[ disclaimer ]

Seluruh karakter milik Haruichi Furudate. Pitik hanya bikin FF, tidak mengambil keuntungan apapun selain rasa senang

.

.

.

Shirabu tampak baik, sangat baik. Ushijima menghampiri meja tempat mantannya berada dan duduk berhadapan.

"Apa kabar?" sapa lelaki berambut tembaga itu dengan suara kalem.

"Aku baik."

"Ushijima-san, kau tidak berubah," sahut Shirabu sembari menyentuh gelas kopi di hadapannya. Sepasang manik coklat kemudian memandang naik, bertemu dengan milik pemuda yang baru saja tiba.

Kekeh pelan lolos dari bibir ketika raut bingung tercetak jelas di wajah Ushijima Wakatoshi. "Apa kau langsung membeli tiket ke sini setelah aku mengirimimu pesan?"

Pemuda itu mengangguk pelan, membuat Shirabu memasang ekspresi terkejut. "Maaf merepotkanmu."

"Bukan masalah," sahut Ushijima santai.

Lelaki itu lalu menyesap kopinya, menciptakan suasana hening di antara mereka. Ushijima melambaikan tangan, meminta pelayan datang dan memesan satu gelas kopi juga. Sembari menunggu, ia beralih lagi pada sang mantan, anggap saja melepas rindu setelah mereka tidak bertemu dalam waktu lama.

"Mengapa tiba-tiba kau ingin mengobrol denganku?" Ushijima penasaran. Perasaan itu terlihat dari jemarinya yang saling menekan di atas meja.

"Sebenarnya aku sedikit ragu dengan pertunangan cepat ini," keluh lelaki itu kemudian menaruh gelas kopinya.

"Aku mungkin mengenalmu sejak SMA. Tapi calon tunanganku ini, aku baru mengenalnya dua hari yang lalu. Saat ayahku melihat orang itu, ia langsung ingin menjodohkan kami."

Ushijima tertawa kecil atas curhatan Shirabu. Ia menekuk sudut bibirnya ke bawah, terlihat benar-benar kesal dengan rencana sang ayah.

"Mungkin kalian memang berjodoh," sebut pemuda di depan Shirabu dengan santai.

"Karena itulah aku ingin bicara denganmu. Kau--," jeda sejenak sebelum lelaki rambut tembaga itu bicara lagi, "--beberapa kali berhasil menenangkanku."

"Itu hanya masa lalu," balas Ushijima sembari menundukkan kepala.

Sebelum Shirabu sempat menyahut, pelayan kafe datang dengan segelas kopi. Ushijima mengambil pesanannya dan langsung menyesap cairan gelap itu.

"Benar. Mungkin kau juga sudah punya seseorang lainnya, kan? Maafkan aku," pungkas Shirabu cepat.

"Belum," sahut Ushijima sambil menatap sang mantan lekat-lekat, "aku belum bersama siapapun."

"Seseorang seperti dirimu pasti akan segera menemukannya," ucap lelaki berambut tembaga itu sambil menggenggam erat gelas kopi, "cepat atau lambat."

Ushijima terkekeh pelan. Harus Shirabu akui ia sedikit terbawa perasaan. Jika saja mereka masih bersama, maka pertunangan terburu-buru ini tidak akan membuatnya risau.

"Bagaimana sekolahmu?" tanya Ushijima mengalihkan topik. Mungkin ia merasa pembahasan tentang kehidupan setelah putusnya hanya akan membuat hati Shirabu lebih bimbang lagi sebelum pertunangan.

"Baik. Selalu padat dan menyibukkan," jawab lelaki berambut tembaga itu sembari melihat ke arah etalase toko roti.

"Sempatkan waktu untuk bertemu calon tunanganmu," sahut Ushijima sebelum menyesap kopinya lagi. Shirabu menoleh setelah mendengar masukan itu. Ia menatap mantannya sambil mengerjap. Kesibukan sekolah adalah alasan mengapa hubungan dengan Ushijima Wakatoshi menjadi kandas setahun lalu. Dan saran itu menyiratkan bahwa tidak boleh ada kali kedua dengan masalah yang sama.

"Apakah kau ingin mengatakan hal lain?" Pertanyaan itu membuat Shirabu tersentak. Karena terlalu mendalami masa lalu, ia jadi tidak ingat alasan lain mengajak Ushijima bertemu.

"Pertama-tama aku senang hubungan kita baik-baik saja. Aku senang karena walaupun kita berpisah sebagai pasangan, kau tetap selalu ada. Kau tidak m-mengabaikanku."

Ushijima menatap lekat-lekat selama Shirabu bicara. Lelaki itu sedikit kikuk, amat berhati-hati dalam memilih setiap kata.

"Aku h-hanya ingin bertanya. Jika tidak keberatan, apakah kau--,"

Bunyi denting notifikasi ponsel membuyarkan Shirabu. Ia buru-buru menyambar benda di atas meja itu dan melihat pesan baru. Hela napas lega lolos dari mulutnya beberapa saat kemudian.

"Ada apa?" tanya Ushijima penasaran.

"Aku sangat gugup mengatakannya seorang diri. Aku ingin calon tunanganku menemani pertemuan ini tapi dia juga sibuk," sebut Shirabu dengan raut merajuk.

Pemuda berambut olive di hadapannya terkekeh pelan. Shirabu yang ia kenal memang agak pemalu. Lelaki itu terkadang sulit untuk mengungkapkan sesuatu karena takut bila semua tidak berjalan sesuai apa yang ia pikirkan.

"Tapi dia sebentar lagi datang," tambah Shirabu sembari tersenyum hangat, "tolong tunggu sebentar."

"Sekarang kau menemukan orang yang sama sibuknya denganmu," celetuk Ushijima masih dengan lengkung bibir yang hangat.

"Bukan seperti itu," protes Shirabu, "dia datang ke Sydney untuk urusan pekerjaan. Kau ingat? Aku baru bertemu dengannya dua hari yang lalu."

Gelak tawa lolos dari mulut Ushijima. Ia merasa lepas, seakan mereka benar-benar masih dua sejoli yang tengah berkencan.

"Aku ingat. Aku ingat," balas Ushijima agar Shirabu berhenti cemberut.

Beberapa menit kemudian seseorang lelaki datang dengan terburu-buru. Ushijima dapat melihat rambut hitam jabrik dan raut santai pada wajah lelaki itu saat menghampiri meja mereka. Dia pasti calon tunangan Shirabu Kenjiro.

"Selamat siang, maaf aku menginterupsi pembicaraan kalian," sapanya kemudian tersenyum pada Shirabu dan mengulurkan tangan untuk bersalaman dengan lelaki itu. Kemudian ia beralih pada Ushijima dan menjabat tangannya juga.

"Ushijima-san, perkenalkan ini Iwaizumi Hajime," ucap Shirabu, "minggu depan kita akan bertunangan."

"Selamat atas--," ucap Ushijima namun terputus karena terkejut mendengar suara gesek kaki kursi yang keras. Shirabu dan Iwaizumi juga terkejut. Ketiganya lalu menoleh ke sumber suara.

Sepasang manik olive terbelalak menemukan Oikawa tengah berdiri di sana. Lelaki berambut coklat itu kemudian beranjak dari kafe, berlari cepat bukan ke arah parkiran mobil.

Ushijima mendadak bingung dan panik. Apa yang terjadi? Ke mana Oikawa ingin pergi? Bagaimana bila lelaki itu tersesat karena tidak tahu arah?

"Shirabu-san, berapa harga satu gelas kopi?" tanya Ushijima dengan tempo bicara cepat.

"Empat dolar," sahut sang mantan. Ushijima langsung menaruh uang pas di atas meja, di sebelah gelas bekas kopinya dan beranjak dari kursi.

"Maafkan aku. Ada sesuatu yang sangat mendesak. Bila ada hal yang perlu dibicarakan lagi, mari bertukar pesan. Aku permisi," ucap pemuda itu dengan cepat. Ia langsung berlari, mengejar Oikawa Tooru yang entah sudah pergi seberapa jauh.

Pikiran Ushijima tidak karuan. Ia meninggalkan Shirabu dan sang calon tunangan di kafe sementara dirinya dengan panik mencari keberadaan Oikawa. Lelaki berambut coklat itu sedang berhenti di pinggir trotoar, kepalanya bersandar pada dinding sebuah toko.

"Oikawa-san," panggilnya. Tapi lelaki itu tidak menoleh. Ia tetap diam dalam posisinya. Semakin Ushijima mendekat, semakin ia bisa melihat bahwa pundaknya tengah menegang. Tangannya sibuk berkutat pada ponsel.

"Oikawa-san, mobil kita ada di arah lain? Apa kau ingin pergi ke suatu tempat? Biar kuantar--,"

"Pergi. Tinggalkan aku sendiri," balas Oikawa dengan nada dingin.

Apa yang terjadi?

"Apa kau tahu cara kembali ke guest house sendiri?"

"Tidak," sahut Oikawa sembari mengantongi ponselnya kembali, "tapi aku ingin sendiri sekarang. Pergilah bicara santai dengan mantanmu dan calon tunangannya lagi."

Ushijima sekarang tengah berdiri di hadapan Oikawa, menunggu penjelasan lelaki itu.

"Oikawa-san, katakan padaku! Ada masalah apa hingga kau tiba-tiba berlari tanpa arah?" desak Ushijima.

Oikawa mendengus kasar dan mendongak. Ia menatap pemuda di hadapannya dengan pupil yang bergetar. Napasnya terengah-engah seolah sedang menahan amarah.

"Aku baik-baik saja. Kembalilah! Aku tidak akan melakukan hal-hal aneh hanya karena mengetahui bahwa mantan kita akan saling bertunangan."

Ushijima tidak menyahut apapun. Ketika Oikawa selesai bicara, perlahan tapi pasti manik coklatnya berkaca-kaca. Napasnya berubah cepat. Bibirnya tengah terkatup, namun bergetar. Oikawa menggigitnya pelan, berusaha menahan tangis yang sebentar lagi akan muncul karena rasa frustasi.

Ushijima membuat hal yang sangat ingin ia lupakan muncul lagi dalam kepalanya. Oikawa tidak ingin mengingat Iwaizumi. Ia tidak ingin menerima fakta bahwa lelaki itu pergi ke Sydney dan bertunangan dengan orang lain, sementara dirinya di sini masih berharap untuk bisa bersama. Bahkan tadi pagi Oikawa masih bermimpi Iwaizumi melamarnya.

Mimpi itu tidak akan mungkin menjadi kenyataan. Tidak. Oikawa tidak akan mau merusak hubungan rumah tangga orang. Ia tidak mau melakukan apapun.

"Iwa-chan sialan," umpatnya sambil terisak. Oikawa memalingkan wajah agar Ushijima tidak melihatnya menangis. Tapi pemuda itu terlanjur tahu. Ushijima mengulurkan tangan, menyeka air mata yang hendak jatuh dari pelupuk Oikawa.

"Sialan. Kenapa dia--hiks--begitu santai saat sudah memiliki calon tunangan," tambah lelaki rambut coklat itu dengan suara bergetar. Oikawa tak kuasa menahan tangis. Tapi ia tidak ingin siapapun melihat sisi lemahnya, bahkan tidak dengan Ushijima.

"Ayo pergi," ucap si pemuda sembari menarik tangan Oikawa.

"Ke mana?" sahut lelaki itu masih terisak. Ia menyeka air mata dengan tangan kirinya sambil mengikuti langkah Ushijima. Tapi si pemuda tidak mengatakan apapun. Ia menarik Oikawa hingga mencapai mobil, membukakan pintu dan menyuruh lelaki itu masuk.

"Ke mana kau mau--hiks--membawaku pergi, Ushiwaka-chan?" tanya Oikawa sembari menundukkan wajah. Ushijima duduk di kursi kemudi. Ia mencondongkan tubuh dan meraih pembuka dashboard.

Tanpa mengucapkan sepatah katapun, pemuda itu mengulurkan kotak tisu ke hadapan Oikawa.

"Terima kasih," sahut lelaki itu sembari mengambil kotak dari tangan Ushijima. Ia mengambil satu lembar dan menangis sesuka hati, sementara Ushijima menyalakan mesin mobil dan beranjak dari parkiran.

"Kita kembali--hiks--ke guest house?" tanya Oikawa sambil menoleh ke arah pemuda di balik kemudi.

Ushijima perlahan berhenti di belakang lampu merah. Ia balas menatap Oikawa dan mata sembabnya.

"Bukankah kau bilang ingin kubawa pergi ke mana saja?"

Oikawa menatap bingung. Ia lupa pernah mengatakan hal seperti itu. Pikirannya sekarang dipenuhi masalah pertunangan Iwaizumi sampai tidak mengingat perkataan yang keluar dari mulutnya beberapa jam yang lalu.

"Apa kau punya rencana?" tanya Oikawa sebelum lampu lalu lintas berubah hijau. Ushijima berkutat dengan kemudinya sejenak dan berbelok ke arah timur.

Sekilas Oikawa melihat panah menuju Circular Quay di arah tujuan mereka. Jujur, ia sama sekali belum pernah melakukan riset soal Sydney. Oikawa tidak memiliki ide tentang apa yang ingin Ushijima lakukan dengan pergi menuju Circular Quay.

"Aku tidak benar-benar memiliki rencana," sahut pemuda itu, "tapi aku tidak ingin melihatmu menangis."

.

.

.

A Getaway

.

.

.

Circular Quay juga disebut sebagai gerbang masuk Sydney karena merupakan area pelabuhan. Tempat ini populer di kalangan para turis karena memiliki taman dan pusat perbelanjaan. Ketika para pendatang masuk ke area Australia, mereka melewati tenpat ini terlebih dahulu.

Tidak heran betapa ramai Circular Quay ini. Sepanjang jalan, Oikawa melihat orang-orang berkerumun. Ada sekumpulan anak kecil yang berlarian di trotoar untuk menikmati hari mereka.

Ushijima menyetir mobil Tendou ke arah kawasam galeri seni. Oikawa sibuk menengok keluar jendela, memperhatikan bagaimana pemuda olive melewati perhentian di museum seni begitu saja. Padahal Oikawa kira mereka akan mengagumi karya seni bersama.

Tidak. Tidak terdengar menarik. Tapi kalau itu usaha Ushijima Wakatoshi untuk menghibur suasana hatinya, Oikawa bisa memaklumi. Kesan pertamanya memang terlihat kaku, membosankan, juga aneh. Tidak perlu tersinggung.

Mobil mereka terparkir jauh dari seberang museum seni, melewati sebuah gerbang hitam nan anggun. Oikawa mengambil lembar tisu terakhir untuk mengusap matanya, berusaha untuk menghilangkan sembab walaupun tak banyak membantu.

Ushijima tiba-tiba saja sudah turun dan membukakan pintu untuk Oikawa. Lelaki berambut coklat itu mengernyit heran. Tapi tetap saja keluar dan berlagak seperti seorang bangsawan.

"Kau tidak perlu membukakan pintu untukku," protesnya sembari melipat kedua tangan, "apa aku terlihat seperti Ratu Elisabeth?"

"Lain kali akan kubiarkan kau membukanya sendiri. Ayo masuk," sahut Ushijima seraya menarik tangan Oikawa.

Mereka berjalan melewati gerbang hitam tadi dan masuk, menyambut taman botanik tertua di Sydney. Meskipun sudah menginjak awal musim gugur, namun tumbuhan-tumbuhan di sini masih tampak hijau.

Mata Oikawa seolah terfokus pada hamparan kamelia di dekat pintu masuk. Mereka menanam warna merah, kuning, dan putih dalam satu area yang sama. Lelaki itu berjongkok dan memandangi bunga-bunga, sebatas mengagumi tanpa menyentuh. Ushijima ikut berjongkok di sebelah Oikawa, memandangi hamparan bunga yang sama sambil tersenyum tipis.

"Indah," gumam Oikawa pelan sambil menyentuh rerumputan di bawah kamelia.

"Ayo," sahut Ushijima seraya bangkit berdiri. Ini baru area pertama. Taman seluas tiga puluh hektar ini akan sia-sia bila hanya dikagumi bagian kamelianya saja.

Oikawa ikut berdiri dan mengekor pemuda olive itu menyusuri jalan setapak taman. Di tangannya ia membawa peta yang menunjukkan lokasi seluruh area di dalam taman ini.

"Selanjutnya kita ke mana, tuan pemandu wisata?" tanya Oikawa sambil mengintip peta dari sisi lengan Ushijima. Ia mencari-cari sesuatu yang meyakikan, sesuatu yang mungkin saja lebih menarik dari hamparan bunga kamelia.

"Oh, apa itu? Wishing tree? Pohon permohonan?" Matanya terbelalak begitu melihat keterangan di sudut bawah peta. "Di sini ada yang seperti itu?"

Ushijima mengangguk singkat sebagau jawaban dan mata coklat Oikawa berbinar senang. "Kita ke sana," seru lelaki itu sembari merangkul lengan si pemuda. Mereka berjalan bersisian, menempel erat seolah sedang berkencan.

"Oikawa-san, pohonnya ke arah sana," tegur Ushijima saat Oikawa dengan santainya berbelok ke jalan yang salah. Lelaki rambut coklat itu tertawa canggung, lalu menarik lengan Ushijima lagi menuju arah yang benar.

Keduanya sampai di depan pohon pinus yang tinggi. Oikawa mendongak, memandang ke atas dengan takjub.

"Apa yang harus kulakukan agar permohonanku terkabul?" tanyanya antusias.

Ushijima mengusap dagunya sejenak, mengingat-ingat jawaban yang harus ia berikan untuk Oikawa Tooru. "Seingatku, orang-orang mengelilingi pohon ini tiga kali maju dan tiga kali mundur sebelum mengucap permohonan."

"Satu," seruan yang agak keras tertangkap oleh telinga Ushijima. Oikawa tanpa berpikir panjang langsung melakukan apa yang pemuda itu ucapkan.

"Dua." Putaran maju kedua.

"Tiga." Putaran maju ketiga.

Lalu Oikawa berjalan mundur dengan hati-hati sambil menghitung lagi. Ushijima hanya tersenyum memperhatikan kelakuan rekan perjalanannya. Ia tidak berniat menginterupsi apapun yang membuat lelaki itu merasa lebih baik.

"Aku ingin bertemu seseorang yang lebih baik daripada Iwaizumi Hajime dan jatuh cinta padanya lalu kita akan menikah duluan di Sydney, di depan laki-laki itu dan tunangannya," ucap Oikawa cepat-cepat. Ia menarik napas dalam-dalam sebelum menghembuskannya, membuat dirinya sendiri lega.

Ushijima mengerjap karena permohonan lelaki itu. Ia tak jemu tersenyum karena tingkah cepat dan tak terduga Oikawa. Dan semoga permintaan--yang lebih terdengar seperti balas dendam ini--bisa terwujud di masa depan.

"Oikawa-san. Sebenarnya pohon permohonan yang asli sudah ditebang sejak 1945. Jadi pohon yang kau kelilingi tadi sudah bukan--,"

"Ushiwaka-chan, jangan merusak suasana," potong Oikawa. Penjelasan itu tertera pada papan penanda di depan pohon pinus ini. Tapi Oikawa memilih untuk abai saja.

"Bawa aku ke tempat yang lebih indah dari kebun kamelia," minta lelaki itu sembari menyusuri jalan setapak lagi, meninggalkan Ushijima di belakang.

Sekilas pemuda olive itu menemukan ekspresi yang lebih cerah. Sembab pada mata Oikawa sudah berangsur memudar.

"Dengan senang hati, Ratu Elisabeth."

.

.

.

To be continued

Lama ya updetnya, biarlah wkwkw

Namanya juga kudu riset dulu, kan Pitik belom pernah ke Sydney.

Btw, ini ff, aku udah nyicil chapter terakhirnya tapi bagian tengah-tengahnya belum kukerjain samsek hahaha