Notes : Karena bingung sama nama Inumama, kupakai Inukimi aja walau ada yang berkata bahwa arti nama itu ga enak, tapi nama itu udah fanon. Jadi, kenapa nggak, ya 'kan?
Oh, btw, aku ngedit satu video khusus untuk chapter ini. Kalo ada yang penasaran, kalian bisa lihat melalui bab 5 yang di-posting di wattpad.
.
Midnight Sun
.
Pintu rumah dibuka. Alas kaki di kenakan. Kagome mulai menapak teras rumah, shiromuku putih berlapis-lapis itu menutupi kehamilannya. Kimono tersebut mempersempit langkahnya, ia harus berjalan pelan dan sangat berhati-hati. Namun, ada satu tangan yang menggenggamnya dengan mantap.
Di tengah jalan, Kagome berhenti, lalu menoleh pada ibu di sisi kiri. Suaranya bergetar oleh haru ketika menggemakan rasa syukur atas semua yang pernah wanita penuh kasih sayang itu lakukan untuknya, "Terima kasih, Mama!"
Ibunya meremas tangan sang anak. Wajahnya berkerut-kerut menahan tangis, ia pun tersenyum tulus. "Aku selalu bangga padamu, Kagome. Dan aku yakin, meski jauh di sana, papa pun senantiasa merasa bangga memiliki putri sepertimu."
Bukan riak kebahagiaan yang ada di dada Kagome, melainkan terenyuh. Dengan segala kejanggalan atas keputusannya kala itu, ibunya masih saja bangga padanya. Ia memeluk makhluk mulia yang telah melahirkannya, dan membisikkan satu panggilan yang menjadi kata pertama di dalam hidupnya, "Mama."
Asako merengkuh putrinya kuat-kuat. Waktu terus berlalu. Sang ibu berinisiasi untuk melerai pelukan. "Kita tidak bisa membiarkan membiarkan mereka menunggu lebih lama lagi," wanita lembut itu mengusap punggung si sulung.
Lalu, ia berpaling pada penata rias dan busana yang mengekor di belakang. Paham dengan apa yang dibutuhkan, kedua pekerja profesional itu berlekas mengecek make-up yang menjadi maha karya mereka pada hari itu.
Setelah memeriksa dan semuanya masih dalam keadaan sempurna, barulah keduanya mempersilakan ibu dan anak itu lanjut menjejak.
Degup jantung Kagome melonjak seketika manik biru sendunya menangkap deretan orang yang telah menunggu. Tepat, di bawah gerbang merah kuil, berdirilah beberapa orang, termasuk Shippou dan Jaken dengan tuksedo mereka. Di baris terdepan adalah Inukimi dengan kimono elegan yang melengkapi penampilan berkelasnya. Di samping kanan wanita itu, berdirilah sang anak.
Tubuh tegap Sesshoumaru terbalut hakama abu-abu yang dipadu montsuki haorihitam dengan lambang kebesaran keluarga Taisho; pola 'enam kelopak ume' (Bunga plum putih) dilindungi oleh cangkang kura-kura berbentuk segi enam dengan warna serupa tepat di kanan dan kiri bagian dada. Sekilas, di mata sang shikon miko, pria itu terlihat selayaknya yang ia temui di sengoku jidai, begitu gagah dan berwibawa.
Di lain pihak, tatapan Sesshoumaru melembut, fokus sepenuhnya tertuju pada satu-satunya manusia pemberani sekaligus penantang maut yang pernah mengacungkan pedang padanya. Helaian kelam panjang gadis itu telah tertata, raut manis itu telah lengkap dengan make up. Dengan pakaian tradisional yang disandang, Kagome bertransformasi dari remaja perempuan modern menjadi wanita dewasa yang memesona.
Calon pengantin telah bersisian. Perempuan itu melayangkan senyuman polos pada pria yang sebentar lagi menyandang gelar sebagai suami, "Sesshoumaru!" panggilnya pelan. Permata keemasan lantas menatapnya. Intonasi Kagome lembut, bisikannya halus ketika mengutarakan, "Terima kasih banyak."
Sang daiyoukai bergeming sejenak sebelum memberikan reaksi khasnya, "Hn." Kemudian, lelaki itu memilih untuk memusatkan pandangan pada hutan di kejauhan.
.
.
.
Sepulangnya Kagome dari rumah sakit, menghadap tetua kuil Higurashi, putra Inu no Taisho sontak menyampaikan kehendak. "Izinkan Sesshoumaru ini memperistrinya," tutur pria itu tanpa perubahan ekspresi.
Sunyi mengambang di ruang utama untuk beberapa lama.
Pada mulanya, keluarga Higurashi terlampau terkejut hingga tidak mampu berkata-kata. Kakek bahkan ibu Kagome yang biasanya selalu memiliki kalimat menenangkan, saat itu bungkam.
Kala pemimpin kuil Higurashi bisa kembali bersuara dan mempertanyakan maksud sejatinya, hanya penegasanlah yang diberikan oleh Sesshoumaru.
Sang ibu meminta pernyataan dari putri satu-satunya, Kagome lantas menerangkan dengan keyakinan mutlak, "Aku bersedia menerima Sesshoumaru dan sungguh berharap untuk menjadi istrinya."
Di akhir hari, keluarga Higurashi kehabisan pertanyaan dan hanya bisa menerima pinangan tersebut.
.
.
.
Dipandu oleh seorang pendeta Shinto dan dua orang miko, calon mempelai yang dinaungi payung merah besar berjalan menuju kuil. Iring-iringan itu diikuti oleh keluarga, kerabat, serta para undangan.
Tangan telah terbasuh sempurna, sang daiyoukai dan shikon miko memasuki bangunan utama kuil. Keduanya duduk di tengah-tengah ruangan, di kanan-kiri serta belakang diisi oleh oleh mereka yang bertalian darah serta tamu yang menjadi saksi pernikahan.
Di hadapan Sesshoumaru dan kagome terdapat altar persembahan. Penyucian jiwa keduanya usai dilakukan. Sekarang, sang pendeta tengah membacakan doa.
Momen berlanjut ke salah satu inti prosesi. Tiga tumpuk cangkir telah terhampar di meja kecil untuk mempelai. Ritual minum tiga cawan sake secara bergantian pun dimulai.
Kakek Kagome, yang memimpin acara mengangkat cerek berwarna emas mengilat dan menyerahkannya kepada dua asisten. Sake telah dituangkan, Sesshoumaru usai menyesap tiga kali.
Kini, giliran sang mempelai wanita. Wadah pertama sudah digenggam gadis itu, tapi ia tertegun. Bukan karena Kagome tidak mengetahui fakta dari banyak penelitian bahwa mengonsumsi alkohol dibawah seratus mililiter tidak berpengaruh buruk pada kandungan yang telah memasuki trimester ketiga. Akan tetapi, ia yang besar di lingkungan kuil masih mengingat dengan jelas bahwa, san-san kudo tidak hanya memiliki arti tentang tiga masa, tapi juga tiga rasa; kebencian, hasrat, serta ketidakpedulian.
Kagome mengangkat cawan kecil yang merepresentasikan masa lampau. Memori atas Inuyasha melingkupi, potongan peristiwa indah laksana terulang kembali di sanubari, suara manusia setengah siluman itu pun bergema dalam hati.
"Kagome ... "
"Bagaimana perasaanmu?"
"Mengapa kau menangis untukku?"
"Apakah kamu tidak takut?"
"Kagome, aku akan melindungimu,"
Kristal duka terancam jatuh. Namun, Kagome menguatkan diri. Secara rahasia, ia menarik napas panjang, mengubah kenangan akan sosok tercinta menjadi kekuatan. Miko itu menyesap sekali, dua, hingga ketiga, ia meneguk segala kebencian yang tertinggal di waktu silam.
Sesshoumaru menyelesaikan tegukannya di wadah kedua. Cawan berukuran sedang yang melambangkan masa sekarang lantas Kagome raih, cairan dituangkan. Tanpa ragu, ia mereguk, mengambil jeda, lanjut yang kedua hingga yang terakhir demi melenyapkan hasrat negatif yang tersisa.
Tinggallah, cawan terakhir yang menjadi simbol masa depan. Siluman besar yang tengah menjelma menjadi manusia memejamkan mata sesaat. Ia membuka penglihatan, upayanya percuma.
Kala menyesap sake yang disediakan, benak siluman besar itu masih saja bergemuruh oleh pertanyaan-pertanyaan lama yang ia ajukan di makam sang ayah, teruntuk saudara lelaki yang tak sudi ia akui; 'Kau sepertinya sangat mengkhawatirkan gadis ini. Mengapa kau melindunginya? Mengapa kau membiarkannya untuk pergi? Apakah kau mencintainya?' Sesshoumaru memperhatikan sosok yang ada sisi dari ekor mata.
Kagome menggapai wadah ketiga. Dengan keteguhan, ia menandaskan sedikit likuid yang tersaji. Seulas senyum terpatri. Pada saat itu, ketenangan hati telah gadis itu raih.
.
.
.
Tiga hari setelah Sesshoumaru menyatakan maksud pada ibu dan kakek Kagome, pertemuan antar keluarga diadakan di restoran yang bertempat di hotel berbintang. Baru saja lima orang yang hadir duduk mengelilingi meja, wanita paruh baya berparas cantik dengan tubuh terbalut kimono mahal pun memasuki ruang privasi yang telah disewa.
"Aku mohon maaf atas keterlambatanku." Wanita berambut putih itu melenggang santai dan memilih kursi di samping Sesshoumaru.
Semua yang melihat asal lalu pun pasti mendeteksi pertalian darah di antara keduanya. Tak salah lagi, perempuan itu adalah ibu dari Sesshoumaru. Asako membungkuk, begitu pun anggota Higurashi lainnya. Wanita itu balas memberi hormat sambil memamerkan senyumnya yang menawan.
Pandangan mata Inukimi tertuju pada Kagome. Ia mencermati gadis kuil itu sebelum berpaling pada sang putra semata wayang, "Lama tidak mendengar kabar dan kini, kau hendak menikah secara tiba-tiba?" Ruangan itu menjadi sunyi. Semua yang ada di sana merasa tidak enak hati atas ucapan Inukimi tadi. "Sudah kuduga, Sesshoumaru benar-benar mewarisi selera ayahnya."
Tanda tanya kembali memenuhi benak beberapa orang yang hadir.
"Siapa namamu, Miko?"
"Perkenalkan, nama saya Higurashi Kagome," gadis itu membalas sopan. Seraya kembali memberi hormat, kagome meminta dengan tulus, "Mohon bimbingannya."
"Kagome, ya," gema ibu Sesshoumaru dengan dagu yang terangkat. Manik jelinya bergerak ke kiri atas, ia mengingat-ingat sesuatu.
Setelah formalitas, keadaan kembali tergiring ke dalam sunyi yang kaku.
Mendadak, perempuan teramat cantik itu mengutarakan keterkejutannya, "Sepertinya, dahulu aku pernah mendengar tentangmu. Itu sudah lama sekali, rasanya seperti ratusan tahun yang lalu." Sang anak semata wayang sontak menoleh.
Kagome menyahut, masih dengan tata krama, "Aku harap, yang kau dengar bukanlah hal yang memalukan tentangku."
"Sayangnya, selain peran kau dan kawan-kawanmu memusnahkan sebuah permata, tidak ada kisah lain yang menarik perhatianku."
Kemudian, hening.
Semua yang ada di sana mengerti, bahwa pernikahan yang sedang dibahas terlalu terburu-buru dan terasa tidak lazim. Meski begitu, seluruh anggota keluarga Higurashi tentu mengerti, berdasarkan apa yang Sesshoumaru utarakan, sudah pasti alasannya adalah keselamatan Kagome.
Inukimi pun teramat pintar hingga tidak mungkin tidak menyadari apa yang sedang terjadi. Kendati demikian, ia memilih untuk ikut berpartisipasi karena memiliki agenda tersendiri.
Suara Inukimi halus, tapi terdengar jemu, "Apa yang kita lakukan? Bukankah kita harus menuntaskan misi ilahi dengan mengatur pernikahan ini?"
Selanjutnya, percakapan penting pun mengalir. Tanggal dan tempat ditetapkan. Penyelenggara acara yang dipilih, bagaimana pernikahan digelar, tradisi yang tentunya akan dijunjung. Berbagai hal lain diangkat sebagai topik pembicaraan dari kedua pihak tanpa ada pernyataan yang membuat kening berkerut, justru tawa renyah terselip dari beberapa orang.
Pertemuan yuinoo diakhiri dengan penyerahan sejumlah uang dari pihak pria kepada pihak wanita. Sebagai pertukaran, pihak keluarga Higurashi memberikan beberapa bingkisan yang berisi hakama kepada keluarga Taisho.
Pada hari itu juga, atas relasi yang Sesshoumaru miliki, tempat perhelatan untuk resepsi pada tanggal yang ditentukan telah didapatkan Jaken. Bersama Shippou yang meniru wujud manusianya Sesshoumaru, sang miko pergi ke kantor catatan sipil.
Di sana, mereka mengisi dan memberi cap keluarga pada formulir registrasi. Setelah menunggu kurang lebih satu jam lamanya, konfirmasi dari pihak terkait didapatkan. Taisho Sesshoumaru dan Higurashi Kagome telah sah menjadi suami dan istri di mata hukum dan negara. Keesokannya, undangan pun disebarkan.
.
.
.
Hanya dalam waktu enam hari setelah pertemuan Sesshoumaru dan Kagome di zaman modern, undangan tersebar. Dan dua minggu kemudian; pada hari Minggu, tanggal dua puluh lima Oktober, bertempat di bangunan utama kuil Higurashi, kesanggupan Sesshoumaru dilantangkan. Para hadirin terbenam dalam kekhidmatan. Baritone sang daiyoukai begitu takzim tatkala melafalkan janji suci pernikahan (Seishi-Souju).
"Kami membuat ikrar pernikahan ini dengan hormat di hadapan Dewa Hachiman.
Kami, Taisho Sesshoumaru dan Higurashi Kagome, bersuka cita bisa mengucapkan kaul di hari yang luar biasa ini, dan menjadi suami istri melalui restu dari Dewa Hachiman.
Kami bersumpah di hadapan dewa Hachiman untuk saling mencintai dan menghormati selamanya, dan berusaha untuk membawa kemakmuran keluarga kita.
Selain itu, kami bersumpah tidak akan pernah menyimpang dari jalan perkawinan yang sebenarnya, dan bekerja untuk berbagi rahmat ilahi dari Dewa Hachiman dengan membantu orang dan masyarakat."
Yang paling utama dalam upacara sakral tersebut telah dilaksanakan. Ranting sasaki usai pasangan baru itu persembahkan. Sepasang cincin yang menjadi tanda kepemilikan pun telah disematkan. Semua yang hadir memberi penghormatan pada Kami, juga memberi selamat dan tepuk tangan pada kedua insan yang kini telah resmi menjadi sepasang suami istri di mata Para Dewa.
.
.
.
Selepas ritual sakral, sesi foto pengantin dan kedua keluarga berlangsung selama sepuluh menit. Acara belum sepenuhnya usai. Masih di area kuil Higurashi, acara perjamuan berlangsung di bangunan lain. Sesshoumaru dan Kagome yang duduk di sebuah panggung kecil. Saat itu, shiromuku Kagome telah dibalut oleh selapis kimono warna merah yang penuh dengan beraneka rupa motif bunga.
Tutup dari barel berisi sake usai dipecahkan oleh kedua pengantin. Para orang tua dipersilakan naik ke panggung oleh pewara. Pengantin telah menuangkan cairan alkohol tersebut untuk Inukimi dan Asako. Hadiah pun usai diberikan pada kedua wanita berjasa dalam hidup mereka.
Inukimi dan Asako masih berdiri mengapit kedua pengantin. Kemudian, si pembawa acara mengumumkan pada semua yang hadir bahwa ada beberapa patah kata yang hendak disampaikan oleh orang tua dari mempelai.
Yang mendapatkan kesempatan pertama adalah Inukimi. Wanita itu meraih mikrofon tanpa senyum. Dari atas panggung, ia memindai semua yang hadir.
"Jangan mempermalukan diri sendiri," gumam Sesshoumaru. Biarpun suaranya rendah, ia tahu bahwa sang ibu mampu mendengarnya.
Kagome menunduk, dengan perasaan bersalah ia menunggu apa yang akan diucapkan oleh ibu Sesshoumaru, mengingat kemungkinan besar ia telah mengetahui yang sebenarnya tapi tidak memberi tanggapan sama sekali saat pertemuan pertama mereka.
Pertama-tama, Inukimi menyampaikan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya kepada para pejabat yang berkenan untuk hadir. Sebagai tanggapan, kedua pria tua berambut putih yang duduk di meja terdepan paling dekat dengan Sesshoumaru lantas mengangguk formal.
Dengan lantang, Inukimi pun bersyukur atas anugerah dari para Kami. Tak lupa, ia membahasakan kelegaan karena kini telah terkait hubungan kuat dengan keluarga Higurashi. "Khususnya, Kagome."
Mempelai wanita yang tertunduk sontak mengangkat kepala, ia menyimak baik-baik.
Inukimi melayangkan pandangan dari sudut mata pada menantunya, "Kau tahu, sejak Sesshoumaru kecil hingga dewasa, ia tak pernah berubah. Sungguh sulit membuatnya terkesan pada hal apa pun. Sama sekali, di luar kekaguman pada sang ayah, aku tak mampu membayangkan bahwa anakku itu mampu mengagumi orang lain selain dirinya sendiri. Tetapi, kini, ia bersanding denganmu, seorang wanita yang aku percaya laik mendampinginya."
Sebagai reaksi, Kagome membungkuk, memberi penghormatan pada ibu mertuanya.
Wanita jelita itu memasang tampang serius yang cenderung dingin saat berkata lagi, "Kagome, aku harap," dagunya tak lagi terangkat ketika melengkapi kalimatnya, "Kau mau berbesar hati untuk menerima segala tabiat buruk Sesshoumaru nanti."
Kagome yang menganggap penuturan itu sedikit lucu tak mampu menahan diri, senyumnya merekah, gadis itu mengangguk dengan berseri-seri. Kemudian, ia berpaling ke Sesshoumaru. Air muka pria itu tetap sama seperti biasanya, tapi Kagome mampu membaca dari pangkal alis yang berkumpul di tengah dan sinar dari netra cokelat itu bahwa Sesshoumaru merasa jengkel atas perkataan ibunya barusan. Kurva usil gadis yang besar di lingkungan kuil itu kian melebar.
"Namun, kita semua tahu, alur hidup tidak selalu lurus, penuh liku, juga berbatu. Jikalau Sesshoumaru membuatmu sedih, datanglah padaku, kita akan pergi ke pemandian air panas, bersantai, dan minum bersama."
Setelah beberapa saat hening, para hadirin yang pada awalnya tak paham bahwa itu adalah penutup pidato dari ibu Sesshoumaru pun pada akhirnya memberi tepuk tangan.
Kini, giliran Asako. Ia juga bersyukur kepada Kami-Sama. Sebagai balasan, ia berterima kasih dan melisankan kelegaan serta rasa syukur dari lubuk hati kepada ibu dan anak dari keluarga Taisho.
Asako mengambil jeda sebentar. Ia menarik napas sebelum mulai bercerita, "Saat aku kehilangan satu sosok yang berharga dalam hidup, Kagome kecillah yang memberiku ketegaran. Aku takkan mampu tersenyum bila bukan karena putriku. Bagiku, jiwanya selalu lebih bersinar dibanding yang terlihat. Ia membantuku merawat adiknya. Ia yang menguatkanku menjalani hari."
Mata Asako mulai terasa perih, tapi ia melanjutkan, "Ia adalah karunia di dalam hidupku. Mulai saat ini, aku menyerahkan Kagome padamu, Sesshoumaru. Tolong lindungi dan bimbing anakku sepenuh hati. Dan Kagome, aku meminta dengan sangat, hormati dan cintailah suamimu segenap jiwa." Dengan penglihatan yang buram karena air mata, sang ibu menutup rangkaian kata itu, "Apapun yang terjadi esok hari, aku ingin kalian selalu bersandar pada kami. Sebagai orang tua kalian, itulah harapan terbesarku."
Manik indah remaja perempuan itu tergenang. Berlian berjatuhan. Lara dan haru membuat lisan tak lagi tergapai. Hanya anggukanlah menjadi jawaban si sulung Higurashi.
Tepat saat itu pula, keputusan telah bergema di dalam dada remaja perempuan itu. Tekadnya telah bulat. Ia tidak akan mengecewakan lagi ibu dan keluarganya. Sekuat tenaga, ia akan berupaya menjadi Kagome yang terbaik bagi orang-orang di sekitarnya.
Pada momen yang bertepatan, tepuk tangan riuh ramai. Beberapa tamu ikut menitikkan tetes bahagia. Inukimi dan Asako kembali ke tempat duduk mereka.
Kagome membungkukkan tubuh kepada dua wanita hebat sebelum kembali duduk di sisi suaminya.
Setelah orang tua, ada pidato tambahan dari seorang atasan Sesshoumaru. Komentar berhamburan, betapa pria tua itu merasa tenang mengandalkan berbagai hal pada Sesshoumaru. Bagaimana permainan panjang suaminya pada suatu kasus begitu memukau. Meski tidak mengerti, Kagome tetap mencermati apa yang pria itu ucapkan.
Selama memperhatikan, benak gadis itu terus mengingat-ingat, bagaimana air muka pria tua itu terasa familiar untuknya, mengapa suara itu tak asing di telinganya. Ketika pria itu mengakhiri pidatonya dengan pernyataan bahwa keamanan negara sangat bergantung pada Sesshoumaru, sontak, kedua mata Kagome terbelalak. Kini, ia menyadari siapa yang menjadi tamu penting untuk Sesshoumaru. Ia ingat sekarang, wajah itu adalah rupa yang beberapa kali ia lihat di berita utama televisi, pria tua itu adalah Komisaris Jenderal Badan Kepolisian Nasional Jepang!
Miko yang pernah menjelajah waktu itu lantas mengalihkan atensi pada pria yang kini menjadi sang 'suami'. Kedua tangan Kagome terkepal di atas pangkuan. Perasaannya campur aduk, sebagian besar, ia merasa menyesal dengan menyeret Sesshoumaru yang secara jelas memiliki hidup yang lebih penting dari dirinya terjebak di dalam lingkaran masalahnya.
Lagi-lagi, sepasang mata awas menyadari perubahan sikap gadis di sampingnya. Kendati demikian, pria itu masih memilih untuk bergeming.
Setelah acara tambahan telah dituntaskan, formalitas pun berakhir. Semua yang ada dipersilakan menyantap dan menikmati alkohol yang disajikan. Tak hanya tamu, kedua mempelai pun bisa bergerak bebas. Atas izin Sesshoumaru dan demi menghormati para undangan yang datang, Kagome menghampiri kawan-kawannya. Inukimi lantas mengisi tempat kosong di sisi sang putra.
"Aku masih tidak bisa memercayai hal ini."
Tanpa perlu berpaling, sang anak bertutur, "Kau terlihat bahagia."
"Dan kau, menikah?!" nada Inukimi melesat tajam dengan ketidakpercayaan.
Namun, ekspresi keduanya masih seiras, datar, tapi berkelas. Tatapan mereka lurus ke depan, mencermati para tamu yang hadir dalam ketenangan.
"Omong-omong, sudah sepatutnya aku 'terlihat' berbahagia, bukan?" Diam-diam, wanita itu menghela napas. "Istrimu itu benar-benar mengerikan." Sang anak sontak memusatkan pandangan padanya, Inukimi lanjut mengumbar pendapatnya. "Hidupku sudah cukup lama untuk mengetahui apa yang seorang miko mampu lakukan. Tetapi, Kagome ..., tak hanya memancarkan energi, tapi ia juga menginfeksi."
Mengerti apa yang dimaksud oleh wanita yang telah melahirkannya, Sesshoumaru berkomentar, "Apakah kau merasa terganggu?"
"Yang perlu dipertanyakan saat ini adalah perasaan pengantin pria. Apa yang sebenarnya kau rasakan saat ini, Sesshoumaru?"
"Itu bukanlah hal penting untuk dibahas."
"Ratusan tahun lalu kau telah meraih kekuatan sejatimu, Bakusaiga. Semenjak itu, kau menjadi semakin tenang dan penuh perhitungan. Kau membuatku kagum, begitu pun beliau di sana, aku yakin itu. Akan tetapi, terkadang aku merasa lebih mengenalmu dibanding dirimu sendiri, Sesshoumaru."
Pria itu mengedarkan tatapan menusuk. Tanpa kalimat desakan untuk mengartikan kalimat terakhirnya, Inukimi mengerti. "Mungkin apa yang kau percaya selama ini hanyalah pengalih. Apakah ini salah satu dari rangkaian permainan panjang seperti yang lelaki tadi katakan? Aku rasa bukan, ya 'kan?" Suaranya menyiratkan tafsiran yang ia miliki, "Pernahkah kau berpikir tentang alasan sebenarnya?"
"Kau terlalu banyak minum, Ibu."
"Aku merasa sadar sepenuhnya." Paras cantiknya pecah, deretan gigi rapi terpajan indah. "Ah, mungkin justru kau yang butuh minum lebih banyak lagi agar sadar?" goda Inukimi.
"Prasangka itu tidak berdasar."
"Aku bersedia menunggu lama untuk waktu itu datang. Saat kau tersadar bahwa apa yang aku katakan adalah benar."
Iritasi, mimik wajah itulah yang Sesshoumaru berikan sebagai jawaban.
.
.
.
Remaja-remaja cantik dan pengantin wanita saling berpelukan. Kagome sangat bersyukur mereka bisa menyediakan waktu untuknya. Sepanjang percakapan, Eri, Yuka, dan Ayumi tak henti-henti melemparkan tatapan kagum pada Sesshoumaru sambil mempertanyakan beraneka macam hal tentang pria yang kini menjadi bagian dari keluarga Higurashi.
Mereka menyatakan secara terang-terangan kecemburuan atas nasib baik yang diperoleh Kagome. Sudut-sudut bibir pengantin baru itu tertarik ke atas, tapi ujung alisnya tertarik oleh gravitasi. Meski begitu, ia mengiakan apa yang temannya sampaikan. Tak lama, Kagome pun undur diri.
Setelah gadis kuil itu pamit pada ketiga kawannya, ia berpapasan dengan Hojo. Sejak tadi, lelaki itu menunggunya. Hojo mengucapkan selamat dan mengharapkan kebahagiaan di sepanjang hidupnya. Senyum pria itu mengembang tulus, suaranya ikhlas, tapi sinar di bola matanya terlihat sedih. Kagome hanya bisa membalas doa yang sama untuk lelaki itu dan rasa terima kasih sepenuh hati.
Setelah satu jam lamanya, perjamuan itu pun berakhir. Senyuman terukir pada semua yang hadir. Para undangan akhirnya membubarkan diri sambil menenteng suvenir pernikahan (hikidemono). Buah mahal, mangkuk porselen berkualitas, juga satu botol sampanye kelas atas ditata sedemikian rupa di dalam satu bingkisan berwarna abu-abu muda.
Penyelenggara acara membereskan semua hal yang tersisa. Para keluarga dan kerabat kembali ke rumah masing-masing. Kagome kembali ke rumahnya hanya untuk melepas wig dan berganti pakaian sebelum ia dan Sesshoumaru beranjak pergi menuju hotel yang telah dipesan oleh event organizer.
.
.
.
Setibanya di hotel, Sesshoumaru dan Kagome dituntun untuk ke salah satu kamar di lantai tiga puluhan. Ruangan itu luas, didominasi oleh warna ungu. Yang memandu mereka telah pamit. Pintu kembali tertutup. Mereka menginjak Karpet tebal. Cahaya temaram kamar memancarkan aura romansa. Harum manis nan lembut mengambang di udara. Di tengah-tengah, terdapat ranjang ukuran besar, terbalut selimut satin magenta yang ditaburi oleh kelopak bunga Plum putih. Pada kaki ranjang, dua handuk diatur sedemikian rupa hingga membentuk dua angsa yang saling berciuman. Di atas nakas, tergeletak dua tangkai mawar.
Atas perubahan atmosfir yang mendadak, Kagome yang kala itu mengenakan gaun selutut berwarna hitam sempat lupa untuk bernapas.
"Semuanya telah disediakan, kau bisa menghubungi pihak hotel jika butuh sesuatu," tutur pria itu sebelum membalik badan.
"Sesshoumaru!" panggil Kagome.
Yang dipanggil menghentikan langkah. Kagome meremas tangannya, dengan kikuk, ia mengutarakan, "Terima kasih banyak dan maaf atas semua ini." Tanpa menoleh, lelaki itu hanya membalas dengan gumamannya.
"Beristirahatlah!" ujar sang inu youkai. Tipis, tapi ada afeksi yang terkandung di sana.
Kagome mengangguk seraya menatap punggung pria itu menghilang di balik pintu.
.
~To be continued~
.
Glorsarium :
Shiromuku, adalah sebutan untuk baju pengantin wanita tradisional berupa furisode berwarna putih bersih dengan motif tenunan yang juga berwarna putih.
Montsuki dengan 'Hakama' dan 'Haori'. Montsuki adalah kimono pria yang paling formal yang di bagian punggungnya terdapat lambang keluarga (''Kamon'') si pemakai. Kimono yang dikenakan pria berwarna gelap seperti biru tua atau hitam.
Yuino, acara pertunangan. Dalam acara ini keluarga kedua belah pihak bertemu dan saling bertukar hadiah
San-San-Kudo, tiga tumpuk cangkir sake yang akan diminum oleh pengantin pria dan wanita dalam tiga seruput. Masing-masing dilakukan sembilan kali. Ku atau 9 berarti keberuntungan yang baik di kebudayaan Jepang.
Seishi Soujou (誓詞奏上), merupakan pertukaran sumpah yang dilakukan oleh kedua pasangan didepan para dewa.
Minna saiko arigatou!
04/04/2021
