Pelakor yang Sah by Rameen
[U. Naruto x H. Hinata]
Disclaimer : Masasi Kishimoto

Naruto menggantung kembali handuk putih di tempatnya setelah memastikan jika rambut pirang itu tak lagi mengalirkan air. Memang masih lembab, tapi dia tak punya waktu untuk memakai pengering rambut. Itu akan membuat Shion menunggu lebih lama.

Memang masih canggung, tapi Naruto berusaha sebaik mungkin untuk bisa membuat Shion senang. Bagaimanapun, wanita itu adalah istrinya sekarang. Dia benar-benar harus melupakan seseorang yang bukan miliknya.

Naruto mendesah. Ragu apakah hal itu bisa dilakukan.

Setelah selesai, dia kembali ke dapur. Perutnya sudah sangat lapar. Makan dan mengobrol bersama mungkin akan membuat mood Shion lebih baik. Kejadian kemarin malam tentu masih tak sedap diingat.

"Aku sudah selesai. Ayo kita makan." Ajakan makan itu diabaikan oleh sang istri yang berdiri diam di samping meja makan. Terlihat makanan sudah tersaji di atasnya, tapi tak sedikit pun tersentuh. "Shion?" panggilnya ragu.

Bukannya menjawab, Shion justru mengangkat tangannya dan meletakkan tas ke meja dengan ekspresi datar.

Namun, dengan sekali lirik, Naruto menelan ludah tanpa sadar.
... 'Kapan Hinata datang?!'

Jeritan hati Naruto sepertinya sampai secara tepat kepada Shion. Wanita itu menoleh dan berbicara santai. "Dia datang saat kau mandi."

Naruto hanya bisa diam.

"Jadi ... di mana tepatnya kau bilang tas bekal ini ketinggalan tadi?"

"Uhm, Shion ... aku bisa jelaskan."

Shion mengangguk. "Aku menunggu."

"... aku makan di cafetaria kantor karena ruanganku sepi saat istirahat. Lalu dia datang dan duduk di depanku serta mengambil bekalku. Jadi aku pergi."

Ini penyiksaan! Naruto sungguh tak ingin berbohong, apalagi yang dia bohongi adalah istrinya sendiri. Hal itu membuatnya merasa telah melakukan perselingkuhan dengan Hinata.

Sial! Memikirkan hal itu, membuatnya ingat dengan ajakan Hinata yang menggodanya kemarin.

Namun, Naruto hanya merasa jika dia tak seharusnya menceritakan kronologi sebenarnya kepada Shion jika tak ingin wanita ini lebih marah.

"Shion, aku benar-benar sudah menghindarinya."

"Baiklah. Aku mengerti."

Sedikit kelegaan mengalir di dada Naruto. "Bagaimana kalau kita makan saja sekarang?"

"Silakan makan sendiri. Aku kenyang."

Kelegaan itu hancur seketika. Naruto mencoba meraih tangan Shion saat wanita itu ingin melangkah pergi. "Shion, maafkan aku."

Namun, Shion menepis genggaman itu tanpa peduli.

"Shion, aku tak akan mengulanginya lagi. Dengarkan aku dulu. Aku yang salah, aku minta maaf. Shion, aku-"

Langkah Naruto terhenti dengan mata terpejam ketika sekilas ingatan membuat kepalanya sakit. Samar dia melihat Shion yang masih terus berjalan pergi menuju kamar mereka.

Naruto menyerah untuk mengejar. Dia memegangi kepalanya yang masih berdenyut, mencari letak kursi untuk bisa mendudukkan diri.

"Apa yang salah?" gumamnya pelan. Ingatan yang melintas seolah menunjukkan potongan kejadian serupa di mana dia mengejar Shion sambil membujuk meminta maaf.

Senyum miris muncul di bibirnya ketika dia mulai ingat itu mungkin hal yang dia lupakan sebelum pernikahan. "Sepertinya bahkan sebelum menikah, aku sering membuatnya marah. Maafkan aku, Shion."

Jika bisa memilih, Naruto ingin mengingat kembali kejadian 3 minggu yang terlupa. Sayangnya dia bahkan melupakan pernikahannya dengan Shion yang membuat Shion menjadi lebih dingin dari sikap wanita itu sebelumnya.

Naruto mengerti kenapa Shion bersikap seperti itu. Bagaimanapun, Naruto melupakan pernikahan mereka dan masih menolak untuk menyentuhnya. Sebagai istri, tentu Shion tak mungkin senang.

Sekarang, Hinata justru datang dan menambah kecanggungan antara keduanya.

.

Suara pintu yang terkunci melepaskan desahan Shion di balik pintu. Tangannya naik menutup wajah yang tampak lelah. Terlihat ingin mengamuk, tapi sebisa mungkin ditahan.

Netranya melirik, menatap fotonya dan Naruto di meja kecil di samping ranjang. Itu diambil ketika mereka mencoba pakaian pengantin. Saat itu, Shion tak membayangkan hal seperti ini.

Dia berjalan menuju lemari, membuka dan mencari sesuatu yang dia simpan di sudut lemari. Sekotak kecil perhiasan, di mana di bagian bawah, dia menyimpan selembar foto yang terlipat.

Lipatan itu dia buka, sehingga menunjukkan foto lain. Gambar seorang lelaki yang tersenyum lembut sembari memeluknya terlihat begitu jelas. Sedikit pun belum menunjukkan kelusuhan meski sudah lima tahun sejak dicetak oleh sang lelaki hari itu.

Shion tersenyum ringan, matanya menunjukkan sorot kerinduan yang amat sangat terhadap kekasih tercintanya. Kekasih yang sangat peduli dan menyayanginya. Tak peduli seberapa lama, bagi Shion, lelaki itu tetaplah kekasihnya.

Saat ini, dia memang mencintai Naruto. Namun, tak ada yang bisa menggantikan posisi kekasih pertamanya sebagai seseorang yang lebih dia cintai.

Seandainya saja orang itu masih hidup.

Shion tak terpikir untuk mencintai lelaki lain sejak saat itu. Namun, kehadiran dan sifat Naruto membuatnya nyaman. Tanpa dia sadari, dia ingin Naruto menjadi miliknya.

Hanya saja saat itu, perhatian Naruto sepenuhnya tertuju pada Hinata hingga membuat Shion bahkan tak bisa mencuri sedikit pun celah antara mereka.

Sampai ... perempuan itu meninggalkan Naruto dalam kekacauan yang tentu saja dimanfaatkan dengan baik oleh Shion untuk mendapatkan tempat yang dia inginkan.

Namun ... hanya beberapa bulan saja dia memiliki waktu. Wanita itu lagi-lagi ingin mengacaukan kebahagiaannya.

Cengkraman Shion mengerat di foto itu, tatapan tajam penuh kebencian yang di arahkan kepada seorang Hyuuga yang tadi dengan jelas mengatakan akan merebut Naruto darinya.

"Aku membencimu Hinata. Aku sangat membencimu!" ujarnya tertahan.

Memeluk erat hal berharga baginya yang menyimpan protret sang kekasih, sekedar untuk mengingatkannya agar tetap bertahan.

"Aku tak akan memberikan Naruto. Au tak akan melepaskan orang yang kucintai lagi karena kau."

Tekad itu mengudara dalam ruangan sunyi nan dingin, menghantarkan kesepian yang merasuk hingga ke dalam jiwa.

.

'Kau ... ?'

'Ya, ini aku. Kenapa? Apa kau sama sekali tak memikirkan aku?'

'... apa kau harus melakukan ini untuk menghancurkan hidupku?!'

'Kau yang menghancurkan hidupku lebih dulu!'

"...?!" Netra ungu itu tersentak terbuka dan menatap kosong keterkejutan akibat mimpi yang baru saja terjadi. Hanya beberapa detik, sebelum pemiliknya menarik mafas panjang dan kembali tenang.

Saat itulah ketuka pintu kamar terdengar. "Apa?"

"Bangunlah, aku sudah membuatkan omurice."

Hinata tak lagi menjawab, dia mendudukkan dirinya dan sedikit menguap. Masih ngantuk.

Dia sudah akan beranjak keluar kamar ketika sesuatu terpikirkan tiba-tiba. Pasti seru menyapa suami orang di pagi hari-itulah yang dia pikirkan dengan riang.

Handphone layar sentuh lipat yang ada di meja dia raih dengan cepat. Membuka aplikasi chat dengan cepat dan mengetik sebaris pesan dengan santai.

'Selamat pagi, Naruto. Tidurmu nyenyak? Apa kau memimpikan aku semalam? Semoga harimu menyenangkan. Oh ya, titip salam untuk 'istri' tercinta.'

Dia memberikan emoticon berkedip sebelah mata dan emoticon hati di akhir pesan. Lalu mengangguk puas ketika pesan itu terkirim dengan baik.

"Ini bagus. Aku akan menyapanya di pagi dan malam hari," ujarnya riang sembari menutup kembali lipatan handphone sebelum menaruhnya kembali ke tempat semula.

Meneruskan rencana awal, Hinata beranjak dari ranjangnya dan keluar kamar. Sapaan paginya kepada Sasori terhenti ketika sosok lain terlihat di salah satu kursi makan di dapur apartemennya.

Dia tinggal sendiri di apartemen sederhana lantai 5 sebuah gedung. Namun, semalam Sasori datang menginap dengan alasan ban mobilnya pecah. Sudah larut untuk mencari taksi, jadi memilih untuk menginap di apartemen kecil itu.

Hinata sendiri tak terlalu peduli karena setelah memersilakan Sasori masuk, dia langsung mengunci diri di kamar untuk tidur. Tak peduli Sasori mau tidur di mana saja.

Namun, kenapa pagi ini penghuni di rumahnya bertambah? "Apa yang kau lakukan di sini?" tanyanya pada sang tamu tak diundang saat dia mengambil satu kursi untuk ditempati.

"Numpang sarapan, tentu saja. Sasori tak ada untuk membuat sarapan, jadi aku menyusulnya ke sini."

"Deidara, berhenti bicara seolah aku istrimu yang harus selalu membuatkan makanan."

Deidara mengangkat bahu tak peduli.

Hinata menyipitkan matanya tak suka. Sejujurnya, dia masih ingin menendang lelaki berambut pirang panjang ini setiap hari karena kejadian sebelumnya, tapi Hinata menahan. Setidaknya sekarang Deidara ada membantunya beberapa hal.

Namun tetap saja dia masih kesal. "Oh jadi begitu," jawabnya merespon alasan Deidara yang menumpang makan di rumahnya. "Kasihan, sepertinya suamiku kelaparan."

"Uhuk uhuk." Deidara tersedak tiba-tiba.

"Oh ya ampun, suamiku tersedak. Apa suamiku mau minum? Tentu saja, suamiku harus minum sebelum mati tersedak," ucapan itu begitu lembut dan mendayu, berbanding terbalik dengan makna ucapannya.

Tangan Deidara yang meraih jus jeruk terhenti seketika. "Sasori, kau yang membuat jus jeruk ini, 'kan? Kau tidak menambah racun ke dalamnya, 'kan?"

"Entahlah. Aku hanya mengambil minuman yang ada dalam kulkas," jawab Sasori tanpa sedikit pun melirik.

Deidara melepaskan gelas jus itu dan meraih air putih milik Sasori sebelum meneguknya hingga setengah.

Hinata berdecak dramatis. "Suamiku, kau mengira aku akan meracunimu? Aku tak akan melakukan itu. Aku akan lebih senang mencekikmu sampai mati secara langsung, suamiku."

Deidara tak mengira wanita ini akan berubah sedemikian rupa. "Hinata, bisakah kau berhenti menyebutku begitu?"

"Kenapa? Bukankah kau yang mengatakan pada Naruto jika kau adalah suamiku?"

Deidara meringis. Sudah 2 hari Hinata memanggilnya begitu sebagai bentuk protes dan sindiran kemarahan.

Saat itu, tiba-tiba saja Hinata melotot dan menendang tulang keringnya. 'Kau mengaku sebagai suamiku pada Naruto di restouran waktu itu, 'kan?!'-itulah yang dia teriakan. Jadi Deidara sadar kalau Hinata sudah bertemu Naruto dan tahu akan kejadian di restauran dari pengakuan Naruto.

Anehnya, setelah Hinata menceritakan pertemuannya dengan Naruto di depan rumah lelaki itu, Hinata justru meng-iyakan saja kebohongan Deidara dan menggunakannya untuk menggoda Naruto. Lalu kenapa sekarang dia mengamuk? Deidara tak mengerti.

Setelah itu, Hinata selalu memanggilnya dengan sebutan 'suami' yang membuat tulang keringnya berdenyut kembali.

"Baiklah, aku salah. Aku sudah minta maaf. Kau sangat pendendam, Hinata."

"Memang! Jadi ... aku harap 'suamiku' siap menerima semua dendamku."

Deidara menelan ludah seraya berbisik dengan senpai di sebelahnya. "Dia berubah sepenuhnya hanya dalam lima bulan."

"Jangan membuat wanita marah, mereka akan sangat menakutkan." Sasori mengatakan satu kalimat secara jelas, lalu mengangguk saat akhirnya paham maksud dari kalimat tersebut.

~~~~ to be continued ~~~~

(18-05-2021)