Chapter
Mentari pagi yang mulai merekah di ufuk timur sudah menerangi sebagian hutan pegunungan dimana Taufan dan Blaze tengah mencari ketiga saudaranya yang hilang sejak kemarin siang. Tidak perlu lagi keduanya menerangi jalan ditengah hutan yang mereka tempuh dengan lampu senter.
Hutan belantara yang tengah mereka lalui pun mulai terbuka, pepohonan lebat semakin jarang, bahkan tanah yang mereka sedang lalui sudah tidak lagi dipenuhi semak belukar. Jalan setapak yang tadinya hanya cukup dilalui orang satu persatu kini menjadi semakin lebar. Dari padat dan licinnya tanah yang mereka pijak pun memberikan indikasi bahwa daerah itu sering dilalui orang.
Walaupun begitu sebilah parang tetap terhunus di tangan Taufan dan Blaze. Mereka kini lebih berhati-hati setelah menyimpulkan bahwa hilangnya Halilintar, Thorn dan Solar bukan karena ulah binatang liar yang ternyata masih berkeliaran didalam hutan belantara tropis yang lebat. Melainkan ada sekelompok orang yang menghilangkan Halilintar, Thorn, dan Solar.
"Kak Ufan," panggil Blaze seraya menarik sabuk pinggang Taufan dari belakang yang otomatis menghentikan langkah kakaknya itu.
"Hm? Ada apa?" tanya Taufan tanpa menengok kearah adiknya itu, kedua netra biru safirnya masih bergerak-gerak mengamati keadaan di sekelilingnya selagi langkahnya terhenti.
"Ssshh ..." Blaze mendesis lembut seraya menempelkan jari telunjuk pada bibirnya. "Dengar ..."
Menuruti saran adiknya itu, Taufan langsung diam. Sedikit ia menolehkan kepalanya untuk menangkap apa yang didengar oleh Blaze.
Sesaat tidak terdengar apapun kecuali nyanyian burung dipagi hari itu yang dibarengi dengan suara alam. Suara gemericik aliran sungai pun terdengar menghampiri indera pendengaran Taufan yang masih berusaha mendengarkan suara yang dimaksud oleh Blaze.
Dalam kepalanya, Taufan mencoba memisah-misahkan semua bunyi suara yang menghampiri telinganya. Secara sayup-sayup, Taufan akhirnya bisa mendengar suara langkah kaki yang tengah menginjak ranting dedaunan dan semak belukar.
"Suaranya semakin jelas, Kak ...," bisik Blaze sembari kedua netra oranye kemerahannya mulai bergerak-gerak dan mencari tempat untuk bersembunyi. "Mereka mendekati kita, ayo sembunyi."
Tanpa menunda lagi, Taufan mengikuti saran adiknya itu dan membiarkan dirinya dituntun Blaze. Sebuah semak pepohonan yang cukup tinggi dan lebat dijadikan tempat bersembunyi oleh kedua kakak beradik itu.
Bunyi langkah kaki yang terdengar itu semakin jelas terdengar dan kali ini terdengar juga suara percakapan yang samar-samar.
"Minimal tiga orang ..." Blaze menyimpulkan setelah mendengar lebih jelas suara langkah kaki dan jumlah suara orang yang tengah bercakap-cakap. "Seperti ada yang memerintah dan diperintah..."
Taufan menengok kearah adiknya yang tengah berjongkok disampingnya. Belum pernah ia melihat wajah Blaze yang begitu tegang dan penuh konsentrasi sebelumnya.
Blaze yang dikenal Taufan tidak pernah berwajah serius seperti itu apalagi jika mengingat kelakuan adiknya itu selama ini. Blaze yang bandel, nakal, jahil, dan tidak pernah bisa diam itu jauh sekali dari kata serius. Sekalinya Blaze bisa serius adalah waktu sedang dimarahi oleh Gempa karena ulahnya sendiri atau sedang bersaing dengan orang lain.
Blaze yang bertubuh lebih kecil daripada Taufan mencoba untuk merunduk serendah mungkin dari balik semak pepohonan tempatnya bersembunyi. Ia tidak memperdulikan tanah lembab yang mengotori pakaiannya sewaktu ia merunduk dan merayap mendekati sumber suara yang didengarnya tadi.
"Blaze? mau kemana kau?" desis Taufan yang mencoba ikut merundukkan badan dan mengikuti adiknya.
"Ssshhh." Blaze menengok kebelakang dan mendesis seraya menempelkan jari telunjuknya pada bibir. "Jangan berisik kak, aku mau tahu siapa mereka itu."
"Hati-hati."
"Pasti." Blaze merangkak lebih jauh lagi mengikuti arah sumber suara yang masih terdengar ditelinganya.
Semakin jauh Blaze dan Taufan mengikuti arah sumber suara yang mereka dengar, semakin jelas pula suara gemericik air sungai terdengar. Artinya, siapapun yang sedang diintai Blaze itu tengah berjalan mendekati sungai.
Akhirnya Blaze bisa mendengar lebih jelas suara-suara yang didengarnya.
"Ayo, jalan!"
"Mmphh!"
"Cepat!"
"Ngggh ... Mmphh."
Suara lenguhan terbekap yang terdengar oleh Blaze membuatnya meneguk ludah sekaligus membuatnya semakin penasaran. Apalagi suara lenguhan-lenguhan setengah merintih itu terdengar tidak asing ditelinganya
Degup jantung remaja bernetra oranye merah itu semakin kuat seiring dengan semakin jelas suara yang tengah didengarnya. Tandanya ia semakin dekat dengan sekumpulan orang yang tengah diintainya bersama kakaknya, Taufan.
Dari tempatnya merunduk, Blaze dan Taufan bisa melihat tiga orang yang berjarak hanya beberapa meter saja didepan mereka.
Terlihat oleh mereka berdua, seorang remaja yang berbaju tanktop abu-abu dengan kedua tangan yang terikat didepan badannya. Sebatang kayu nampak diikatkan melintasi mulutnya dan mencegahnya untuk berbicara. Sejumput surai putih diantara rambut hitamnya membuat Taufan dan Blaze langsung mengenali remaja itu.
"Astaga ... Solar, itu Solar," desis Taufan diantara kedua rahangnya yang mengatup erat. Mati-matian ia berusaha menahan diri untuk tidak bertindak nekat dan gegabah untuk menerjang dan menyelamatkan Solar karena dua orang bersenjata yang tengah menggiring adiknya yang terkecil itu.
Kedua orang yang bersama Solar itu terlihat menodongkan senjata mereka yang berupa senapan untuk memaksa Solar berjalan sesuai dengan perintah mereka. Salah satu dari mereka yang bersenjata itu adalah seorang perempuan yang berparas cantik namun keras dan berbadan sedikit berotot. Yang seorang lagi adalah pria bertubuh pendek dengan wajah yang sama sekali tidak bisa dibilang friendly.
"Mereka ... Pemburu ilegal, Kak ...," ucap Blaze selagi mengamati penampilan kedua orang yang tengah menggiring Solar menyusuri sungai.
"Darimana kamu tahu?"
Blaze menunjuk kearah kedua orang yang menodongkan senjata mereka kearah Solar. "Senapan perempuan itu ... Aku kenal jenisnya ... SVD Dragunov, mana ada senjata itu di Malaysia. Senapan pria itu juga ... Automat Kalashnikov, tapi aku ngga yakin itu tipe 47 atau 74."
Penjelasan Blaze yang begitu detailnya membuat Taufan melirilk kearah adiknya itu. "Sejak kapan kamu tahu jenis senapan begitu, Blaze?"
"Sejak Solar mengajakku main game," jawab Blaze singkat sebelum mengalihkan perhatiannya kembali kearah adiknya yang tengah digiring dibawah todongan senjata api. "Bagaimana caranya kita menyelamatkan Solar?"
Taufan memperhatikan kedua orang dewasa yang tengah menggiring adik terkecilnya itu. Posisi kedua orang itu terlihat saling berdekatan. Cara kedua orang itu memegang senjata mereka pun tidak luput dari perhatian Taufan. "Aku ada ide ..."
.
.
.
"Ngh ... ngh ... ngh." Lenguhan memilukan hati Solar terdengar yang mulai kesulitan bernapas terdengar disela-sela isak tangisnya sejak dirinya dibawa keluar dari pondokan tempat bersarangnya para pemburu haram. Dirinya tengah dipaksa berjalan menyusuri tepian sungai dibawah todongan senjata tanpa ada kesempatan untuk berhenti dan beristirahat.
Mulutnya yang terbekap batang kayu tidak bisa digunakan untuk menarik napas, padahal paru-parunya sangat membutuhkan asupan oksigen untuk tetap mampu berjalan dibawah todongan senjata kedua pemburu haram yang menggiringnya.
Kedua tangannya yang terikat didepan badannya dan diikatkan ke pinggangnya dengan ketat juga mempersulit tarikan napas dan langkahnya.
Secara sengaja Solar memperlambat langkahnya yang sudah terseok-seok. Selain menarik napas, ia juga mengulur waktu kebebasan terakhirnya sebisa mungkin. Dirinya telah laku terjual oleh pemburu haram yang menculiknya beserta kedua saudara-saudaranya. Saat ini ia tengah dihantar kepada pihak ketiga yang membeli dirinya.
"SOLAARR!"
Sebuah suara teriakan tiba-tiba terdengar dari arah belakang.
Suara sengau yang agak pecah itu sangat dikenal oleh Solar yang langsung membalikkan badannya. "HLEEHH!" pekiknya dengan mulut yang terbekap batang kayu.
Belum sempat kedua pemburu yang tengah menggiring Solar bereaksi membuka tuas kunci pengaman senjata mereka ketika seseorang menjegal dan mendorong keduanya dari arah samping dengan cepat.
Kedua pemburu itu jatuh terjungkal dan senjata-senjata mereka yang tidak mengait pada badan mereka terlempar lepas dari genggamannya.
Bahkan salah seorang dari pemburu itu langsung pingsan tidak sadarkan diri ketika kepalanya terbentur batu yang berada didekat sungai itu.
"NGAHANHH!"
Barulah Solar menyadari siapa yang menjegal kedua pemburu itu. Hanya ada satu orang yang dikenal Solar memiliki netra biru safir serta surai putih diantara rambut hitam dikepalanya, kakaknya sendiri, Taufan.
Dari balik semak belukar di tepi sungai muncullah seorang remaja lagi yang memiliki rambut identik namun dengan netra oranye kemerahan. Dengan sigap remaja itu mengoperkan sebuah parang kepada rekannya sebelum menodongkan ujung tajam sebuah parang lagi pada leher pemburu haram yang tengah berusaha untuk bangkit.
"Kh ... Kak Taufan!" pekik Solar setelah tali yang mengikat batang kayu yang mengganjal mulutnya itu diputus oleh kakaknya yang baru saja menyelamatkannya.
"Sebentar, Sol." Dengan sisi tajam parang, Taufan memotong tali yang melilit pinggang Solar. Setelah itu barulah Taufan memotong lilitan tali yang mengikat kedua pergelangan tangan adiknya itu.
"Huah! Bebas!" ucap Solar sebelum ia melemparkan dirinya dengan tangan yang terbentang kepada kakaknya yang baru saja menyelamatkannya.
Taufan tidak diam begitu saja. Ia langsung menyambut Solar yang melemparkan diri dengan cara memeluk adik terkecilnya itu sekuat tenaga. "Sy-syukurlah kamu selamat, Solar," ucap Taufan dengan bibir yang sedikit berkedut dan gemetar.
Tidak ada kata-kata yang mampu melukiskan perasaan hati Taufan yang berhasil menyelamatkan salah satu dari ketiga saudaranya yang hilang sejak kemarin. Segaris air mata kebahagiaan yang menitik menjadi ungkapan perasaan hati Taufan.
"Te... Terima kasih kak..." Sekuat tenaganya Solar memeluk Taufan. "Kupikir ... aku akan tamat, kak." Air matanya mengalir tanpa terbendung diantara isak tangis kebahagiannya.
Sementara Taufan berusaha menenangkan Solar, Blaze tengah mengamankan para pemburu haram yang berhasil dilumpuhkan. Dengan tali yang semula digunakan untuk mengikat Solar, Blaze mengikat kedua pemburu haram itu
"Apa yang terjadi padamu, Sol?" tanya Taufan ketika Solar melepaskan pelukannya.
"Mereka," Solar menunjuk pada kedua pemburu haram yang sudah diamankan Blaze. "Menembak beruang yang menerkam Thorn dan ngga sengaja mengenai dia."
"Thorn sempat lari. Lalu aku dan Kak Hali berhasil menemukan Thorn ... Tapi kita bertiga diculik oleh pemburu-pemburu haram ini." Solar berhenti sejenak untuk menarik napas sembari mengusap-usap pergelangan tangannya yang terlihat memerah.
"Aku, Kak Hali, Thorn ... Kita bertiga disekap di pondokan mereka. Aku ... akan dijual ... oleh mereka." Sekilas bibir Solar berkedut dan gemetar ketika ia menceritakan apa yang telah terjadi kepada Taufan dan Blaze. "Aku, Kak Hali, Kak Thorn ... Kami semua diikat sejak kemarin siang."
Taufan langsung mendelik seraya menatap pemburu haram yang telah dilumpuhkan dan diikat oleh Blaze. Mati-matian ia menahan diri untuk tidak mengayunkan parang di tangannya kearah leher para pemburu itu.
"Kak Hali ... Dia akan disuruh kerja paksa atau Kak Thorn yang akan disiksa," lanjut Solar bercerita. "Kak Thorn luka parah ... lengan kanannya terkena peluru-"
Darah Taufan langsung mendidih ketika Solar bercerita mengenai keadaan Thorn. Hilang sudah segala bentuk keceriaan dalam pembawaan diri Taufan. Tangannya yang memegang parang mengepal erat, bahkan parang yang digenggamnya terlihat bergetar. Netra biru safirnya terbuka selebar-lebarnya namun irisnya mengecil.
Tidak tahan lagi, Taufan mengayunkan parangnya kearah leher perempuan yang merupakan anggota gerombolan pemburu haram itu.
Blaze tidak menyangka bahwa kakaknya yang terkenal ceria itu mampu untuk hendak menghabisi nyawa orang lain. "JANGAN KAK!" teriak Blaze seraya menghalangi ayunan parang Taufan dengan parang miliknya.
Percikan bunga api berloncatan ketika bilah dari dua senjata tajam yang digenggam kakak-beradik itu saling beradu.
Sekuat tenaga Blaze menahan parang Taufan dengan parang miliknya. "Jangan Kak Taufan ... Kita bukan orang macam mereka."
"Blaze ..." Taufan mendesis. Lirikan tajam netra biru safirnya kini terarah kepada sepasang netra oranye kemerahan. "Mereka sudah mencelakai Solar, Halilintar, dan ... Thorn!"
Tatapan tajam Taufan membuat Blaze meneguk ludahnya. Belasan tahun Blaze mengenal, berteman baik, bersaudara, dan berdekatan dengan kakaknya, Taufan. Belum pernah Blaze melihat Taufan yang emosinya tidak terkendali seperti itu. "Su-sudah, Kak Taufan ... Jangan teruskan," pinta Blaze yang semakin kesulitan menahan parang milik Taufan.
"Jangan kak!" Bahkan Solar pun ikutan menahan Taufan dengan cara memegangi lengan kakaknya sekuat tenaga. "Kumohon jangan Kak ..."
Dada Taufan terlihat kembang-kempis seiring dengan napasnya yang berat.
"Kak Taufan ..." Blaze mencoba mendekati Taufan sembari tetap menahan parang yang digenggam Taufan. "Dengarkan aku Kak ... Jangan ... Kak Taufan bukan pembunuh. Kak Taufan kan kakak yang baik," ucapnya dengan suara yang pelan seraya menatap lembut kepada netra biru safir kakaknya itu.
Blaze bisa merasakan tenaga kakaknya itu perlahan-lahan melemah.
"A-apa yang ... akan... kulakukkan?" gumam Taufan sementara tangannya gemetaran hebat. gagang parang dalam genggaman tangannya terlepas dan terjatuh berdenting diatas bebatuan sungai.
Sementara pemburu haram yang nyaris dipenggal oleh Taufan langsung bernapas lega dan jatuh terkulai lemas.
Kedua lutut Taufan yang juga gemetar hebat dan tidak mampu lagi menopang bobot tubuhnya. Remaja bernetra biru safir itu langsung jatuh terduduk diatas bebatuan sungai dengan kepala yang menengadah. "Aku ... gelap mata ...," ucap Taufan dengan suara yang pelan.
Blaze langsung berjongkok didepan kakaknya yang tengah hilang dalam alam pikirannya sendiri. "Kak Taufan ...," panggil Blaze sembari menumpukan telapak tangannya diatas pundak Taufan. "Kak Taufan hebat ... Kak Taufan masih bisa melawan diri Kak Taufan sendiri."
"A-aku hampir membunuh orang, Blaze ...," lirih Taufan sembari melirik turun pada kedua tangannya sendiri dan parang yang tadinya berada dalam genggamannya. "Aku hampir melukaimu juga."
"Hey," ucap Blaze dengan nada riang seraya menggoyangkan pundak Taufan. "Aku ngga terluka, lagipula gak segampang itu aku mati, tahu?" tambahnya lagi yang diselingi dengan cengiran jahil khasnya.
Kedua netra biru safir Taufan mengedip cepat ketika ia mendengar kata-kata Blaze yang bagaikan air sejuk ditengah alam pikirannya yang panas. "Ah ... Kamu benar, Blaze ...," ucap Taufan setelah menghela napas panjang untuk menenangkan dirinya.
"Ayo kak." Blaze berdiri dan mengulurkan tangannya kepada kakaknya yang masih duduk berlutut. "Kak Hali dan Thorn menunggu kita."
Sejenak Taufan terdiam dan menatap tangan Blaze yang terulur. "Ya ... Halilintar dan Thorn menunggu!" ucap Taufan dengan nada yang lebih percaya diri sembari menangkap tangan Blaze yang terulur.
"Ehem." Solar yang berdehem membuat Taufan dan Blaze menengok kearahnya. "Dua kutubusuk ini mau diapakan?" ucapnya sembari menendang pemburu haram yang masih pingsan itu dengan ujung sepatunya.
"Masih jauhkah tempat kalian disekap itu, Sol?" tanya Taufan sembari mengambil kembali parang miliknya.
"Lumayan jauh, tapi gampang ditemukan, Kak," jawab Solar seraya menunjuk kearah pinggiran sungai. "Ikuti saja sungai ini. Nanti pasti kelihatan pondok mereka."
Taufan menyarungkan parang yang berada dalam genggamannya. Parang beserta sarungnya itu ia lepaskan dari sabuknya. Kemudian ia mengambil ponsel miliknya dari dalam saku. "Ambil ini, Solar," ucap Taufan seraya menyerahkan ponselnya beserta parang yang sudah dimasukkan kedalam sarungnya itu kepada Solar. "Kamu jaga mereka, hubungi Gempa, dia lagi mencari bantuan."
Solar sempat terbengong ketika ia menerima parang beserta ponsel dari kakaknya itu. "Kalau mereka bangun bagaimana?" tanya Solar yang mengacu pada dua pemburu haram yang masih belum siuman dan dalam keadaan terikat.
"Kau sate saja mereka," ucap Blaze sembari menyeringai.
"Terserah kamu, Sol ... Ingat perlakuan mereka padamu ... kembalikanlah," saran Taufan yang juga disertai seringai setan.
Sesaat Solar terdiam ketika ia mencerna perkataan kedua kakaknya yang blak-blakan dan yang penuh isyarat. Perlahan-lahan sebuah seriangai terbentuk melintas pada bibir mungilnya. "Aku mengerti kak ...," desisnya seraya menganggukkan kepalanya.
"Terbaik." Taufan mengacungkan jempol ciri khas keluarge mereka. "Nah, jaga mereka, jangan sampai kabur. Aku dan Blaze lanjut mencari Halilintar dan Thorn."
"Kak Thorn ...," gumam Solar yang wajahnya berubah menjadi tegang dan kaku. "Buruan kalau begitu. Kak Thorn terluka dan infeksi. Sebelum aku diseret kemari, Kak Thorn sudah demam tinggi."
Taufan dan Blaze saling berpandangan setelah mendengar informasi dari Solar yang mengkhawatirkan itu. Kecemasan terlihat jelas pada wajah sang kakak yang bernetra biru safir, apalagi Thorn adalah salah satu adiknya yang paling dekat dengannya selain Blaze.
"Ayo, Blaze! Kita harus cepat!" seru Taufan sebelum berlari menyusuri sungai kearah yang ditunjuk oleh Solar.
"Ayo!" pekik Blaze yang tidak kalah cemasnya mengenai keselamatan saudara kembarnya yang masih disekap oleh para pemburu haram.
"Jaga diri kak! Hati-Hati!" Solar berseru ketika kedua kakaknya pergi berlari menyusuri sungai untuk menyelamatkan dua orang lagi saudaranya.
Solar menghela napas panjang ketika kedua kakaknya sudah menghilang dibalik pepohonan yang tumbuh ditepi sungai dan menghalangi pandangannya. Sebuah batu yang agak besar dipilihnya sebagai tempat duduk untuk mengawasi kedua pemburu haram yang kini telah menjadi tawanannya.
Merasa tidak ada lagi yang bisa dikerjakannya, Solar membuka kunci layar ponsel milik Taufan yang diterimanya tadi. Betapa leganya ia ketika ponsel itu menunjukkan sinyal yang cukup kuat pada pinggiran sungai yang praktis tidak terlalu lebat ditumbuhi pepohonan.
Tanpa membuang waktu lagi, Solar langsung menghubungi sebuah nama pada ponsel milik kakaknya itu.
"Halo? Taufan? Bagaimana, keadaanmu dan Blaze?" Sebuah suara yang terasa sangat merdu terdengar ditelinga Solar.
"Kak ... Kak Gempa! Ini aku. SOLAR!" pekik Solar ketika ia mendengar suara kakaknya, Gempa, yang terdengar lembut.
"SOLAR?! APA YANG TERJADI PADA KALIAN?!"
"Kak Gem ... Aku, Kak Hali, Kak Thorn ... Kami diculik pemburu haram."
"APA?! La-lalu kamu ... selamat?"
"Ya, Kak Taufan dan Kak Blaze menyelamatkan aku ..." Solar meneguk ludahnya, pengalaman yang baru saja menimpa dirinya masih terasa menyakitkan untuk diceritakan kembali. "Aku hampir dijual kak ..."
"DIJUAL!?"
"Ya ..."
"Coba kamu share location, Solar. Aku, Ice dan beberapa petugas kehutanan segera menuju kesana!"
"Kak Gem," panggil Solar melalui ponsel milik Taufan. "Kak Hali dan Kak Thorn masih disekap. Baru saja Kak Blaze dan Kak Ufan pergi untuk menyelamatkan mereka."
"Begitu ya ... Kalau begitu kamu jangan kemana-mana ... Tetap ditempatmu ... kami menuju kesana."
"Tenang kak ... Aku ada dua tawanan pemburu haram yang menyekapku kemarin ... "
"Hoo ... bagus, kau sate saja mereka, Solar."
Kali ini Solar tertawa mendengar perkataan kakaknya itu. "Ya, kalau mereka mencoba lari... Kutunggu di tepian sungai ... entah dimana ini ... aku share location dulu ya kak ..."
Selepas pembicaraannya melalui ponsel itu, Solar langsung mengirimkan titik lokasinya dan berharap sinyal ponsel dan GPS cukup kuat untuk menentukan posisinya yang akurat. Ia benar-benar tidak mau berlama-lama lagi ditempat terkutuk itu.
.
.
.
Bersambung.
