Kaizo melangkah masuk ke rumah sakit. Hari ini dia berniat menginap di sini. Demi menunaikan tugasnya selain wawancara, yaitu meliput keadaan rumah sakit di Palestina. Nanti dia akan meminta izin kepada kepala rumah sakit untuk menginap di sana.
"Assala ... mu'alaikum ... Kaizo ..."
Gempa menyapa lirih ketika Kaizo melewati ranjangnya. Keadaan Gempa tampak jauh lebih buruk daripada saat terakhir kali Kaizo bertemu dengannya. Wajahnya lebih pucat, dan tubuhnya makin kurus. Namun, dia tetap tersenyum ramah kepada Kaizo.
"Hai, Gempa—"
"UMMPH!"
Tiba-tiba Gempa membekap mulutnya. Cepat-cepat dia mengambil ember kecil di samping ranjang, lantas memuntahkan isi perutnya ke dalam situ. Hanya cairan lambung, tidak ada yang lain.
"M-Maaf ... Kaizo ..." Gempa menunduk malu. "Sejak kejadian itu ... aku ... hampir tidak bisa makan apa pun ..."
Tak perlu dijelaskan lebih lanjut pun Kaizo tahu apa yang terjadi pada Gempa. Karena dia sendiri pernah mengalaminya.
Semenjak kejadian di halte bus itu, Kaizo juga tak sanggup untuk menelan makanan selama berhari-hari. Bayangan halte yang hangus, disertai potongan-potongan tubuh manusia, terus menjadi mimpi buruknya, merampas nafsu makannya. Bahkan semangat hidupnya. Diperlukan pendampingan psikiater selama berbulan-bulan, hingga akhirnya Kaizo sanggup menelan makanan lagi.
Melihat Gempa sekarang membuat Kaizo teringat dirinya yang dulu. Memunculkan sedikit rasa simpati Kaizo terhadap Gempa.
"Gempa, aku boleh tidur di sini malam ini?"
.
.
.
"I was born a fighter!" Raef—Freedom ain't Free
FAITH AND FIGHTER
Summary: Di tanah tempat cinta terbunuh ini, Kaizo justru menemukan kembali hatinya. [Warning: Palestine!AU]
Disclaimer: BoBoiBoy © Monsta Studio. Terisnpirasi dari seri komik "Para Pencari Syahid" karya Fatharani_yasmin. Tidak mengambil keuntungan apapun dari pembuatan cerita ini.
Warning: Palestine!AU, Journalist!Kaizo, Typo(s), OOC akut, sadist, dll.
.
.
.
Kaizo menutup bukunya sambil mengucek mata. Menulis di tengah cahaya senter yang redup seperti ini membuat matanya sakit.
Dia sejak awal tahu Gaza memang mengalami krisis listrik akibat pembatasan oleh Israel, sehingga dia harus pintar-pintar menghemat baterai kamera dan ponselnya. Tapi dia tidak menyangka hal itu dapat memperburuk keadaan rumah sakit.
Rumah sakit kini gelap gulita. Para dokter dan perawat berlalu lalang di koridor dengan senter dan lilin di tangan. Bahkan Kaizo tadi habis bertemu dengan seorang dokter yang habis melakukan operasi hanya dengan bantuan cahaya senter. Sebuah kisah yang mengagumkan.
Kaizo mematikan senter yang ada di ponselnya. Dia pun berbaring di tikar tipis dengan tas ransel sebagai bantalnya. Cukup mewah bagi dirinya yang pernah tidur dengan mengikat diri ke pohon, atau tidur dengan mengubur setengah tubuhnya di pasir agar tak mati kedinginan.
"Kaizo?"
Panggilan pelan terdengar dari atas ranjang pasien yang ada di samping Kaizo. Itu Gempa.
"Hm? Kau belum tidur?" tanya Kaizo.
"Uh... aku tidak bisa tidur, Kaizo..." jawab Gempa.
Kaizo hanya diam mendengar jawaban Gempa. Di tengah cahaya remang-remang rumah sakit, dia bisa melihat mata Gempa menatap jendela di dekatnya. Jendela itu ditutup dengan papan kayu untuk menghindari tembakan dari pihak Israel. Ada celah di papan itu, di mana terlihat langit gelap dengan bintang-bintangnya.
'Kaizo ... tolong ... gantikan aku ... ajak Gempa ... melihat bintang ... ya ...?'
Kata-kata terakhir Taufan terlintas di benaknya. Dia pun bangkit dan beralih ke Gempa.
"Gempa, kau tidak bisa tidur kan? Mau jalan-jalan bersamaku sebentar?"
.
.
.
Kursi roda yang dinaiki Gempa berbunyi pelan saat rodanya tidak sengaja membentur puing-puing di jalanan dekat rumah sakit.
Memang tadi agak sulit meminta izin kepada dokter. Tapi akhirnya dokter memperbolehkan dengan syarat tidak boleh jauh-jauh dan hanya boleh satu jam.
Kaizo memerhatikan gedung-gedung yang adandi sekelilingnya dengan waspada. Sudah lama dia diperingatkan agar tidak keluar saat malam hari di Gaza. Pertama, ada beberapa wilayah di Gaza yang diberlakukan jam malam oleh pihak Israel, sehingga mereka kadang menyiapkan beberapa sniper yang akan menembak siapapun yang terlihat tanpa ampun. Kedua, karena ada tindakan kriminalitas seperti penjualan manusia. Dua hal itu cukup menjelaskan kalau berada di luar saat malam hari di Gaza sangat berbahaya.
Kaizo melirik Gempa. Dia tampak biasa saja, sama sekali tak tampat khawatir atau ketakutan. Wajahnya tengah mengadah ke atas. Didorong rasa ingin tahu Kaizo pun turut mengadah, melihat apa yang dilihat Gempa.
Rupanya langit sedang ditaburi dengan ribuan bintang yang bersinar terang. Jumlahnya bahkan lebih banyak dari yang pernah dilihat Kaizo baik saat Kaizo berkemah atau meliput berita.
Permohonan terakhir Taufan telah terkabul. Kaizo dalam hati bertanya-tanya, apa tujuan Taufan memperlihatkan bintang kepada Gempa? Memang sangat indah, tapi untuk apa?
Lamunan Kaizo buyar saat telinganya mendengar suara senandung. Senandung dari bibir Gempa. Kaizo sedikit memahami isi lirik dari senandung itu.
[Di balik jendelamu yang tertutup rapat.]
[Para bintang menanti tatapanmu rindu.]
[Lalu saat shubuh menjemput, mereka mendoakanmu.]
[Agar Allah memberi kemenangan dengan batu di tanganmu.]
Kaizo diam-diam mengaktifkan alat perekam suaranya agar dia bisa sepenuhnya memahami keseluruhan lagu yang disenandungkan Gempa.
Setelah beberapa lama, akhirnya Gempa berhenti. Setitik air mata jatuh di pipinya.
"Lagu yang bagus…" puji Kaizo.
Hempa tersentak lalu buru-buru menghapus air matanya.
"Terima kasih…" kata Gempa. "Itu… lagu yang selalu dinyanyikan Kakek kami sebelum tidur… lagu itu selalu membuatku tenang…."
Kaizo mengangguk pelan. Walau dia tak sepenuhnya memahami lagu itu, tapi mendengarnya membuatnya tenang.
Gempa tiba-tiba melompat turun dari kursi rodanya lalu meraba-raba tanah. Apa yang dia cari di situ?
"Hei, Gempa—"
Belum sempat Kaizo bertanya, Gempa tiba-tiba menyodorkan sesuatu pada Kaizo. Sebutir batu seukuran genggaman tangan.
"Kaizo… ini permintaan terakhirku," kata Gempa. "Besok akan ada aksi unjuk rasa warga Palestina teehadap Israel. Apa kau bisa menggantikanku untuk melemparkan batu ini kepada zionis-zionis itu besok?"
Kaizo terdiam, merasa terkejut dengan permintaan itu. Dia memang tahu soal aksi unjuk rasa itu, Koko Ci sendiri sudah menyuruhnya untuk meliputnya besok. Tapi melempar batu?
Gempa menunduk. "Kalau kau tidak apa-apa… tapi besok, aku akan pergi sendiri ke sana untuk melemparkan batu ini walaupun harus merangkak!"
Kaizo terperanjat, lalu menghela napas.
"Baiklah, Gempa. Aku akan melakukannya," katanya sambil menerima batu itu dari Gempa.
Malam itu, langit dan bumi menjadi saksi.
.
.
.
"Hampir jam 10 pagi…."
Kaizo memerhatikan jarum yang ada di jam tangannya. Dia pun kembali mengamati sekeliling.
Matahari bersinar dengan sangat terik. Tapi keadaan itu tidak menghalangi orang-orang Palestina untuk melancarkan aksinya. Suara teriakan bertema kemerdekaan bergaung di sekitarnya.
Asap hitam membumbung tinggi di depan mereka. Asap hitam itu sengaja dibuat oleh pejuang Palestina sebagai pembatas antara mereka dan prajurit Israel, yang menghalangi pandangan mereka sehingga tidak bisa seenaknya menembak.
Tangan Kaizo yang memegang batu sedikit gemetar. Dia tahu walau sudah tertutup asap, tapi para sniper Israel tetap bersiap siaga, siap menembak siapa saja yang dia anggap mengancam.
Sebelum rasa takut sepenuhnya menguasainya, sosok Gempa berkelebat di benaknya. Gempa yang berbaring di tempat tidurnya dengan wajah pucat. Napasnya pendek-pendek.
"Kondisinya memburuk…"
Kalimat Shielda terngiang.
"Kalau dia terus-menerus menolak makanan, aku khawatir dia tidak bisa bertahan lebih lama lagi…."
Kaizo menggenggam erat batu itu. Matanya melihat orang-orang Palestina yang terus berteriak sambil melempar batu. Mereka tampak penuh dengan keberanian tanpa rasa takut. Sama seperti keberanian yang ada di dalam diri Gempa.
Kalau aku berhasil, mungkin itu akan membuat Gempa merasa lebih baik dan dia bisa sembuh….
Kaizo bersiap. Sasarannya adalah salah satu prajurit Israel yang tak tertutup asap, yang berjarak tidak jauh darinya. Dia bersiap, mengangkat batunya, lalu dengan satu ayunan dia melemparnya.
Batu itu melesat cepat, dan tepat mengenai wajah prajurit tersebut. Dia langsung mengaduh kesakitan.
Kaizo tersenyum penuh kemenangan–
DOR!
Rasa sakit tiba-tiba menyengat lengannya. Dia langsung jatuh tersungkur sambil mengerang kesakitan. Dengan tangan yang tak terluka dia memegang lengannya. Cairan merah pekat mengalir deras dari sana.
Sial… aku tertembak!
Rasa sakit membuat pandangan Kaizo mengabur. Samar-samar dia melihat sesuatu yang aneh. Dia melihat Gempa berdiri tidak jauh darinya.
Gempa? Bukannya harusnya dia di rumah sakit?!
Gempa menatapnya dengan penuh rasa khawatir, lalu berjalan menghampirinya. Tapi sebelum kakinya melangkah, kedua bahunya ditahan oleh dua tangan yang masing-masing pemiliknya muncul di sisi kiri dan kanannya, yang berwajah identik dengannya. Satu dari dua orang itu Kaizo kenali sebagai Taufan. Satunya lagi…
Halilintar…?
Mereka bertiga berdiri menatap Kaizo sambil tersenyum. Gempa menggerakkan mulutnya, mengatakan sesuatu. Tapi Kaizo tahu apa yang dia katakan.
"Terima kasih…."
Setelah melambaikan tangan, mereka pun berbalik. Lalu berjalan pergi meninggalkaannya.
Kesadaran Kaizo semakin memudar. Tapi tangannya mencoba meraih sosok Gempa yang semakin menjauh.
"Tidak… jangan pergi…."
Hal terakhir yang dia ingat adalah orang-orang di sekitarnya menggotong tubuhnya, membawanya kepada tim paramedis.
.
.
.
"Gempa meninggal."
Hanya satu kalimat yang terdiri dari subyek dan predikat. Tapi cukup untuk membuat pikiran Kaizo runtuh.
Sejak penembakan tadi, Kaizo dilarikan ke rumah sakit dan menjalani operasi pengangkatan peluru dari lengannya. Tidak mudah, karena peluru yang mereka gunakan adalah peluru yang dirancang untuk meledak saat terkena target. Jadilah Kaizo menahan sakit selama berjam-jam untuk mengangkat semua pecahannya.
Meski begitu, tidak lama setelah operasi dia bersikeras untuk menemui Gempa. Tetapi hanya tubuh kaku tertutup kain putih di kamar jenazah yang dia temukan.
"Kapan… dia meninggal?" tanya Kaizo dengan suara bergetar.
Shielda menggeleng. "Aku baru menyadarinya saat aku mengantarkan makan siang untuknya. Menurut perkiraan Sai, dia sudah meninggal dua jam sebelumnya…."
Berarti jam sepuluh… tepat saat aku….
Shielda menghela napas lalu menepuk punggung Kaizo. Dia pun berjalan keluar, meninggalkan Kaizo seorang diri.
Kaizo menarik napas, menguatkan diri lalu membuka kain yang menutupi wajah Gempa. Dia langsung tahu kenapa Shielda sampai terlambat menyadari kematian Gempa.
Wajah Gempa terlihat sangat damai. Dia tersenyum dalam pejamnya. Kalau saja keberadaannya saat ini bukan di ruang jenazah, pasti orang biasa akan menganggapnya tidur dan bermimpi indah.
"Jadi… inilah akhir dari perjuanganmu, Gempa?" kata Kaizo. Tidak peduli fakta bahwa Gempa mustahil menjawabnya. "Yah, karena kali ini kau akan tidur untuk selamanya, mungkin aku harus menyanyikan lagu pengantar tidur untukmu. Maaf karena waktu itu aku merekam nyanyianmu tanpa izin. Jangan protes kalau suaraku jelek ya…."
Kaizo lalu terkekeh. "Oke, sebenarnya banyak yang bilang kalau suaraku itu bagus dan aku harusnya menjadi penyanyi bukan wartawan… ah, sudahlah. Aku langsung saja…."
Kaizo berdehem, lalu mulai bersenandung.
[Hei, apakah kau tahu?]
[Di balik jendelamu yang tertutup rapat.]
[Para bintang menanti tatapanmu rindu.]
[Lalu saat shubuh menjemput, mereka mendoakanmu.]
[Agar Allah memberi kemenangan dengan batu di tanganmu.]
Kaizo berhenti sejenak. Sekali lagi dadanya terasa sesak. Ingatan demi ingatan berkebat di benaknya. Dengan suara serak dia melanjutkan.
[Saat mereka membantaimu….]
"Halilintar bukan teroris! Jangan samakan dia dengan orang-orang seperti itu!"
"Halilintar… dia menanggung beban yang paling berat di antara kami. Dia yang pertama mendengar kabar bahwa Ayah meninggal dicabik anjing liar di penjara Israel… dia juga yang menyaksikan buldozer menghancurkan rumah kami… mengubur Kakek kami di dalamnya…."
[Takkan kamu rasakan sakit…]
"Halilintar… dia hanya terpaksa mengorbankan diri… dia hanya berharap ridha Allah…."
[Karena malaikat akan membawa ruhmu lembut…]
"Kaizo… aku minta maaf… sudah marah-marah…."
[Ke surga yang indah…]
"Tidak… Aku tahu… setelah ini… aku pergi… ke tempat… Halilintar…."
[Tempat Ayah dan Ibu menunggu…]
"Kaizo ... tolong ... gantikan aku ... ajak Gempa ... melihat bintang ... ya ...?"
"Laa ilaaha illallah…"
[Maka janganlah gentar meski senapan menodong dadamu.]
[Lawanlah dengan batumu…]
"Mereka sudah berusaha untuk hidup selama bertahun-tahun, lalu zionis membunuh mereka begitu saja! Mereka pikir nyawa manusia itu apa?!"
[Jangan menangis, sayang…]
Mata Kaizo berkaca-kaca. Tapi dia berusaha keras mengeluarkan lirik terakhirnya.
[Karena Gaza… tempat kita syahid…]
Di kata terakhir, setitik air mata keluar dari matanya, mengalir di pipi, dan jatuh tanpa suara ke lantai.
Ya, hanya setitik.
TBC
Tenang… tenang… jangan nangis, jangan–
SIAPA YANG NARUH BAWANG DI SINI HAAAAHHH? /ngacawoi
Baru aja kemarin bunuh Taufan sekarang… hweee… maafkan kemasoan saya /digebuk
Btw… lirik lagu yang dinyanyiin Gempa sama Kaizo sama ambil dari komik "Rafah Tempat Kita Syahid" karya fatharani_yasmin dengan perubahan seperlunya demi keperluan cerita.
Besok adalah chapter terakhir. Sampai jumpa di chapter selanjutnya!
REVIEW! REVIEW! REVIEW!
