"Hai."
"Oh, kau sudah pulang."
Kakashi Hatake tersenyum lemah dan meletakkan tas kerjanya di atas meja. Ia mengecup istrinya sekilas, lalu berjalan ke arah kamar mandi.
"Tidak makan dulu?"
"Tidak, aku akan makan setelah mandi."
Sakura Haruno mengangguk-angguk dan lanjut membaca. Sementara tangan kanannya memegang buku tebal berwarna biru, tangan kirinya sibuk menepuk-nepuk pelan seorang bayi yang setengah tertidur di atas dadanya.
Kakashi keluar beberapa saat kemudian lengkap dengan celana pendek dan kaos tipisnya. Ia meraih bayi tadi dengan sangat hati-hati dan menciumnya beberapa kali.
"Hari yang panjang, huh?"
"Semua proposalku ditolak." Keluh Kakashi, meletakkan kepalanya dengan rambut yang masih sedikit basah di pangkuan Sakura. Tangannya juga maih belum berhenti mengusap-usap punggung anak kecil di dalam dekapannya. "Shiranui-san bilang kalau keputusan final masih akan direview lagi… dan kau tahu, mengadakan rapat sampai jam sembilan malam tidaklah manusiawi."
"Tapi setelah ini kau bisa mendapat tenure dan promosi, 'kan?"
Kakashi terkekeh mendengar hal tersebut.
"Benar."
Sakura ganti mengusap kepala Kakashi karena Misaki sudah tertidur lelap dalam dekapan ayahnya. Pria itu juga nyaris saja tertidur kalau saja Sakura tidak menepuk pipinya pelan—memintanya untuk segera makan malam.
"Aku tidak lapar—"
"Tidak. Kau bisa sakit." Ujar Sakura bersikeras. Ia meraih Misaki dari dada Kakashi dan berjalan menuju kamar bayi. "Aku akan menemanimu. Cepat pergi ke ruang makan." Katanya sambil berlalu.
Kakashi mau tidak mau menurut. Ia mengusap kedua matanya selama beberapa saat sebelum akhirnya beranjak ke ruang makan. Hanya ada satu mangkuk putih berisi gyudon di atas meja makan. Baru saja ia ingin meraih mangkuk itu, tangan Sakura dengan cepat menarik mangkuk tadi dari atas meja makan.
"Kukira kau memintaku untuk makan…?" Tanya Kakashi bingung.
"Ya. Tapi makanan ini sudah dingin. Aku akan menghangatkannya sebentar." Gumam Sakura sambil memasukkan mangkuk itu ke dalam microwave. "Apa besok kau akan ke kampus juga? Atau seharian di gedung pusat?"
Kakashi mengangkat bahu. "Tidak tahu. Aku ada jadwal mengajar pukul 10, tapi pukul 11 akan ada rapat dengan wakil kementrian, jadi…"
"Oh, Hatake sensei yang malang."
Kakashi tersenyum kecut. Setiap kali Sakura memanggilnya dengan sebutan Hatake sensei, tentu saja gadis itu sedang mencoba untuk membuat lelucon. Mangkuk tadi diletakkan kembali oleh Sakura di meja makan dan setelahnya ia menarik kursi dan duduk tepat di sebelah Kakashi.
Tangan kanannya mengusap pipi pria itu dengan sayang. "Sensei-ku yang malang."
Senyuman kecut Kakashi berubah menjadi tawa kecil. Ia mengecup tangan Sakura sekilas sebelum akhirnya mulai makan.
"Kau tahu," ujar Sakura pelan, sembari merapikan serbet yang tergeletak di atas meja. "Ruang pesan angkatanku tiba-tiba sekali ramai. Tadinya aku tidak tahu kenapa itu begitu ramai—kukira akan ada yang menikah… ternyata akan ada reuni besar bulan depan."
"Hmm…" timpal Kakashi tidak terlalu tertarik. Ia sedang berkonsentrasi mengunyah daging sapi di mulutnya.
"Dalam dua minggu akan ada dua angkatan setiap minggunya yang melakukan reuni. Angkatan atasku, angkatanku, dan dua angkatan dibawahku." Ujar Sakura lagi. "Dan kudengar semua guru juga harus datang."
Kakashi berhenti mengunyah. Kedua matanya mengerjap beberapa kali, paham maksud Sakura.
"Oh," ujarnya pelan. "Baiklah…"
"Mereka akan menggila kalau tahu kita menikah, Kakashi." Ujar Sakura jenaka. "Ini semua salahmu. Kau yang bersikeras untuk tidak mengundang siapapun dari sekolah ke pernikahan kita."
Kakashi memandangnya dengan tatapan tidak terima. "Kau mengundang Ino dan Hinata."
"Uhm, akan ada 200 orang yang datang ke acara reuni itu, Kakashi."
"Memangnya kenapa? Kau malu karena sudah menikah denganku?"
Sakura terdiam selama beberapa saat sambil memandangi pria itu. Ia tahu Kakashi juga pasti tahu bahwa itu bukanlah alasan kenapa sekarang ia merasa cukup panik. Sakura meraih mangkuk dalam genggaman Kakashi secara perlahan dan bergerak untuk duduk di atas pangkuan pria itu.
"Kau tahu bukan itu alasannya, 'kan...?" tanya Sakura pelan. Ia menyuap sesendok nasi ke mulut pria itu dan mengusap sudut bibirnya yang sedikit belepotan saus. Kakashi terkekeh kecil—ia melingkarkan tangannya pada pinggang Sakura dan menerima suapan selanjutnya yang diberikan oleh gadis itu. "Kau hanya ingin dipuji, Kakashi."
"Apa?" tanya Kakashi tidak terima. Namun kentara sekali ia menahan tawa.
"Apa yang ingin kau katakan sejujurnya?"
"Tidak ada! Apa maksudmu, Sakura?"
"Kau ingin aku bilang bahwa aku menikahi guru terseksi seantero sekolah?"
Keduanya saling pandang dan tertawa beberapa saat kemudian. Itu adalah kalimat favorit Kakashi. Pada musim panas saat Sakura kelas tiga dulu, Kakashi sukses mendapatkan gelar guru terseksi seantero sekolah dalam kompetisi musim panas yang diadakan anak kelas dua. Saat itu tentu saja mereka belum terlalu mengenal—tapi acara tersebut sangatlah ikonik sampai-sampai beberapa anak dari sekolah lain menyempatkan diri datang kesana hanya untuk melihat Kakashi.
"Ugh, semua orang akan menanyaiku besok! Mereka tidak akan berani bertanya padamu." Keluh Sakura sambil menyuap nasi terakhir ke arah Kakashi. "Benar-benar curang. Bagaimana kalau kau membuat pernyataan resmi kalau kita sudah menikah?"
"Dan apa? Menjadikan acara reuni besok sebagai resepsi kedua kita?"
Sakura tertawa kecil. Ia bergerak untuk mencuci mangkuk tadi, namun tangan Kakashi masih melingkar erat di pinggingnya.
"Aku harus mencuci ini." Ujar Sakura.
"Aku akan mencucinya."
"Bohong!" Sakura tertawa, memukul pundak Kakashi pelan. "Kau hanya akan meletakkannya disana sampai pagi dan membuatku marah."
Kakashi tersenyum. Ia membenamkan wajahnya pada leher perempuan dalam pangkuannya.
"Kau lebih sering memperhatikan Misaki dibanding aku sekarang."
Sakura mendengus. Ia memukul bahu Kakashi sambil memutar matanya. "Umurmu tiga puluh delapan, demi Tuhan. Misaki baru akan berusia sebelas bulan dua minggu lagi."
"Lalu?"
"Lalu apa maksudmu? Aku harus mengurus dua bayi, begitu?" tanya Sakura gemas. Ia mencubit kedua pipi Kakashi sambil menatap pria itu dengan pandangan jenaka. "Kalau saja dirimu dua belas tahun yang lalu melihat ini, ia pasti akan menggelengkan kepala dan merasa malu."
Kakashi mengerutkan keningnya. "Apa yang salah denganku?"
"Kau cemburu karena putrimu sendiri, Kakashi."
"Aku tidak cemburu." Bantah Kakashi, menegakkan punggungnya. "Bagaimana kalau kita titipkan Misaki di rumah orangtuaku setiap akhir minggu? Kita—"
Sakura mengusap bibir pria itu perlahan, menghentikkannya berbicara. Kakashi tersenyum. Dahi mereka bersentuhan sebelum akhirnya Kakashi menutup jarak dan mencium perempuan dalam pangkuannya.
"Persetan dengan semuanya, Sakura, kalau perlu aku akan meminta pemandu acara reuni untuk mengumumkan bahwa kita sudah menikah besok." Gumam Kakashi saat mereka menyudahi ciuman. "Menjadi suamimu adalah hal yang harus dibanggakan."
.
.
Sakura berjalan masuk ke aula sekolah menengahnya dulu dengan langkah ragu. Misaki baru saja bangun beberapa saat lalu, sementara Kakashi sedang memarkir mobil di halaman belakang. Ia tersentak pelan saat sebuah tepukan mendarat di pundaknya.
"Haruno?"
"Naruto?" ujarnya sambil tersenyum. "Hai!"
Mereka berpelukan selama beberapa saat sebelum akhirnya berjalan bersama memasuki aula. Ruangan besar itu ditempeli spanduk besar-besar berisikan tema reuni tahun ini dan foto banyak sekali orang di bagian belakang. Sakura tersenyum pada beberapa perempuan yang melambai ke arahnya dan Naruto.
"Astaga, juara kelas sudah datang." Ujar Temari sambil terkikik. "Oh, lihat dia! Siapa namanya, Sakura?"
"Misaki."
"Oh, Misaki... dimana ayahnya? Apa kau mengajak suamimu?" tanya Temari lagi.
Sakura tersenyum ragu, tidak yakin apakah ia harus menjawab. Ketika melihat Sakura yang terdiam selama beberapa saat, Temari seakan sadar dan segera saja mengangguk-angguk cepat.
"Single parent juga tidak buruk. Banyak teman-temanku yang melakukannya."
"Ah, tidak, aku meni—"
"Haruno!"
Sakura membalikkan tubuh dan tersenyum lebar ke arah Ino. Pelukan lainnya ia berikan dan Ino segera saja mengambil alih Misaki dalam gendongan.
"Apa kau merindukan Bibi Ino? Tentu saja. Tentu saja. Muiiishaaakuiiiii..."
Misaki tertawa kecil melihat Ino. Sementara Ino sibuk mengajak Misaki berkeliling, Sakura kembali bebicara dengan Temari dan teman-teman sekelasnya dulu.
"Omong-omong, apa kau sudah dengan kabar terbaru dari guru terseksi kita?"
Sakura tersenyum masam. Ia sudah tahu pasti Kakashi akan menjadi topik pembicaraan. Bukannya cemburu, hanya saja ia tidak bisa membayangkan ekspresi jumawa Kakashi saat tahu bahwa ia memang menjadi topik hangat dikalangan murid-murid. Mantan murid-murid.
"Siapa? Morino sensei?"
"Hei! Tentu saja Hatake sensei! Kudengar dia sekarang sudah menjadi dosen dan perwakilan universitas di kementrian."
"Benarkah?"
Kali ini senyuman Sakura berubah menjadi bangga. Tentu saja benar! Ia yang mendorong Kakashi agar mengikuti seleksi perwakilan tiga tahun lalu. Sakura memutuskan untuk diam dan tersenyum ke arah Ino yang sudah kembali dengan Misaki.
"Lalu apakah ia sudah menikah? Tidak mungkin,'kan, Hatake sensei masih melajang sampai sekarang?"
Ino menyikut lengannya dan Sakura hanya memembalasnya dengan tatapan tajam.
Diam, ujarnya lewat tatapan.
Ino bersiul pelan, memutuskan untuk menurut.
"Aku tidak tahu pasti. Dari dulu bukankah dia selalu misterius seperti itu? Hatake sensei—"
Ucapan Tenten terhenti ketika tangisan keras Misaki terdengar. Sakura sendiri terlonjak kaget setelahnya—ia cepat-cepat mengusap punggung Misaki dan menenangkan anak itu sambil tersenyum tidak enak ke arah teman-temannya.
"Apa ada yang salah? Apa ia buang air?" tanya Ino bingung.
Sakura memegang bokong Misaki dan menggeleng. "Tidak. Dia juga baru saja kuberi susu setengah jam yang lalu..."
Sementara teman-temannya kembali asyik membicarakan Kakashi, Sakura kebingungan sendiri karena anaknya tidak juga berhenti menangis. Ino disebelahnya juga hanya bisa memperhatikan temannya tanpa ada yang bisa dilakukan.
"Sakura."
Sakura menoleh ke asal suara. Kakashi berdiri di belakangnya, tangannya terentang agar Sakura menyerahkan Misaki padanya. Dengan gerakan pelan Misakipun akhirnya berada dalam dekapan Kakashi—tangisannya sedikit mereda dari yang sebelumnya.
"Ah, Hatake-sensei!" ujar Tenten dan Temari disaat yang bersamaan. "Sensei terlihat sudah cocok menjadi seorang ayah."
Kali ini Kakashi yang berusaha untuk menyamarkan ekspresi wajahnya. Sakura sendiri menahan tawa—ia memandang Ino dan temannya itupun terlihat pula susah payah menahan tawa.
"Terima kasih." Ujar Kakashi singkat dan berpaling ke arah Sakura setelahnya. "Apa kau membawa shiroi?"
"Ah, iya..." gumam Sakura. Perempuan itu merogoh tasnya dan memberikan boneka anjing putih kecil ke arah Kakashi. "Kau akan membawanya?"
"Ya. Aku akan keluar sebentar. Sepertinya tempat ini terlalu ramai untuk Misaki."
"Apa aku harus menemanimu...?"
"Tidak perlu. Aku akan segera kembali." Ujar Kakashi sambil mengacak rambut Sakura sekilas. Ia menatap mantan murid-muridnya yang sukses melongo dengan sebuah senyuman lebar. "Aku permisi dulu. Silakan lanjutkan pembicaraan kalian—putriku memang tidak terlalu suka keramaian."
Sakura membelalakkan matanya mendengar kalimat terakhir Kakashi. Ia menatap punggung pria itu dengan jengkel sementara selusin pasang mata menatapnya dengan tatapan membunuh.
Sakura terkekeh kecil. "Hatake sensei... fuh!" ujarnya sambil menggaruk tengkuk dengan tidak nyaman. "Dia memang sedikit gila."
.
.
