Jujutsu Kaisen belongs to Gege Akutami

! Warning !

Mengandung konten BxB, OkkoIta, harem Yuji, semua orang suka Yuji, 18+, noncon, dubcon, NFSW, sedikit BDSM, yandere Yuta Okkotsu, possessive Yuta Okkotsu, pokoknya Yuta Okkotsu serem, maybe OOC, disini mereka anak sekolah biasa, gak ada kutukan, bottom Yuji, konten agak morally questionable, tolong jangan lanjut baca kalau anti sama hal-hal di atas ya.


"Selamat pagi, sayangku!"

Wajah tampan Yuta menyambut Yuji yang baru saja sadar. Yuji masih dalam pengaruh obat bius. Ia tidak bisa bergerak banyak. Namun Yuji masih bisa merasakan wangi lavender samar-samar masuk ke indra penciuman. Saat ini, Yuji sadar bahwa dirinya tengah terduduk di kasur dan kedua tangannya terikat tali.

"Ini dimana...?"

"Rumahku. Ah bukan, rumah kita berdua."

"Tapi..." Yuta menaruh telunjuknya di depan bibir Yuji, menyuruhnya untuk diam.

"Jangan membuatku mengulang kalimat, Yuji. Ini rumah kita, dan kamu akan tinggal disini. Bersamaku. Selamanya." Yuta mengulas senyum lebar, memperlihatkan gigi-gigi putihnya yang berderet rapi.

"Kak Okkotsu! Kenapa kamu melakukan ini!? Apa salahku!?" Yuji berteriak. Suaranya gemetar.

"Salah? Hmm apa ya." Yuta memejamkan matanya, berpura-pura membuat pose berpikir keras. "Yuji nggak salah apa-apa kok. Yang salah itu mereka."

"Mereka?"

"Laki-laki berambut hitam yang mirip landak," Yuta memegang dagu Yuji, membuatnya menatap mata Yuta lekat-lekat. "Dan guru mesum berkepala putih,"

Jantung Yuji rasanya sudah jatuh ke lutut saat itu juga. "Kamu apakan Fushiguro dan Pak Gojo!?"

"Sabar Yuji. Jangan teriak." Yuta makin mendekatkan bibirnya dengan bibir Yuji. Napas hangat saling bertemu, membangkitkan gairah Yuta. "Aku sudah mengirim mereka ke tempat yang seharusnya. Hukuman karena berani mengambilmu."

"Kenapa, Kak Okkotsu... Hiks." Air mata Yuji tumpah perlahan, menuruni pipi dan dagu.

"Jangan menangis, Yuji. Aku cuma memberi mereka hukuman."

Yuta mengusap tetesan hujan yang turun dari pelupuk mata Yuji. Ia mencium dahi, pipi, hidung, dan dagu Yuji. Diakhiri dengan lumatan lembut di bibir. Yuta menyatukan dahinya dengan dahi si manis berambut gulali. Manik segelap malam bertemu manik kecoklatan. Yuta terdiam sambil terus memandangi wajah adik kelasnya. Yuji masih sedikit sesenggukan. Rona merah mewarnai pangkal hidung sampai ujung telinganya, sisa-sisa air mata terjatuh sedikit demi sedikit dari bulu mata lentik Yuji.

Bohong kalau Yuta bilang dia tidak terangsang melihat wajah Yuji yang saat ini —menurutnya— semakin manis. Ia merasa bagian bawah tubuhnya mulai menegang dan terasa sesak. Yuta tak dapat menahan hasratnya lagi.

Ia langsung meraup bibir Yuji. Membawanya ke dalam ciuman panas, memabukkan. Yuji berusaha menolak, menggerak-gerakkan wajahnya tidak nyaman. Yuta masih memaksa. Lidahnya menyelusup masuk, mengabsen deretan gigi Yuji tanpa terkecuali. Menghisap, mengulum, mencium terus menerus. Yuta melepas pagutannya setelah dua menit berciuman. Jaring saliva melintang tercipta di antara bibir mereka berdua.

Yuta memandang Yuji.

Anak itu terlihat sangat kacau dengan wajah memerah, bibir bengkak yang sedikit terbuka, liur di ujung dagu, keringat yang bercucuran dan juga... Yuta melirik bagian selatan Yuji. Kelihatannya adik kelasnya yang manis itu ikut terbangun karena ciuman barusan. Celana Yuji pun sudah sedikit basah, membuat Yuta makin bergairah.

"Kak Okkotsu... Ngghh," Yuji mendesah tatkala Yuta menekan miliknya.

"Panggil aku Yuta seperti dulu, Yuji." Bisik Yuta di telinga Yuji, lalu menggigitnya.

"Ah.. Apa maksudnya seperti dulu... ah!"

Yuta membaringkan badan Yuji agak kasar. Pandangan matanya menggelap. Raut wajahnya berubah dingin, tetapi ia tersenyum. "Nggak papa kalau kamu nggak ingat. Akan kubuat ingat secepatnya."

.

.

.

Yuji masih tidak menyangka semua akan berakhir begini.

Badannya direngkuh erat, seolah menolak untuk dilepaskan. Tangan itu bergerak, bergerilya menyusuri setiap inci badan Yuji. Sesekali, tanda kemerahan ditinggalkan di pundak, leher, ataupun puncak dadanya. Seolah tak puas, Yuta terus menggigiti seluruh kulit Yuji sampai ke bagian dalam paha. Yuji yakin bekas ini akan lama hilangnya.

Jari-jari Yuta masih bermain di lubang itu. Menari, memutar, sembari mencari titik yang akan membuat Yuji berteriak nikmat.

"Ngghh... Ah... Kak Okkotsu..."

"Panggil aku Yuta," Ucapnya sambil terus menggigiti perut Yuji. "Ayo, Yuji. Panggil namaku." Yuta menambahkan satu jari yang masuk.

"Ah! Kak Yuta..." Yuji melenguh.

Yuta tersenyum puas. Ia mengeluarkan jarinya, membuat Yuji merasa kosong. Yuji menatap Yuta sayu.

"Aku sudah nggak bisa menahannya."

Celana hitam diturunkan. Memperlihatkan batang milik Yuta yang sudah menegang sepenuhnya. Yuta mendekati wajah Yuji, mengecup pelan pipinya dan berbisik. "Kalau sakit cakar saja punggungku."

Dalam sekali hentakan, milik Yuta masuk ke dalam lubang Yuji. Membuat sang submisif tersentak. Desahan terlontar secara spontan, menggema dalam kamar.

"Ah! Ahhh! Nnhhh... Kak Yu... Ta... Ukh, pelan-pelan..."

Yuta tak menuruti permintaan Yuji. Ia menyeringai. Pinggul terus menghentak, kecepatannya justru ditambah. Akal sehat sudah terbuang, hanya ada nafsu yang menguasai pikiran. Saat ini Yuta hanya ingin Yuji, Yuji dan Yuji. Tidak ada yang lain. Setetes demi setetes air mata Yuji turun ke bantal. Gairah Yuta semakin terbakar melihat pemandangan di bawah kurungannya.

"Sudah lama aku mencintaimu, Yuji... Senyummu, kebaikanmu, wajahmu, semuanya nggak bisa kulupakan, bahkan setelah kamu pindah..." Yuta berbisik di tengah desahan. "Ayo, ingatlah padaku, sayang."

Yuta menggeram pelan. Yuji masih mendesah sembari terpejam, tak kuat menyesuaikan tempo Yuta yang kasar dan cepat. Bibir merah Yuji yang sudah membengkak kembali dilumat dengan nafsu.

"Ingatlah, aku satu-satunya kekasihmu."

Satu hentakan keras mengakhiri segalanya. Yuta mengeluarkan semua cairannya di dalam Yuji. Menumpahkan semua nafsu dan birahinya sampai ia puas.

Yuji melenguh pelan. Yuta mengatur napas. Disibaknya surai raven ke belakang. Si dominan tertawa senang. Dipeluknya badan Yuji yang masih lemas.

"Terimakasih, kekasihku."

Anak itu hanya menatap langit-langit dengan sayu. Peluh masih menetes dari pelipis, bagian pinggangnya sudah mati rasa. Dirinya terjatuh dalam genggaman tangan Yuta. Tidak ada tempat untuk lari, karena Yuta akan selalu menggenggam rantai yang terpasang di dalam dirinya erat-erat.

.

.

.

Entah sudah berapa lama Choso mematahkan isi pensil mekaniknya. Dia sedang tidak fokus. Dia rindu Yuji. Sangat rindu. Dirinya baru saja kembali dari rumah sakit setelah peristiwa jatuh dari tangga tiga hari yang lalu. Sukuna masih dirawat di rumah sakit karena keadaannya cukup parah, sedangkan Maki sudah bisa pulang. Keadaan kaki Nobara pun mulai membaik. Dan sekarang Choso harus mengejar ketertinggalan pelajarannya selama tiga hari.

Choso mengusap wajahnya frustasi. Dia memutuskan untuk menutup buku pelajaran. Saat itu, dia baru saja siuman. Sebagai seorang kakak yang —kelewat— menyayangi adik, dia langsung buru-buru menanyakan keadaan Yuji. Pandangan sedih dari Nobara adalah jawaban untuk Choso. Dia yang keras kepala, berusaha turun dari kasur dan ingin mencari adik kelasnya. Tentu saja kejadian waktu itu diakhiri dengan omelan Nobara yang akhirnya membuat Choso kembali beristirahat di ranjang rumah sakit.

Nobara berjanji, dia akan mengantar Choso menemui Yuji setelah mereka berdua sudah cukup sehat dan diperbolehkan keluar rumah sakit.

Dan itu adalah hari ini.

Tok! Tok! Tok! Pintu rumah diketuk sebanyak tiga kali. Choso menunggu sambil berharap-harap cemas. Nobara yang mendampinginya pun ikut gelisah.

Pintu dibuka, menampilkan sesosok pria berambut merah jambu dan berkacamata. Itadori Jin, ayah Yuji. "Ada apa ya?"

"Anu... Apa Yuji ada?" Tanya Choso.

Jin menunduk. "Sebetulnya Yuji sudah nggak pulang ke rumah selama dua hari. Kami mencarinya kemana-mana, bahkan melapor ke polisi. Tetapi hasilnya... Nihil."

"Apa... Apa ada petunjuk Yuji ada di mana?"

"Seharusnya ada." Jin menghela napas. "Tapi saat kami berusaha menyelidiki lebih jauh, entah kenapa tidak ada hasil. Seolah-olah Yuji itu tidak diculik. Seolah dia kabur dan menghilang begitu saja,"

Choso mengerutkan dahi. "Begitu ya. Tapi saya yakin Yuji nggak mungkin kabur. Dia bukan tipe anak yang kelihatan begitu."

Jin mengangguk setuju. "Aku juga yakin, Yuji nggak mungkin kabur begitu saja tanpa alasan. Dia itu anak yang kalau ada masalah pasti bicara baik-baik."

"Kalau begitu... Apa nggak ada seseorang yang akhir-akhir ini mencurigakan?" Kini giliran Nobara bertanya.

"Apa ya?" Jin mengelus dagu. "Nggak ada, sejujurnya. Semua berjalan normal. Kecuali berita dari sekolah kalian soal teman Yuji yang hilang dan Pak Gojo yang terbunuh."

Setelah berbincang-bincang beberapa menit, akhirnya Choso dan Nobara memutuskan untuk pamit. Mereka berjanji akan ikut mencari Yuji.

Jin bersandar pada pintu rumahnya. Ia memijit dahi, merasa pusing. Istrinya masih berada di luar negeri. Berkata bahwa ia akan pulang besok, karena ia baru saja mendapat izin untuk cuti sebulan. Jin ingat, pertama kali istrinya mendapat kabar tentang Yuji, ia langsung kalang kabut dan berkata akan buru-buru meminta izin untuk pulang. Sejujurnya Jin merasa tidak enak membuat istrinya terburu-buru kembali ke Jepang. Tapi mau bagaimana lagi. Bagaimanapun juga, seorang ibu harus mengetahui kabar anaknya.

Kaki melangkah menuju dapur. Di tengah jalan, fokusnya teralihkan pada sebuah kaos putih bertuliskan kalimat 'I Heart You' di tengahnya.

"Punya siapa ini? Apa mungkin punya Yuji dikasih oleh temannya?"

Jin mengendikkan bahu. "Bisa jadi." Ditaruhnya kembali kaus tersebut, kemudian ia melanjutkan perjalanan menuju dapur.

Secangkir teh mungkin dapat menenangkan pikirannya yang kacau.

.

.

.

"Data anak bernama Okkotsu Yuta... Nggak ada?"

Mei Mei, pengurus data-data siswa sekolah mengerutkan dahi. "Nggak ada. Jelas-jelas aku menyimpannya. Coba kuteliti lagi."

Matanya terus meneliti setiap baris kata yang tertulis di komputer. Sudah dua menit mencari, namun ia tidak menemukan hasil. Tidak menyerah, ia juga mencari data yang sudah berbentuk fisik alias print out di stopmap khusus. Tetapi sama saja.

Mei Mei menatap Nobara dan Choso khawatir. "Ini aneh. Aku nggak bisa menemukan datanya sama sekali."

"Yang benar?"

"Iya. Tiba-tiba hilang begitu saja."

"Apa dia nggak pindah sekolah?" Choso memajukan badannya.

Mei Mei menggeleng. "Nggak. Kalau pindah, pasti ada laporan masuk juga."

Nobara dan Choso saling berpandangan. Akhirnya mereka pamit, memutuskan untuk mengakhiri pencarian hari itu.

.

.

.

"Menurutmu Itadori kemana, kak?" Nobara menendangi kerikil kecil di hadapannya.

Choso melirik Nobara dari sudut matanya. "Pasti ada hubungannya dengan Okkotsu Yuta. Aku nggak tahu dia siapa, tapi pasti anak itu bukan orang sembarangan karena sampai bisa mengutak-atik data sekolah."

Nobara hanya menggumam setuju.

"Apa Kak Choso masih mau mencari Itadori sampai seterusnya?"

"Sampai kapanpun, aku akan terus mencari adikku. Mau itu sepuluh tahun, seratus, atau seribu tahun, aku akan terus mencari Yuji."

"Kak Choso benar-benar sayang dengan Itadori ya." Nobara menatap langit yang mulai berubah jingga. "Tapi aku paham kok. Anak itu memang suka masuk seenaknya ke hidup orang lain, sok akrab, lalu membuat sebuah ikatan."

Nobara terdiam sejenak. "Aku nggak benci sih." Ia mengambil satu batu kerikil berukuran sedang, lalu melemparnya ke tengah danau. "Tapi..." Ditariknya napas panjang. Nobara memanjat pagar yang membatasi dirinya dengan air danau di bawah sana.

"TANGGUNG JAWAB, ITADORI BODOH! JANGAN SEENAKNYA PERGI!" Ia berteriak super kencang. Emosi yang ditahannya sedari kemarin sudah mencapai batas. Dan hari ini, Nobara membiarkannya mengalir tanpa ragu. "AWAS, POKOKNYA AKU AKAN MEMUKULMU KALAU KITA KETEMU!"

Nobara mengatur napas. Ia menuruni pagar pembatas, lalu duduk sambil menenggelamkan wajahnya di antara lutut.

Sebuah tepukan mendarat di kepala Nobara. Choso berusaha membuatnya tenang tanpa berkata apapun. Keheningan menyelimuti mereka berdua selama beberapa menit. Angin bertiup pelan membelai wajah Choso, seolah ingin menghiburnya. Dua orang itu masih berada pada posisi sama. Menikmati sore yang perlahan berubah menjadi malam.

Nobara berdiri. "Aku mau pulang." Ia mengusap air matanya.

"Aku antar."

"Tapi aku mau mampir dulu ke supermarket. Aku mau eskrim."

"Ya, aku belikan."

"Yang benar!? Yes!"

Choso tertawa kecil melihat ekspresi Nobara yang berganti dengan cepat. Mereka pun berjalan beriringan menuju arah tenggelamnya matahari. Sesekali mengobrol dan tertawa membahas hal tidak penting.

Senyum Choso luntur tatkala seorang pria bertopi, memakai pakaian putih melewatinya dan Nobara. Wangi lavender samar-samar memasuki hidungnya.

"Kamu—," Choso berbalik, akan mengejar pria tersebut. Namun ia terlambat. Pria itu sudah hilang ditelan kerumunan.

Choso masih terdiam dan memasang wajah curiga. Aku yakin aku mengenalnya.

"Kak Choso?" Nobara menarik jaket yang dikenakan Choso. "Kenapa?"

"Aku... Nggak. Nggak papa. Ayo jalan lagi."

.

.

.

Pintu terbuka. Tas belanja berisi bahan makanan diletakkan di lantai. Luaran berwarna putih diletakkan di gantungan. Begitu pula dengan topi yang ia kenakan. Kakinya melangkah tak sabar menuju ruang tengah. Ia ingin cepat-cepat melihat kekasih tersayangnya. Satu jam saja tak bertemu, rasanya sudah rindu!

Ia mengintip ruang tengah. Terlihat kekasih tercintanya sedang duduk di sofa, membelakangi dirinya.

"Yuji~ aku pulang."

Ia memeluk leher Yuji dari belakang. Yuji berbalik dan tersenyum sayu. Pandangannya yang kosong menatap Yuta tidak bersemangat.

"Selamat datang, Kak Yuta." Yuji berdiri dari posisi duduknya. Ia mengambil tas belanja yang terletak di lantai dan membawanya ke dapur.

"Hari ini Kak Yuta mau makan apa?"

Gerakan Yuji yang sedang mengatur bahan makanan terhenti saat Yuta memeluknya dari belakang. Napas hangat berembus di telinga, terdapat nafsu di dalamnya. Yuji dapat merasakan sesuatu yang keras menusuk bokongnya. Yuji tahu apa itu.

Ah, lagi-lagi... Yuji meringis.

"Kak, aku harus memasak dulu." Yuji merasa risih. "Memang kakak nggak lapar?"

"Lapar kok." Yuta berbisik dengan nada suara rendah di telinga Yuji. "Aku mau makan kamu."

Seketika, Yuji didudukkan di atas meja. Sebagian bahan makanan berserakan, sebagian jatuh ke lantai. Tangan Yuta mulai menggerayangi kulit Yuji.

Ini pasti nggak akan selesai hanya dalam satu ronde. Keluhnya dalam hati.

Itadori Yuji, murid kelas satu SMA Jujutsu yang manis dan penyayang. Ia disenangi semua orang. Benar-benar idaman.

Namun, ia memiliki kelemahan.

Kebaikannya.

Ya, kebaikannya adalah kelemahannya.

Seandainya saja Yuji bisa memutar waktu, ia tidak akan menemui Yuta dan menyelamatkannya pada waktu itu! Tidak akan!

.

.

.

Lovers, end.

A/N

Terimakasih banyak buat yang sudah baca, dan makasih juga atas review kalian ;w;