Disclaimer: All characters belongs to Hajime Isayama.
.
"Istri Anda sedang mengandung."
Armin berbinar saat mendengar perkataan dokter, degup jantungnya perlahan tenang dan bibirnya tersenyum. Sang dokter ikut tersenyum melihat reaksi pria ini, kembali melandaskan bola matanya ke lembaran kertas berisi laporan pasien.
"Walau saat ini kondisi sang ibu sedang tidak fit, ada 70% kemungkinan janin akan bertahan, sampai keadaannya kembali membaik, kami akan berusaha supaya kemungkinan 30% tidak terjadi."
"Ah..ya, dok, apa sudah boleh dijenguk?"
"oh, malam ini jangan dulu, lebih baik besok siang saja."
Dengan begini, Armin memutuskan untuk segera pulang. Karena Annie akan menjalani rawat inap selama seminggu, Ia harus menyiapkan baju ganti dan istirahat di rumah. Pada perjalanan pulang, Armin menyempatkan diri untuk mampir ke toko buku langganannya. Sebagian besar koleksi di tempat ini adalah buku teori dan ensiklopedi, yang tentunya menjadi alasan mengapa ini adalah toko buku favorit Armin.
Ia melangkahkan kakinya menuju kasir, meletakkan buku untuk dibayar.
"Selamat malam, Ah! nak Armin, tumben banget dateng malem-malem gini."
"Oh, itu... saya baru pulang dari rumah sakit."
"ha? siapa yang sakit?? Nak Annie? "
" Iya, keadaanya kurang baik sih,
Pemuda ini berbicara sambil membayar buku yang ia ambil. Pak Roy, penjaga toko sering mengajaknya berbincang apabila Armin berkunjung ke tokonya, karena Beliau sudah mengenal Armin sejak SMA.
"Nak Armin, selamat ya." Pak Roy tersenyum kecil, "semoga nak Annie cepet sembuh."
Armin tertawa kecil, menggaruk keningnya dan membawa pergi buku yang baru saja dibeli. Ia tidak sabar untuk membacanya di rumah.
.
.
.
.
Pagi hari ini, Armin membuat sarapannya sendiri. dua lembar roti berisi tomat dan daging asap menjadi alternatif, tidak membuang waktu, Ia berangkat lebih pagi supaya bisa pulang lebih awal. Karena itu, Armin sama sekali tak sempat untuk membaca buku yang dibelinya semalam, selesai menyiapkan baju ganti, Ia mengantuk dan segera tidur.
Diambilnya tas baju yang disiapkan tadi malam, tak lupa tas kantornya. Ia mengunci pintu dan segera menaiki mobilnya. di tengah jalan, Telpon genggamnya bergetar, layar menyala menunjukkan kontak dari mertuanya. Armin tidak suka mengangkat telepon di dalam mobil, tapi mau tak mau Ia harus mengangkat telepon dari Ayahnya Annie.
"Halo, Armin? "
"Halo bapak? ada apa?"
"Annie ada dimana nak? dari kemarin sore telpon nggak diangkat."
" Annie masuk rumah sakit."
"hah!?"
Untuk menenangkan hati mertuanya, Armin menceritakan semuanya kepada Bapak, termasuk kabar tentang Annie yang sedang mengandung. Pak Leonhart senang mendengar kabar ini, Ia akan menyempatkan waktunya untuk pulang dari luar negri.
Setelah sampai di kantor, Armin menutup telepon, segera membawa keluar tas kerjanya dan memasuki gedung bertingkat itu. Kantor masih sepi, karena Ia mengambil shift agak pagi hari ini. Atasannya, Bu Hanji sudah menyuruh Armin untuk mengambil cuti, tetapi pria ini menolak.
Mengapa Armin tidak mengambil cuti? Karena proyek yang diterima perusahaannya sangat padat, Pemuda ini tidak mau membuat rekan kerjanya repot akibat kekurangan tenaga kerja ahli.
Pada hari biasa, shift kerjanya dimulai dari jam 9 pagi sampai jam 4 sore. Tapi khusus untuk hari ini, Armin mengambil shift pagi, yang dimulai dari pukul 6 pagi sampai pukul 1 siang .
Duduk, menatap layar desktop, lembaran dokumen dan data klien berserakan di atas meja, suara ketikan mengabsen segala gendang telinga. Armin berusaha menyelesaikan semua massa pekerjaan yang diterimanya hari ini sedikit lebih cepat.
" lho, Armin kok udah dateng?" sapa seorang rekan kerjanya.
" Iya Connie, ada urusan mendadak hari ini."
Dokumen demi dokumen dilahapnya, berkas demi berkas disikat habis. Armin menghela nafas, meregangkan tangannya ke atas, menengok jam dinding yang dipasang di sudut ruangan. Ternyata sekarang sudah pukul 1 siang.
Dengan segera, Armin membereskan mejanya dan berpamitan dengan rekan kerjanya. Ia mempercepat langkahnya, ingin segera bertemu dengan Annie.
.
.
.
.
Sesampainya di rumah sakit, Armin mencari ruangan rawat inap Annie. Pagi ini, Istrinya sudah dipindahkan dari IGD, dan sekarang Annie ditempatkan di kamar lavender no.12. begitulah informasi yang Ia dapat dari resepsionis rumah sakit.
Setibanya di lorong lavender, Armin melihat seorang dokter dan perawat yang memasuki ruangan 12 dengan tergesa. Pria muda ini berlari kecil menuju ruangan tersebut, berharap tidak terjadi apa-apa.
Saat ia akan mendekati pintu, Armin dikejutkan oleh dua perawat yang keluar dengan heboh, diikuti oleh seorang perawat dan dokter.
"Bawa ke ruang ICU, siapkan alat pacu jantung!"
Mereka berlari di koridor, mendorong kasur beroda yang membawa Annie.
"Annie!!" Armin berlari, mengikuti Perawat yang memindahkan Istrinya. Ujung koridor selatan, terpampang jelas tanda berwarna hijau yang membentuk huruf ICU.
Di tengah jalan, Armin dihadang oleh dokter. "maaf pak, anda tidak boleh masuk, kondisi pasien sedang drop dan membutuhkan penanganan intensif."
Perutnya terjun bebas, jantungnya berdetak kencang seakan-akan mau loncat lewat mulutnya. Armin terdiam, Ia dapat merasakan keringat dingin di telapak tangan.
"Saya sarankan anda untuk menunggu di waiting room."
Pria ini mematung, menyaksikan dokter itu kembali ke ruang ICU. Armin terpaku, berusaha memproses informasi yang diterima.
Armin duduk di kursi waiting room, menunggu kedatangan dokter yang sedang menangani Annie di ICU. Saat ini, entah mengapa, Lantai keramik dan kursi besi di depannya jauh lebih menarik untuk ditatap.
Sekali-kali, Armin memeriksa jam tangannya, dua jam telah berlalu, tetapi dokter itu tidak kunjung keluar dari ICU. Ia meraup wajahnya, memijat keningnya dalam usahanya untuk menenangkan diri. Armin mengatur nafasnya, sampai seorang dokter keluar dari ruang ICU.
Ia spontan berdiri, menanti kabar tentang Annie.
" Selamat sore pak Arlert, perkenalkan saya Dokter Al. Disini, saya bertanggung jawab atas pasien bernama Annie Arlert."
"B..bagaimana keadaannya dok?" Pria ini melontarkan pertanyaan dengan sedikit terbata.
" Dua jam lalu, tepatnya pada pukul satu siang, kondisi pasien tiba-tiba menurun, detak jantungnya melemah. Dan setelah screening dilakukan, beruntungnya kami tidak menemukan infeksi pada rongga perut dan organ lainnya. satu jam setelahnya, kondisinya mulai stabil dan pernafasannya sudah kembali normal." Sang dokter menjelaskan keadaan Annie yang tercatat di papan dada yang Ia bawa.
" Kira-kira dari sekarang sampai lusa sore, Nona Arlert belum bisa keluar dari ICU, setidaknya sampai Ia melewati masa kritisnya."
Kepala Armin seperti baru dilempar bata, tiba-tiba terasa berat dan pusing.
" kira-kira kapan saya boleh menjenguk dok?"
" sekitar pukul 6 sore, Anda bisa masuk ke ruang ICU 2 kamar 1."
Pria ini mengangguk, Ia tak sanggup menanggapi, lidahnya kelu dan kepalanya pening.
Dokter Al menyarankan pria muda ini untuk beristirahat di kantin, sambil menunggu jam besuk pasien. karena sekarang masih menunjukkan pukul 3 sore.
Akhirnya, Armin pergi ke kantin, Ia belum makan apapun sejak pagi, kalau saja Dokter Al tidak menyuruhnya untuk pergi ke kantin, Armin pasti tidak akan makan.
Selesai makan, Ia berjalan-jalan di sekitar ruangan ICU, berharap bisa menjenguk lebih awal, Armin duduk di kursi sambil menunggu dokter Al. Selama Ia menunggu, Pria ini menyaksikan perawat dan dokter bolak-balik masuk dan keluar dari ruangan di ujung koridor, perawat yang mengantar makanan, dan keluarga lain yang menunggu di waiting room
Armin mengamati sekitar, dan akhirnya, dokter Al menghampirinya. Sekarang masih pukul 5 sore, sepertinya Armin bisa menjenguk Annie lebih awal.
" Selamat sore pak Arlert."
" Selamat sore dok, apa saya sudah boleh menjenguk? "
"Istri Anda baru saja mengalami keguguran. "
.
.
.
.
.
Kini, Armin sedang duduk di sebelah ranjang Annie. Di dalam ruang ICU, penjenguk diwajibkan untuk menggunakan masker dan tidak boleh membawa ponsel genggam.
Wajahnya lebih tirus, lengannya sedikit lebih tipis, dan tangannya dingin. Annie terlihat sangat sakit, bahkan Ia harus menggunakan alat bantu pernapasan.
Tangan Armin menyelinap, menggenggam tangan Annie, meremasnya pelan. sebentar lagi jam besuknya selesai dan Armin harus keluar dari ICU.
Armin menatap istrinya yang terbaring lemah, Ia merasa bersalah. Andai dia lebih memaksa, lebih memperhatikan, hal ini pasti tidak akan terjadi.
.
.
..
..
...
Hola pembaca xD... Terimakasih sudah mereview dan menyukai cerita ini... Apresiasi kalian luar biasa :) see you next week!
