Perjalanan menuju ruangan Neko tidak secepat biasanya. Padahal mereka cukup berjalan lurus hingga ke aula utama kemudian berbelok ke kanan, ke sebuah pintu di belakang tangga tempat Alkemis bersemayam. Akutagawa tidak fokus pada situasi di sekitar. Pikirannya berlarian entah ke mana.
Akutagawa tampak tenang. Langkahnya teratur dan wajahnya lempeng-lempeng saja. Namun, jauh di dalam hatinya, ia sedang berusaha mempertahankan antusiasmenya. Sejak Chuuya bilang dua orang yang dibangkitkan berhubungan dengannya, Akutagawa punya firasat bahwa merekalah yang akan mengisi rasa penasarannya.
Habisnya kebetulan banget sih momennya.
"Nama mereka siapa?" tanya Dazai di tengah perjalanan. Maksudnya diarahkan pada oknum yang menginterupsi obrolan santai di ruang makan tadi.
"Nggak tahu."
"Apa mereka orang yang dari ..." Akutagawa tak hapal sebutannya. "Apa namanya, Tacchanko?"
"Shinshichou."
"Oh, iya, itu."
"Mana kutahu!" Chuuya sedikit meninggikan suaranya. "Aku cuma disuruh kasih berita doang. Lihat wujudnya aja belom."
"Duh, sewot banget, sih." Ango memprovokasi dari belakang. "Lagi dapet, ya?"
"Diem, Ango!"
Akhirnya mereka sampai ditujuan. Di dalam ruangan ini, terdapat dua pendatang baru yang dianggap-anggap berhubungan dengannya. Mendadak jantung Akutagawa berdebar terlalu kencang. Ia mengambil napas dan membuangnya perlahan, mencoba mengembalikan ketenangannya yang sudah melayang dibawa perasaan penasaran bukan kepalang.
"Siap, Sensei?"
Akutagawa menoleh ke arah Dazai. Tak disangka ada orang yang menyadari kegugupannya. "Tentu saja," jawabnya.
Dengan percaya pada harapannya, Akutagawa membuka pintu. Siap atau tidak, ia harus menerima apapun yang ada dibalik pintu itu.
.
.
.
Rust-colored Gear
Ch 5: Half Truth No Lies
Disclaimer: Bungou to Alchemist belongs to DMM Games
Warning(s): SSC reunion, fluff (?) and humor, we need those bungous to do daily things more, please bear with my hard to imagine fighting scene
.
.
.
Sebelum ia memasuki ruangan, Akutagawa sempat berpikiran bahwa orang yang akan ia temui berpakaian sama sepertinya. Berdasarkan populasi penghuni perpustakaan, hanya sedikit yang mengenakan pakaian ala Jepang. Bisa dibilang, hanya dirinya dan Shuusei saja yang tampak tradisional, sedangkan sisanya cukup modern.
Keduanya tidak berbeda jauh dengan mereka. Dari posisi Akutagawa berdiri, busana mereka terkesan kebarat-baratan, apalagi salah satu dari mereka memakai topi fedora cokelat. Pria di sebelah kiri pakai (blazer) hijau dan yang satunya lagi pakai overcoat hitam. Ia belum tahu bagaimana rupa depan mereka karena keduanya masih berdiskusi dengan Neko.
Beruntungnya, mereka segera menengok ke belakang saat Akutagwa masih sibuk menerka-nerka. Pandangan ketiganya saling bertemu. Ada jeda beberapa detik selama mereka menatap satu sama lain sampai pria di sebelah kiri berlari kencang ke arah Akutagawa.
"A—" Akutagawa tidak diberi waktu untuk bersuara karena dalam sekejap orang itu sudah memeluknya.
"Ryuu!" jeritannya bagai orang yang menemukan harta paling berharga. "Kamu hidup!"
"Uh ... iya," balas Akutagawa. "Kita semua 'kan dibangkitkan sama Alkemis."
"Aku nggak pernah kepikiran bakal ketemu kamu lagi." Pelukannya semakin erat dan suaranya pun jadi berat. Sepertinya ia menahan haru serta tangis yang sudah siap tumpah ruah. "Pas kucing itu bilang ada kamu di sini, aku bener-bener kaget."
"Kan, aku tahu kamu masih terkejut." Orang yang satu lagi bergerak ke tempat mereka. "Tapi, Akutagawa-kun kesiksa sama pelukanmu, tuh."
"Ma-maaf, Ryuu!" Kan segera melepas dekapannya. Ia menyentuh leher bagian belakangnya dengan tergesa-gesa. "Aku refleks."
"Ah, nggak apa-apa." Akutagawa menerawang orang dihadapannya. Tangan Kan menarik perhatiannya. "Tadi ... namamu Kan?"
"Benar." Kan manggut-manggut. "Aku Kikuchi Kan, dan dia—"
Kikuchi Kan.
Begitu nama lengkapnya disebut, kepala Akutagawa seperti menerima banyak informasi. Masa sekolah, masa kuliah, sekilas ia bisa melihat pelajar-pelajar yang sedang menikmati masa mudanya. Mereka senang, mereka bahagia. Akutagawa mendekat pada pemandangan itu dan ia menemukan—
"Kan." Akutagawa memanggil namanya sekali lagi. "Akhirnya kita bisa ketemu, Kan, dan ..."
"Kume." Orang yang namanya belum diketahui Akutagawa itu menjawab. "Namaku Kume Masa—Akutagawa-kun?"
"A-Akutagawa-sensei?!"
"Eh?" Tanpa disadarinya, tiba-tiba pandangan Akutagawa memburam dan air mata meluncur di pipinya. Seketika hatinya sesak, ia tak dapat merangkai kata yang tepat lantaran suaranya sedikit bergetar. "Aku ... bingung. Bingung banget. Padahal yang kulihat cuma siluet anak sekolahan, tapi pas dengar nama kalian, aku ... aku nggak ngerti kenapa."
Hori berdiri di sebelah Akutagawa. Tangannya ia jadikan sebagai penahan mentornya dari belakang."Tekanan ingatan sekuat ini ... apa Anda berdua termasuk dalam Shinshichou?"
"Shinshichou ... kangen banget aku."
"Kami pernah terlibat di pembuatan Shinshichou generasi tiga dan empat, sih."
"Berarti kalian ... teman Akutagawa-san?"
"Tentu saja."
"Kan, Kume." Akutagawa mengelap air matanya. Ia sudah cukup kuat untuk berucap. "Lama banget kalian dateng ke sini."
"Orang bilang yang paling utama itu yang paling terakhir keluarnya." Kan berkedip sebelah mata. "Benar 'kan, Kume?"
"Karena semuanya dilakukan dadakan, biar kujelaskan duduk permasalahannya." Neko menyela reuni kecil mereka. Perhatian semua orang tertuju padanya. "Kikuchi, Kume, seperti yang kubilang sebelumnya, kalian dibangkitkan oleh Alkemis untuk membantu kami melawan Shinshokusha. Supaya bisa mengalahkan mereka, nantinya kalian akan menyelami buku yang diserang mereka dan menyucikannya. Garis besarnya begitu.
"Dan mengenai teman kalian Akutagawa, dia kehilangan ingatannya sebagai penulis. Jadi, sebisa mungkin, kuharap kalian bisa membantunya agar memorinya kembali seperti semula." Neko menoleh ke samping, ke tempat batu Alkemis melayang. "Keputusan ini dibuat karena hanya Akutagawa saja yang benar-benar tidak ingat masa lalunya."
"Tenang saja." Kan menanggapi penjelasan Neko. "Pilihan bijak membangkitkan kami, karena aku yakin kami bisa membantu Ryuu mengingat kembali kehidupannya. Setidaknya dari sisi kami sebagai teman yang sudah mengenal baik dirinya sejak dulu."
"Aku senang mendengarnya." Neko merasa lega. "Baik, mulai hari ini, bantu kami melawan Shinshokusha, Kikuchi, Kume!"
"Baik!"
Hari sudah larut. Perbincangan di ruang makan sekaligus kedatangan sastrawan baru menghabiskan waktu seharian. Sebagian orang sudah beristirahat di kamar. Akutagawa tidak termasuk, atau lebih tepatnya hendak melakukan hal serupa, karena ia baru saja selesai mengantar dua temannya mengelilingi seisi perpustakaan.
"Lumayan megah, ya." Kume takjub setelah tur mereka diakhiri dengan perjalanan ke kamar masing-masing. "Untuk tugas buat sastrawan, Alkemis hebat juga."
"Biar semegah ini, dulu sempat ada kerusuhan, lho." Akutagawa sudah tak sabar menceritakan apapun yang pernah terjadi di sini. "Awal-awal kami semua ngerasa kaya terjebak. Nggak ada pintu keluar, nggak tahu apa yang ada di luar.
"Ditambah menu makanan yang setiap hari cuma ikan, banyak orang yang protes ke kanchoudairi. Rasa penasaran sekaligus bosan benar-benar membuat semuanya stres. Untunglah permintaan kami dituruti Alkemis sehingga kita bisa pergi keluar."
"Berada di satu tempat dengan banyak orang yang entah kenal atau tidak, terus makan makanan yang sama di tiap hari ... aku rasanya paham perasaan kalian."
"Waktu itu pokoknya lucu sekali." Sontak Akutagawa menguap. "Hmm ... kalian mau apa habis ini?"
"Tidur, lah," jawab Kan. "Mandi dulu sih paling. Kamu gimana, Kume?"
"Aku ikut kamu."
Akutagawa terpaku. Ada sesuatu yang ingin ia katakan pada temannya tapi begitu sulit disampaikan. Sebenarnya ia terheran-heran, karena ia tidak pernah begini sebelumnya. Apa mungkin penyebabnya lantaran mereka adalah teman dekatnya makanya Akutagawa sampai terlalu ragu?
"Ryuu."
"A-ada apa, Kan?"
"Kamu mau ngomong sesuatu?"
"Eh? Kok—"
"Kelihatan dari wajahmu," sahut Kume, menggantikan Kan menjawab keterkejutan Akutagawa. "Kamu paling gampang kelihatan kalau lagi ada pikiran."
"Aneh." Akutagawa berusaha menyanggah. "Padahal Dazai-kun dan yang lain nggak pernah sadar."
"Kita itu udah temenan dari lama, jadi wajar kita bisa ngenalinnya," jelas Kan. "Jadi, mau bilang apa?"
"Nggak terlalu penting, kok." Usaha Akutagawa mengalihkan gagal total. Ia bahkan tak mampu menatap temannya tepat di mata. "Udah, deh, kalian mandi dulu a—"
"Ryuu." "Akutagawa-kun."
Dibalik panggilan nama tersebut, terdapat sebuah perintah untuk berterus terang. Akutagawa berada di ujung tanduk. Keduanya menunggu-nunggu 'jawaban' yang sesuai perkiraan mereka. Sesuatu yang mengganjal di pikirannya, sesuatu yang—
Yang sangat, sangat memalukan, jika mereka menyadari 'umur' mereka.
"Aku ... pengen ngajak kalian ..." Mungkin wajah Akutagawa sudah semerah tomat sekarang. "Malam ini ... tidur bareng."
Kamar yang dijadikan base camp mereka, tanpa debat, adalah kamar Akutagawa. Seluruh isinya menggambarkan kepribadian orang itu sendiri, sehingga ketika Kan dan Kume masuk, mereka sudah mengantisipasi banyak hal, misalnya ruangan yang berkesan artistik, tapi tertutupi kilauannya oleh sesuatu.
"Anggep aja kamar sendiri." Akutagawa mempersilakan mereka semakin terjerumus ke dalam kamarnya. "Hehe ..."
"Hehe gundulmu!" Amukan Kan menjadi penanda adanya kesalahan di sana. "Gimana bisa kamu tidur di kamar berantakan begini?! Puntung rokok bekas pakai di mana-mana, belum lagi selimut yang asal lempar!"
"Tapi, biar gitu, ada yang hal bisa dibanggain, lho, Kan." Kume menunjuk suatu objek. "Urusan buku, dia nggak biarin ada satupun yang berantakan."
"Makasih pujiannya, Kume."
Kan meninggalkan mereka. Pintu kamar ia tutup dengan terlalu keras. Tak berapa lama, ia datang membawa sapu dan alat bebersih lainnya. Ia sangat serius. "Kalau kamu mau kita tidur di sini, cepat rapihkan kamarmu!"
"Kalian ... bakal bantuin, 'kan?"
Kemurkaan Kan menakutkan di mata Akutagawa. Buru-buru ia ambil sapu darinya dan membersihkan abu rokok yang mengotori lantai. Meski ia sedikit pesimis, rupanya mereka berdua tetap membantunya. Kan melipat selimut dan Kume mengembalikan barang-barang pada tempatnya.
Butuh waktu setengah jam untuk merombak kamar bak bantar gebang itu hingga menjadi kamar layak huni. Kesegaran selesai mandi seakan lenyap bersamaan dengan kotoran-kotoran tersebut.
Jika diperhatikan (setelah dibersihkan), kamar Akutagawa cenderung seperti kamar biasa pada umumnya. Futon di tengah, meja di kanan, lemari berukuran sedang di sebelah kiri. Di meja terdapat sebuah laci kecil yang di dalamnya berisi kotak rokok, asbak, dan satu rokok pipa antik. Keadaan lemarinya sungguh memprihatinkan. Dibanding menggantung pakaian dengan hanger, Akutagawa justru menyangkutkan baju-bajunya di besi penyangganya. Aroma mencurigakan dari baju yang tergeletak di bagian bawah lemari membuat kedua temannya menatap sinis Akutagawa. Ia segera meletakkannya di keranjang yang entah sejak kapan tak pernah ia gunakan untuk meletakkan pakaian kotor.
Meski amarah atas blunder Akutagawa bagai tak ada akhirnya, mereka dibayar oleh sejuknya kipas angin yang terpasang di langit-langit beserta dengan cahaya lampu yang terang namun tidak terlalu kuat.
"Kamar kalian sama sepertiku?"
"Agak." Kan menggelar futon miliknya. "Bedanya, punyaku nggak ada laci dan kipas, tapi aku ada jendela yang ngarah ke luar. Oh, aku juga ada papan shogi."
"Harusnya dibawa ke sini aja biar kita bisa main."
"Mau kubawa?"
"Nggak, deh. Udah malem." Akutagawa menolak tawarannya. "Kalau kamarmu, Kume?"
"Lumayan beda." Kume duduk di atas futon-nya. "Tempat tidurku bukan macam futon, mejaku juga bukan tipe yang mesti ngedeprok di tatami. Ada kursinya. Terus dibanding lemari baju, aku punya rak buku."
"Lho, terus kamu naro baju di mana?"
"Ada tempat gantung baju, tapi nggak bentuk lemari."
"Hoo. Beda jauh, ya."
Situasi menjadi canggung. Mereka bertiga duduk melingkar tanpa berkata apa-apa lagi. Satu-satunya suara yang terngiang di teling mereka hanya kipas yang berputar-putar di atas kepala.
"Aku udah kebelet ngomong ini dari tadi." Pembahasan utama akhirnya dicetuskan Kan. "Kenapa kamu ngajak kita tidur bareng?"
"I-itu ..." Akutagawa kembali kewalahan. Setengah dirinya sudah menduga akan ditanyai kejelasannya. "Seperti yang kalian tahu dari kanchoudairi, aku nggak ingat sama sekali semua tentang diriku di masa lalu. Semua karya buatanku sudah kubaca, tapi aku bener-bener nggak ngerti kenapa aku nulis dan dengan perasaan apa itu tercipta. Aku nggak bisa memahami siapa Akutagawa Ryuunosuke yang diketahui orang-orang."
"Dan itu buat kamu gelisah?"
"Setiap aku berhasil menyelamatkan penulis yang mengenalku, aku selalu berusaha menanyai mereka tentang diriku. Kebanyakan dari mereka hanya cerita dasar-dasarnya saja." Akutagawa mengiyakan secara tersirat. "'Kamu orang yang berkharisma', 'kamu orang yang jenius', aku sering sekali dengar jawaban yang begitu.
"Tapi, belakangan ini, aku berhasil mempelajari hal baru." Fokus temannya semakin serius, Akutagawa semakin semangat untuk melanjutkan. "Dimulai dari cerita Saisei dan Sakutarou-kun tentang insiden lempar bangku sampai masa-masa di mana aku jadi guru bagi Tacchanko, semuanya membuatku yakin jika ingatanku akan pulih secepatnya.
"Lalu kalian datang, kebetulan saat aku berharap datangnya petunjuk baru. Bagai anak yang ketagihan memainkan sesuatu, aku jadi ingin mengetahui semuanya dalam satu waktu. Makanya, aku mengajak kalian tidur bersama karena aku ingin bicara lebih banyak soal masa laluku."
Kan dan Kume diam. Mereka masih menelaah ceritanya barusan. Seketika Akutagawa merasa sungkan dan berkata, "Maaf sudah memaksa dan ganggu waktu istirahat kalian dengan permintaan egoisku."
"Biasa aja, ah." Kume menanggapi duluan. "Aku pikir wajar kamu penasaran."
"Aku sependapat." Kan menambahkan. "Lagian, aku juga tertarik ngobrol banyak sama kalian. Itung-itung ini pertemuan kita setelah entah berapa lama udah nggak ketemu, lho."
Mereka benar-benar teman-nya, Akutagawa pikir. Tanpa perlu berkata banyak, mereka mengerti ungkapan tersembunyi yang ia harap dapat tersampaikan. Sudut kosong di hatinya tentang betapa 'sendiri' dirinya seakan menghilang dan terisi oleh kebaikan mereka berdua. Akutagawa bersyukur, bersyukur sekali ia bisa segera dipertemukan dengan mereka.
"Kume ... Kan ..."
"Enaknya bahas apa dulu, ya?"
"Kapan kita ketemu?" Akutagawa spontan bertanya. Tentu saja jika diberi pertanyaan apa yang seharusnya dibahas, 'awal' pertemuan mereka-lah yang jadi prioritas utama.
"Ichi-ko," jawab Kume. "Waktu ujian masuk, kamu peringkat dua dari sekian banyak murid. Bisa dibilang, kamu termasuk anak pintar di sekolah."
"Kita pernah sama-sama tinggal di asrama." Kali ini Kan yang bercerita. "Pas itu kita belum terlalu akrab, sih. Yah, sekadar saling kenal, lah."
"Lalu kita lulus dari sana dan kuliah di Teikoku Daigaku."
"Aku nggak ikutan di sana." Kan mengoreksi sedikit. "Karena satu dan lain hal, aku beda kampus sama kalian. Kalian ambil jurusan sastra inggris."
"Tunggu," potong Akutagawa. "Shinshichou ... itu kapan?"
"Setelah kita mulai kuliah." Kume bagai menunggu momen ini. "Kita coba bangun kembali majalah itu bareng yang lain. Kenangan selama di sana benar-benar nggak terlupakan."
Akutagawa tidak bertanya, namun Kume mengerti. Ia memulai ceritanya. "Kita masih jauh dari kata bagus, tapi karena membuatnya sama-sama, rasanya waktu berjalan dengan menyenangkan. Alih bahasa karya luar, kritik, bahkan pojok cerita buatan masing-masing sudah cukup menghibur. Malam-malam penuh perjuangan menulis, memperbaiki, dan mengimprovisasi menjadi keseharian kita. Aku masih ingat seberapa senangnya saat majalah itu ada di rak toko buku. Kerja keras kita berhasi dilihat publik."
"Apa pengerjaannya nggak susah?" Akutagawa menyadari satu hal yang mengganjal. "Maksudku, kampusnya Kan lumayan jauh, 'kan?"
"Jelas susah." Tak membuang waktu, Kan langsung merespon. "Pernah naskah yang kukirim nggak sampai, ngehambat banget."
"Kita juga pernah kasih kritik ke naskah Kan."
"Duh, jangan diinget, deh. Pedes banget tuh kritik. Buatan siapa, sih?"
"Aku yang nulis, tapi itu berdasarkan diskusi sama yang lain."
"Aku kurang percaya."
Kan dan Kume terus memberinya gambaran masa lalu. Meski Akutagawa (yang ini) tidak mengalaminya secara langsung, ia mampu mereka-reka setiap bagiannya. Mereka yang kadang malas mengikuti pelajaran salah satu dosen, mereka yang saling tuduh-tuduhan siapa yang selesai duluan mengerjakan naskahnya, dan mereka yang berjuang lulus bersama. Kesannya normal, tapi dari hal biasa itu menghadirkan keistimewaan jika ditelusuri kembali.
"Lepas dari universitas, kita mulai ambil karier masing-masing." Kan menutup matanya. Ia membukanya lagi sembari menatap Akutagawa. "Dan meski pilihan jalan kita beda-beda, kita masih disatuin sama sesuatu. Apa kamu tahu, Ryuu?"
"Hmm ... apa, ya ..."
"Menulis." Kume mengeluarkan jawaban tersingkat. "Walau Kan jurnalis dan kamu pengajar bahasa inggris, masih ada perasaan ingin menulis. Makanya, kita bisa ketemu di sini, 'kan?"
"Ah, benar juga."
"Ryuu buat banyak karya fenomenal." Lantaran jaraknya cukup dekat dengan tumpukan buku, Kan mengambil salah satu yang ada di tumpukan paling atas. Bukunya berjudul 'Kumo no Ito'. "Yang diprediksikan Natsume-sensei benar-benar terjadi. Kamu berhasil menciptakan karya yang konsisten seperti 'Hana' di tahun-tahun selanjutnya."
Berdasarkan cerita mereka berdua, Akutagawa tampak seperti orang yang bersinar di waktu yang tepat. Karyanya penuh keindahan, bahkan penulis terkenal pun mengakuinya, jadi bukankah berarti ungkapan yang dibilang Dazai dan penghuni perpustakaan lain adalah benar? Lalu, jika begitu, bukankah Akutagawa hanya kembali ke titik awal?
Tunggu—
"Terima kasih sudah menceritakannya padaku." Akutagawa sedikit menunduk. Kan dan Kume menyuruhnya jangan terlalu serius. "Tapi, masih ada satu hal yang belum aku temukan dari kalian."
"Apa?"
"Mengenai aku dan karyaku di penghujung hidupku ... bagaimana dari sudut pandang kalian?"
Ya, inilah tujuan utama Akutagawa. Ia senang berhasil memvisualisasikan masa lalunya, tapi itu saja tidak cukup mengisi lubang puzzle bernama ingatannya sebagai Akutagawa Ryuunosuke. Mereka sedekat itu dulu, jadi seharusnya mereka mengerti betul, 'kan?
Aku hanya butuh penjelasan, tidak peduli seberapa singkatnya—
"Aku ..." Kan mengawali pembicaraan. Wajahnya serius, tapi di detik berikutnya berubah drastis. Ia menggaruk-garuk kepalanya. Bingung. "Aku nggak bisa ingetnya, entah kenapa. Maaf, Ryuu."
"Eh, masa' bisa gi—"
"Kamu bilang, kamu nggak punya ingatan masa lalu, 'kan?" Kume menghentikan tuduhan Akutagawa. "Itu juga berlaku buat kita. Aku sendiri juga kesulitan mengingat masa-masa tuaku. Semuanya buram Mungkin butuh waktu."
(Yang kuingat cuma dulu kita pernah makan unagi bareng.)
(Mungkin butuh proses untuk mendapat semua ingatanmu.)
(Hmm ... yang kuingat ... hanya saat berguru dengan Akutagawa-san)
(Aku lupa. Maaf, Akutagawa-san.)
Penjelasan Kume sesuai dengan yang lain. Seketika Akutagawa merasa bodoh sendiri. Memangnya jika ia terburu-buru begini hasilnya bisa secara ajaib muncul di depannya? Tentu tidak. Bahkan mereka berdua baru saja datang beberapa jam lalu! Akutagawa benar-benar keterlaluan.
"Ma-maaf ..."
"Jadilah seperti sapi." Tiba-tiba Kume membacakan suatu istilah. "Jangan khawatir. Bersabarlah. Dunia akan tunduk pada kesabaranmu."
Melihat Akutagawa yang kebingungan, Kume menambahkan, "Itu pesan dari Natsume-sensei untuk kita. Tanamkan itu di pikiranmu."
"Jadi, aku harus melakukannya dengan perlahan, ya?" Anggukan Kume adalah jawabannya. Akutagawa mulai tenang. "Baik, aku mengerti."
"Syukurlah." Kan menghela napas lega. "Aku khawatir kamu bakal murung."
"Aku nggak boleh nyerah cuma gara-gara ini." Akutagawa terkekeh. "Nanti Dazai-kun buat seisi perpustakaan heboh."
"Wah, kamu belum cerita soal itu."
"Oke, oke, gantian, deh."
Obrolan berganti. Akutagawa sudah bukan pendengar; kini ia yang puas mengisahkan hal-hal yang belum sempat dibahas sebelumnya. Tentang pertama kali saat ia dibangkitkan, tentang Dazai, dan tentang sastrawan lain yang semakin meramaikan perpustakaan ini. Sesi cerita berakhir di pukul tiga pagi, tepat setelah ketiganya tak lagi dapat menahan kantuk.
Hari itu berjalan seperti biasa. Mereka berkumpul di kamar kecil yang sering dijadikan tempat tongkrongan. Di tengah siang yang terik, sinar matahari masuk menembus kaca jendela, mengenai empat anak muda yang sedang asyik membahas suatu ide.
"Pas banget, tuh! Kalau cuma segitu, aku bisa minta Ibuku. Ayo, ayo kita lakuin!" Semangat yang amat membara terpancar dari seseorang. "Sebenernya aku udah mikir itu belakangan ini. Aku pengen ada tempat yang bisa kita gunakan buat curahin pikiran dan kreasi kita."
"Mau kita berempat aja? Atau kita perlu ajak yang lain?"
"Wah, aku belum mikir sampe sana." Orang itu kagum pada kawannya yang sudah merencanakan sejauh mungkin. "Kalau nambah orang, aku mau kita ajak Kan dari Kyoto! Dia yang ngenalin aku sama sastra, jadi dia harus masuk juga."
Mereka adalah pemuda yang masih dipenuhi impian. Persahabatan yang erat sekaligus keinginan kuat menjadi seperti penulis yang mereka kagumi membuat mereka memutuskan untuk menciptakan suatu 'wadah' yang dapat mencampurkan keduanya.
Pasti akan berat, terlebih jika memasuki fase sulit menulis atau sibuk kuliah, tetapi melihat satu suara terbentuk, rasanya semua akan baik-baik saja. Mereka punya pundak untuk bersadar, jadi pasti mereka bisa bertahan.
"Benar juga." Satu orang yang diam saja sejak tadi akhirnya ikut menyuarakan pendapat. "Kita berlima sudah cukup. Pasti bakal menyenangkan."
"Pastinya, dong!" tanggapannya disambut baik. "Oke, berarti Shinshichou kita bangkitin lagi, ya!"
"Ryuu, bangun." Tubuh Akutagawa digerak-gerakkan oleh seseorang. "Kamu mau tidur sampe kapan?"
"Percuma, Kan." Suara lain terdengar. "Kupingnya mentalin suara kamu. Nggak masuk sama sekali ke otaknya."
"Terus gimana bangunin dia? Udah mau siang, nih."
"Kita ... bukan pekerja kantoran ..." Akutagawa membalas setengah sadar. "Mau bangun pagi atau siang, nggak ada yang ngomelin, kok."
Dua temannya membisu. Seseorang merangkak, menjauh dari futon. Laci di meja dibuka, dan seseorang berkata, "Oke, hari ini tong sampah diisi rokok yang masih disegel."
Ancaman tersebut sukses membangunkan Akutagawa. Mana mungkin ia mau merelakan porsiannya hari ini demi tidur barang lima menit lagi? Toh, jika ia memanfaatkan situasi, ia pasti bisa diam-diam tidur saat tak ada yang melihat.
Waktu menunjukan pukul delapan pagi. Hori mengunjungi kamar Akutagawa dan ia terkejut kala Kan dan Kume ada di dalam sana. Mereka menjelaskan asal-muasal keberadaan mereka, dan Akutagawa malu bukan main ketika Kume bilang 'dia nggak berani tidur sendiri'.
"Jangan percaya, Tacchanko."
"Ahaha ... gimana, ya?"
"Aku nggak nyangka kamu lebih dukung mereka daripada aku."
"Jangan berlebihan, ah, Ryuu."
Setelah selesai berpakaian rapih, mereka pergi ke aula utama. Igauan Akutagawa rupanya tidak benar, karena Neko meneriaki mereka begitu mereka sampai. Semua penghuni sudah ada di sana.
"Kenapa tiba-tiba ngumpul, deh?" tanya Dazai tidak niat. "Ada buku yang diserang?"
"Bukan." Neko langsung menepisnya. "Tujuanku mengumpulkan kalian di sini bukan tentang itu."
"Terus?"
"Setelah mengawasi delving kalian selama ini, aku menyadari satu hal." Bisik-bisik memenuhi telinga Neko. Ia tak membiarkan itu berlangsung lama. "Kalian masih payah dalam hal bertarung!"
"Yah, jelas, lah!" Ango paling besar menyuarakan sanggahan. "Apa yang kalian harepin dari penulis? Mantan preman yang bisa boxing?"
"Betul, betul! Dari awal emang udah aneh banget disuruh pegang senjata terus lawan makhluk entah apa."
"Aku aja sedikit kaget lho pas disuruh nembak-nembak pake pistol."
"Coba deh pada mikir, senjataku sabit segede gaban! Dia pikir aku shinigami, apa?!"
"Tapi bukannya pas pertama kali nyoba Dazai-kun udah jago?"
"Busur dan panah ... aku masih belum terbiasa."
"Mau tukeran senjata sama aku? Kayaknya asyik pake busur."
Tak menghiraukan suara-suara kecil lain yang setuju dengan Ango, Neko menghentikan keluhan mereka. "Jadi, atas persetujuan Alkemis, kami memutuskan untuk mengadakan pelatihan."
"Hah?!"
"Pergerakan Shinshokusha memang belum kelihatan lagi, tapi bukan berarti kita harus membuang waktu tanpa menguatkan pertahanan maupun kemampuan bertarung." Neko menatap salah satu orang di antara para sastrawan. "Jadi, mulai hari ini, kalian akan melatih tubuh kalian agar lebih siap menghadapi mereka. Mushanokoji, sisanya kuserahkan padamu!"
Musha maju mendekati Neko. Tanpa disadari, sejak awal ia telah mengenakan kaos olahraga dan celana training berwarna putih. "Aku diberi tugas dari kanchoudairi buat memantau sekaligus mengarahkan jalannya pelatihan."
"Lho, kau nggak ikut?"
"Mohon bantuannya, ya!"
"Percuma." Dazai menepuk pundak Chuuya. Mengasihani kawannya yang masih belum mengerti kebiasaan Musha. "Mushanokoji nggak bakal denger."
Penolakan demi penolakan tak membuahkan hasil. Pada akhirnya, mereka semua harus mengikuti apa kata Musha. Sehabis mengganti baju, mereka pergi ke luar perpustakaan. Mereka berkumpul di sebuah lapangan kosong yang mendadak ada di tengah-tengah kebun.
"Oke, untuk permulaan, kita pemanasan dulu, ya."
Akutagawa (dan yang lain) tidak pernah melakukannya sejak dihidupkan, jadi mereka kesakitan kala menggerakan otot. Musha bilang itu karena mereka tidak dibiasakan berolahraga. Dan lagi-lagi, ada saja yang menyeletuk soal pekerjaan mereka yang mengharuskan duduk dalam waktu lama.
Selesai pemanasan, Musha menginstruksikan mereka untuk berlari memutari lapangan sepuluh kali. Dazai dan Akutagawa menolak paling keras, tapi seperti yang sebelumnya, suara mereka dibungkam. Dengan penuh kepasrahan, mereka berlari di barisan paling belakang setelah diseret Ango (Dazai) dan Kan (Akutagawa).
"Muroo-san, berhenti!" Musha memanggil pelari di baris (nyaris) belakang. "Kenapa Hagiwara-san digendong?"
"Habisnya ... Saku bilang dia capek." "Aku pegal ..."
"Nggak bisa gitu." Musha sempat tak enak hati melihat wajah memelas Saku, tapi ucapannya tak mengiyakan. "Hagiwara-san, kemampuan menembakmu saat di dalam Tsuki ni Hoeru kuat, lho. Aku yakin kalau dipoles dengan stamina yang mumpuni, kamu akan jadi yang terkuat."
"Eh ... aku nggak mau jadi yang terkuat."
"Kamu nggak mau jadi yang terkuat dan melindungi Muroo-san?"
Tentu saja cara tersebut manjur. Saku segera turun dari gendongan Saisei dan berlari sampai melewati beberapa pelari. Shuusei yang ada di posisi tengah cukup kagum dengan kemampuan Musha memotivasi orang lain.
Mereka memakan waktu cukup lama menyelesaikan sepuluh putaran, bahkan hal tersebut tak luput dari drama beberapa oknum. Ambil contohnya kasus orang berinisial O, ia ber-akting sakit. Rekannya, C dan D, berniat menggotongnya ke ruang pengobatannya. Musha mencium kebohongan dari cara mereka berbicara, jadi ia menawari ramuan penyehat badan yang diracik Neko dengan supervisi Saku.
"A-aku mendadak udah sehat." Oda tertawa gugup. "Mungkin Dazai-kun dan Chuuya-kun mau coba?"
"Sembarangan!"
Pelatihan selanjutnya adalah melakukan simulasi pertarungan yang dilakukan berpasangan. Musha membawakan kotak besar berisikan senjata yang menyerupai kepunyaan mereka sebagai senjata.
"Ini dummy semua?"
"Senjata kalian tidak bisa dikeluarkan di perpustakaan," jawab Neko. "Alkemis sudah berusaha menyediakan yang persis, jadi manfaatkanlah."
"Persis ... maksudmu pistol pistol mainan ini?"
"Isinya peluru karet."
"Pedang kayu tuh kurang berasa feel-nya."
"Dazai, lagakmu kaya udah ahli aja."
"Kanchoudairi," panggil Kan. "Aku dan Kume pakai senjata apa?"
"Oh, iya, kalian belum pernah delving, ya. Pakai saja yang kalian suka."
Keduanya melihat-lihat isi kotak tersebut. Terdapat pedang kayu, pisaukayu, pistol mainan, busur, dan cambuk. Setelah berpikir sejenak, keduanya memutuskan mengambil pilihan mereka masing-masing.
"Belom pernah megang pistol aku." Kan tertarik pada benda berpeluru karet yang disinggung Chuuya tadi. "Kamu mau yang mana, Kume?"
"Cambuk ini menarik." Kume menunjukan senjata pilihannya. "Tidak ada yang mengambilnya. Biar aku yang mencobanya."
Mengenai teknis latihannya, Musha mengundi siapa lawan siapa. Hasil yang muncul cukup mencengangkan karena mereka tidak menganggap akan melawan orang tersebut. Pertandingan pertama adalah Hori dan Oda. Musha menyarankan bagi yang belum bertanding untuk membiasakan diri dengan senjatanya, tapi kebanyakan dari mereka lebih suka menonton.
"Biar mungil, aku nggak bakal segan, lho."
"Oda-san, aku udah berkali-kali bilang aku bukan anak kecil!"
Sorak sorai meramaikan pertandingan. Keduanya berlari ke depan. Pedang Hori hendak menyerang Oda (peraturannya mengharuskan lawan terjatuh atau menyerah), tapi Oda menghentikan laju pedangnya dengan pisau kayu dadu miliknya. Mereka bertahan selama lima detik, saling mendorong tekanan agar yang lain menyerah, namun gagal.
Hori mundur duluan. Oda maju, ia tidak membiarkannya istirahat. Hori menangkis salah satu pedang kayu, membuat benda itu terlempar jauh. Oda sempat panik, tapi dengan cepat ia beradaptasi dengan keadaan sehingga ia mengarahkan pisau yang satunya lagi dari atas menuju kepalanya. Hori melindungi kepalanya sembari menutup mata. Ia menunggu sedetik, dua detik, dan tak ada tanda-tanda benda kayu itu mengenai kepalanya.
Rupanya pisau Oda hanya nyaris menyentuh tangan Hori. Ia tersenyum, "Kita 'kan bukan lagi lawan Shinshokusha, jadi mana mungkin aku sampai lukain Hori-sensei. Kita latihan doang, kok."
Oda yang memimpin dan Hori yang posisinya melindungi diri telah menghasilkan kesimpulan. Musha berkata, "Pemenangnya Oda Sakunosuke!"
"Cepet banget!"
"Odasaku jago!"
"Jangan berkecil hati ya, Tacchanko~"
Pertandingan selanjutnya antara Kume dan Shuusei. Dibanding yang sebelumnya, mereka cenderung kikuk lantaran belum terbiasa dengan senjata masing-masing (bahkan saat namanya dipanggil, Shuusei baru menarik panah, belum melesatkannya).
"Mohon bantuannya, Tokuda-san."
"Eh ... panggil Shuusei aja," balas Shuusei. "Mohon bantuannya juga, Kume-san."
Tipe senjata membuat mereka melakukan pertandingan jarak jauh. Shuusei menyerang duluan dengan satu anak panah. Kume yang bersenjatakan cambuk mengangkatnya hingga se-dada dan mengharahkannya menyamping agar ujung lancip beserta talinya dapat menghalau panah yang datang. Dan itu berhasil mengubah arah serangan.
Panah kembali datang, Kume memilih menghindar. Kali ini fokusnya tertuju pada Shuusei-nya sendiri. Sejak awal, pengguna busur kurang diuntungkan, karena pertahanan mereka begitu rentan jika musuh mendekatinya. Kume memanfaatkan waktu saat Shuusei mempersiapkan anak panahnya. Begitu sudah setengah jalan, ia menyabet busur tersebut.
Shuusei refleks bergerak mengambil kembali busurnya sekaligus memastikan Kume tidak melancarkan serangan cambuknya. Shuusei mengambil anak panah cadangan, ia segera melemparnya sembarang arah untuk mengalihkan fokus lawannya. Kume termakan triknya, dan Shuusei langsung menargetkan Kume dilesatan panah selanjutnya.
Meski tak ditahan lama, panah itu berhasil mengarah ke Kume. Itu disebabkan jarak mereka yang tidak terlalu jauh. Kume panik, prospek panah mengenainya membuatnya terjatuh. Namun sayang, sebelum sempat terjatuh, panah tersebut mengenai sesuatu pada dirinya.
Dan itu adalah—
"Pemenangnya Tokuda Shuusei!"
"Maaf, Kume-san." Shuusei mendekatinya. Ia mengulurkan tangan, berniat membantu Kume berdiri. "Aku nggak bermaksud bikin kamu sekaget itu."
Kume menengok ke belakang. Topi miliknya telah menjadi target anak panah mainan. Benda tersebut terlempar cukup jauh.
"Shuusei-san hebat sekali." Kume meraih tangannya. "Aku perlu belajar lagi, nih."
"Pakai cambuk sulit, 'kan? Jangan memaksakan diri." Shuusei mengamati senjata asing yang tak digunakan sastrawan lain. "Kamu bisa pakai pedang atau pistol."
"Iya, ya." Kume menepuk-nepuk celananya yang kotor. "Tapi, aku mau coba dulu pakai ini. Siapa tahu bisa berguna nantinya."
"Kalau begitu, selamat mencoba. Aku mendukungmu."
Pertandingan 'lembut' kedua seketika tergantikan oleh aura menyeramkan di pertandingan ketiga. Nama dua orang yang sakral disebut Musha, dan seisi lapangan bercampur antara kaget dan tertarik pada pertarungan yang akan dimulai.
"Ini ... nggak bisa dikocok ulang?" salah satu kontestan menunjukan keengganannya.
"Nggak bisa, Akutagawa-kun." Musha baru selesai menulis nama mereka berdua di papan. "Empat orang sebelumnya nanti kecewa kalau aku pilih kasih pas di pertandinganmu dengan Shimazaki-san."
Ya, benar, kali ini adalah Akutagawa lawan Touson. Dua orang yang terkenal saling membenci satu sama lain. Banyak yang berspekulasi ini bakalan berakhir buruk, tapi tidak ada dari mereka yang berniat menghentikan (Hori dan Shuusei kehabisan tenaga untuk sekadar menyuarakan kedamaian).
"Jangan-jangan Akutagawa-kun takut?" Touson memprovokasi. Senyumnya semakin memanaskan medan pertarungan. "Yah, kalau mau diganti boleh-boleh aja, sih."
"Aku berubah pikiran." Akutagawa membalas senyumnya dengan sangat menyeramkan. "Aku pastikan busur milikmu patah sebelum aku mengalahkanmu."
"Wah, jangan jadi perusak fasilitas, dong."
Sesi mereka dimulai. Kubu penyemangat lebih berat di Akutagawa (terutama suara Dazai yang terlalu semangat sampai-sampai tenggorokannya sakit). Kesengitan antar dua pihak benar-benar menarik untuk diperhatikan.
Namun, di antara penonton yang antusias, terdapat dua orang yang menarik diri dari kerumunan. Mereka duduk di rerumputan, mengamati pertarungan tersebut tanpa membahasnya sama sekali.
"Kira-kira mau sampai kapan kita rahasiain itu dari Ryuu?" Kan mengawali obrolan. "Dia pasti nggak bakal puas sama jawaban 'lupa' terus."
"Dia yang sekarang ... belum bisa." Kume mempertimbangkan jawabannya. Ia sendiri bingung. "Aku tahu rasa penasarannya pasti tak tertahankan, tapi ..."
"Aku nggak mau dia inget hal itu. Apalagi kanchoudairi bilang emosi negatif yang bikin Shinshokusha datang."
"Aku juga sependapat," ujar Kume. "Bagaimana kalau kita lihat situasi dulu? Jika Akutagawa-kun nunjukin mental yang kuat, mungkin kita bisa menceritakannya sedikit."
"Sedikit, ya ... aku penasaran seberapa banyak yang bisa kita ceritakan soal kematiannya."
Mereka terdiam. Angin berhembus, menyejukkan diri keduanya.
"Cuma itu yang bisa kita lakuin sekarang."
Suasana di lapangan semakin menyeramkan lantaran tidak ada dari dua sisi yang menyerah. Akutagawa sudah menanggalkan pedangnya; ia berniat melawan Touson dengan tangan kosong. Touson yang mengetesnya menyebabkan semua orang memisahkan keduanya.
"Wah, malah jadi tawuran." Kan berdiri. Ia harus ikut melerai Akutagawa yang darah panasan itu. "Aku setuju sama pendapatmu, Kume."
"Aku harap begitu."
"Aduh, mereka malah tambah rusuh. Ayo, kita ke sana."
Mereka berdua menghampiri arena pertarungan, berusaha menenangkan Akutagawa. Kerusuhan tersebut diakhiri oleh omelan Neko. Hal ini mengingatkan masa-masa Dazai dan Shiga yang bertengkar. Neko tidak mengerti kenapa para sastrawan di sini sangat bar-bar dan jarang sekali kalem.
Di tengah topik Akutagawa lawan Touson yang tak ada habisnya, Kan dan Kume berharap kawan mereka bisa jadi semakin kuat, fisik maupun mental, supaya ia dapat menghadapi masa lalunya tanpa takut Shinshokusha menguasainya.
Semoga saja.
To Be Continued
Author's Note: dibanding ch ch sebelumya, ini yang paling panjang dan paling ngalir nulisnya. Iya, kemungkinan bias karena yang saya demen muncul di sini, tapi sebisa mungkin saya bikin porsian yang cukup buat yang lain.
Jadi ... saya pikir logika di mana penulis tiba2 disuruh berantem tuh rada gak masuk akal. Mereka belom latihan, mereka perlu latihan, jadi saya mutusin buat isi kekosongan itu dengan bikin Neko nyuruh mereka latihan biar kuatnya gak simsalabim. Percayalah, bayangin adegannya pusing, tapi sepadan sama kesenangan saya nulis kendablekan mereka semua.
Untuk flashback akutagawa, sebagian besar diambil dari Wind and Moon buatan Kume Masao. Di situ ceritain tentang gimana pembuatan Shinshichou.
Makasih udah baca fic ini! Semoga saya bisa lanjutin fic ini sampe kelar.
