4. Solar.
Thorn melihat pada adiknya dengan raut muka yang tidak percaya. "Ide untuk kabur?" tanya si kakak sembari menengok ke arah bagian-bagian ruangan yang diperhatikan oleh Solar. "Kalau kamu lupa, Sol ... Tangan sama kaki kita ini diikat ... Gimana bisa kabur kalau jalan saja ngga bisa?"
Solar mengedikkan kepalanya kearah wastafel kamar mandi yang sudah pecah. "Itu kak, kepingan wastafel pecah itu. Bisa kita pakai untuk memotong lakban di tangan kita."
Thorn menengok ke arah pecahan wastafel yang berserakan di atas lantai yang dimaksud oleh adiknya itu. "Apa iya bisa?" Ia masih belum sepenuhnya yakin dengan rencana Solar yang dadakan itu. "Setelah kita lepas gimana? Yang menculik kita itu ada tiga orang lho."
"Urusan nanti itu, Kak. Yang penting kita bebas dulu."
"Oke, sana kamu coba deh."
Solar menggelengkan kepalanya. "Cuma kakak yang bisa ..."
"Kok aku?"
Solar memutar bola matanya keatas sembari menghela napas panjang. Memang terkadang kakaknya yang satu itu kurang bisa mengimbangi jalan pikirannya. Sebetulnya bukan Thorn saja, hampir semua saudara-saudaranya yang lain kesulitan untuk mengikuti dan memahami jalan pikiran Solar yang jenius itu. "Lihat posisi tanganku," ujar Solar sembari memperlihatkan kedua tangannya yang terikat lilitan lakban dengan posisi telapaknya yang saling bertolak belakang. "Aku ngga bisa menggunakan tanganku, harus kamu kak."
"Ya sudah, aku coba ...," keluh Thorn sebelum merebahkan badannya di atas lantai kamar mandi tempat ia dan adiknya itu disekap. Dengan susah payah dan perlahan, ia merayap melata menuju pecahan wastafel yang dimaksud oleh adiknya. Sesenti demi sesenti ia mendekati pecahan wastafel yang berserakan di atas lantai.
Dengan meraba-raba, Thorn memilih sebuah pecahan keramik wastafel yang agak besar dan yang terasa paling tajam. Dengan hati-hati agar tidak melukai dirinya sendiri, pecahan keramik wastafel yang tajam itu diputarnya sampai bagian yang tajamnya itu bersentuhan dengan lilitan lakban yang mengikat pergelangan tangannya.
Dengan penuh harapan Solar memandangi usaha kakaknya untuk melepaskan diri. 'Ayo Kak Thorn... Kamu harapan terakhir ...,' gumamnya dalam batin.
Senyum lebar Thorn mengembang ketika kedua tangannya yang tadinya terlihat berjarak rapat di belakang badannya mendadak menjadi renggang. "Ah ... Akhirnya, bebas ..." Sembari meringis menahan nyeri karena pegal pada lengan dan pundaknya, Thorn mengayunkan tangannya ke depan badannya. Dengan memakai pecahan keramik wastafel yang sama, ia memotong lilitan lakban yang mengikat kedua lutut dan pergelangan kakinya.
Bahkan Solar pun terlihat lega dan lebih tenang ketika ia melihat kakaknya berhasil melepaskan diri. "Lepaskan ikatanku kak ..." lirihnya yang sudah tidak sabar ingin dibebaskan dari lilitan lakban yang mengekang dan menyiksa dirinya.
Tanpa membuang waktu, Thorn langsung berdiri dan memotong semua lilitan lakban yang mengikat Solar satu-persatu. Mulai dari pergelangan tangan, lutut dan terakhir pergelangan kaki.
"Huah ... Bebas ... Pegalnya ..." Solar menarik napas lega sembari memijat-mijat pundak dan lengannya yang terasa sangat kaku.
"Lalu? Sekarang gimana, Sol?" tanya Thorn sembari menepiskan debu dan tanah yang mengotori dirinya dan adiknya.
Solar tidak menjawab. Ia berdiri dan mendekati toilet di dalam kamar mandi itu. Diraihnya beberapa botol cairan dan kimia pembersih toilet dan pembersih kamar mandi yang berserakan di dekat toilet itu. "Masih ada isinya ... Bagus," gumam Solar sembari membuka dan memeriksa isi dari botol-botol itu.
"Mau apa kamu dengan pembersih toilet itu?" Thorn terlihat semakin kebingungan dengan aksi adiknya. Tidak masuk akal baginya kalau pembersih toilet bisa membantu mereka melarikan diri dari tempat mereka disekap itu.
"Membuat mereka yang menculik kita menyesal, Kak ..." Seringaian setan Solar mengembang ketika ia mendapatkan apa yang ia cari. Sebuah botol kimia pembersih toilet yang berisikan bubuk seperti kristal. Botol-botol kimia dan cairan pembersih toilet yang lain langsung dibuang isinya. Solar hanya memerlukan bubuk kristal pembersih toilet yang disisihkannya untuk menjalankan rencananya.
"Kak, buka bajumu, aku perlu baju seragammu itu."
"Hah? Buat apa?" Thorn tercengang mendengar permintaan adiknya itu. Ia tidak melihat alasan logis mengapa ia harus melepaskan baju di saat seperti itu.
"Sudah, percayakan padaku," ketus Solar sembari mengulurkan tangan. "Sini seragammu kak."
Thorn tidak yakin, tetapi diturutinya permintaan si adik. Beruntunglah ia masih mengenakan baju armless hitam yang dipinjamnya dari Blaze dibalik seragam sekolahnya itu. Seragam sekolah yang telah ditanggalkannya langsung diberikan kepada si adik yang terlihat sudah tidak sabar.
"Terima kasih." Solar langsung mengambil baju seragam milik Thorn itu dan menggunakannya untuk membersihkan dan mengeringkan botol-botol yang tadinya berisi cairan pembersih toilet dan pembersih kamar mandi itu.
Dengan hati-hati, Solar mengisi botol-botol yang sudah dikosongkan itu dengan bubuk kristal pembersih toilet itu secara merata.
"Buat apa bubuk kristal itu sih?" Thorn mengenali bubuk kristal pembersih toilet itu. Dirumah memang ia dan saudara-saudaranya menggunakan bubuk kristal yang sama untuk membersihkan toilet dan wastafel yang tersumbat. Tidak pernah terpikir oleh Thorn kalau bubuk kristal itu bisa membantunya untuk melarikan diri dari tempat ia disekap.
"Nah, Kak Thorn pernah 'kan membersihkan wastafel dapur Kak Gempa yang mampet pakai bubuk ini?"
"Iya, sering malah."
"Tahu kan seperti apa bubuk kristal itu kalau kena air?"
"Ya, uapnya bikin sakit mata, gatal pula ..." Thorn mendadak terdiam. Ia tahu seperti apa uap dari bubuk kristal itu jika bersentuhan dengan air. Selain membuat perih mata, uapnya yang panas juga menimbulkan rasa gatal di kulit. Thorn juga tahu seperti apa panasnya bubuk kristal pembersih toilet itu jika bersentuhan dengan air karena ia pernah melihat Gempa membersihkan kompor dengan bubuk yang sama. Bahkan lemak dan kotoran yang menempel pada besi kompor akan hancur dan rontok karena efek kimia bubuk kristal itu. "Aku mengerti maksudmu sekarang, Sol."
"Yap. ... Akan kubuat penculik kita itu menyesal seumur hidup telah berurusan denganku, Solar, si jenius keluarga BoBoiBoy ... Terbaik" Solar kembali menyeringai setan sembari mengacungkan jempolnya.
Entah kenapa Thorn hanya tertunduk lesu ketika mendengar ujaran adiknya itu dan menghela napas panjang. "Aku yang lebih tua malah ngga bisa apa-apa ... Terbalik ..."
Melihat kakaknya yang mendadak pundung, Solar langsung memeluk Thorn yang terlihat murung itu. "Ngga Kak ... Kak Thorn juga hebat... Buktinya Kak Thorn berani menyelamatkan aku."
"Iya, tapi habis itu kita berdua jadi kena culik kan?"
"Iya, memang. Tapi Kak Thorn bisa bayangin ngga apa yang terjadi kalau tadi ngga ada kakak?" tanya Solar sembari menatap kakaknya dengan sorotan mata yang lembut. "Bisa bayangin ngga kak apa yang terjadi kalau ngga ada Kak Thorn yang menolong aku?"
Pertanyaan Solar itu cukup untuk membuat Thorn berpikir dan melamun. Pastinya Solar sudah dilarikan entah kemana kalau saja tadi ia tidak jadi mengambil jalan pintas melewati kompleks perumahan yang bobrok itu dan tidak mendengan teriakan adiknya. Sebuah keputusan yang terlihat sepele namun efeknya cukup besar.
"Kalau ngga ada Kak Thorn disini sekarang, aku pasti ngga bisa lepas, ya 'kan? Bisa-bisa aku sudah mati konyol di tempat ini."
Thorn tersentak dari lamunannya ketika mendengar pertanyaan sekaligus pujian dari adiknya itu. "Ah ... I-iya juga sih ... Terbaik" ujarnya sembari terkekeh dan tersipu setelah dipuji oleh si adik.
Solar melepaskan pelukannya kepada kakaknya. "Gitu dong, kak, senyum... Kak Thorn hebat kok, ngga kalah dengan Kak Hali," puji si adik untuk mengangkat semangat kakaknya itu. Pujian itu tidak hanya sekadar sanjungan hampa karena memang benar kalau tidak ada kakaknya itu di saat Solar sedang diculik tadi sore itu, pastinya keadaannya akan jauh lebih buruk. Tidak ada yang menolongnya untuk melepaskan diri kalau tidak ada kakaknya itu.
Bersambung
