Onigiri Miya

Haikyuu FurudateHaruichi

Pairing : Sakusa x Osamu/Suna x Osamu (Yup, Osamu is bottom)

Warn : OOC AF, cerita nggak jelas, dan ... selama ini aku bilang ayo bikin fluffy di fanfic ini? Hahahahaha No! wkwkwk

Summary :

Semua berawal dari Sakusa Kiyoomi memutuskan dapur Osamu cukup bersih untuk dia kunjungi. Namun siapa sangka kedekatan mereka akan membawa Sakusa pada masa lalu Miya Osamu yang tak pernah dia duga? Sakusa/Osamu. (Suna/Osamu)

Happy reading

Ini adalah kali pertama Sakusa melihat Atsumu mengamuk. Selama ini dia menganggap Atsumu sebagai seorang menyebalkan, tetapi profesional dalam berkerja meskipun sering sekali marah. Namun saat ini, dia bisa melihat wajah Atsumu membiru, dan dia tidak menyangka lelaki itu tidak ragu memukul seseorang.

Di sisi lain, Osamu tampak memucat. Dia tahu siapa yang dipukul Atsumu, atau setidaknya mengira-ngira siapa. Akan tetapi, amarah memukul dadanya melihat betapa berlebihannya Atsumu, dan betapa dianggap tidak berdayanya dia. Tangannya mengepal kesal, tetapi tidak mampu melepas cengkraman Atsumu. Bahkan ketika mereka sampai di kedai Osamu yang—syukurlah—sepi pengunjung, Atsumu masih menyeret kembarannya. Lelaki itu terhuyung-huyung, kemudian terduduk. Masih dengan tangan Atsumu di lengannya.

"Kunci pintunya, Omi-kun! Kita tutup sekarang!"

Suara Atsumu dingin, tetapi Sakusa bisa merasakan getaran di sana. Selain itu, tangan yang mencengkram Osamu terlihat tidak menyakitkan, lebih kepada ketakutan. Atsumu takut bila dia melepaskan Osamu, maka dia akan menghilang saat itu juga.

"Tunggu!"

Sakusa menatap bimbang. Dia tidak tahu harus menuruti Atsumu dengan amarahnya, atau Osamu yang tampak memelas. Seketika dia ingin keluar dari kedai ini, menutup pintu, lantas membiarkan mereka berdua menyelesaikan permasalahan mereka sendiri. Akan tetapi Sakusa bergeming. Dia masih melihat Osamu, lantas beralih pada Atsumu yang tidak mau repot-repot menoleh.

Sakusa menghela napasnya. "Miya, tenanglah!"

Atsumu menoleh. Matanya melotot marah, dan—astaga—hendak menangis. "Tutup pintunya, Omi!" Suara Atsumu meninggi ketika menyebut namanya. Hampir seperti menjerit. "Tutup pintunya sekarang, dan jangan biarkan Bajingan itu masuk!"

Sakusa menoleh pada Osamu, meminta persetujuan. Lelaki itu mengangguk, dan berdiri. "Tenang, Tsumu!"

"Tenang? Dia kemari? Bajingan itu berani datang menemuimu setelah apa yang dia lakukan padamu."

"Itu sudah bertahun-tahun lalu!" bentak Osamu. Dia mencoba mengatur napasnya. Tangannya terkepal erat hingga buku-buku jarinya memutih. "Aku bukan benda rapuh, Tsumu. Dia tidak akan menyakitiku."

"Itu yang kau katakan empat tahun lalu, dan aku masih melihatmu hancur!" Atsumu menjerit. Dia terengah-engah dan Sakusa baru menyadari satu hal, yang mengalami trauma bukan hanya Osamu. Atsumu mencengkram bahu Osamu. Dia membiarkan kepalanya bersandar pada bahu Osamu. "Aku tidak bisa lagi melihatmu hancur, Samu! Hanya kau yang kumiliki. Kau kembaranku."

Dengan canggung Osamu mengusap punggu Atsumu. "Aku tidak akan hancur, Tsumu. Percayalah padaku!"

Ketika melihat tangan Osamu yang diplester, Atsumu mendengkus meremehkan.

"Kau bahkan masih belum bisa menyebut atau mendengar namanya."

Atsumu mengerling pada Sakusa yang membeku. Sekonyong-konyong, dia merasa bersalah karena melaporkan kejadian tadi malam pada Atsumu. Siapa yang mengira Suna Rintarou akan benar-benar datang kemari?

"Maaf," gumam Sakusa. Dia tidak tahu harus mengatakan apa. Bahkan dia merasa salah berdiri di sana. "Aku bisa pergi kalau, kalian membutuhkan waktu."

"Tidak," cegah Osamu. Dia menatap kembarannya, kemudian beralih pada tangan yang masih dicengkram. Atsumu mengangkat tangannya. Dia sesekali menatap ke jalanan, ke tempat Suna tadi berada. Akan tetapi, setidaknya, dia lebih tenang. "Kalian ke sini untuk makan. Ikutlah ke apartemenku. Aku tidak memiliki bahan makanan apa pun di sini, dan kau membawa banyak sekali."

Atsumu menghempaskan dirinya ke kursi. Tangannya tersilang kesal. "Kurasa aku belum mendengar yang itu. Kenapa Omi-kun membawa bahan makanan ke apartemen 'Samu?"

Sakusa tidak menyukai atmosfir ini. Atsumu jelas-jelas tidak senang. Entah karena pertemuan mereka dengan Suna tadi atau dia hanya tidak mau terjadi sesuatu pada adiknya. Sakusa berjalan mendekat, lantas duduk di jarak dua kursi di sebalah Atsumu dengan padangan si Sulung Miya mengikutinya. Osamu menghela napasnya.

"Tsumu!"

Sakusa mengangkat tangannya. "Osamu tidak pernah membiarkanku membayar masakannya, dan seperti yang kau tahu, aku menyukai masakannya. Itu caraku untuk membayar."

Atsumu memutar bola matanya. "Dengar, Sakusa!" Okay, Sakusa jarang melihat Atsumu seserius itu, dan dia akan memulai keseriusannya dengan nama marga. Lelaki itu selalu memanggil temannya dengan nama kecil, atau panggilan konyol. Awalnya dia mengira itu adalah bagian dari ketidak sopanannya, tetapi mendengar nama marganya dipanggil Atsumu membuat dia lagi-lagi merasa salah tempat. "Aku tidak keberatan. Semua orang menyukai masakan Samu, dan selalu menjadikan itu alasan."

"Tsumu, jangan lagi!"

Sakusa menerima tatapan minta maaf dari Osamu yang berdiri di belakang Atsumu. Sedangkan Atsumu tidak peduli. "Tetapi seperti yang kau lihat, aku tidak ingin adikku terluka. Jadi, tolong jaga sikapmu!"

"Aku tahu," jawab Sakusa.

Sejujurnya dia ingin tahu apa yang terjadi, tetapi siapa dirinya? Tampaknya Atsumu mampu membaca pikirannya seperti buku yang terbuka. Entah karena Atsumu yang begitu baik dalam membaca, atau karena Sakusa begitu bodoh menyembunyikan rasa penasarannya.

Atsumu memutar tempat duduknya. "Kau ingin bercerita, 'Samu?"

"Tidak!" jawab Osamu cepat. Wajahnya memucat. "Tidak sekarang!"

"Kurasa aku dengar seseorang berkata, dia tidak akan hancur."

Osamu mengatupkan bibirnya. Dia menatap nyalang pada kakaknya. "Fine!"

"Bagus," gumam Atsumu puas. Dia memutar dirinya pada Sakusa. "Kalau kau ingin mendekati adikku, sebaiknya kau tahu tentang ini!"

"Aku tidak mencoba mendekatinya," bantah Sakusa, tetapi bahkan dirinya sendiri pun ragu apakah dia berbohong atau tidak. Sehingga dia menambahkan. "Kurasa."

Atsumu berdecak tidak sabar. Sedangkan Osamu membuang mukanya.

"Biar aku yang menceritakannya. Kau pulanglah!" Osamu melempar kunci apartemennya. "Kau tahu kodenya."

"Hah? Aku tidak bisa membiarkanmu sendirian sekarang!"

"Tsumu!" desah Osamu lelah. "Tolonglah!"

Mata Atsumu memicing. Kemudian mendengkus. "Aku akan menunggumu. Kalau kalian terlalu lama, aku akan menyusul, dan kita pulang."

"Aku mengerti."

Atsumu meninggalkan Osamu dan Sakusa berdua. Setelah dia pergi, hanya ada keheningan dalam beberapa menit. Sakusa bisa melihat Osamu gelisah. Sesekali dia melihat keluar seolah memastikan seseorang tidak menguping. Sakusa jadi merasa bersalah. Dia mengusap belakang lehernya.

"Kau tahu, kalau kau belum siap menceritakannya, aku tidak memaksa. Kau tidak harus mendengar perintah Miya."

Untuk pertama kalinya malam itu, Osamu mengulas senyum. Hanya senyum tipis yang lelah, tetapi cukup untuk membuat sesuatu dalam diri Sakusa bergejolak. Sinting. Ini benar-benar sinting. Setelah dia tidak bisa menyangkal ucapan Atsumu, sekarang dirinya sendiri bereaksi demikian ketika melihat sekelumit senyum Osamu yang lelah.

Sebagian dari dirinya ingin merubah senyum yang tampak lelah itu menjadi seringai jahil yang dia tampakkan padanya kemarin malam. Betapa entitas Suna Rintarou mampu membuat Miya bersaudara begitu terguncang. Yang dia perlukan hanya berdiri di depan sana, kebingungan dan merasa bersalah dan lantas semua kekacauan ini terjadi.

"Kata-katamu membuatmu berharga untuk mengetahui apa yang terjadi." Osamu mendudukkan dirinya di tempat Atsumu tadi, dan Sakusa—untuk pertama kalinya—menyesal karena mengambil jarak sejauh itu dari Atsumu. Dia ingin Osamu cukup dekat dengannya untuk di dekap, dan pikiran itu membuatnya semakin ingin menendang diri sendiri. "Ini akan cukup panjang. Apa kau keberatan?"

"Selama kau tidak keberatan menceritakannya."

Osamu sekali lagi tersenyum. Dia menyilangkan tangannya di atas meja, dan menatap jemarinya yang saling bertaut. "Aku dan Suna ... dulu berpacaran."

Sakusa sudah mengira hal itu, tetapi dia tidak menyangka apa yang terjadi setelahnya. Osamu memulai ceritanya sangat jauh, saat dia kelas tiga SMA. Ketika di tahun terakhir voli mereka, sekaligus tahun yang penting untuk keberlanjutan karir mereka. Terutama ketika Atsumu bersikeras untuk melanjutkan karirnya di dunia voli. Osamu bercerita tentang kebimbangannya. Dia ingin melanjutkan karirnya sebagai pemain voli, tetapi dia merasa ingin melakukan sesuatu yang lain.

Saat itu mereka berdua berselisih. Ayah mereka sudah meninggal, dan mereka hanya tinggal dengan ibunya. Ibu mereka mendukung semua pilihan Osamu, sementara Atsumu tidak. Dia masih sangat keras kepala. Sosok egois yang tak mau dibantah.

"Kau gila! Aku ingin kau melanjutkan volimu. Kita tak terkalahkan saat bersama."

"Itu kau!" Osamu memijat pangkal hidungnya. "Aku bukannya ingin berhenti bermain voli. Tidak sekarang. Aku hanya ingin mencari sesuatu yang lain."

Atsumu bersidekap. "Apa contohnya?"

"Aku tidak tahu, okay? Karena itulah aku mencarinya."

"Dan melepaskan kesempatan emas bermain voli? Samu, ada banyak club yang menawariku? Menawari kita?"

"Tetapi club besar hanya menawarimu!" Osamu membentak. Dia menurunkan suaranya. Saat itu sudah tengah malam, dia tidak ingin menganggu ibunya dengan pertengkaran tiada akhir ini. "Kau akan menolak tawaran klub besar hanya untuk satu tim denganku."

Alis Atsumu terangkat heran. "Tidak ada yang salah dengan itu. Aku bisa menjadikan klub itu besar. Itulah gunanya kita berdua bermain."

Osamu tidak mengerti jalan pikiran Atsumu. Kenapa dia sangat keras kepala ingin bermain bersama di satu tim? Dia bahkan tidak ragu menolak tawaran klub besar yang menjanjikan masa depan yang cemerlang. Osamu tahu cara kerjanya, dan dia tidak ingin membuat Atsumu terperosok ke dalam hanya untuk mengimbanginya.

Seluruh hatinya tidak berada di voli. Dia bukan penggila voli seperti Atsumu. Kalau dipikir-pikir, seluruh kejadian ini. Voli-voli yang dia senangi, selalu dimulai dengan dia tidak mau kalah dari Atsumu. Dia tidak ingin berlari di belakang Atsumu. Dia tidak ingin Atsumu mengalahkannya dalam hal apa pun. Dan rasa tak ingin kalah itu membuatnya menjadi pemain voli yang menakutkan.

Namun dia tahu, dirinya tidak ada di voli. Tidak sebanyak Atsumu yang mendedikasikan dirinya pada voli. Karena itulah dia ingin mencari dirinya sendiri. Tidak ada di voli, tetapi bukan berarti dia tidak akan menyentuh voli lagi.

"Aku tetap akan bermain sampai Haruko, Tsumu. Aku tidak akan berhenti sampai menang."

"Lalu kenapa kau tidak melanjutkannya ke liga profesional? Aku melakukannya."

"Tidak ada yang melarangmu, dan tidak ada yang bilang aku harus menurutimu."

Atsumu menggertakkan giginya kesal. "Terserah! Kau akan terus bermain voli. Kita akan bermain di tim yang sama!"

"Tsumu!" Bentakan Osamu tidak didengar. Kakaknya sudah meraih jaket dan dengan kesal membanting pintu kamar mereka. Osamu mengacak-acak rambutnya sendiri. "Ini konyol sekali."

Atsumu akan tetap memaksanya melanjutkan karir sebagai pemain voli, sementara dirinya hanya ingin melanjutkannya sebagai bagian tim di universitasnya. Sejujurnya, meskipun dia berkata masih mencari, Osamu telah memutuskan kemana harus pergi. Dia menatap brosur universitas yang menawarkan pelajaran memasak dan berbisnis. Dia ingin membuka restorannya sendiri. Dia suka memasak, dan ibunya selalu memuji masakannya.

Akan tetapi, Atsumu tidak akan menerima alasan itu. Osamu tahu benar apa yang akan dia katakan, sejelas ketika Atsumu benar-benar mengatakannya sekarang di mukanya. Tidak sekarang. Dia masih harus melatih banyak hal. Dia tidak keberatan untu terus melanjutkan voli sampai Haruko, itu adalah janjinya. Satu taruhannya juga. Jika sampai nanti dia tidak bisa menarik perhatian tim besar, dia akan memiliki restorannya sendiri.

Dia tidak ingin membawa Atsumu turun.

Ponselnya bergetar, ada nama Suna di sana. Dia tersenyum. Lelaki itu selalu tahu saat dimana Osamu mengalami masalah. Tanpa ragu, dia menekan tombol terima.

"Kau ada masalah dengan Atsumu?"

Bahkan tanpa kata-kata sapaan. Osamu tertawa ringan dan menghempaskan dirinya ke tempat tidur. "Masih dengan dia tidak menerima keputusanku."

Suna mendesah lelah di seberang sana. Suna selalu lelah, sekalipun dia tidak pernah bolos latihan. Tidak mengherankan, mereka bertiga berjanji untuk masuk ke tim yang sama. Mereka berjanji pada satu sama lain itu terus bermain di liga profesional. Kali pertama Osamu menjelaskan keinginannya untuk berhenti, Suna merasa kecewa. Osamu menggigir bibirnya.

Dia juga mengecewakan Suna.

"Aku tidak bisa menyalahkannya," gumamnya. "Jujur saja, aku masih ingin kau memikirkan kembali keputusanmu. Kau pemain yang hebat, Osamu."

"Aku tetap memikirkannya. Haruko yang akan memutuskan."

"Kau tidak ingin membuat Atsumu jatuh ke tim kecil bersamamu, atau kau hanya tidak tahan terus menerus merasa kalah di tim besar? Kau benci kekalahan pada akhirnya." Suna selalu mampu melihat dirinya. Terkadang dia bertanya-tanya apakah orang itu benar-benar tidak memiliki kemampuan untuk membaca pikiran? Matanya terkadang mengisyaratkan sesuatu yang aneh, tetapi itu kan hanya tatapan. "Aku tidak akan mencemoohmu, Osamu, tetapi terkadang rasa rendah dirimu menyebalkan."

"Terimakasih sudah tidak mencemooh, Suna," gerutu Osamu. "Bisa kita lewatkan pembicaraan ini? Kenapa kau menelepon?"

"Atsumu menelepon," jelasnya. "Dia mengajakku mencari ..."

Suna terdiam, hingga membuat Osamu bertanya, "Mencari apa?"

"Tidak penting."

"Jangan membuatku mengkhawatirkannya!"

"Dia hanya ingin aku menemaninya bermain voli. Kau tahu pelepas stressnya adalah voli."

Sekalipun tidak segamblang Suna, Osamu tahu bahwa lelaki itu berbohong, tetapi dia memilih untuk bermain dengan kebohongannya. "Kenapa kau tidak menemaninya saja?"

Ada jeda panjang, kemudian Suna menjawab, "Apa minggu ini kita jadi pergi untuk melihat universitas incaranmu?"

Suna mengalihkan pembicaraan.

"Ya," desah Osamu. "Aku akan pergi akhir minggu ini pagi-pagi."

"Tapi tempat itu jauh sekali," katanya. "Apa kau yakin Atsumu akan mengizinkanmu?"

"Dia tidak memiliki hak untuk mengizinkanku ataupun tidak mengizinkanku. Aku yang memilih apa yang akan kulakukan."

"Aku akan menjemputmu sabtu pagi."

"Okay," balas Osamu. Dia menatap malam yang semakin gelap. Dia bisa mendengar gelegar guntur di kejauhan, saat dia melihat ke luar jendela, bintang-bintang tertutup awan. Sebentar lagi akan hujan. "Aku akan mencari 'Tsumu."

"Aku yang akan mencarinya," jawab Suna cepat. "Aku tahu di mana dia. Hari ini dia akan tidur di tempatku. Sebentar lagi hujan, sebaiknya kau beristirahat. Lagipula berbahaya untukmu mencari Tsumu sendirian. Ini sudah malam."

Osamu menggigit bibirnya. "Aku laki-laki, kau ingat? Meskipun kita berpacaran."

"Kau benar. Maaf. Kau tahu ini pertama kalinya untukku dan kau manis sekali."

"Diam!" gerutu Osamu. "Carikan dia dan tendang kepalanya untukku."

"Pasti."

Sambungan telepon dimatikan. Osamu menatap layar yang meredup, lantas mati. Dia tidak tahu kenapa, tetapi dia merasakan Suna menyembunyikan sesuatu. Dia juga selalu merasakan Suna yang ragu-ragu dalam hubungan ini. Osamu tidak menuntut banyak. Sungguh. Dia sadar bahwa yang mereka lakukan ini salah, tetapi dia tidak bisa menghentikan dirinya.

Bukan salahnya untuk menyukai Suna, lagipula Suna juga merasakan hal yang sama. Meskipun begitu, dia paham betul bahwa ini adalah kali pertama bagi mereka. Suna sangat memperhatikan dirinya, terkadang memperlakukannya seperti wanita, karena begitulah dia memperlakukan setiap kekasihnya. Sementara itu, sangat wajah untuk Suna malu. Dia meminta untuk merahasiakan hubungan ini, Osamu tidak keberatan melakukannya. Lagipula dia belum siap untuk mengumbar pada publik. Bukan berarti orang-orang akan peduli, ya, kan?

Osamu tersenyum, lantas memanggil Atsumu sekali, dan menghela napas ketika hanya ada deringan panjang. Atsumu tidak mengangkat teleponnya. Osamu memutuskan untuk menutup ponselnya dan kembali tidur.

Sayangnya, Osamu tidak menyangka bahwa dia hanya bersikap naif.

To Be Continued

Oke ... Aku ... yah ... Pertama aku mau minta maaf karena updatenya ngaret, dan yah ... ini. Chapter 5. Begini deh akhirnya. Kita flashback-an dulu. Hayoloh, ada yang penasaran apa yang terjadi antara Suna dan Osamu padahal mereka anteng-anteng aja wkwkwk

Dah lah, sampai jumpa di chapter depan.