sebal, tapi hatinya mulai tenang. Pokoknya, kalau Iwaizumi sudah mengucapkan namanya secara sembarangan seperti itu, berarti sang sahabat sudah mulai baik-baik saja.
.
.
Mungkin sekitar setengah jam telah berlalu sejak Iwaizumi membajak kamar Oikawa. Sudah biasa sih, kadang juga Oikawa yang membajak kamar Iwaizumi, kok. Keduanya sedang asyik membaca majalah olahraga sampai pintu kamar diketuk.
"Masuk aja, Bu!" sahut Oikawa.
Tetapi tidak ada balasan dari luar. Sebagai gantinya, terdengar ketukan lagi. Si pemilik kamar mendengus pelan lalu bangkit dari ranjangnya, membuka pintu.
"Kamu—"
Iwaizumi pun akhirnya mengalihkan mata dari lembar majalah ke pintu. Ia terbelalak. Yang daritadi mengetuk pintu kamar Oikawa bukannya ibu sahabatnya, melainkan Minami. Iwaizumi yang tadinya sedang tengkurap langsung buru-buru bangun dan berdiri. Walau tahu bahwa yang punya kamar adalah Oikawa, mata gadis itu malah menatap lurus pada Iwaizumi.
"Ngapain—kok kamu bisa disini?" tanya Oikawa.
"A-aku, erm, telepon Iwaizumi senpai tapi ponselnya mati," tutur Minami. "Aku samperin ke rumahnya, katanya senpai belum pulang … jadi aku tanya rumah Oikawa senpai yang mana."
Hati Iwaizumi terenyuh melihat gadis itu tampak kelelahan, mungkin karena panik. Yah, untuk yang satu itu, mungkin memang salah pemuda ini juga karena mematikan ponselnya dan memutuskan untuk tidak mau mendengar apa-apa dari pacarnya. Tetapi sejak bicara sebentar dengan sahabatnya tadi, Iwaizumi tahu moodnya sudah membaik. Ia masih luar biasa kesal, tapi ia berniat untuk mendengarkan Minami sekarang.
"Oikawa, aku cabut, ya," ujar Iwaizumi sambil mengambil dompet dan ponselnya.
"Ap—Iwa-chan—"
"Ayo, Minami," ajak Iwaizumi datar sambil keluar kamar.
Selama sebulanan ini, jika jalan bareng, Iwaizumi akan berusaha untuk memikirkan kecepatan langkah kakinya agar Minami tidak tertinggal jauh, atau ia akan berusaha berjalan di sisinya. Tetapi kali ini Iwaizumi berusaha untuk tidak memedulikan itu semua, tidak mau tahu kalau-kalau misalkan Minami tertinggal jauh. Ia berusaha untuk tidak peduli, karena dialah korbannya.
Iwaizumi duduk di ayunan taman, menunjuk ayunan di sebelahnya dengan dagu bermaksud meminta gadis itu duduk disana juga. Minami menurut, lalu mereka terhanyut dalam keheningan beberapa saat.
Yang mengejutkan adalah … Minami-lah yang membuka suara duluan.
"—Ini bukan tantangan," gumam gadis itu. Suaranya memang kecil, tetapi untunglah Iwaizumi duduk di sebelahnya sehingga perkataan itu terdengar.
" … aku tahu," balas Iwaizumi. Memang saat di rumah Minami tadi, ia sudah menyatakan bahwa ia tidak tahu lagi mana yang nyata atau tidak dari gadis itu. Tetapi melihat anak ini berwajah panik bahkan nekad mengetuk kamar Oikawa, setidaknya Minami mungkin benar-benar datang dengan inisiatif sendiri.
"Aku minta maaf—aku tahu aku salah, aku minta maaf," kata Minami.
"Yang mana yang kamu tahu salah?" sudut Iwaizumi.
"…aku bilang bahwa aku suka senpai saat aku nembak …" Minami menghitung jari. "Aku gak langsung ngaku bahwa itu adalah tantangan. Erm …"
"Aku paham. Tapi asal tahu saja, aku masih sangat marah karena kamu mempermainkan aku."
"Senpai … saat aku bersamamu, aku tulus," gumam Minami sedih. "Kupikir, mungkin aku akan bisa menyukaimu. Aku berusaha untuk berinteraksi denganmu, menyempatkan untuk bekal dan mengirim pesan juga … itu dariku sendiri. Isi tantangan dari temanku hanya menembakmu, itu saja."
Iwaizumi menelan ludah. "Apa usahamu itu membuahkan hasil? Sedikit saja?"
Minami menunduk dalam-dalam. "Aku tahu aku jadi lebih mengagumi senpai, tapi untuk jadi suka … maafkan aku."
Disitu Iwaizumi menghela. "Kunimi?"
"E-eh?"
Ah, tampaknya Oikawa benar. "Kamu suka dia?"
Iwaizumi tidak perlu anggukan atau 'ya' dari Minami untuk tahu jawabannya. Wajah gadis itu merona, dan kali ini bukan karena kelelahan kesana-kemari demi mencarinya. Saking malunya, Minami bahkan menutup wajah dengan kedua tangannya.
"A-aku minta maaf!" cicit gadis itu.
Kunimi tidak bersalah, ucap Iwaizumi dalam hatinya, lalu mengulangnya beberapa kali. "Kamu sebegitu sukanya sama dia sampai kamu tidak berhasil suka padaku?"
Minami mengangguk kecil. "Senpai, aku minta maaf—"
"—kenapa? Kenapa kamu bisa menyukainya dan bukan aku?"
Gadis itu mengerjap sebentar, tampak menerawang, lalu menggigit bibirnya. "Memangnya … kalau menyukai seseorang, harus butuh alasan?"
Eh?
Minami tampak salah tingkah. "Aku tidak—eh, aku tak tahu. Pencetusnya, mungkin karena …erm, beberapa kali di perpustakaan umum, kalau ada anak yang mengejekku karena pendiam, Kunimi yang kebetulan ada di sekitar tempat dudukku langsung melempar bola kertas pada anak-anak itu dan bilang mereka terlalu berisik sehingga mengganggu tidurnya. Eh, jadi dia bukan menolongku, sepertinya, tidurnya terganggu saja, begitu. Tapi … eh, entah, aku jadi sering memerhatikannya kalau ketemu di sekolah … Maaf, aneh ya?"
Sesimpel itu, pikir Iwaizumi. "Aneh … tapi aku juga aneh, karena setelah kamu jahat padaku, aku tetap suka padamu. Tau deh, kenapa bisa suka sama kamu juga."
Gadis itu menunduk lagi. Dari samping saja sudah terlihat bahwa ekspresinya menunjukkan rasa bersalah.
Lalu Iwaizumi melompat turun dari ayunan dan merenggangkan tangan dan pinggangnya. "Seumur hidupku, aku belum pernah punya pacar," cetusnya, "sekalinya punya, cuman jalan sekitar sebulanan."
"Eh?"
Iwaizumi tersenyum pahit, menoleh pada Minami yang ternyata sudah melepaskan diri dari ayunan juga. "Minami, kita putus."
Gadis itu menatap kosong pemuda dihadapannya. Iwaizumi tidak mengerti apa yang kira-kira ada dalam hati dan pikiran Minami. Sedihkah? Legakah? Merasa bersalah, kah? Senangkah? Atau mungkin semuanya bercampur aduk? Dari awal Minmai memang ingin memberitahu dirinya tentang tantangan, lalu merasa bersalah, kan? Berarti rasa lega itu setidaknya muncul di benak.
"Senpai, maafkan aku—"
Pemuda itu menghela keras. "Kalau misalkan kamu nanti suka aku, langsung ngomong aja, nanti kita pacaran benaran."
Minami mengerjap.
Iwaizumi menghampiri gadis berkacamata itu lalu tersenyum kecil. "Dan kali ini, aku akan coba PDKT ke kamu. Besok siang, kami akan latih tanding dengan Tsubakihara. Kamu tonton aku, ya?"
Mantan pacarnya tersenyum.
.
.
Tetapi sampai Iwaizumi lulus SMA, Minami tak kunjung datang kepadanya untuk bilang 'suka'. Tak peduli bahwa keduanya mulai berteman secara 'normal', nyatanya mungkin tetap meminta Minami datang ke klub voli tidak berhasil membuat gadis itu menyukai senpainya, malah membuat si gadis mampu berinteraksi kecil-kecilan tak terduga dengan gebetannya sendiri.
Jadi ketika Iwaizumi wisuda dan Minami menolak kancing nomor dua dari atas kemejanya, pemuda itu hanya tersenyum pasrah. Masih ada banyak waktu di dunia ini, tapi mungkin ini bukanlah waktu baginya untuk bisa bersama Minami. Jalan hidupnya masih panjang, harusnya ia masih punya kesempatan. Tetapi hal yang sama juga berlaku bagi gadis itu dengan Kunimi atau pemuda lain yang mungkin akan ia sukai kedepannya.
Menyukai Minami bertahun-tahun adalah hal yang aneh. Tapi, memangnya 'normal' itu apa?
.
.
Selesai
.
.
A/N: Jika ini pakai Kita atau Kenma, akhirannya pasti langsung happy ending, dan itu bakal agak mirip dengan akhiran fanfict Osamu x OC yang pernah Fei buat. Tadinya pun, Fei ingin buat bahwa setidaknya di epilog OC bakal jadi dengan Iwaizumi benaran, atau Fei ingin bikin alur yang agak panjang biar rasa suka OC perlahan tumbuh. Tapi gak jadi karena pertama Fei males nulis terlalu panjang, kedua karena Fei gak kepikiran mau masukin adegan apa lagi dan takutnya malah keluar jalur, ketiga karena di kehidupan nyata pun tidak selalu semua orang happy ending dengan gebetannya terutama saat masih di bangku SMA.
Jadi, iya, ini bad ending. Orang yang nembak atau pacaran karena main 'jujur atau berani' itu beneran ada. Orang yang jadi musuhan karena ketahuan soal itu pun ada banget. Walau memang juga ada di dunia nyata yang hubungan mereka jadi manis dan orang yang jalanin tantangan itu jadi bener suka sama target atau akhirannya happy ending, tetap ada sebagian lain yang tidak seberuntung itu.
Fei sengaja hanya tulis dari sudut pandang penglihatan Iwaizumi dan Oikawa, karena kalau dari OC, maka pembaca langsung tahu dari chapter 1. Sempet kepikiran juga untuk ganti-gantian POV dengan OC, biar kayak fict Osamu x OC, tapi setelah dicoba ternyata nulis yang kayak gini malah jadi seru biar pembaca sama bingungnya dengan Iwaizumi.
Jangan lupa cek Shopee/Tokopedia Fei ya (angelafeimei) /yahdiamasihpromosi
Review?
