A/N: WOOII! BUSET, KALIAN NGGAK TAHU SEBERAPA KANGEN SAYA NULIS BEGINIAN, WOII! QAQ #nariSalsa #mulaikerasukan #kayangmaksimal. HHHHH, kayaknya saya mesti mengondisikan jari terlebih dahulu biar nggak sekadar ngetik capslock doang tanpa titik dan hanya menumpahkan curcol berisi ungkapan-ungkapan berbau kangen, euforia dan segala bentuk kehebohan ini! #saltobelakang

MOHON MAAP SEBELUMNYA KARENA SAYA TELAH MENJADI AUTHOR YANG TIDAK BERTANGGUNG JAWAB SELAMA TUJUH TAHUN TERAKHIR! #fontsize72 #bold #emotnangisdarah

Tapi, tapi, akhirnya saya berhasil menyelesaikan ini, sodara-sodara. Sumpah, saya pun heran dapat ilham dari mana, tapi semoga sering-sering dapat pencerahan begini, yes #meratapisisafanficyangterbengkalai

Saya bingung mau nulis apa lagi karena kayaknya orang-orang juga sudah mulai lupa sama fanfic ini :"")) /YAIYALAHLUKEMANAAJABOI

Saya hanya berharap orang-orang yang (masih) menunggu fic ini, mungkin jadi sedikit terhibur dan bisa segera terobati kangennya (buset siapa juga yang kangen /plak). Gatau deh, saya nulis ini buat ajang seneng-seneng saja, karena setelah 7 tahun terlewati, banyak perubahan dari segi mental dan pikiran yang sama alami dan—mungkin—sedikit mengubah gaya berpikir saya. Hhhh, adulting is hard, brooh. Bagi yang lagi ngadepin fase depresi, Quarter Life Crisis, bingung dengan masa depan, yok, merapat yok! /virtualhug /malahcurhat

Eniwei, tanpa basa-basi, semoga kalian suka chapter kali ini, yaak!

Saya nulisnya dengan perasaan enjoy dan semoga kalian juga menikmatinyaa~ UwU

Disclaimer: Demi anime Hetalia yang epic comeback di musim ini, saya menuturkan bawa Hetalia dan segala personifikasi negara yang hidup di dalamnya adalah milik Yang Mulia Paduka Himaruya Hidekaz dan saya sama sekali tidak mengambil keuntungan materiil atas petualangan bobrok dari kelima reporter ini.

Warn: 6600 words untuk segala petualangan, aksi, pengkhianatan, persahabatan, dan cinta yang merona dalam chapter ini /plak. Flashback bertebaran. Tabir kebenaran mulai terungkap /halah

Listening to: Aalia – Adrenaline. Ini gara-gara saya nonton Vincenzo dan dengerin ini pas di suatu memorable scene (bengek hyung), berasa langsung pegang beretta /heh Juga sama satu lagi dari Elephante – Have It All. Yes, saya anak-anak Mr. SuicideSheep /vibing


Summary: Sumber dari segala penyerangan sporadis di Berlin, teror ledakan di penjara Italia, bahkan kecelakaan maut yang diterima oleh sang pemuda Indonesia di Brussel, membawa sang mafia Belanda pada satu kesimpulan pasti, bahwa musuhnya tengah bergerak. Dengan sedikit bantuan dari teman-teman lamanya, The NEWS, ia berjuang untuk satu harapan: mengungkap kebenaran.


.

.

Arr-Kansas

by Raputopu

.

Hetalia: Axis Powers

by Himaruya Hidekaz

.

.


Berlin, Germany
Kantor Pusat The NEWS

24 Februari

Hari ini ada yang tidak biasa di persimpangan Jalan Mehringdamm.

Halaman depan kantor The NEWS—yang meski lebih mirip disebut rumah kontrakan primitif—yang pada hari-hari biasa selalu terlihat senyap dan hanya diisi koar burung dara kelaparan yang menunggu diberi asupan makan siang oleh Antonio, kini—tiba-tiba saja—menjadi primadona bahan gosip warga sepanjang minggu ini.

Semuanya terjadi tepat setelah munculnya berita bombastis yang menunjuk The NEWS sebagai dalang dari semua aksi pembunuhan geger yang terjadi di pelataran Berlin belakangan ini—yang sebenarnya pun membuat Ludwig merasa sangsi, karena, jangankan membunuh orang, melihat Natalia memakai pisau untuk memotong kuku kaki saja, keempat temannya sudah menjerit panik dan terserang secara mental.

Halaman depan gedung malang itu kini dipadati oleh segerombolan pendemo dari segala arah. Mereka berusaha merengsek masuk dengan cara mendobrak pintu depan. Padahal tanpa didobrak pun pintu kayu yang sudah reot itu akan roboh sendiri apabila sudah waktunya.

"Pembunuh!"

"Membusuklah di penjara!"

"Hancurkan gedung kumuh ini!"

"Sudah kubilang, sebaiknya bawa berita gosip saja!"

Ludwig memijat pelipisnya dengan letih.

Sudah banyak tenaga, waktu, dan sisa tabungan yang ia lowongkan untuk membangun bisnis ini. Meski uang dan ketenaran yang mereka hasilkan memang sempat menggelimang dan menjajakkan popularitas, namun identitas dari kelima reporter bar-bar dan bos mereka yang tabah itu tetaplah sama seperti sejak pertama kali mereka memasang papan nama bertuliskan "The NEWS" dari kayu bekas sisa kamar lama Gilbert. Berbekal rasa ingin berpetulang yang tak terbendung, disertai kebutuhan finansial yang semakin mencekik, maka mereka bertekad untuk mendirikan tempat ini.

Tidak pernah terlintas barang sedetik pun dalam pikiran Ludwig untuk terlibat dalam kasus skenario drama kriminal seperti ini.

Ludwig Beilschmidt, sang pemilik kantor The NEWS, sekaligus adik bungsu dari Gilbert Beilschmidt, sang reporter, berusaha menahan diri untuk tidak turun ke jalanan dan menggasak para pendemo itu satu per satu. Lumayan untuk meregangkan otot di pagi hari. Meski jelas ia akan kalah jumlah, namun setidaknya akan ada beberapa hidung pendemo yang patah dan tidak bisa sembuh sampai seminggu ke depan.

Lagipula para pendemo adalah penduduk sipil. Warga negara biasa. Tidak mengerti apapun soal perkara ini. Yang mereka lihat hanyalah sejumlah baris tulisan selebar satu petak kecil di bawah kolom koran. Dan mereka menganggap semua itu adalah seluruh kejadian yang terjadi, pikir Ludwig dalam hati.

Sungguh konyol.

Inilah mengapa pentingnya memilah berita sebelum dicerna mentah-mentah.

Sambil menunggu ajalnya, tiba-tiba Ludwig mendengar bunyi peluit polisi dari kejauhan. Tak berapa lama bunyi ringsek ban mobil yang dipacu tinggi berdecit di sepanjang pelataran jalan. Dari ujung persimpangan, nampak manuver mobil hitam bersirine merah menyala yang datang menerobos lampu merah dan memberi peringatan untuk membuka jalan.

Mobil polisi berplat Italia itu kontan langsung menjadi pusat perhatian.

Suara interkom yang bergema dari pengeras suara menginstruksikan kepada para pendemo untuk segera membubarkan diri dan membersihkan area perkumpulan.

"Dimohon kesediaan warga Berlin untuk kembali ke rumah masing-masing. Jangan memadati jalan. Polisi akan segera memeriksa tempat ini. Terima kasih atas kerja samanya."

Meski disertai dengan suara menggerutu, namun lambat-laun, para pendemo hiperaktif itu akhirnya satu per satu melangkahkan kaki mereka menjauhi titik keramaian tersebut. Di dalam pikiran mereka, dengan munculnya kedatangan pihak polisi begini, menandakan bahwa petugas keamanan Berlin sedang berada di pihak mereka. Dan tinggal menunggu waktu sampai wajah para kru The NEWS masuk dalam berita sebagai komplotan kriminal yang berhasil ditangkap.

Namun, ada yang tidak mereka ketahui.

Memandang dari jendela lantai dua, Ludwig tahu ada yang tidak beres.

Setelah pelataran jalan itu kembali sepi seperti sedia kala dan sirine dimatikan, pria Jerman itu melihat wajah familiar yang cerah menguar dari balik pintu mobil yang dibuka. Dari kejauhan, Ludwig melihat sesosok pemuda berambut cokelat dengan beberapa helai jambul lucu yang menyembul dari balik topi polisinya. Meski dari jarak beberapa belas meter, Ludwig dapat melihat senyuman ceria di wajah lugunya saat orang itu menyapanya dengan senyuman lebar.

"Ciaoo, Ludwig~"

Feliciano melambai-lambaikan tangan dengan bahagia. Sama sekali tak tampak bahwa saat ini mereka masing-masing berada di ujung dunia yang berbeda.


.

Arr-Kansas (The NEWS's Sequel) : Chapter V

.

Gilbert Beilschmidt
(leader)

Natalia Arlovskaya
(reporter)

Antonio Fernandez Carriedo
(camera-man)

Francis Bonnefoy
(driver)

Airlangga Putra Brawijaya
(script-writer)

.


Barletta, Italia
Ruang Interogasi Kepolisian Federasi Eropa

10 Bulan yang Lalu

"Arkansas? Mengapa harus di sana?" Lovino melipat tangan, memandangi pria Belanda di hadapannya dengan sangsi.

Meski kondisi saat ini si pria bertubuh besar itu sedang diborgol, ditambah lagi terikat di kursi tahanan dengan baju terusan yang membuat tubuhnya nampak terbungkus penuh, dari leher sampai ujung kaki, Lovino masih berusaha menjaga jarak dari mafia berkepribadian individualistis ini.

"Bandaranya kecil. Lokasi yang strategis. Hutan-hutan tinggi, medan terjal, sungai yang memotong jalan. Dengan taktik kuno mereka yang hanya mahir menggunakan pistol, senapan dan ledakan itu, bisa dipastikan akan sulit untuk dilakukan di sana." Ned mengatakan semuanya dengan lancar seolah-olah dirinya sudah mempersiapkan ini jauh-jauh hari.

Dari sorot lampu interogasi yang hanya menerangi sebagian wajahnya, karena untuk saat ini posisi sang polisi sedang dalam postur berdiri, nampak seceruk senyum sinis yang mencemooh dan merendahkan. "Apa kami punya jaminan untuk mempercayaimu, Van der Decken?" Lovino tertawa setengah mendengus. "Meletakkan seluruh harta Kirkland di sana untuk memancing salah satu dari mereka keluar dari persembunyian? Kau pikir mereka apa? Tikus yang tertarik pada keju di papan jebakan?"

Ned balas tersenyum. "Tidak akan ada emas di sana, Tuan Vargas." katanya santai. Diucapkan dengan nada seolah-olah cara berpikir lawan bicaranya konyol. "Tentu saja semua itu hanya tipuan. Jangan membuatku harus menjelaskan detail-detail sederhana seperti ini. Bukankah tujuan utama kita adalah untuk memancing Connor keluar dari persembunyian?"

Sedikit intimidatif, pikir Lovino. Polisi Italia itu balas tersenyum. "Kau yakin Kirkland sebodoh itu, Van der Decken? Datang hanya untuk menjemput emas?" ucapnya dengan sinis. Tatapan mata polisi Italia itu menatap nyalang pada tahanan di depannya dengan gertakan yang diutarakan melalui pertanyaannya.

Ned menarik napas panjang sebelum membalas dengan tenang. Dia tahu semua ini adalah tes perilaku dari kepolisian. Dia sudah melalui interogasi seperti ini berkali-kali sebelumnya. Yang ia ketahui—dan umumnya cara ini selalu berhasil—kuncinya adalah satu. Terlihat natural. "Mereka akan datang, Tuan Vargas. Tapi, bukan untuk mengambil emasnya."

Lovino menggerakkan lehernya untuk memposisikan telinga, seperti seolah-olah berusaha mendengar lebih jelas. "Kau bilang apa, Van der Decken?"

Ned tertawa setengah mendengus, merasa geli sendiri dengan jawaban yang sudah ia persiapkan. "Ya. Mereka tetap akan datang." Pria Belanda itu menatap polisi Italia di hadapannya dengan mantap. "Untuk membunuhku."

.

.

.


Little Rock, Arkansas, USA
Pintu Keluar Bandara Bill and Hillary Clinton

"Hei, ke mana orang-orang gila itu?" tanya Sadiq Adnan keheranan, saat disadarinya perjalanan mereka menuju pintu keluar sangat hening. Tidak seperti biasanya. Biasanya kalau bukan karena celotehan para kru The NEWS yang rusuh, dia juga mendengar akan suara gemeresak ransel dan hentakan sepatu boots mereka yang berisik.

Semenjak tiba di dalam ruang transit Bandara Clinton ini, mereka sama sekali tidak melihat atau pun mendengar jerit suara mereka yang gaduh sedari tadi. "Dan mengapa seisi bandara menjadi mendadak ramai begini?" jerit Sadiq frustasi.

Pertanyaan Sadiq terjawab saat melihat gerombolan orang tiba-tiba berlari keluar dari dalam ruang transit. Sedikit terburu-buru, panik, dan saling menyikut satu sama lain. Semua orang yang ke luar dari sana nampak berlari panik untuk bergegas meninggalkan ruangan tersebut.

Sadiq dan Heracles saling berpandangan. Ruangan itu merupakan tempat yang mereka lalui tadi.

Meski tanpa dialog, namun keduanya memutuskan tahu akan satu hal. Bahwa keempat reporter itu pasti berulah lagi di dalam sana.


Ruang Transit Bandara Bill and Hillary Clinton

"PEMIRSA!" jerit Gilbert riang. "Bertemu lagi dengan kami, reporter terkeren, ter-awesome, dan satu-satunya reporter yang menempati hati kalian. The NEWS!" pekik Gilbert riang, menjerit tepat di depan lensa kamera Antonio. "Aku akan kembali membuat kalian terpukau, terperangah, dan terheran-heran, dengan kejadian yang kami alami baru-baru ini. Ya, ya. Aku tahu. Kalian sudah melihat wajah kami di mana pun, bukan? Di koran, di tabloid, di berita.

Padahal kami bukan selebriti sensasional. Ketemu Matthew Williams saja kami hampir pipis di celana. Tapi, tetap saja, semakin tinggi pohon, akan semakin besar anginnya. Maksudku badai! Ya. Badai Katrina yang berusaha mengusik pohon kami.

Tapi, tenang saja! Kecintaan kami pada pekerjaan ini akan terus membuat kami melakukan pekerjaan mulia ini. Tidak ada seorang pun, tidak juga polisi, atau musuh kami di luar sana, atau pun orang aneh pemegang cross-bow ini, yang bisa menghentikan kami. Karena kami, The NEWS, sudah bertekad untuk akan terus membawakan berita terhangat, tervalid, dan terbaik pada kalian semua!"

Mengabaikan ocehan Gilbert, Natalia mendorongnya kasar dari tempat dan langsung mengambil posisinya.

"Kau pikir kau jago, hah?" gertaknya pada Juan Carlos. Tangannya bersiap dengan ancang-ancang siap bertarung. "Jangan hanya karena teman-temanku terlihat kurus, mudah ditindas, dan lemah begini, maka kau bisa meremehkan kami!"

Sontak ketiga pria itu langsung mendelik protes.

"Ayo, tarung satu lawan satu, Tuan Rambo!" ujar satu-satunya orang yang paling pemberani, jantan maksimal, dan paling kelebihan hormon testosteron di antara mereka. Natalia.

"Ugh! Mein Gott, Nat! Kau tidak awesome sekali! Menyingkir dari sorotan kamera! Tidak, kah, kau lihat jika aku sedang meliput?" Gilbert menggerutu, sambil berusaha mendorong Natalia.

"Tidak, kah, kau lihat aku sedang berusaha menyelamatkan kalian?!" geram Natalia.

"Teman-teman, aku tidak bisa mengambil gambar jika kalian terus berebutan spot di hadapanku. Berbaris dulu." Antonio mengintip dari balik kamera dan mencoba mengatur posisi Gilbert dan Natalia dengan komando gerakan tangan.

"Mon ami, aku harap akan ada pesawat militer tanpa awak yang kebetulan melintas dan bisa kubajak." Francis mengeluh sambil menatap langit-langit dengan raut putus asa. "Elon Mas! Bantu kami!"


Pintu Keluar Ruang Transit Bandara Bill and Hillary Clinton

Connor merasakan aura pemberontakan yang nyata dari ekspresi Scott saat pria itu menatap jauh ke arah kerumunan Juan Carlos dengan empat orang lain berseragam reporter yang berdiri beberapa meter di hadapannya.

"Oh, ayolah. Kau tidak mungkin berpikir akan sungguhan menghabisi reporter-reporter sinting itu di tempat ini, kan?"

Pertanyaan Connor yang terdengar sedikit mencemooh itu diabaikan mentah-mentah oleh sang kakak. Pasalnya, mereka sudah sampai sejauh ini, selangkah lebih dekat dengan target utama mereka, berusaha sedemikian rupa agar tidak tertangkap, namun, Scott masih saja tidak bisa untuk menahan diri atas emosinya di saat-saat seperti ini.

Scott masih mengamati kerumunan di tengah-tengah ruang Bandara Arkansas itu dengan tatapan menyala-nyala.

Connor memijat pelipisnya. "Come on, brother. Berpikirlah dengan jernih. Kita sudah sepakat menyewa Juan untuk melakukan pekerjaan ini." Connor berbisik dengan sengit. "Jangan mengotori tanganmu untuk nyawa mereka yang tidak berharga, Scott."

Arthur tertawa mendengus mendengar pernyataan Connor. "Dengar, Connor. Jika, aku menjadi Scott, aku akan menembak kepala orang itu satu per satu. Aku tidak akan memberikan mereka waktu untuk melakukan perlawanan lagi."

"Dan kau akan mati lagi seperti waktu itu!" tandas Connor sengit.

Merasakan aura pertempuran yang kentara dari saudara-saudaranya itu, Dylan buru-buru menyerobot ke pertikaian mereka. Berusaha menenangkan, sambil tertawa cangung. "Err, kurasa kalian sedang terbawa suasana, saudara-saudaraku. Ada baiknya kita segera menyingkir dari sini dan tetap fokus pada hadiah utama kita." Tangan Dylan memaksa untuk mengalihkan pandangan mereka jauh-jauh dari keempat reporter itu.

"Ingat motto kita, gentleman." Dylan berkumandang lantang. "Keluarga," Pandangannya teralih ke Connor. "harta," Kemudian Arthur. "dan takhta." Dan terakhir memandang Allistor, alias Scottie, dengan penuh khidmat.

"Dan karena kita masih melengkapi satu sama lain, maka," Ia merangkul erat masing-masing ketiga saudaranya ke dalam dua rangkulan besar. "ada baiknya kita fokus ke poin ke dua. Harta. Bagaimana? Dengan mendapatkan kekayaan kita kembali, maka kita bisa mengembalikan takhta kita. Bukankah itu adalah akhir yang kita semua inginkan, hm?"

Energi positif Dylan akhirnya bisa dirasakan oleh ketiga saudaranya yang semula bersitegang.

"Dylan benar. Itulah maksudku. Maaf, aku terlalu keras, tapi, sungguh, aku sangat khawatir dengan semua keselamatan kalian. Terutama kau, Scottie." sanggah Connor. Menepuk pundak kakak sulungnya dengan lembut. "Bloody hell. Aku pun tak akan menyangka bertemu mereka di sini." Putra tertua Kedua dari Kirkland itu menggerutu. "Namun, sesuai dengan rencana kita sebelumnya, mereka tidak akan bertahan lama di tangan Juan Carlos."

Mau tak mau Arthur harus setuju dengan kakak-kakaknya kali ini. Sembari menggerutu pelan, bungsu Kirkland itu turut mengiyakan. "Ya. Aku tidak mungkin membawa kalian jauh-jauh ke sini untuk kembali menjadi tahanan di negara orang, kan?"

Connor tertawa masam sambil mengacak-acak rambut adik bungsunya. "Makan malam bersama tikus got adalah pengalaman paling traumatis seumur hidup, adikku. Jangan sampai kau turut merasakannya juga." gumamnya sinis.

"Lagipula kita sudah mendapatkan kartu AS kita sekarang." Suara bariton Scott otomatis kontan membuat kepala ketiga adik-adiknya menoleh. "Kelemahan Ned." Scott tersenyum. "Orang Denmark itu bekerja lumayan cepat dari yang kuduga." Ketiga bersaudara itu menyaksikan saat Scott kembali melakukan kebiasaan lamanya. Mengeluarkan tembakau dan menyalakan pemantik, meski mereka lupa bahwa saat ini keempatnya masih tengah berada di dalam bandara.

"Perang yang mematikan bukanlah serangan brutal membabi-buta," Melalui paras kilatan semangat di mata zamrud putra sulung Kirkland itu, ketiganya tahu bahwa mereka di posisi kemenangan. "melainkan menghancurkan mereka dari dalam."

Dalam kurun waktu tiga tahun lamanya semenjak Scott mendekam di dalam penjara, ini adalah momen di mana senyum kemenangan khasnya itu kembali menghiasi wajahnya.

"Si Belanda itu mengira kita yang akan menghampirinya, mengemis, dan memohon harta kita kembali?" Scott tertawa sambil bergeleng-geleng. "Padahal kenyataannya," Scott tersenyum. "dialah yang akan memohon kepada kita."

.

.

"Ayo, adik-adik. Kita temui teman lama kita."

.

.


Arkansas, USA
Ozark-St. Francis National Forests

"Kondisi penjara di Barletta Italia setelah diserang oleh orang tak dikenal dengan aksi peledakan besar-besaran ini, dilaporkan mengalami kerusakan parah di titik-titik rawan, termasuk lokasi penjara tahanan narapidana kelas berat. Hingga saat ini petugas keamanan setempat masih berusaha menginspeksi tempat kejadian dan mencaritahu penyebab dari ledakan yang terjadi. Untuk sementara diketahui ada beberapa tahanan yang berhasil kabur akibat aksi peledakan yang terjadi, namun polisi belum bisa memberi konfirmasi lanjutan terkait insiden ini."

Di suatu kabin kecil di tengah hutan, seorang pria Eropa duduk bersantai di depan teras sambil terus-terusan menatap langit-langit kayu. Asap tembakau terus menerus mengepul dari belah bibirnya yang terbuka. Dengan pandangan kosong, pria itu bersandar di kursi goyang sambil menjulurkan kaki ke atas pagar kayu. Pakaiannya nampak sederhana, dengan kaos gelap dan celana pendek, layaknya seperti turis.

Tak jauh dari tempatnya, terdapat sebuah radio genggam yang menyala.

Meski suaranya terdengar bergemeresak dan ringsek karena kualitas murahan, namun pria Eropa tersebut masih bisa menyimak kata per kata si penyiar radio dengan kepala jernih.

Setelah sesi berita laporan terkini di Italia itu usai, Ned memandang ke arah kejauhan. Menembus dedaunan lebat dari pohon-pohon pinus yang berdiri berjejer di hadapannya. Padat, penuh, dan mengukung kabin itu dalam jajaran baris pepohonan kokoh. Ned masih setengah melamun.

Melalui asap yang mengepul lebat dari tembakaunya, terlihat jelas si pria Belanda itu tengah berpikir keras.

Setelah lima menit ia habiskan untuk berpikir, pria Belanda itu menyambar jaket kulitnya, melempar puntung rokok ke halaman dan menghampiri mobil Ranger-nya dengan perasaan gusar.

.

.

.


Little Rock, Arkansas, USA
Ruang Transit Penerbangan Internasional Bandara Bill and Hillary Clinton

Menanggapi kericuhan di hadapannya, Juan Carlos memutar bola mata dengan santai. Tangannya yang kekar kembali mengeluarkan senjata panahnya, memasukkan empat deret anak panah ke dalam jalur amunisi, dan mengatur posisi cross-bow-nya seperti hendak menembak.

Senjata itu terangkat mantap dan keempat reporter itu langsung tersentak mundur.

"Wow! Santai, Tuan Juan Carlos!"

Gilbert dengan sigap melindungi teman-temannya.

Sontak kondisi menjadi lebih tegang dari sebelumnya.

Gilbert merasakan tepukan pelan pada pundaknya.

"Psst. Penampilannya memang sedikit agak bodoh, tapi entah mengapa aku merasakan aura yang serius dari badut ini." bisik Antonio pelan, sementara posisi tangannya tetap mengangkat kamera untuk menyorot keberadaan Juan Carlos yang menyeringai.

Francis mendelik, ikutan balas berbisik. "Tentu saja. Dia dibayar, bukan? Oleh Ratu Inggris! Sudah pasti pelayanannya bertaraf premium."

"Tunggu sebentar." Gilbert memotong. "Ratu Inggris?!" Nadanya merendah. "Entahlah, aku merasa seperti merasa familiar dengan Inggris. Um, Kirkland?"

"Apakah kita masih akan terus berbincang santai seperti ini, sementara orang di depan kita sudah bersiap menembak, teman-teman?" potong Natalia, menyadarkan ketiga temannya yang masih saja berlagak kasual.

"HAHAHA!" Suara menggelegar Juan Carlos mengejutkan mereka. "Kalian manis sekali, tikus-tikus kecil. Berdiri gemetaran dengan wajah ketakutan begitu."

"Wajah Antonio memang selalu begitu." sergah Natalia cepat. Wajahnya masih menyiratkan tanda ingin bertarung.

"Tapi, aku suka semangat kalian." Juan Carlos mengangguk-angguk senang. "Semangat anak muda, membuatku teringat dengan masa mudaku."

Francis memandangnya jijik.

Gilbert yang merasa terhina ikut mengambil bagian. "Nat, jika kau ingin melakukan trik pisaumu, sekarang, lah saatnya." bisik Gilbert sinis, sambil terus memusatkan perhatian pada Juan Carlos. "Aku akan menjadi suporter terbaikmu saat kau melancarkan serangan itu."

"Apa kau lupa hampir sebagian besar stok pisauku tertahan di bandara Jerman?" Natalia bersungut.

"Ugh, sebaiknya kita mengulur waktu sampai keamanan bandara tiba, kawan-kawan." bisik Francis khawatir.

"Kita sedang melakukannya, Francis!" Gilbert balas berbisik, namun sedikit lebih keras. "Meliput dan melaporkan kejadian di TKP adalah hal ter-awesome yang bisa kita lakukan untuk mengulur waktu!"

"Err." Francis menggaruk kepala. "Sebenarnya maksudku adalah bernegosiasi, tapi, yah ... lupakan saja." desah Francis, yang sialnya pada saat itu tidak didengar oleh Gilbert.

"Hei, bukankah kita sekarang adalah buronan? Apa kalian lupa, wahai komplotan-Airlangga-yang-membunuh-entah-siapa? Untuk sementar sini kita tidak boleh terlihat di saluran televisi nasional." sergah Antonio ikut berbisik.

"Jadi, apakah ini adalah nasib akhir dari The NEWS? Berakhir di tangan seorang pemain sirkuis?" tanya Gilbert sarkas dengan mendramatisir.

"Akting dramatismu tidak banyak membantu, Gil." potong Francis sengit.

Menyadari mereka sudah berbicara terlalu banyak, tiba-tiba Natalia menjerit dan menyadarkan mereka dari sesi diskusi bisik-bisik barusan.

"Ayo, kita selesaikan secara jantan, Pak Tua! Kami tidak tahu apa tujuanmu, tapi jujur saja, setelan fashionmu membuatku ingin muntah." Natalia mempersiapkan ancang-ancang untuk bertarung dengan tubuh kurusnya, persis seperti Bruce Lee versi wanita Rusia.

Suara gelegar tawa Juan Carlos kembali mengejutkan mereka.

"Ini sedikit di luar ekspetasi karena meladeni ternyata semudah ini. Mendapatkan yang pendek satu dan tukang marah itu saja sudah cukup merepotkan."

Sontak saat mendengar hal tersebut, Gilbert kontan mendelik. "Tunggu? Apa kau membicarakan Airlangga?"

.

.

.


Brussels, Belgium
Avenue Reine Astrid

Rayan duduk memeluk kakinya sendiri di lantai kamar mandi yang mengering. Sudah satu jam ia menggigiti kukunya gelisah.

Tenang, tenang, tenang.

Yang harus aku lakukan untuk pertama kali adalah tenang! bisik Rayan pada dirinya sendiri, berusaha menenangkan diri.

Adik dari kru The NEWS yang hilang itu masih di dalam kamar mandi—lokasi terakhir sebelum Airlangga menghilang dan ia masih belum bergeming dari sana.

Tubuhnya gemetar di luar kendali. Dia memang pernah kehilangan Airlangga, namun, entah mengapa yang kali ini terasa sangat nyata. Seakan-akan Airlangga masuk ke dalam lubang hitam dan tak akan pernah ke luar dari sana. Ia tidak pernah tahu apa yang terjadi padanya. Ia tidak pernah tahu dia dengan siapa. Ia tidak tahu apakah Airlangga bisa ditemukan lagi.

Ia tidak tahu apakah bisa melihat kakaknya lagi.

Segala ketakutan itu berasosiasi menjadi kecemasan tinggi.

Hingga akhirnya Rayan terisak.

Pemuda itu memeluk kaki dan membenamkan kepalanya dalam sedu.

Sudah berjam-jam Rayan terduduk di dalam kamar mandi itu. Ia ingin sekali memanggil polisi. Ia ingin sekali meminta bantuan pada orang yang mampu memberikan pertolongan. Namun, kakaknya itu sendiri menjadi buronan. Rasanya seperti menawarkan diri dengan menceritakan aib bahwa dirinya selama ini telah menyimpan seseorang yang namanya tengah disebut hampir di setiap koran edisi kriminal sepanjang minggu ini.

Rayan tidak tahu siapa pembuat berita sialan itu. Rayan tidak tahu bagaimana bisa berita itu muncul begitu saja. Ia sudah mencoba untuk menuntut berita tersebut, namun apa daya, dirinya hanyalah seorang mahasiswa perantauan yang tidak punya akses untuk menggertak para pemegang kekuasaan.

Yang pasti, saat ini Rayan memiliki keyakinan untuk satu hal. Seseorang telah berusaha mencelakakan Airlangga dengan menciptakan tragedi penabrakan itu. Dan orang yang merencanakan semua muslihat dan pembohongan publik ini pun pasti merupakan orang yang sama.

Rayan mengepalkan tangan kuat-kuat. Apabila ia bertemu dengan orang itu, ia bersumpah akan menguburnya hidup-hidup. Pemuda Melayu itu meremas rambutnya sendiri dalam perasaan depresi dan frustasi, sambil memandangi kejauhan.

Genangan air mata yang terpupuk di kelopak matanya membuat irisnya menjadi jauh lebih sensitif untuk melihat cahaya di sekitar.

Dan di momen itulah dia menyadari sesuatu.

Sesuatu yang berwarna keemasan terlihat menyala di sudut ruangan.

Rayan memicingkan mata. Seingatnya tidak pernah ada benda berwarna emas di sana.

Hei, tunggu sebentar. Bukankah itu rambut?

Rayan berdiri dan menghampiri beberapa helai rambut keemasan di sudut ruangan.

Segala urutan kejadian ini membuat Rayan tersadar bahwa rambut itu baru muncul di sana pada saat momen penyergapan Airlangga.

Jelas semua ini ada kaitannya. Ketika Airlangga menyadari seorang penyusup hadir di kamar mandinya, otomatis rasa yang ditimbulkan adalah panik dan ketakutan. Airlangga yang minim pertahanan pasti sempat melancarkan aksi perlawanan dan berujung dengan reaksi penjambakan yang tidak bisa ditolerir lagi. Hal tersebut akhirnya menyebabkan beberapa helai rambut si penyergap itu rontok ke lantai.

Perlawanan terakhir Airlangga sebelum akhirnya kakaknya dibawa pergi ke suatu tempat yang tidak ia ketahui.

Rayan memandangi beberapa helai rambut itu sesaat dan langsung menghubungkan kejadian ini dengan satu orang yang pun memiliki warna rambut yang sama.

Seperti terkumpul kembali nyawanya, Rayan mengambil ponsel dari kontaknya dan menghubungi orang yang—meski tidak terlibat—namun, mungkin bisa memberikannya jawaban.

"Bella, kita perlu bicara. Ya. Ini tentang kakakmu."

.

.

.


Monte Carlo, Monaco
Hotel du Paris

Sedetik setelah pertemuannya dengan wanita berambut cokelat itu, pria bernama Ned ini langsung menariknya pergi.

Airlangga tidak sempat melawan saat 'Ned' terus membawanya hingga ke pintu ke luar.

Di luar pintu halaman, nampak sebuah taksi hitam yang terparkir dengan mesin menyala, nampak seperti tengah menunggu seorang penumpang.

Mathias bergegas untuk menghampiri taksi tersebut dengan tergesa-gesa, membuka pintunya, dan mendorong pelan tubuh Airlangga untuk masuk ke dalam mobil tersebut.

Airlangga memandangi supir taksi itu dengan curiga. Wajahnya terlihat familiar. Apakah ini adalah supir yang sama saat ia pertama kali tiba di sini?

Pemuda Denmark itu nampak menoleh ke kanan dan kiri dengan tatapan waspada, lalu berbalik untuk melihat bagasi.

"Oke, sudah aman. Langsung menuju Monaco Heliport, Raivis!"

Remaja Latvia itu mengangguk mengerti dan mobil itu melaju meninggalkan halaman kasino.

Tiba-tiba saja Airlangga merasa ia seperti di dunia yang tidak lazim.

Meski perasaan ini tidak asing, namun berada di zona yang bukan habitatnya membuat ia merasakan ketidaknyamanan yang sanggup membuat perutnya mulas. Terlebih itu, ia merasa pernah berada di kota ini sebelumnya.

Bukankah itu aneh? Ia yakin baru pertama kali tiba di Monte Carlo, namun di satu sisi ingatannya merasa ada ikatan memori yang janggal dengan semua pemandangan borjuis ini.

Satu-satunya orang yang bisa ia ajak kerja sama untuk membantunya mengingat hanyalah pria kurus dengan rambut gandum berdiri yang dari tadi sibuk mengetik di ponselnya.

Pria itu adalah Ned—seperti yang dia bilang.

Seketika sekelebat ingatan-ingatan meracau di dalam pikirannya dan bergumul menjadi emosi yang lambat-laun semakin meningkat.

Rasa mulas, amarah, dan kegelisahan yang teramat dalam, berangsur-angsur bergelora di dalam perutnya.

"Ned." Panggilan itu pelan, namun Airlangga memastikan orang itu pasti bisa mendengarkan suaranya. Namun, masih tidak ada jawaban lantaran yang dipanggil pun masih asyik sendiri dengan dunianya. "Ned." Kali ini sedikit meninggikan suara.

Sementara itu, Mathias yang malang—yang tanpa persiapan apa pun, diterjang oleh tamparan tangan yang mendarat di pundaknya dengan keras.

"NED!"

PLAK!

Pria Denmark itu terkejut dan menoleh. Pundaknya terasa panas dan jantungnya berdegup kencang saat diserang tiba-tiba seperti itu. Didapati sorot wajah pemuda manis itu memandangnya dengan tatapan berang.

"Y-ya? Ada yang bisa kubantu?"

"Apa yang akan kau lakukan padaku?"

"Sudah kubilang, aku akan membawamu jalan-jalan di Monte Carlo—"

"Jangan bohong!"

Mathias mengernyitkan kening. Apa anak ini sudah mulai mengingat semuanya?

"Kau akan membawaku ke tempat penyiksaan lagi, Ned?"

Alis Mathias naik satu. Maksudnya?

"H-hei, tenang dulu, biar aku jelaskan—"

"BUKANKAH YANG TERJADI DI GUDANG PELABUHAN AMSTERDAM ITU SUDAH CUKUP BURUK?"

Kerutan di kening Mathias semakin bertambah banyak.

Raivis yang polos di baris kemudi depan pura-pura tidak mendengar.

"Pelabuhan Amsterdam? Maksudnya?"

"Apa kau sengaja melupakannya?!" Airlangga menjerit pahit. "Kau benar-benar iblis, Ned! Otakmu kotor! Turunkan aku di sini! Apa kau benar-benar tidak bosan menyakitiku?"

Mathias mengerutkan kening.

Seingatnya dia ditugaskan untuk menyamar sebagai Ned, karena dikabarkan jika Ned dan pria ini adalah sepasang kekasih—meski belum terkonfirmasi secara detail dari yang bersangkutan. Terlepas dari itu, apa amnesia juga bisa membuat orang berhalusinasi? Airlangga sepertinya bisa mengingat Ned dengan jelas. Namun, ia seolah memandang pria itu sebagai sesosok penjahat di seri drama telenovela.

Atau Ned memang seperti itu? Apa permainan Ned sering kasar? pikir Mathias risih.

"Aku benar-benar tidak mengerti dengan apa yang kau sampaikan, Airlangga."

"Jangan pura-pura lupa, Ned! Siapa yang hilang ingatan di sini? Atau kau mau aku bikin hilang ingatan juga sekalian?"

Raivis berusaha keras untuk tetap memusatkan perhatian ke jalanan, sambil mengelap keringat dengan gugup dan berharap ia bisa segera menurunkan dua pasangan yang dilanda prahara rumah tangga ini.


"Mantanmu yang namanya Ned ini benar-benar brengsek, Bang."

"Memangnya kenapa?"

"Dia pernah membawamu ke gudang pelabuhan Amsterdam dan ..." Adiknya memandangi langit-langit dengan ekspresi perih yang berlebihan.

Rayan menceritakan segala skenario terburuk yang pernah ia bayangkan untuk bumbu drama percintaan pelik yang terjadi antara Airlangga dan Ned. Yang tentu saja, semuanya adalah dusta belaka dan murni rekaan semata. Tujuannya adalah sekadar untuk meyakinkan Airlangga agar tidak menjalin hubungan apa pun lagi dengan Ned.

"Kau menangis tujuh hari tujuh malam, Bang. Bayangkan perasaanku sebagai seorang adik!"

"Sungguh?! Dia melakukannya padaku?"

"Iya, Bang! Pokoknya Abang jangan pernah berhubungan lagi dengan dia. Aku nggak mau Abang terluka lagi."


Untuk kedua kalinya Mathias kembali menaikkan satu alis. "Tunggu sebentar. Menyakitimu? Bukankah kita seharusnya adalah sepasang kekasih? Kau mencintaiku. Ingat?"

Airlangga hendak menampar pria ini andai saja tangannya cukup kuat untuk diayunkan. "Mimpi saja kau!"

Mathias hampir kena gamparan maut kalau saja tangannya tidak sigap menahan lengan mungil itu.

Pemuda ini seperti ingin membunuh Ned. Sebenarnya hubungan segila apa yang sudah mereka lalui? pikir Mathias kalut.

"Tapi, tunggulah sampai kita tiba di tempat tujuan. Oke?"

"Kau akan membawaku ke mana lagi?!" Jeritannya semakin memuncak. "Apa otakmu benar-benar semesum itu?! Tidak lagi! Terima kasih!" Airlangga buru-buru hendak membuka pintu mobil yang sedang berjalan. "Hubungan kita berhenti sampai di sini saja!"

Mathias buru-buru menahan pundak Raivis itu untuk tetap melaju. "Tidak. Kau tidak boleh ke mana-mana." jawabnya tegas. Tangannya menarik tangan Airlangga yang hendak melangkahkan kaki.

"Mau apa lagi, Ned?"

Mathias menarik napas dalam-dalam sebelum akhirnya ia berkata hal yang seharusnya ia katakan.

"Aku bukan Ned!"


3 bulan yang lalu

"Dia kecelakaan?"

"Ya." Pria di ujung telepon mendengus berat. "Connor. Menurut kabar yang kudengar, dia sudah membututi kalian berdua selama beberapa bulan terakhir. Dia tahu bocah itu adalah kelemahanmu. Dia ingin menghancurkanmu dengan cara kotor. Sudah kukatakan untuk tidak terlalu dekat anak itu, Ned! Kau tahu bahwa pekerjaanmu ini bisa membahayakan orang-orang terdekatmu!"

Ned menggertakan gigi-giginya. Baginya cara Kirkland sendiri tak lebih dari cara kuno dan menyaratkan tidak adanya sifat jantan. Melibatkan orang lain untuk urusan pribadi? Yang benar saja? Pikir Ned sangsi.

"Bagaimana keadaannya sekarang?"

"Err. Tabrakannya cukup keras dan ia masih tidak sadar hingga sekarang ... " Dari ujung telepon, terdengar deru hembusan napas berat, kemudian disusul hening yang panjang. "Menurut dokter yang menanganinya, dia mungkin bisa saja melewati masa kritis, namun, sepertinya akan mengalami amnesia ringan ... "

Rasa adrenalin yang terpacu di dalam diri Ned, hingga membuat dadanya sesak. Amarah. Murka. Kecewa. Dan yang terlebih adalah ... rasa takut.

Pria di ujung telepon kembali bersuara. "Kirkland memang terkenal gila harta, namun juga 'gila' dalam artian sesungguhnya. Mereka akan menghalalkan segala cara untuk mendapatkan kembali harta dan harga dirinya."

Tangan Ned hampir saja meremukkan ponselnya. Demi Tuhan, jika para Kirkland itu memang dalang di balik semua ini—semua penyerangan di Berlin, teror di penjara Italia, bahkan teror yang diterima Airlangga di Brussel, maka ia bersumpah akan membunuh mereka dengan tangannya sendiri dan membuat mayat mereka tenggelam dalam darah kubangan darah saudara-saudaranya.

"Kau bisa melindunginya, Mathias?" Pertanyaan itu meluncur lemah, mendobrak rasa angkuh Ned yang selama ini ia pendam, hingga akhirnya pada hari ini harus diucapkan dengan perasaan putus asa.

Andai saja.

Andai saja ia tidak membuat perjanjian dengan kepolisian Italia untuk tetap bertahan di Arkansas sampai wujud para Kirkland hadir di sana.

"Aku berusaha, Ned. Kami semua berusaha." Tekan Mathias dalam kalimat terakhirnya dengan tegas. "Kami sebagai pihak kepolisian pun memiliki tanggung jawab atas keselamatannya. Bagaimana pun juga Airlangga adalah saksi mata penting yang harus kami lindungi. Kepolisian sudah mengerahkan segala cara untuk mencari dalang di balik penabrakan itu. Aku tidak bisa serta-merta memberitahukan teman-temanku di kepolisian. Hanya kau, Vargas, dan aku yang tahu. Dan lagipula ... " Mathias kembali terdiam. Terdengar deru napas tidak stabil yang menandakan yang bersangkutan tengah ragu-ragu antara harus melanjutkan kalimatnya atau tidak. " ... aku juga sedang menjadi mata-mata di komplotan Elizaveta, kau ingat?"

Serasa melintas dalam sekelebat, dunia di sekitar Ned runtuh seketika menjadi puing-puing dan segera membawanya kembali ke realita pahit.

"Aku juga tetap harus menjaga identitasku, Ned. Percuma jika aku mati dalam misi dan tidak bisa menyelamatkan Airlangga."

Ned ingin segera membenamkan kepalanya ke dalam bak mandi dingin untuk menjernihkan pikirannya. Ketika semua polemik dan masalah menumpuk menjadi satu, terkadang masalah yang sesungguhnya tidak bisa diterka begitu saja.

Bagaimana pun juga Mathias benar. Kerugian akan berlipat ganda jika Mathias ketahuan. Dia telah menjadi mata-mata di komplotan Elizaveta selama hampir 3 tahun untuk mencari jejak Connor dan mengawasi sisa-sisa peninggalan Elizaveta. Akan selalu ada kemungkinan bagi komplotan penjahat itu untuk membangun kembali dinasti organisasinya di masa-masa kejatuhan mereka.

Dan benar saja. Connor masih berada di luar sana dan mereka ternyata bekerja sama. Connor yang masih memiliki hak untuk harta dan emas yang disita oleh kepolisian, berjanji akan membagi dua hasil perebutannya, ketika Elizaveta berjanji untuk membantu Connor dalam misi ini.

Musuh dari musuhmu adalah temanmu. Begitulah mereka akhirnya sepakat untuk membuat perjanjian.

"Mathias ..." Ned menarik napas panjang. "Jika suasana menjadi semakin tidak terkendali, bawalah dia ke Arkansas."

"Hah? Apa kau gila? Jangan karena dilanda cinta buta kau jadi bicara asal begini, Ned."

Ned berusaha menahan diri untuk tidak mematikan ponselnya. "Anggap saja nanti dia masih tetap hidup." Potongnya dengan langsung membuat asumsi. "Tawarkan kepada Elizaveta agar dia memberi kepercayaanmu padamu untuk menangkap Airlangga. Tunjukan bukti dengan membawa Airlangga ke hadapannya. Di satu sisi, Airlangga yang juga tidak mengenal dirimu sebagai anggota kepolisian, akan mengalami rasa ketakutan yang jauh lebih nyata, tapi di situ letak keuntungannya. Dengan begitu tidak akan ada yang curiga jika kalian bekerja sama."

"Maaf? Apa kau menyuruhku untuk menyerahkan kekasihmu ke tangan penjahat?"

"Ketika Elizaveta yakin bahwa Airlangga berada di tangan mereka, ia akan segera memberitahu Kirkland untuk segera pergi ke Arkansas. Connor dan siapa pun partner yang ia bawa, akan tiba di sini untuk segera melancarkan aksi penyerangan. Dan pada saat itulah, kau bisa segera membawa Airlangga pergi. Tidak ke mana pun. Tapi hanya boleh ke sini."

"Jeez, kau benar-benar gila, Ned. Itu sebenarnya ide bagus, tapi," Mathias berucap dengan hati-hati. "kurasa itu terlalu nekat jika dilakukan." balas Mathias ragu-ragu. Bagaimana pun terkadang strategi yang dibuat Ned terlalu riskan dan berbahaya apabila dilakukan oleh orang yang tidak berpengalaman. Meski begitu, pada akhirnya, target yang disepakati berpotensi menjanjikan hasil—yang dipastikan—sesuai keinginan.

Ned seolah-olah tidak mendengar aksi protes Mathias. "Kalian sudah berjanji untuk menjaganya, Mathias." balas Ned dingin. "Aku tidak meminta apa pun dari misi ini. Yang kuinginkan hanyalah menjamin keselamatannya berada di tangan yang tepat."

"Baiklah ..." jawab Mathias lesu. "Aku akan menyampaikan ini ke pimpinan."

"Dan satu lagi." sahut Ned. "Airlangga yang—jika sesuai vonis—kemungkinan mengalami hilang ingatan itu, kurasa akan kesulitan untuk menerima instruksimu. Jika begitu, mungkin cara terbaik adalah menjadi orang yang dia kenal."

"Uh-oh. Aku tidak suka arah pembicaraan ini."

"Menyamarlah menjadi diriku, Mathias."


Ini berkali-kali lipat jauh lebih sulit dari kelihatannya.

"Jangan bikin aku pusing, Ned! Rayan melapor padaku bahwa kau selalu menyakitiku. Maka dari itu, aku mau pulang!"

Mathias memandangi heran dengan alis terangkat satu. "Siapa?"

"Rayan!"

"Rayan siapa? Apa mungkin maksudmu ... Raivis?" Mathias mendelik. Apa Raivis pacar barunya sekarang? Sungguh? Raivis Galente?!

"Tidak. Tapi Ray ... Ray—ngh." Tiba-tiba entah dari mana datangnya, kepalanya seperti dihantam palu godam seberat satu ton. Isi kepalanya yang perih terasa berputar memusingkan seperti teraduk dalam badai.

Mathias menyaksikan kepala Airlangga tiba-tiba tertunduk, suaranya mengerung pedih, pundaknya langsung terbungkuk lesu, sementara tangannya terlihat langsung memijat pelipis kuat-kuat sampai buku-buku jarinya memutih. Dari ekspresinya yang memejamkan mata dengan penuh paksaan, sepertinya ia tengah menahan reaksi sakit yang teramat parah dari dalam kepalanya.

Pasti nyeri cedera akibat kecelakaan itu.

"H-hei, jangan memaksakan dirimu." Mathias menjadi khawatir. "Mau menghirup udara segara?"

Tawaran Mathias langsung ditepis oleh Airlangga. "Tidak." Suaranya terdengar semakin lirih. "Kumohon, bawa aku pulang saja." Pemuda itu menggeleng letih.

"Kau baru saja mengalami gejala hampir pingsan dan sekarang kau mau pulang? Kekasih macam apa aku jika tega meninggalkanmu mati membusuk di jalanan?" Masih sempat-sempatnya Mathias menggombal.

Tipuan genit itu langsung ditangkis Airlangga mentah-mentah. "Bukankah selama ini kau sudah cukup tega untuk menyiksaku, brengsek?" Tatapannya menjadi nyalang kembali.

Raivis memutar bola mata dengan malas.

Dalam sekali sentakan, genggaman itu terlepas. Mathias tidak sempat menghentikannya saat Airlangga bergeser memindahkan tubuh menuju pintu terdekat dengan gerakan gesit.

Gawat! Bisa bahaya kalo anak ini kabur! pekik Mathias dalam hati.

"H-hei!"

Tepat saat Airlangga hendak membuka pintu mobil, Mathias menyambar tangan dan menarik kuat-kuat tubuh mungil itu dalam pelukannya.

"Kena kau! Lain kali, kau akan menyesal saat mencoba untuk kab—"

Perkataan Mathias terhenti saat merasakan tubuh Airlangga yang menubruk tubuhnya membentur lunglai. Tubuh pemuda itu mendadak terasa semakin berat dan terus menggelosor ke lantai. Pemuda Asia itu secara tiba-tiba tidak melakukan perlawanan lagi, alih-alih tubuhnya menjadi loyo di dalam pelukannya. Insting Mathias yang merasa curiga, kontan langsung membalik tubuh anak itu dan melihat wajahnya.

Wajah pucat Airlangga yang tak sadarkan diri membuat Mathias nyaris meledak.

"Oh! Yang benar saja!"

Pemuda Denmark itu langsung menepuk pundak sang supir taksi dengan gusar.

"Lebih cepat lagi, Raivis!"

.

.

.


Berlin, Germany
Ruang Direktur Kantor Pusat The NEWS

"Sekarang hatimu sudah tenang, Ludwig?" tanya Feliciano dengan nada ceria dan menghancurkan genosida di muka bumi ini.

"Ya. Semenjak kau datang."

"Kalau begitu aku akan datang setiap hari, ve~"

Ludwig tersenyum. Senyum tulus sejak beberapa bulan terakhir.

"Aku ingin memberitahukanmu mengenai sesuatu yang penting, ve. Mengenai instansi perusahaanmu dan seeemua yang terlibat di dalamnya." Ketika mengatakan 'semua', Feliciano menggerakkan tangan seperti membuat bola raksasa imajiner di udara.

"Apa kami akan sungguhan akan ditahan?" tanya Ludwig langsung ke inti.

"Belum, vee~" jawab Feliciano ceria. "Untuk sementara ini kami belum memiliki cukup bukti."

Ludwig sedikit heran mengapa Feliciano bisa setenang itu. Namun, memang begitulah sifatnya—yang untungnya bisa membuat semua ini tidak semengerikan kedengarannya.

"Justru aku datang kemari untuk menyelamatkanmu, Ludwig."

"Menyelamatkanku? Dari pendemo?"

"Dari musuhmu yang sesungguhnya, ve~"

Dan meskipun itu diucapkan dengan nada ceria, namun itu membawa sensasi dingin yang menjalar ke tengkuk Ludwig.

"Apa maksudmu dengan musuh kami yang sesungguhnya?" Matanya menatap Feliciano tajam.

"Kami rasa ada yang menjebakmu, ve. Semua ini terlalu kebetulan. Stafmu yang terlibat kasus pembunuhan, kecelakaan besar yang menyebabkan kru-mu hilang ingatan, dan penjara Kirkland yang meledak karena suatu rumor di publik."

Tangan mungil dan hangat milik Feliciano menggenggam tangan besar dan kaku milik Ludwig yang membeku.

"Terlebih lagi, apa kau tidak sadar dari mana semua kekacauan ini berasal?"

Ludwig memandang Feliciano dengan tatapan menyala.

"Berita." ujarnya dingin.

Feliciano mengangguk. "Benar. Kau pikir dari mana datangnya rumor bahwa krumu membunuh orang, emas Kirkland berada di Arkansas, berita bohong tentang teman-temanmu, dan aksi protes dari berbagai media? Dari berita, Lud! Tidak, kah, kau sadar bahwa selama ini kita dikendalikan melalui apa pun yang disampaikan oleh berita?"

.

.

.


Little Rock, Arkansas, USA
Ruang Transit Bandara Bill and Hillary Clinton

"Apa kita tembak saja mereka semua?" tanya Heracles dengan nada bicara paling tenang di seluruh dunia, namun mengandung pesan kematian yang tersirat.

Kedua sahabat itu memandangi dari jauh pusat keramaian sambil menimbang-nimbang, apakah harus turut serta atau membiarkan keempat reporter itu yang mengurusnya.

Tapi, mau bagaimana pun, sepertinya opsi kedua sudah lebih dari cukup.

"Aku tidak tahu apa kau sedang berusaha sarkastik atau hanya bertanya retoris, Heracles. Namun, harus kukatakan bahwa aku jauh lebih suka ide itu dibanding harus menghentikan segala kekacauan ini tanpa menyebabkan ada yang terluka." ujar Sadiq lesu sambil memijat keningnya.

"Kurasa kita tidak punya pilihan lain, Sadiq. Kau tahu pilihannya cuma dua." Heracles menarik napas panjang. "Menyelamatkan nyawa mereka atau meregang nyawa kita di tangan Ned."

Sadiq memutar bola mata.

"Oh!" jeritnya frustasi. "Aku benci pekerjaan ini!"


2 hari sebelumnya

"Sebenarnya apa rencanamu, Ned? Kau yakin ingin melibatkan mereka lagi? Mereka sudah membuat kekacauan besar di Monte Carlo waktu itu! Kurasa membawa mereka hanya akan menambah masalah."

"Mungkin mereka memang terlihat kolot, tapi sebenarnya mereka bisa menjadi senjata kita, Sadiq."

"Maksudmu sebagai umpan?"

"Tidak. Partner."


Sadiq mengeluarkan pistolnya dan menembak ke udara. Seluruh pengunjung bandara sontak berteriak dan mulai berlarian.

"Semuanya! Menjauh dari kerumunan!"

.

.

.


Berlin, Germany
Ruang Direktur Kantor Pusat The NEWS

Merasa bidang pekerjaannya disinggung, Ludwig berusaha mengoreksi.

"Maksudmu ada orang yang sengaja menyebarkan semua berita ini untuk membuat kericuhan?"

"Benar, ve~ Sekarang musuh kita tidak hanya mafia, penjahat, dan orang-orang keji. Tapi juga orang di balik sumber informasi yang kita dapat selama ini."

.

.

.


Little Rock, Arkansas
Ruang Transit Bandara Bill dan Hillary Clinton

DOR!

Kericuhan yang tercipta sejak Sadiq menembakan tembakan pertama ke udara, menghamburkan seluruh penghuni bandara ke berbagai arah, menyebarkan segala penjuru dan membuat keadaan bandara menjadi kacau balau.

Belum sempat keempat reporter itu menyadari apa yang tengah berlangsung, terjadi hal lain di luar dugaan.

Bunyi pecahan kaca yang merebak, membuat seluruh pandangan di dalam bandara—termasuk kru The NEWS, Sadiq dan Heracles, beserta Juan Carlos yang baru saja mempersiapkan pesta penjagalan perdananya—itu menoleh dengan tatapan kaget.

Mobil Ford hitam dengan bak besar di belakang menerobos dinding kaca pintu masuk tanpa rasa bersalah, memecahkan dinding-dinding jendela itu menjadi serpihan kecil, menggetarkan bunyi ledakan kaca yang nyaring dan melaju seperti hewan buas menuju pusat keramaian.

Juan Carlos yang belum sempat mempersiapkan ancang-ancangnya, tidak sempat menghindar saat mobil bertubuh raksasa itu melesak bagai roket menerjang tubuhnya dengan kecepatan tinggi. Tubuh besar nan kekar itu kontan beradu dengan moncong mobil yang sama tangguhnya dan seketika menimbulkan bunyi ringsek antara daging dan besi yang amat nyaring. Tubuh Juan Carlos menjeblos jauh ke jendela hingga mendorongnya keluar, disertai hujanan pecahan kaca yang terburai.

"Mein Gott!" teriakan Gilbert disusul jeritan panik ketiga kru lainnya ketika melihat Juan Carlos meraung saat terlontar ke udara.

Momen itu keterkejutan mereka berlangsung selama beberapa detik sebelum tiba-tiba Gilbert balik badan dan menatap Antonio dengan semangat. "Kau berhasil mendapatkan gambarnya, Antonio?" suara panik tadi mendadak tenang.

"Tepat di saat dia tertabrak." jawab Antonio gembira.

"Awesome!" jerit Gilbert girang.

Belum sempat perayaan singkat itu berlangsung, mobil kembali mundur dengan kecepatan tinggi, membuat kru The NEWS melongo saat melihat mobil itu nampak berusaha memutar posisi untuk melaju mendekati mereka dengan perhitungan akurat. Bunyi ban mobil hitam tersebut berdecit nyaring dan badannya berputar drastis sebelum akhirnya berhenti tepat di hadapan mereka berempat dengan sentakan rem.

Seluruh penghuni bandara sudah keburu panik dan berlarian ke luar bandara sambil menjerit-jerit ketakutan. Dari kejauhan nampak petugas yang baru mulai berdatangan.

Dari kejauhan, Sadiq dan Heracles berlarian dan bergegas menaiki bak mobil yang terbuka. Keduanya langsung memberi kode pada mereka berempat untuk naik.

"Tidak ada waktu untuk bertanya, kawan. Kita harus segera pergi dari sini!" titah Sadiq.

Mereka bertiga memandangi Gilbert dengan penuh harapan menunggu jawaban.

Gilbert yang semula terpaku, mendadak kembali tersadar. "Aku tidak tahu kita akan ke mana, tapi aku merasakan petualangan lain sedang menunggu di luar sana." Gilbert menggosok-gosokkan tangannya dengan bersemangat. " Tapi ... tapi ... kita harus pulang untuk menyelamatkan Airlangga!" Kebahagiaan sesaat itu sirna menjadi jeritan putus asa.

"Ya, kita harus pulang ke Brussel!" sergah Natalia.

"Benar! Airlangga yang malang itu jelas membutuhkan pertolongan kita!" sahut Francis tak mau kalah.

"Aku setuju. Airlangga adalah prioritas kita sekarang." ucap Antonio khidmat dengan membuat ikrar di dada kiri.

"Hei, tapi, bukankah semuanya sudah jelas bahwa kecelakaan Airlangga berkaitan dengan semua ini?" Tiba-tiba Gilbert berubah pikiran, seperti seolah mendapat bisikan dari dimensi lain. Mesin otaknya nampak baru saja selesai dipanaskan. "Juan Carlos mengatakan dia berhasil mengurusi si pendek dan tukang pemarah di antara kita. Bukankah itu ciri-ciri Airlangga?"

Mereka bertiga saling berpandangan.

"Dan lagi pula kita tidak akan berguna jika tertangkap di sini, teman-teman!" Sahut Gilbert bersemangat. "Kita harus mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi di sini!"

Belum sempat mereka berjibaku dalam konverensi singkat, kaca mobil hitam itu terbuka dan nampak Ned sedang memandangi mereka berempat dengan tatapan mengantuk. "Itu benar. Kalian tidak perlu mencarinya."

"K-kau! Pasangan homo Airlangga!" tunjuk Natalia. "Hei, pasanganmu itu diculik lagi, tahu!"

Ned memutar bola mata dengan malas. "Dia akan menyusul kemari. Cepatlah naik."

"Hee?" Gilbert maju selangkah, memicingkan mata. "Bagaimana bisa kau bilang begitu?"

Ned memandang malas dengan ekspresi setengah menguap.

Matanya memandangi kejauhan tanpa menoleh ke arah Gilbert.

.

.

"Mau taruhan?"

.

.

to be continued


A/N: WOII, APA KABAR, WOII #digamparNatalia. Haduh, saya nulis ini ampe gemetar :"")

Sudah bertahun-tahun lamanya saya nggak nulis sesi ini lagi /CRYY

Nggak nyangka woi akhirnya kesampaian juga, my Lord /gelarsyukuran7hari7malam

.

Eniwei, sudah lama kaga berbalas-balasan review /asik

Saatnya nostalgia dengan review-review anon yang belum terbalas~ uwu

.

someone: Tapi, sayangnya, setelah itu saya menghilang di telan bumi, brooh. Ahuahaha /digampar. Yes DenIna adalah potensi crackpair di masa depan /hush /kenasambitNed. Iyaaa, woii, Ned kalo rambutnya jabrik kayak tukang pukul, kalo rebah kayak tukang rangkul /EEAAA Iyaa, sudah bukan rahasia umum lagi kalo Ned menyukai hal serba mungil /lirikkelinciNetherlands Duh, Juan yang di situ pasti masih lebih normal daripada Juan di sini :") Uwaa, makasih udah pantengin The NEWS dari zaman bahuela, ampe zaman 2021 begini. Semoga The NEWS selalu menghibuur :") Terima kasih reviewnya!

orang lewat: Uuh, banget. Udah ngenes, koplak pula /disleding. Gatau nih, kayaknya beliau juga kelebihan hormon gas elpiji yang mudah meledak. Dikit-dikit ngamuk :") Aaah, makasiih, saya juga akan mencoba untuk tetap semangat menulis :"") Terima kasih reviewnya!

Guest: Sekarang sudah tidak tidaak (memandang nanar tanggal terakhir publish yang udah lewat sekian abad). Iyaa, saya juga suka banget sama mereka :") Duuh, semoga menghibuur uwu. Terima kasih reviewnya!

Tasya: Aaaah, makasiih :") Ah, semoga yang ini greget /plak Ooh, haloo. Salam kenal! Astaga, sujud kepada sepuh. Semoga terus terhibur sama The NEWS, yaa! Terima kasih reviewnya!

Garuda Volta: Terima kasih sudah berkunjung~ Haduuh, jangan sungkan-sungkan me-review /kedipkedip Yes. Meksiko sekarang ikut serta untuk keramaian pesta. Uuuh, kalo soal Arthur nanti, yaa. Sabaar, ada bagiannya masing-masing :)) Untuk soal Airlangga mungkin sudah bisa kejawab di chapter ini, yay! Semoga terhibur terus dengan The NEWS! Terima kasih, ya, reviewnya!

justperson: Yees, Meksiko emang paling bikin bengek, buun. Jangan sampe deh Kirkland jadi DPR, tetap jadi bangsawan dingin aja XD Uuh, makasiih, semoga The NEWS selalu menghibur, yaa. Terima kasih reviewnya!

Sakata Ran: Uuuh, makasih sudah membaca XD. The NEWS kena pengaruh Gilbert mulu jadi ketularan awesome /plak Iyees, Mathias udah ngaku, kok, tapi, tetap aja si doi nggak percaya :") /lirikRayan. Iyaa, ini sudah di-update :"") Makasih, ya, reviewnya!

Arr: Aku juga nggak ngerti, bikin kosa kata sendiri huhu /plak Makasih koreksi typo-nya XD. Dan terima kasih sudah me-review!

Himeichi: Makasiiii :") Iya, ini sudah update, kok. Semoga tidak discontinued /dihajar. Iya, saya juga mau ngelanjutiin /gulingguling Eniwei, makasih reviewnya!

abiLabil: Masiih, kooook, masiiih :"")) Makasih sudah meluangkan waktunya untuk membaca cerita ini. Semoga tetap terhibur dengan kebobrokan The NEWS, ya! Terima kasih reviewnya!

xx: Udaaaah :") Nih Chapter 5 /nariSamba. Terima kasih reviewnya!

.

Semoga terhibur dengan chapter iniii! Bella, Ciao!

Sign,

Rapuh