"Maaf, aku terlalu bersemangat," ucap Hartenzica selagi mengayuh sepedanya. Tanpa lawan bicara, entah pada siapa ia tujukan permintaan maaf itu.
"Kau selalu menceritakan mereka padaku hingga kupikir mereka juga adalah orang-orang yang punya hubungan denganku. Aku sampai terbawa suasana. Tapi, jangan khawatir! Aku akan mengendalikan diri!"
Ia diam sebentar. Ekspresinya meringis seolah baru saja ditegur atas kecerobohan yang ia lakukan.
"Baik," kata Hartenzica, "Aku tidak akan mengulanginya lagi."
"Lalu apa yang harus kulakukan?" bisiknya dengan nada bingung, "bukankah untuk itu kita datang ke kota ini?"
Yang menjawabnya kali itu hanyalah desisan angin yang berhembus melewatinya.
.
.
xxxxx
Hartenzica di depan Pintu
Rozen91
Harry Potter © J. K. Rowling
.
.
Seminggu berlalu semenjak pertemuannya dengan Ronald Weasley dan dua keponakannya, Hartenzica masih bertanya-tanya kenapa rupa Atropa berbeda dengan Scorpius walaupun yang ia ketahui adalah mereka berdua (Atropa dan Scorpius) seharusnya mirip. Tetapi mungkin penjelasan mengenai hal itu akan lebih rumit dan sulit dimengerti.
Seingatnya dulu bukankah hanya anak bernama Elliot yang rupanya paling berbeda dengan ketiga saudaranya?
Handphone butut di sakunya berbunyi dengan suara kuno yang akan membuat anak milenial memandangnya lucu. Hartenzica lantas menepi ke sisi jalan seraya merogoh saku. Tertulis Effy di layar handphone. Tiba-tiba Hartenzica mendapat firasat buruk. Apa dia akan diomeli?
Ia menarik nafas.
"Halo?"
Efresia tahu waktu kerja adik sepupunya. Ia tidak mengomel, tetapi menanyakan apakah dia punya waktu untuk berbincang-bincang. Hartenzica mengiyakan, jam kerjanya sebenarnya cukup lenggang dan lagi ia sudah selesai mengantar pesanan. Efresia terdengar puas atas ketekunannya. Mereka membicarakan banyak hal.
"Semua orang merindukanmu. Terutama Ms. Peddleton yang kesulitan membantu adiknya mengerjakan tugas sekolah. Oh kau juga harus tahu, Old Hebert terus mengomel tentangmu, dia ingin kau pulang secepatnya kembali ke desa dan menemaninya bercocok tanam."
"Oh dan satu lagi," tambah Effie kalem, "Michael si sulung Bhaer memintamu membantunya berburu segera setelah kau kembali. Trucker sudah terlalu tua untuk diajak ke hutan."
"..." Hartenzica membuka mulut, "Bukankah Trucker itu nama anjing golden retriever keluarga Bhaer?"
Effie menahan tawa. "Itu yang kumaksud. Mungkin dia hanya ingin menggodamu."
Rasanya tidak begitu, pikir Hartenzica tak senang. Sudah beberapa kali Michael si monyong Bhaer mengajaknya ke hutan dan menyuruhnya mengendus jejak rusa. Itu, well, Hartenzica mengaku kalau kegiatan itu mengasyikkan, namun sisi manusianya teraniaya!
Mengingat masa-masa itu, rasanya menjadi sangat marah. "Aku tidak peduli dengan Michael! Jangan menyebutnya lagi! Dia monyet! Dia kurus! Otak kenari!"
Michael yang sedang ikut mendengarkan: "..."
Effie pura-pura tak melihat bagaimana ekspresi pemuda itu berubah. Ia mengedikkan bahu. "Aku hanya menyampaikan," ucapnya tanpa dosa. Melirik punggung lesu si putra sulung Bhaer saat pemuda itu turun dari teras dan mengajak Trucker tuanya pulang. Suasana hatinya muram.
Laki-laki muda yang semangatnya selalu 200% persen itu tiba-tiba berubah menjadi kantung kering yang disepak angin—sosoknya membuat siapapun jadi kasihan. Bahkan Effie yang terkenal dingin pun lantas simpati melihat situasinya. Ia pun membujuk sepupunya, "Kau tak sampai harus mencecarnya seperti itu. Bagaimanapun juga kalian teman 'kan? Ingat apa yang dulu ia lakukan untukmu."
Muka Hartenzica mendadak berubah gelap. "Kurasa mendapatkan sebotol penuh beludru di loker bukan pengalaman yang patut dikenang."
"Ah..." Efresia kehabisan kata-kata.
"Bodoh! Cewek jelek! Muka badak!" teriak si pemilik botol beludru dari arah pintu—rupanya dia belum pulang. Hartenzica tidak tahu terima kasih. Apa dia tak memikirkan betapa kerasnya Michael memasukkan beludru-beludru itu ke dalam botol? Mencarinya pun tidak gampang, helooo!
Hartenzica berdiri dari kursi seraya menatap tajam ponsel di tangannya. "Kau di sana! Berani menghinaku!?"
"Bagus kau mendengarku! Jangan pulang, nanti mukanya makin badak!"
"Kurus! Kurus! Lidi berjalan! Ngaca dulu sana, mukamu lebih badak!"
"Kau memang tak kenal takut, Hartenzica! Kubuat kau babak belur kalau berani pulang ke desa!"
Hening. Michael yang kepalanya panas mulai deg-degan, khawatir dia sudah keterlaluan dengan ancaman.
"Pffft!" dari speaker ponsel terdengar suara tawa, "Kau dengar itu, Effie? Oh, oh kau harus jadi saksi, Effie! Pemilik tangan ranting akan menyerangku dengan rantingnya yang rapuh! Aku khawatir dia akan patah duluan! Hahahaha!"
Si tangan ranting yang sudah berisi otot yang kuat: "..."
Betapa Hartenzica berharap ponsel bututnya bisa memperlihatkan wajah mengejeknya saat ini. "Booooooodoh~"
"HARTENZICA!"
Effie menyerahkan ponselnya pada Michael dan meninggalkan ruangan. Dasar anak-anak, umur sudah belasan masih juga bertengkar seperti anak sd. Efresia hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala.
Di tempat lain, seseorang juga ikut menggelengkan kepala.
xxx
Walaupun tampak manja saat bersama kakak perempuannya, Scorpius sebetulnya bukan anak naif. Gampang saja baginya menyuarakan tebakannya bahwa uncle Ron sedang membujuknya untuk tutup mulut. Sampai disuap dengan jajanan segala. Lucu sekali, uncle Ron—pantas jadi paman favorit semua anak.
Scorpius memasang wajah polos. "Kalau begitu, aku tidak akan menceritakannya pada orang lain."
Ron tersenyum bangga sementara hatinya melega. "Bagus kalau kau mengerti."
Pria itu lalu mengajak mereka jalan-jalan ke sekitar kompleks perumahannya sampai khasiat ramuan polijus di tubuh Atropa memudar.
Saat pulang kembali ke apartemen uncle Weasley, yang mereka dapati hanyalah aunt Lavender di dapur dan Elliot di ruang tengah, menyeruput jus limunnya seperti hamster. Atropa mengangkat satu alisnya, tak memahami kenapa adiknya yang pemalas itu mau saja datang ke tempat dimanasemua orang harus punya kesibukan untuk dikerjakan.
"Selamat datang," sambut Elliot tanpa mengalihkan mata dari tv.
"Orphe sudah pulang?" tanya Scorpius dari belakang sofanya.
"Ya. Dia tidak bisa berlama-lama."
Spontan yang muncul di pikiran Atropa dan Scorpius adalah wajah mum.
Tidak mengagetkan lagi kalau mereka bertiga setuju bahwa mum menakutkan. Masing-masing punya cara tersendiri dalam mengekspresikannya. Atropa minder di depan mum; Elliot menghindarinya; dan Scorpius mengabaikannya. Ketiganya juga sama-sama berpikir untuk tidak mendekati mum. Tidak menampakkan diri ketika tidak dibutuhkan. Tidak berbicara ketika tak diminta. Tak menatap kecuali ke bawah. Ketiganya masih sering bertanya-tanya, kenapa hanya mereka yang melihat cahaya lain itu di mata ibu mereka? Kenapa dad dan Orphe tidak bisa melihatnya?
Ini adalah suatu berkah dari kepolosan kanak-kanak yang mereka bertiga miliki. Tetapi Atropa, Elliot, dan Scorpius tidak mengetahui hal ini.
Dan kepada Orphe mereka bergantung dan berkeluh-kesah.
Di waktu-waktu ketika ayah menyibukkan diri untuk meladeni mum, maka mereka bertiga bebas bermain bersama Orphe. Menarik tangannya dan berlari di antara jajaran pohon-pohon pinus berbatang kokoh.
Orpheus adalah sosok yang lembut dan pemberani seperti seorang ksatria penyelamat. Mereka berlindung di belakangnya dari keanehan yang bersembunyi di balik permata hazel yang tersenyum ramah. Dari sindiran dan sarkasme yang terkadang bergulung di bibir wanita itu.
Mungkin, jika Hermione ada di sisi mereka, dia akan berkata, 'itu karena ikatan emosional kalian padaku. Jadi kalau aku berubah, maka kalian akan mencari ikatan yang hampir sama denganku—yang saat ini kalian rasakan pada Orphe.'
Saat ini Hermione Malfoy berada di manornya. Tersenyum begitu senang saat melihat putra sulung keluarga Malfoy keluar dari perapian yang aneh. Orpheus mendaraskan mantra scourgify ke seluruh tubuh, ketika mendengar panggilan ibunya, ia tertegun lalu menyunggingkan senyum.
"Aku ingin keluar berbelanja. Kau bisa menemaniku, Orphe?"
"Baik, mum."
Hermione puas mendengar jawabannya. "Kau memang yang terbaik. Di antara yang lain, hanya kau yang paling patuh pada ibumu ini."
Sejenak wajah Orpheus tertutup bayangan poninya, lalu wajah yang tersenyum tampak di baliknya. "Tentu saja, karena aku sayang mum."
xxx
Sepeda Hartenzica berhenti di dekat trotoar. Diam dan menunggu, memerhatikan mobil mewah yang berhenti tepat di depan toko bunga Mrs. Lumbert. Sebuah kebiasaan yang ia pelajari dari kakak sepupunya yang paranoid. Matanya awas menandai detail-detail tentang mobil itu, nomor platnya, dan ingin tahu siapa pemiliknya. Siapa pelanggan kali ini? Orang kaya pastinya. Rumahnya mungkin sebesar istana seperti rumah-rumah di avenue Thurston yang ia lewati kemarin.
Seorang pria albino terlihat mendekap sebuket mawar merah. Pintu mobil bagian belakang dibuka oleh seseorang yang tampaknya adalah pelayan—karena gerak-geriknya sopan dan hormat pada pria albino itu. Hartenzica terpukau saat sekilas menangkap ketampanan dan kematangan dewasa di wajah pria itu. 30 atau lebih, pikirnya spontan.
Mobil hitam meluncur di jalan raya dan Hartenzica buru-buru mengayuh sepedanya ke toko.
Aku menemukan manusia paling brengsek di muka bumi, pikirnya tak sadar—lenyap secepat kilat, tetapi gerakan Hartenzica terhenti sejenak. Suatu tanda bahwa dia mendengarnya.
"Bagaimana? Kau tidak tersesat?" sambut Mrs. Lumbert sumringah. Hartenzica menggeleng cepat seraya mengambil pot hias dari tangan calon ibu tersebut. Mrs. Lumbert tersenyum penuh terima kasih. "Aku senang kau datang kemari. Pekerjaan jadi ringan."
Hartenzica melihatnya duduk di kursi yang didorong tepat di bawah AC. Ia meneguk ludah, memberanikan diri untuk bertanya. "Aku lihat mobil hitam di depan toko tadi."
"Oh?" Muka Mrs. Lumbert makin cerah, "Tadi Mr. Malfoy datang membeli bunga. Kau harus ingat ini, Hartenzica, dia pelanggan setia kita. Kita punya jadwal tetap kedatangan Mr. Malfoy—kemarikan file hijau di laci kedua itu."
Hartenzica membuka file itu seraya berjalan ke arah Mr. Lumbert. Jan tungnya berdetak dua kali lebih cepat saat melihat selembar kertas dengan nama Draco Malfoy tertera di bagian atas. Hartenzica menyerahkannya pada Mrs. Lumbert lalu berlutut di samping kursinya.
"Benar, yang ini," kata Mrs. Lumbert menunjuk lembaran yang tadi dibuka Hartenzica. "Dra-co Mal-foy," ejanya seolah-olah Hartenzica tidak bisa membaca, "Dia datang setiap Senin, Kamis, dan Sabtu. Dia memilih bunganya sendiri tetapi tidak jarang dia meminta saran, jadi kau harus segera menguasai bahasa bunga. Oh, dan buket. Hartenzica," Mrs. Lumbert menghela nafas seraya mengelus puncak kepala gadis muda di sampingnya, "kau masih harus belajar banyak sebelum kuizinkan melayani pelanggan terbaik kita."
"Aku akan berusaha, Titania," jawab Hartenzica manis.
Titania Lumbert yang amat menyayangi Hartenzica yang patuh dan manis tak tahan untuk mencubit pipi gadis itu. Ia berkata, "Kuharap kau bisa mendapatkan pasangan hidup seperti Mr. Malfoy, my dear. Lihat dia, amat romantis dengan buket-buket bunga yang ia pilih sendiri untuk istrinya!"
"I—istri?"
"Oh, darling, mana mungkin pria kelas atas nan sempurna seperti Mr. Malfoy akan terus membujang sampai usia 32? Dia tampan, baik, romantis, kaya bahkan membangun perusahaannya sendiri di usia muda, perempuan mana yang akan membiarkannya kesepian tanpa pendamping?"
[Si brengsek itu—]
"Istrinya cantik, elegan, dan cerdas. Aku pernah melihatnya satu kali waktu Albert mengajakku jalan-jalan ke London. Kami melihat reklamenya—terakhir kali aku melihat reklame sebesar itu saat pertandingan bola. Itu reklame perusahaan Mr. Malfoy, tetapi ia lebih senang berfoto berdua bersama istrinya."
[berani-beraninya—]
"Na-namanya..."
"Hermione Malfoy, tentu saja."
Ada kekecewaan merambat di dalam hati Hartenzica saat tahu Mr. Malfoy sudah beristri.
Bukan. Bukan 'sudah'.
Tetapi 'masih'.
Karena kalau ingatannya tidak salah, bukankah istrinya itu—
Lalu ia menyadari sesuatu yang besar tengah terjadi di dalam dirinya. Sama seperti perasaan-perasaan yang muncul ketika ia menyadari anak perempuan berambut merah tempo hari bernama Atropa.
Tetapi kali ini serangannya lebih dahsyat!
[—Draco Malfoy, aku akan membunuhmu!]
Ukh!
Hartenzica menggeretakkan gigi. Berusaha menahan amukan di dalam dirinya. Gejolak perasaan-perasaan negatif yang menghantamnya seperti tsunami. Bagaikan ada kekuatan yang mendorongnya untuk berlari ke dapur dan mengambil pisau. Atau menendang pot-pot bunga di depan toko sampai hancur berkeping-keping lalu berteriak sekuat tenaga.
Ini pertama kalinya Hartenzica dipenuhi emosi-emosi semacam ini.
"Ma'am, kumohon!" bisiknya, "Tenangkan dirimu!"
Tak ada respon kecuali ledakan emosi yang makin menjadi-jadi. Muka Hartenzica pucat pasi. Peluh mengucur deras ke lehernya. Kedua tangannya terkepal erat.
"Atau aku akan—" cobanya lagi namun sudah terlambat. Tubuhnya tak mampu bertahan dari ledakan asing di dalam jiwanya. Berwarna hitam dan hendak mewarnai keseluruhan dirinya dengan warna dendam.
Sontak bola matanya berputar bersamaan dengan tubuhnya limbung ke belakang. Jatuh bebas seperti karung kentang yang dibuang ke lantai.
Bruk!
Titania terlonjak dari gosipnya. Terkaget-kaget atas suara bedebam dari tubuh yang jatuh di dekat kursinya. "Hartenzica!"
Isi pikiran Hartenzica kocar-kacir. Kepalanya terasa panas dan sakit. Samar-samar ia menyadari Titania berteriak memanggil suaminya. Hartenzica perlahan memejamkan matanya.
Ketika itu di bawah alam sadar ia melihat sesuatu yang bukan miliknya.
[Ada seorang pria yang sosoknya rasanya familiar. Ia didorong jatuh ke tanah oleh pria itu. Hartenzica melihat ada sebuah rumah megah di belakangnya. Lalu pagar berwarna hitam memisahkan mereka berdua.
Sepasang permata kelabu menatap tajam dan dingin.
"Pergi dari sini, wanita sinting."]
Di dalam kepala Hartenzica terdengar teriakan seseorang.
Pilu.
Mengutuk pria itu.
_to be continued_
