Rain

Summary: Hinata hanya tahu bahwa ia dikhianati dan Gaara hanya tahu bahwa ia ditinggalkan.

WARNING:

Children alert!

Anak kecil dilarang masuk!

Lemon, typo, ide pasaran, bahasa kasar, vulgar, membosankan, dan masih banyak kekurangan lainnya

.

.

.

Ch 6 Hard Rain

Happy reading!

.

.

Hinata akhirnya dapat menidurkan Rei. Bocah itu terus memberondongi pertanyaan setelah mengunjungi kakeknya. Tentang kenapa Hinata tidak sedari awal bersama Gaara, kenapa ayahnya baru muncul sekarang, kenapa waktu lalu Hinata menangis dan seperti telah disakiti Gaara, kenapa Gaara yang ia kira jahat ternyata begitu baik pada mereka, kenapa Gaara hidup dengan mewah sedangkan ia dan ibunya hidup sederhana, tentang Rei yang ternyata masih memiliki seorang kakek, apakah Rei juga memiliki kakek atau nenek dari Hinata, serta sederet pertanyaan lainnya. Seolah semua unek-unek yang belum pernah Rei sampaikan dulu tertumpah pada Hinata saat itu juga. Hinata gelagapan, ia bingung untuk menjawab, merangkai kata yang pas agar tak menimbulkan perasaan tak diinginkan untuk anaknya. Ia menjawab sekenanya saja, menghilangkan bagian-bagian tertentu agar Rei mencerna dengan baik bahwa hidupnya selama ini sebenarnya baik-baik saja walau hanya tinggal berdua dengan sang ibu. Mengatakan bahwa mungkin mulai sekarang akan menjadi sedikit berubah tapi itu mengarah pada hal yang lebih baik.

Hinata terus mencekoki Rei dengan hal-hal positif yang bagi Hinata sendiri tak yakin dengan semua itu. Ia ingin putranya bisa tenang dan tak perlu merisaukan apapun. Ia masih terlampau kecil, tak akan paham dengan liku kehidupan orang dewasa. Hinata hanya ingin menjaga masa kecilnya seperti layaknya anak seusia Rei yang lain. Walau itu sudah agak mustahil karena bocah itu telah mengenal sikap protektif dan dingin yang begitu mirip dengan ayahnya ketika mendapati sesuatu yang 'mengancamnya'.

Tapi seluncur pertanyaan mengenai apakah benar mereka akan terus hidup bersama Gaara, menjadikannya benar-benar bungkam. Hinata cukup lama terdiam sebelum tersenyum kecut dan mengangguk saja. Beruntung sesi 'interogasi' dari Rei segera berakhir setelah bocah itu terbaring di ranjang king size Gaara dan terlelap dengan nyaman.

Hinata sakit kepala. Ia terlalu banyak pikiran tanpa menemukan satu pun titik terang. Hatinya semakin gelisah dan tak tenang. Memilih menyendiri di balkon kamar untuk menjernihkan gumpalan awan di kepala dan hatinya.

Malam ini mendung tanpa sinar bulan, membuatnya bisa merasakan suasana suram yang sedikit menenangkan. Mengalihkan mata dari ketertundukan melihat taman di bawah menuju ke arah langit yang temaram. Hinata memejamkan mata menikmati semilir angin malam yang menerpa. Sedikit rintik, tapi ia tak peduli.

"Sedang apa?" Hinata tersentak mendapati tubuhnya tiba-tiba terselubung dalam hangat tubuh besar seseorang.

"G-gaara..." mendadak ia menjadi gugup.

"...-san?" menahan napas ketika kepala bersurai maroon itu menggusak lehernya untuk menemukan kenyamanan.

"-san? Padahal kau sempat memanggil namaku dengan akrab malam itu," melepas pelukannya untuk membalik tubuh Hinata agar menghadap ke arahnya.

"Kenapa?" Hinata dapat dengan jelas melihat siratan luka itu. Ia mencoba menghindari jade Gaara dengan menundukkan kepala.

"A-aku-"

"Kau masih belum percaya padaku?"

Hinata mendongakkan kepalanya kembali.

"Bu-bukan se-"

"Kau masih marah denganku?"

"T-tidak-" menggeleng lemah untuk menyangkal.

"Kau masih membenciku?"

"Buk-"

"Lalu kenapa?" Hinata juga menatap sakit sorot jade yang terluka itu.

"Kenapa Hinata? Kena-" ia mulai kesal.

"Beri aku waktu!" Matanya mulai berkaca.

"Beri aku waktu, Gaara..."

Gaara menatap Hinata tak percaya.

"Setelah semua yang kulakukan, kau masih meragukanku?"

"Tidak, b-bukan sep-"

"Lalu kenapa?" Nada Gaara sedikit meninggi.

"Kau masih ragu padaku. Kau terlihat tidak yakin denganku. Kenapa Hinata?!"

"G-gaara..."

"Apa yang harus kulakukan agar kau bisa kembali padaku seperti dulu?" Hinata tercekat. Seakan Gaara telah menekan suatu tombol yang salah. Justru memori waktu lampau adalah hal yang benar-benar ingin ia hindari dan lupakan. Itu adalah waktu yang selalu mengingatkannya akan rasa sakit yang selama ini ia alami. Sebisa mungkin Hinata ingin menata ulang, memulai dari awal, dan melupakan segala yang telah lalu.

"Kau bilang akan melakukan apapun bukan?" Hinata merujuk pada racauan Gaara yang menunjukkan penyesalan dan permohonannya malam itu.

"Asal kau mau bersamaku. Ya," Gaara mengiyakan. Melingkarkan tangannya pada pinggang wanita itu dengan posesif.

"Lalu berikan aku waktu dulu. Aku butuh waktu untuk berpikir,"

"Sampai kapan?" Gaara menahan dagu Hinata agar tak menghindari tatapannya.

Hinata terdiam.

"I-itu-"

"Kau tidak tahu." Gaara kecewa.

"Kau hanya ingin menghindariku lagi, Hinata,"

"T-tidak-"

"Lalu kenapa?"

"Beri aku waktu, G-gaara," Hinata mencoba menjauhkan tubuh pria itu, tapi secepat kilat Gaara segera merapatkan tubuh mereka kembali.

"Untuk apa?"

"Gaara k-kumoh-" menahan tubuh keras Gaara yang menekan kuat tubuhnya.

"Jangan lagi, Hinata,"

"A-aku butuh wak-"

"Jangan pergi lagi,"

"Demi Kami-sama, beri aku waktu untuk berbicara, Gaara!" Hinata mendorong dada Gaara yang hanya menimbulkan suatu tegangan karena mereka sama-sama keras kepala mempertahankan kemauan masing-masing. Hinata yang ingin menjauh dan Gaara yang tak mau melepasnya.

Mendengar seruan Hinata, Gaara hanya memejamkan mata dengan wajah kaku. Menghirup napas dalam untuk mengontrol perasaannya agar tak kembali meledak menghadapi Hinata.

"Kenapa?-"

"Kau memutuskan semuanya sendiri! Kau tak meminta pendapatku, kau tak menanyakannya, kau bertindak sesukamu! Kau sama sekali tak memberi wak-hh!" Hinata tercekat. Dengan cepat Gaara merengkuh –mencengkeram- sebelah wajah Hinata dengan satu tangannya. Merunduk untuk menekankan hidungnya di pipi Hinata dengan kepala gemetar menahan emosi.

"Hinata..." desahan berbahaya itu mau tak mau membuat Hinata harus menelan kembali semua protes yang ingin ia layangkan. Rei berada bersekat dengan jendela besar yang terbuka disana, ia tak mau putranya itu terbangun karena ledakan pertengkarannya dengan Gaara.

"...Kau yang meragukanku, kau yang terlihat tak bisa menerimaku, kau masih berusaha menghindariku,"

"A-aku hanya butuh waktu..." Hinata ikut memejamkan mata untuk menahan gejolak emosinya. Meski beberapa bulir air mata kembali meluncur dari mata cantiknya. Gaara masih menekan pinggang dan wajahnya agar menempel kuat padanya. Ia hanya bisa mencengkeramkan tangan pada dada bidang itu sebagai pembatas untuk mempertahankan perlindungan dirinya.

"Kenapa?" Gaara masih bersikukuh mengorek segala hal yang membuat suatu ganjalan dalam hubungan mereka. Mengecup pelan bibir basah Hinata yang gemetar.

"I-ini tidak bisa diputuskan secara tiba-tiba. A-aku butuh waktu," Hinata terlihat frustasi tapi Gaara juga merasa frustasi. Banyak hal yang ingin ia bahas dengan Hinata. Tentang masa lalu, awal bagaimana mereka bisa bersama, apa yang menyebabkan mereka hancur, dan meluruskan untuk bisa memperbaiki hubungan. Tapi mengingat Hinata yang kesakitan saat murka padanya waktu lalu, membuat Gaara urung membahasnya untuk menjaga perasaan wanita itu. Gaara hanya tak paham bahwa Hinata gelisah bukan karena hal itu saja. Bayang-bayang menakutkan yang melekat hingga membuatnya trauma akibat perbuatan Gaara begitu membekas dan sulit dihilangkan. Hinata butuh waktu untuk menenangkan hati, ia tidak bisa serta merta menerima lagi pria itu walau semua yang mereka lakukan dan sangka sampai detik ini adalah karena sebuah kesalahpahaman.

"Aku bisa memberimu waktu, tapi Rei juga membutuhkan kita," Gaara mencoba menjelaskan perihal putra mereka yang membutuhkan banyak dukungan peranan orang tua di masa pertumbuhannya. Itu fakta, bukan hanya sekedar alasan Gaara untuk bisa segera memiliki Hinata.

"R-rei-kun..."

"Aku ingin segera mengikatmu untuk merawat Rei. Kita juga masih memiliki kesempatan untuk membuat Tou-san sadar dari koma agar bisa melihatmu dan Rei," Hinata jadi teringat ayahnya. Bagaimana keadaan Tou-sannya itu sekarang?

"Gaara, t-tap- eulmmh..." Gaara melumat bibirnya tiba-tiba.

"Kau memang bisa melakukan apapun, tapi pikirkan juga tentang Rei," tanpa disuruh pun Hinata selalu memikirkan dampak yang terjadi di setiap perbuatannya selama ini kepada Rei.

"A-aku selalu memikirkannya,"

"Jadi terima laramanku,"

"Tidak... k-kumohon beri aku wakt-emmh!" perbuatan Gaara semakin intens padanya. Mengecup leher sensitifnya sembari menyusupkan salah satu tangan ke dalam baju yang Hinata pakai untuk merasakan kelembutan kulit wanita itu. Menekan salah satu payudaranya pelan. Hinata mengerang. Ia tidak tahan.

"Pikirkan perasaanku!"

Berusaha menyingkir tapi Gaara lebih sigap untuk membuatnya kembali terjerat.

"Lalu bagaimana dengan perasaanku?"

"..."

"Kau tidak mengerti," Justru Gaara disini yang tidak mengerti. Hinata butuh waktu. Ia butuh waktu untuk menerima semuanya. Ia butuh waktu untuk menghilangkan luka yang kembali muncul ketika bertemua Gaara. Ia butuh waktu untuk terbiasa.

"G-gaah... j-janganh...emmh..." kembali mendapat ciuman dengan lidah Gaara yang mengajak bermain lidahnya.

"Rei membutuhkan kita," ucapnya sebelum menyambar bibir Hinata kembali.

"Eungh..." Hinata kehabisan napas. Ia ingin melenguh tapi harus ia tahan sekerasnya. Tak mau suara anehnya menggugah putra kecilnya yang terlelap tak jauh disana.

"Aku menginginkanmu,"

Hinata terkejut. Sebisa mungkin ingin lepas dari belitan Gaara dan bibir yang seakan menyesap kuat bibirnya.

"Mmmh... uahhh... Gaarahh..." Hinata berhasil membatasi akses bibir pria itu dengan telapak tangannya. Ia masih terengah-engah.

"J-janganh... a-ada Rei-kun..." mengisyaratkan bahwa tidur putra mereka bisa terganggu dengan suara mereka yang tak senonoh.

Gaara menyingkirkan telapak tangan itu dan beralih menghirup leher Hinata.

"Hn..." dengan cepat mengangkat tubuh mungil wanitanya dan menutup pintu balkon sekenanya. Secara hati-hati membuka pintu closet dan menguncinya dari dalam. Lampu sensor yang mendeteksi keberadaan dua manusia itu pun seketika menyala. Memperlihatkan ruangan sedang yang dipenuhi oleh pakaian, sepatu, jam tangan, dasi, dan koleksi mahal lainnya milik Gaara.

"Gaara hentikan..." Hinata masih berusaha menahan tubuh Gaara yang kini menindihnya di sebuah sofa. Masih mencumbui beberapa bagian tubuhnya.

"J-jangan lakukan ini-"

Sebenarnya Gaara masih ingin banyak berbincang, berdiskusi, dan berencana bersamanya. Tentang masa lalu dan meluruskannya. Tentang awal kehamilan Hinata, apa ia merasa kesakitan dan kesusahan saat mengandung, apa yang ia idamkan, bagaimana ia mendapatkan sesuatu yang ia idamkan, bagaimana rasa tendangan pertama Rei saat masih di dalam, lalu bagaimana keadannya saat melahirkan, apa semua lancar atau menyakitinya, saat lahir apakah Rei adalah bayi yang rewel atau tenang, bagaimana suara tangis pertamanya, bagaimana tumbuh kembangnya, bagaimana masa kecil Rei yang dilalui tanpa dirinya, apakah mereka menderita, apakah mereka sengsara, apa yang Rei sukai dan benci, dan masih banyak lagi. Sebagian besar mengenai Rei dan Gaara ingin membahasnya. Sudah terlalu banyak tahun yang berlalu dan telah ia lewatkan begitu saja. Ia ingin menebus waktu dan membahagiakan putranya. Mendiskusikan rencana hidup bersama yang indah dengan putranya dan Hinata. Tapi wanita itu masih menutup pintu tak mengijinkannya masuk untuk melakukan semuanya.

"Hinata," Gaara menahan kepala wanita itu agar menatap ke arah matanya saja.

"Jangan... k-kumohon jangan lebih dari i-ini," Hinata menatap dengan wajah memelas penuh genangan air mata.

"Aku akan pelan,"

"T-tidak-"

"Hinata..." Gaara menyingkap rok Hinata dan menelusupkan tangannya pada bagian yang ingin ia persiapkan.

"G-gaara..." Hinata benar-benar ketakutan. Pria itu tidak terlihat akan menyurutkan niat untuk menyentuhnya lebih jauh. Ia juga tak paham bahwa rasa rindu teramat sangat dan keinginan besar Gaara untuk memilikinya begitu membuncah. Gaara sudah menahan dalam waktu yang lama dengan gejolak perasaan yang bisa ia lampiaskan pada hal apapun. Hal apapun yang kebanyakan berujung menyakitinya. Tumpukan pekerjaan, alkohol, insomnia, dan masih banyak lagi. Gaara juga frustasi karena semua hal rumit yang terjadi di masa lalu, ditambah sikap Hinata yang terlihat masih meragukannya. Gaara serasa ingin gila karena menginginkan Hinata. Ia ingin segera memiliki wanita itu untuk mengobati hatinya, menebus semua kesalahannya, dan membahagiakan Hinata juga putranya. Ia tak peduli Hinata akan melakukan apapun padanya setelahnya, asalkan wanita itu sudah pasti menjadi miliknya, berada di sisinya. Gaara tak peduli Hinata akan mencoba membalas dendam, menyakiti, mengabaikan, atau apapun, asal Hinata dan Rei selalu berada dalam jangkaunya.

"Ahnn..." Hinata mendesah panjang saat salah satu jari Gaara menelusup di bawah sana. Lenguhan yang ia tahan dengan keras begitu mudah keluar karena tubuhnya yang sensitif, membuat Gaara harus membungkam lenguhan itu dengan bibirnya.

"Gaarahh... please stopph..." Hinata masih mencoba menolak. Tapi dengan cepat pria itu menahan tangannya dan terus mencumbui area wajah juga lehernya.

"Kau mulai basah," menambahkan satu jari lagi dengan ibu jari yang memainkan klitorisnya.

"Kyahh! T-tidak, ki-kita harus berhentihh..." Hinata mulai menjerit.

Wanita itu tak paham, bahwa Gaara juga merasa sakit saat kepergiannya. Dan ketika kembali bertemu, ia semakin terluka karena Hinata menolaknya. Ia tak terima Hinata membencinya. Tapi setelah tahu semua, Gaara hanya ingin memiliki Hinata seutuhnya. Ia ingin menebus dosa dan membahagiakannya. Ia memang egois. Tapi ego dan hasrat seorang pria memang tidak bisa disamakan dengan seorang wanita yang lebih mengandalkan perasaan dan hati. Hinata belum siap menerima Gaara, dan Gaara sudah dalam batas untuk menahan semua gejolak keinginan memilikinya.

Mereka bersama karena sebuah hal tercela yang tak terduga malah membawa pada sebuah ikatan perasaan yang membahagiakan. Tapi ikatan itu tiba-tiba terputus begitu saja karena sebuah benang kusut bernama kesalahpahaman yang membuat mereka terpisah selama bertahun-tahun lamanya. Dan ketika benang kusut itu mulai terurai, masih terdapat beberapa simpul terbelit yang tidak bisa diuraikan begitu saja dengan mudah. Membuat Gaara dan Hinata berada dalam dua persepsi berbeda agar bisa menguraikan benang itu menjadi lurus dan baik kembali. Mereka menjadi saling tidak memahami. Mereka tidak paham akan perasaan masing-masing terhadap satu sama lain. Sebagai pria Gaara memiliki kesabaran terbatas untuk ego dan keinginannya, sedangkan sebagai wanita Hinata memiliki kegundahan tertentu hingga perlu waktu untuk bisa menyiapkan diri, menerima pria itu kembali. Keduanya sama-sama ingin menuntaskan benang kusut itu dengan cara yang menurut mereka terbaik untuk diri masing-masing. Membawa ketidakpahaman untuk bersikukuh menyelesaikannya tanpa menilik dari sisi yang lain.

"Aku menginginkanmu..." gumam Gaara. Ia mengeluarkan tangannya yang menelusup di selangkangan Hinata dan menghirup aromanya dengan nikmat sebelum menjilatinya.

"Hh...hh..." wanita itu merasakan ada sesuatu yang kosong setelahnya. Menatap sayu Gaara yang membuat pria itu semakin terbangkitkan.

"Hinata..."

Keadaan Hinata cukup berantakan. Ia terengah dengan wajah memerah yang masih berusaha menahan segala suara desahnya. Roknya tersingkap, baju atas yang ia kenakan terbuka memperlihatkan salah satu sembulan dadanya yang besar dengan bra hitam yang terangkat ke atas. Sedikit basah karena menjadi bulan-bulanan Gaara.

"G-gaara, ti-tidak... kumohon..." Hinata menggelang. Genangan air mata memenuhi amnethystnya. Dalam keadaan tubuh yang telah panas, ia mencoba beringsut menyingkir. Namun Gaara yang sudah memelorotkan bawahannya sudah bersiap untuk memasukinya. Menyingkirkan celana dalam Hinata begitu saja, lalu mengarahkan kejantanannya dengan tetap menahan tangan Hinata ke atas dan pinggang yang tetap menjaga kaki Hinata agar terbuka.

"Kyaa—mmph!" Gaara meredam pekikan itu secepatnya, melepaskan pegangannya pada tangan Hinata agar wanita itu bisa mencari pelampiasan pada penetrasi yang mereka lakukan. Dengan perlahan Gaara mencoba terus mendorong, sedikit lebih mudah dari sebelumnya karena Hinata yang telah ia persiapkan.

"Ggngrrrhh..." geraman nikmatnya terdengar. Sebisa mungkin ia berbuat lembut agar Hinata dapat menikmati, selain juga untuk meminimalisir suara 'aneh' mereka.

Hinata mencengkeram pundak Gaara yang masih terbalut kemeja utuh. Dengan memberinya sedikit dorongan karena ia belum rela untuk melakukan hal ini dengannya.

"Kau hh... sangat cantik," puji Gaara melihat kernyitan wajah ayu nan menggoda di bawahnya.

"G-gaahh ahh-" Hinata menggeleng untuk menyingkirkan rangsangan hangat dan nyeri di bagian bawah. Gaara mendiamkannya sejenak lalu mulai bergerak pelan ketika Hinata mulai lebih tenang.

"Aahhn~" satu desahan panjang lolos begitu saja ketika mereka mulai bergoyang. Hinata mati-matian tak mau bersuara dengan menenggelamkan wajah di leher Gaara. Ia masih merengek agar pria itu menghentikan semuanya. Matanya menangis karena perasaan nikmat dan tak rela. Tapi napas berat Gaara yang tengah menyetubuhinya tak mengijinkan itu semua.

Gaara mengangkat tubuh Hinata dan beralih mendudukkan dirinya karena posisi kurang nyaman pada sofa yang tak terlalu besar itu, membuat tangan Hinata otomatis melingkari lehernya untuk berpegangan. Menyandarkan punggung ke belakang dengan Hinata yang otomatis mendekap tubuhnya karena lemas. Membuat kaki Hinata mengangkang lebar di kiri-kanan pinggang Gaara.

Gaara merasa gerah. Ia sedikit menarik tubuh Hinata agar bisa membuka kancing kemejanya sedikit kasar dan terburu-buru, memperlihatkan tubuh berototnya yang keras. Hingga kilat jadenya tak sengaja melihat seonggok tas besar dengan isi yang masih utuh seperti tadi petang.

"Kenapa kau belum menata barangmu?" sedikit keras Gaara menubrukkan kembali tubuh Hinata hingga kejantanannya yang masih tertancap itu membuat mata Hinata terbeliak. Ini adalah posisi yang belum pernah ia rasakan dan seakan membuat otaknya kosong karena berada di atas Gaara.

"Hmmh..." Hinata hanya bisa menggeleng lemah karena tak tahan dengan sensasi benda besar yang bersarang di tubuhnya walau Gaara tak bergerak sama sekali.

"Begitukah? Kau memang berniat lari dariku. Kau sudah bersiap pergi sewaktu-waktu." Gaara mulai menaikturunkan tubuh Hinata yang bergetar dengan kemaluan yang semakin basah disana.

"T-tidakk... aahh... ah!" Hinata yang semula mengalungkan kedua tangannya di leher Gaara, beralih membungkam mulut untuk meredakan suara. Gaara bergerak pelan, tapi setiap ia memasukinya benda itu terasa menusuk dalam, apalagi dalam posisi seperti ini.

"Lalu kenapa?" tanya Gaara datar sembari menahan hasrat untuk bergerak brutal di dalam Hinata.

"A-aku ahahn! T-tidak...hh... aku hanya lelah aahh..." kocokan itu lebih cepat dan semakin membuat Hinata tak tahan untuk mendesah.

"Aku tidak percayahh..." Gaara menggeram nikmat di telinga wanitanya.

"B-berhentihh, kumohonnhh..." Hinata terus merengek di sela perjuangan kerasnya menahan desahan yang keluar.

Gaara pun menghentikan kocokannya dan melemahkan pegangan tangannya pada pinggang Hinata. Secara refleks wanita itu segera menaikkan pantatnya namun tangan Gaara di pinggangnya kembali menahan saat penisnya benar-benar akan dikeluarkan.

"Ga-" tak mengizinkan Hinata memprotes, pria itu mencium ganas Hinata untuk melampiaskan semua rasa frustasi karena tidak bisa menyetubuhinya dengan bebas. Membuat Hinata semakin lemas seolah tak mampu menopang tubuh di kedua lututnya hingga membuat ia sedikit turun. Tapi merasakan benda Gaara yang kembali melesak ke dalam, memberinya sedikit rasa nyeri, membuat Hinata mempertahankan posisinya saat ini walau dengan lutut yang bergetar.

"Hinatahh..." sedikit tarikan kuat Gaara menarik kembali pinggang Hinata ke bawah untuk menenggelamkan kemaluan besarnya.

"Kyyah-!" yang langsung membuat Hinata terpekik dan secepat kilat Gaara meredamnya lagi dalam ciuman panas. Tubuhnya sedikit mengejan, bergetar tanda bahwa ia mengeluarkan orgasme pertamanya yang membuat Gaara bangga.

"Kau sudah keluar, hm?"

"Hmmhh... engmmhh..." air mata nikmat dan frustasinya terus keluar. Hinata benar-benar lemas. Ia seakan tidak sanggup lagi. Untung saja lenguhannya dapat diredam oleh bibir Gaara.

Pria itu mengalihkan tangannya ke dua bongkah bokong Hinata dan meremasnya gemas. Mencengkeramkan kedua tangannya pada benda itu untuk menahan Hinata yang selalu ingin pergi darinya. Membiarkan sejenak Hinata menikmati pelepasannya.

"Bergeraklah... kau pasti frustasi jika hanya seperti ini," geram Gaara. Ia melihat wajah sayu yang memerah hebat itu merasakan rasa tertahan yang hanya bisa terungkapkan dengan desahan kecil dan gusakan wajah frustasi di lehernya.

"Ie-ehhh... ieeh... hhh..." Gaara menahan bokong Hinata, tapi ia tak menggerakkan tubuhnya. Hinata hanya bisa bergerak gelisah tapi ia juga ingin mengakhiri seks ini sekarang. Ia tak tahan. Rasanya begitu frustasi. Ia frustasi untuk memilih bergerak menuntaskan nafsu yang telah bangkit atau mengakhirinya dan menimbulkan suatu perasaan kosong di tubuh. Namun cengkeraman Gaara tak membiarkannya untuk memilih opsi kedua. Jika melakukan opsi pertama, Hinata tak yakin akan sanggup. Ia takut menggila dengan semua rasa nikmat ini dan lepas kontrol. Ia juga tak mau, sangat tidak mau. Ia belum rela. Tapi kediaman yang berlarut-larut ini membuatnya tak tahan ingin segera menuntaskan dan mengakhiri semuanya.

Sambil menggigit bibirnya, Hinata pun mulai menggerakkan tubuhnya dengan pelan. Bergerak naik turun dengan desahan keluar setiap ia menurunkan tubuh dan kejantanan Gaara yang menusuk dalam.

"Akhirnyaa..." Gaara yang juga frustasi sedikit merasa lega. Mencium dan menjilati leher jenjang wanita yang selalu membuatnya gila.

"A-ah...aahh..." Hinata terus menggigit bibir menahan desahannya.

"L-lebih tinggi, Hinata... Lebih keras," Gaara menaikkan pinggul Hinata karena pergerakannya terlalu pendek-pendek, lalu menurunkannya sedikit kasar yang membuat desahan wanita itu lebih kencang.

"Ahhh~~!"

Gaara menggerakkan pinggang Hinata beberapa kali untuk membimbingnya.

"Ssshh... gadis pintar," dan ketika dirasa Hinata mampu melakukannya, sepenuhnya Gaara menyerahkannya pada wanita itu walau terkadang ia juga menekan pinggang Hinata karena merasa terlalu gemas karena pergerakannya.

"Ahhn... ah... ah..." Hinata terus mendesah nikmat. Otaknya sudah kosong dan terlena dengan semua kenikmatan bercinta. Jika desahan itu mulai lolos cukup keras, maka Gaara dengan sigap akan membungkam bibirnya dalam ciuman basah yang panas.

"Eulmmhhh..." Gaara melingkarkan tangan kirinya di pinggang Hinata untuk mengontrol pergerakan wanita itu, sedang tangan kanannya mulai bergerak untuk menangkup dan meremas penuh payudara besarnya yang menggiurkan. Menyedot dan terkadang menggigit dan memelintir putingnya yang membuat Hinata semakin gila.

"Gaa-aaraahh..."

"Hmmh... sebut namaku Nata..."

"A-akuhh mau sampai hh..." Hinata menggelang kuat dan membungkam mulutnya erat lalu bergerak dengan tempo cukup cepat untuk bisa mencapai pelepasannya. Bergerak dengan menusukkan penis Gaara agar tepat mengenai titik lemahnya agar segera mencapai klimaksnya.

"Hnghh!" Gaara menggeram dan semakin kuat meremas bokong dan payudara Hinata hingga gelombang itu datang.

"Haah... mmnhh~~~" ia menekan cukup kuat penis Gaara di dalam saat gelombang kedua datang. Menengadahkan kepalanya ke atas dengan mata terpejam dan tubuh kaku bergetar. Kepalanya terasa kosong dan tubuhnya terasa sangat ringan. Lalu ia merasa sangat lemas. Hinata menjatuhkan diri di dada pria itu setelahnya untuk mengatur napas dan menikmati sisa orgasmenya.

"Hinata hh..." Gaara menggeram tak tahan. Mengatur sebisa mungkin napasnya agar tak keblablasan saat Hinata masih menikmati pelepasannya.

"Gaara hh..."

Sudah cukup!

Pria itu menjatuhkan tubuh Hinata kembali ke sofa dan menindihnya sedikit kasar. Membungkam erat mulut Hinata, menenggelamkan wajah di ceruk lehernya untuk meredam bibir panasnya, lalu menekan kuat kemaluan mereka untuk memompa cepat penyatuan itu. Menggeram tertahan di leher Hinata dengan pekikan keras wanita itu yang teredam tangan besarnya. Amnethyst Hinata kembali terbeliak menerima hentakan kasar dan cepat dari Gaara. Tubuhnya menggeliat tak tahan. Napasnya tak bisa mengimbangi pergerakan Gaara.

Pria itu menggeram,dengan napas berat, mulai bergerak brutal menghajar Hinata. Hinata mencengkeram kuat pundaknya, tubuh wanita itu mulai mengejan karena merasakan orgasme yang terasa akan sampai kembali. Tubuhnya tertahan kuat oleh Gaara tapi napas dan suaranya tersendat dengan cepat karena gerakan Gaara. Hinata tak kuat lagi. Penis Gaara juga sedikit membesar di dalam dan berkedut sebelum memuntahkan spermanya dengan deras ke dalam.

"Emmm nggg hh~!" Hinata menengadahkan kepala karena kembali mengalami pelepasannya saat sperma panas itu memenuhi rahimnya. Gaara masih sedikit menggerakkan kejantanannya, sebelum ia benar-benar ambruk dengan dua tangan menumpu di sisi kepala Hinata. Menahan tubuhnya agar tak menindih tubuh wanita itu. Memejamkan mata sejenak menikmati sensasi lega yang luar biasa.

Setelah bebas dari bungkaman Gaara, Hinata segera meraup udara banyak-banyak melalui mulut. Memejamkan mata karena rasa lelah yang begitu besar.

"Phaahh... hah... hah... hah..."

"Arigatou," bisik Gaara tepat di telinganya. Disertai kecupan dan jilatan kecil di sekitar wajah juga leher Hinata untuk mengungkapkan rasa puas dan terima kasihnya. Membuat wanita itu mengernyitkan mata di tengah napas payahnya.

"D-di dalam hh hss... k-kau mengeluarkannya di dalam lagi..." engahnya. Ia menangis, tapi tak sampai terisak.

"Daijobuh hh... ada aku disini..." Gaara masih tak mengerti.

"T-tidak..." Hinata juga tidak mengerti.

Setelahnya Gaara tak ingin lebih jauh terbawa suasana hingga mereka bisa membangunkan Rei yang terlelap. Ia segera mencabut penyatuan mereka yang langsung merembeskan cairan putih kental dari sana. Beranjak dari tubuh Hinata, mengambil satu kotak tisu untuk mengelap penisnya sebelum membenahi celana dan kemejanya.

Kondisi Hinata sangat kacau. Pakaian yang masih melekat begitu kusut dan tersingkap dimana-mana. Kakinya yang masih mengangkang terasa sedikit sulit digerakkan karena terlalu banyak mendapat tekanan saat mereka bergerak untuk bercinta. Dengan susah payah Hinata berusaha membenahi pakaian yang bisa ia jangkau dan mengatupkan kakinya secara perlahan, namun tangan Gaara yang kembali menahan pergerakannya membuat ia tak bisa berbuat apa-apa.

Gaara mengelap cairan di vagina Hinata. Ia meneguk ludah melihat lelehan spermanya yang merembes dan membuat nafsunya terasa bangkit tapi sebisa mungkin ia enyahkan. Juga menyeka keringat dan liurnya di beberapa bagian tubuh Hinata. Tak lupa pada pipi basah yang dipenuhi oleh air mata itu. Hinata terlalu kelelahan untuk menolak, hanya bisa mengerang pasrah dan mengatur napas. Setelah cukup bersih, ia membantu membenahi pakaian wanita yang kini begitu terlihat payah dan tak berdaya. Sekali lagi Gaara mati-matian untuk menekan hasratnya. Ia mengangkat tubuh mungil Hinata, membawanya ke atas kasur di samping putra mereka yang tertidur. Begitu mencapai ranjang, Hinata sudah terlelap menuju alam mimpi. Gaara termangu menatap dua orang terkasihnya yang begitu tenang saat ini. Rei terlihat pulas dan menggemaskan, sedangkan Hinata terlihat terlelap dengan pancaran wajah kelelahan yang ketara. Sedikit membuat hati Gaara pahit.

"Oyasumi..." mengecup kening Hinata lalu ikut berbaring di sebelah Rei yang juga ia kecup di bagian pipi sebelum menyusul mereka ke alam mimpi.

.

.

.

.

.

.

.

"Hhh..." Hinata membuka matanya. Ruangan temaram dengan tubuh terasa letih namun terbalut selimut hangat dan kasur lembut yang nyaman membuatnya sadar ini bukan rumah yang biasa ditinggalinya. Tersadarkan akan fakta yang ada sekarang, ia menoleh ke samping untuk mendapati Rei yang kini memeluk manja Gaara dalam tidurnya. Tidak memeluknya seperti biasa karena Hinata sekarang bukan lagi satu-satunya Okaa-san yang ia punya.

Haruskah?

Haruskah Hinata menerima Gaara?

Haruskah sekarang?

Mendapati sikap dan kedekatan dua orang yang terlelap di sampingnya. Bukannya Hinata berniat menolak dan lari, tapi ia benar-benar belum siap. Ia butuh waktu untuk menyiapkan hati. Gaara tak memahaminya. Ia selalu bersikukuh terhadap apa yang ia yakini dan mengabaikan hal yang menurutnya tak terlalu penting. Ia memprioritaskan Rei, tapi ia tak memperhatikan kondisi hati Hinata saat ini. Hinata pun memprioritaskan putranya, tapi menerima langsung ayah biologisnya sekarang, ia belum sanggup. Hinata tak keberatan untuk memberikan waktu bagi Gaara untuk menghabiskan waktu bersama Rei. Ia hanya berharap pria itu tak membawanya pergi. Hinata akan merelakannya untuk sesekali mengunjungi atau bermain bersama putranya, tapi ia ingin Gaara membiarkannya tetap menjalani hidup yang biasa ia lakukan bersama Rei untuk mempersiapkan diri. Hinata tak keberatan Gaara mengklaim putranya. Tapi setidaknya berikan Hinata waktu untuk menyiapkan hati untuk kembali menerimanya.

Hinata mengelus surai maroon gelap yang membelakanginya itu. Seakan mencari ketenangan dengan kontak fisik yang ia lakukan.

"Ohayou," tangannya terhenti karena Gaara meraih tangannya untuk memberinya kecupan ringan. Hinata beralih pada jade sayu yang baru terbuka itu.

"O-ohayou..." balas Hinata. Ia menarik tangannya dengan sedikit kaku. Kilasan kejadian semalam dimana mereka bercinta dengan sangat menggairahkan kembali terulang. Membuat semburat merah di pipi putih Hinata. Gaara begitu lembut dan jantan. Tak dipungkiri Hinata terpesona. Tapi tetap saja, dampak akibat hatinya yang belum siap muncul saat mereka selesai bercinta. Hinata menghindari jade itu lagi dengan semu pipi yang masih bertahan. Hatinya teremat karena kesal juga kepalanya mulai berdenyut nyeri. Setelah semuanya, Gaara masih tega untuk menggagahinya dan menanam benih di rahimnya. Wanita itu menutupi mata dan dahinya dengan satu tangan karena merasakan sakit dan sesak yang tiba-tiba melanda.

"Hinata..." Gaara meraih tangan Hinata yang menutupi sebagian wajahnya itu. Demi bisa menyentuhkan telapaknya pada wajah yang masih menampakkan raut kusut, berharap dengan melakukannya Gaara dapat membuat Hinata percaya dan yakin padanya.

"Lepas..." namun Hinata terus mencoba menghindar.

"Aku minta maaf untuk semalam," aku Gaara.

"Tidak perlu mi-"

"Aku tak bisa menahan batas karena sikapmu yang masih ragu padaku,"

"Sudah kubilang a-aku butuh w-"

"Tidak!" Gaara menyentuhkan jarinya ke bibir Hinata untuk tak membiarkannya bicara.

"Kita akan menikah. Hari ini kau akan memilih gaun pengantinmu." Perkataannya tegas tak terbantahkan. Ia merasa cukup dengan kekeraskepalaan Hinata yang dirasanya tak beralasan.

"G-gaara..." Hinata menyentuh jemari Gaara agar menyingkir dari bibirnya. Menguatkan hati, ia berusaha membujuk pria itu. Mencoba memberikannya pengertian.

"...Tidak semudah itu..." bagi Hinata pernikahan adalah momen dimana seorang perempuan menyerahkan seluruh hidup dan apa yang ia punya untuk mengabdi dan melayani suaminya. Tentu saja hal itu tak bisa ia lakukan begitu saja kepada seorang pria yang pernah menyakiti, memperkosa, hingga menghamilinya di luar nikah saat usianya masih sangat belia. Hinata tak peduli jika itu akibat kesalahpahaman atau hal lainnya, ia belum siap untuk Gaara. Hinata hanya meminta waktu padanya, ia bukan ingin lari atau menolaknya, tapi pria itu telah berubah menjadi keras kepala dan tak mau mendengarkan. Ia bersikeras pada keinginan pribadi tanpa mempertimbangkan pendapat dan perasaan yang Hinata punya.

"Pikirkan tentang Rei..." namun dengan telak juga Gaara selalu mampu menangkis persepsi yang ia bawa.

"... pikirkan tentang Tou-san..." menekannya pada sisi nurani dan kelembutan hati yang selalu menjadi kelemahannya.

"... mereka membutuhkanmu. Mereka membutuhkan kita..." Hinata merasa tak apa jika hanya Gaara yang ia biarkan. Tapi ia tak sanggup jika sudah menyangkut Rei dan orang lain yang dihormatinya. Itu adalah hal yang rasional, meski harus sedikit menggores batin karena keinginannya sendiri tak bisa direpresentasikan secara nyata. Hinata merasa Gaara ada benarnya.

"... Aku membutuhkanmu," Hinata memberanikan diri bersirobok dengan jade yang menatap intens padanya.

"Aku hanya butuh waktu, Gaara..." berbicara dengan hati-hati. Hinata menggenggam tangan besar Gaara. Mereka salah paham untuk waktu yang lama. Hinata memahami akan kesalahan yang sama-sama mereka buat. Mungkin ia sudah tak membencinya. Mungkin ia sudah memaafkannya. Tapi perbuatan keji padanya dulu, benar-benar sulit dilupakan dan menggoreskan luka begitu dalam untuknya. Mungkin Hinata belum bisa sepenuhnya menerima Gaara, mungkin ia belum sepenuhnya memaafkannya, tapi bukan berarti ia akan menolak dan ingin lari lagi darinya. Tidak.

Hinata mengeratkan genggaman tangannya.

"... A-aku butuh membiasakan diri. Menenangkan diri-"

"Untuk apa?" ucap Gaara yang masih tak terima.

Hinata meneguhkan diri. Ia juga sadar Rei membutuhkannya dan Gaara. Ia juga ingin membantu Gaara merawat Tou-sannnya. Hinata juga ingin hidup bersama Gaara. Tapi...

Hinata menghirup napas dalam.

"Lu-luka yang kau torehkan terlalu dalam. Kau memp..." menggigit bibir karena ragu untuk mengatakannya. Ia tak meneruskan kalimat terakhir karena itu adalah kata tabu yang buruk untuk diucapkan, apalagi Rei berada di antara mereka. Takut-takut ia melirikkan mata melihat ekspresi Gaara yang sedikit terkejut.

"... I-itu tak mu-mudah, Gaara. A-aku butuh waktu u-untuk menyiapkan diri..." menguatkan hati. Hinata mendekatkan wajah agar mereka berhadapan dalam jarak intens guna menyalurkan perasaannya agar pria itu tak terlalu menafsirkan perkataannya secara berlebihan.

"... J-jadi kumohon... b-beri aku waktu. A-aku berjanji tidak akan lari, aku hanya b-butuh waktu," ucapnya final. Berharap Gaara mau mengerti.

"Aku bisa memberimu waktu setelah menikah, Hinata," Gaara masih dalam pendiriannya. Justru mendengar alasan Hinata barusan semakin menguatkannya agar tetap menjalani rencana yang ia punya. Gaara tak mau meninggalkan Hinata lagi. Ia merasa semakin tak tenang karena wanita itu masih memiliki luka hati karenanya. Gaara ingin menebus. Setidaknya setelah mereka benar-benar resmi terikat secara hukum dan di hadapan Kami-sama, ia sedikit bisa melegakan hati untuk membiarkan apa yang Hinata inginkan untuk kebaikannya. Hanya itu. Gaara tahu Hinata tak memahami maksudnya, tapi ia akan berusaha keras membuatnya bisa melihat semua maksud baik di balik keputusannya tersebut. Setidaknya Gaara ingin berada di dekat Hinata, membantunya, membuatnya lebih baik, jika tiba-tiba ia membutuhkannya ketika sedang mengambil waktu yang ia maksud. Gaara khawatir akan semua kemungkinan yang bisa terjadi, Hinata yang berubah pikiran, Hinata yang lari, Hinata yang sakit, Hinata yang berkelit, dan sebagainya.

Dan wanita itu masih menatapnya tak percaya.

"Tapi-"

"Demi Rei." ucapnya final. Merujuk pada keputusan bulat yang ia miliki dan Hinata harus menuruti.

Beralih untuk melepaskan genggaman Hinata, juga pelukan Rei padanya secara hati-hati. Menyebabkan bocah itu menggeliat sebentar lalu kembali terlelap. Mungkin kasur yang begitu nyaman ini membuatnya betah memejamkan mata.

Gaara beringsut turun dari ranjang. Membenahi selimut dan mengecup dahi Rei lalu menghampiri Hinata. Merunduk sebentar untuk mencium bibirnya yang terdiam.

"Aku akan keluar sebentar," lalu menghilang dari balik pintu kamar.

Hinata termenung. Terdiam menatap langit-langit kamar yang sunyi. Cukup lama. Hingga ia pun juga beranjak dengan pelan dan membenahi selimut untuk putranya. Berjalan ke dalam closet yang samar masih tercium bau mani yang membuatnya berdesir. Berusaha mengabaikan, ia mengambil ponsel di tasnya yang menunjukkan waktu masih dini hari.

Mencari sebuah kontak nama, sedikit ragu ia memencet tombol untuk menghubunginya. Dengan menggigit bibir, Hinata pun menekan tombol panggil dan menunggu jawaban dari sana.

Tut tut tut...

Tersambung! Tapi ia hampir menyerah karena lama tak mendapat jawaban, hingga sebuah suara serak yang sedikit asing di ujung sana membuatnya gelagapan. Saking gugupnya ia tak sanggup berbicara, sedikit membiarkan orang disana menunggu hingga berkata akan menutup telponnya, yang segera Hinata cegah dengan memanggil namanya.

"H-ha... Ha-hanabi..."

.

.

.

.

.

.

.

.

Hanabi berjalan mondar-mandir di kamarnya dengan gelisah. Ada perasaan yang begitu membuncah di dadanya saat ini. Terkejut, gembira, dan bersemangat. Bahkan rasa mengantuknya langsung sirna saat ia mendapat sebuah suara dari orang yang paling dirindukannya. Onee-sannya!

Dini hari itu ia mendapati ponselnya berdering berisik karena lupa ia silent kembali setelah berkencan dengan Konohamaru. Ia tak mau melewatkan panggilan yang sewaktu-waktu dilakukan Tou-sannya jika ponselnya masih dalam mode getar. Bisa saja hari itu juga ia akan dilarang bertemu Konoharu.

Mendapat panggilan di jam dimana orang sedang lelap-lelapnya tidur tentu mengganggu. Hanabi malas untuk mengangkatnya. Tak terbersit sedikitpun bahwa itu dari kakak tercintanya. Ia begitu mengantuk. Tapi nada dering berisik tersebut mau tak mau membuatnya membuka mata dan meraih kasar benda datar itu. Mendapati nomor tak dikenal tertera di layarnya.

"Moshi-moshi!" ucapnya ketus. Tapi diseberang sana tak terdengar suara apapun.

"Moshi-moshi! Oi! Oi!" Ia memang bukan gadis yang lemah lembut seperti kakaknya.

"Dare?!" Hanabi mulai emosi.

"Akan kututup!" Ia akan menutup panggilan itu ketika sebuah suara gagap yang terdengar seakan membuat matanya membelalak sempurna saat itu juga.

"H-ha... Ha-hanabi..."

Itu kakaknya! Itu kakaknya yang tercinta!

Hanabi langsung terbangun dari kasurnya begitu mengenali suara Hinata. Seakan kegagapan Hinata menular, ia terbata ketika memanggil nama kakaknya.

"N-ne-san...?"

Akhirnya mereka bisa kembali mendengar suara masing-masing setelah tujuh tahun lamanya. Bertanya kabar, keadaan, hingga tak sampai menahan gejolak haru hingga menangis senang. Hanabi terkejut kakaknya akhirnya menghubungi setelah sekian lama. Ia begitu tak percaya semua ini terjadi setelah tujuh tahu, ia menanti, tidak pernah mengganti kontak ponselnya, juga harapan dan doa yang tiap hari ia gumamkan.

Hinata baik-baik saja. Ia melahirkan seorang putra yang sehat dan tampan bernama Rei. Bocah pintar yang menjadi penguat batin dan sumber kebahagiaan kakaknya saat ini. Ia menelpon Hanabi karena ingin meminta izin untuk mengunjungi kediaman Hyuuga yang langung disambut antusias Hanabi agar Nee-sannya itu segara datang bersama Rei. Ia begitu bersemangat dan penasaran melihat keponakannya. Menjelaskan panjang lebar bahwa Hinata masihlah dianggap sebagai bagian keluarga Hyuuga. Nee-sannya itu tak perlu risau atau meminta izin hanya untuk berkunjung. Bahkan jika mau, pintu rumah selalu terbuka dengan Hanabi dan Tou-san mereka yang akan merenangkan tangan menerima Hinata dan Rei pulang kapan saja. Hanabi juga menceritakan betapa ia dan Hiashi merindukan Hinata. Betapa ayahnya itu sering terpuruk dnegan kesehatan buruk karena terus kepikiran akan dirinya. Membuat Hinata di ujung sana semakin terisak tak kuat menahan perasaannya mendengar semua itu. Merasa sangat bersalah dan berjanji akan segera menemui mereka di Konoha.

Dan disinilah Hanabi. Berjalan mondar-mandir dengan senyum lebar dan pipi basah karena masih menangis. Raut wajah sumringah dan semangat. Bermacam ekspresi bercampur aduk di wajahnya. Ia tak sabar. Hatinya membuncah. Nee-sannya akan pulang besok pagi.

Tidak.

Nee-sannya akan pulang hari ini. Ya, tepat hari ini. Pagi ini. Tepat beberapa jam lagi. Ia mengatakan sedang ada di Suna dan akan bersiap berangkat setelah mereka selesai menelpon. Jarak Suna dan Konoha mungkin memakan waktu tiga sampai empat jam. Itu sebentar lagi!

Hanabi tak sabar ingin memberi tahu ayahnya. Tapi ini masih belum juga pagi. Ia tak mau menganggu tidur ayahnya yang susah mendapatkan tidur lelapnya. Ia harus bersabar untuk bisa memberikan kabar membahagiakan ini. Berharap semoga ayahnya tidak terkena serangan jantung karena syok oleh kegembiraan yang begitu membuncah. Ah... Hanabi benar-benar tak sabar!

"Lama... kenapa waktu terasa lama sekali?" waktu itu juga ia tidak bisa tidur kembali.

Di sisi lain Hinata mencoba membangunkan Rei sambil memakaikan mantel padanya.

"Rei-kun... Rei-kun..."

"Hm..? Enghh..." bocah itu mengerang tak suka karena tidur nyenyaknya terganggu.

"Rei-kun, bangun... Ikut Kaa-san sekarang, ne..."

"Hngghh... Kaa-san..." Terpaksa Hinata beralih menggendong bocah itu setelah selesai memasang sepatu dan kaos kaki.

Berjalan keluar mengendap dari kamar, Hinata dengan hati-hati mulai menuruni tangga megah di hadapannya untuk mencapai pintu keluar. Untung saja keadaan sangat lenggang, sehingga dengan mudah ia membuka pintu samping yang berada di dapur karena khawatir jika melewati pintu depan resiko untuk terlihat seseorang lebih besar. Hinata mengawasi sejenak keadaan luar yang juga sangat sepi. Melewati halaman luas dengan sedikit waspada, ia hampir mencapai pos penjaga depan ketika sebuah suara tegas menginterupsi langkahnya.

"Hei! Siapa disana?!" Rei tersentak bangun, ia bingung dengan kondisi dingin yang kini dirasakan juga suara galak seorang pria yang seperti membentak itu. Hinata juga ketakutan, tapi sebisa mungkin ia harus bisa menenangkan diri.

"Siapa kau?! Apa yang kau lakukan disini?!" saat mendekat wajah sangar pria itu jelas terlihat.

"S-sumimasen... sa-saya adalah tamu dari S-sabaku-san. Ma-maaf jika m-mengganggu, tapi saya h-hendak kembali p-pulang saat ini," Hinata tak bisa mengontrol suara gagapnya karena sangat gugup. Rei yang baru bangun berusaha keras menghilangkan kantuknya dan mulai beringsut untuk turun tapi tangan erat Hinata mencegahnya.

"Rei-kun tenanglah... daijobu..." bisiknya.

"Tamu?" pria itu merasa aneh. Tuannya tak memberitahukan perihal apapun mengenai keberadaan tamu. Tapi melihat penampilan wanita yang nampak lemah dan menggendong seorang anak itu begitu tak biasa. Penampilannya kelewat sederhana bila dibandingkan tampilan para tamu Sabaku yang selalu terlihat mewah dan elegan. Apalagi kemunculannya di waktu dini hari seperti ini, semakin membuatnya curiga. Apa mereka penyusup?

"Y-ya... kami b-bersama S-sabaku-san sore tadi," penjaga itu melewatkan warna rambut yang ada pada Rei karena Hinata menutupinya dengan topi rajut, juga sebagian wajahnya yang sengaja ia balut dengan syal agar. Tak mau putranya terserang flu atau masuk angin karena dibawa secara tiba-tiba di waktu seperti ini. Membuatnya tidak bisa berasumsi sama seperti para maid di rumah mengenai Rei saat sore lalu. Ia semakin curiga.

"Ikut aku sebentar!"

"E-eh?" Tubuh Hinata sedikit mendapat dorongan kasar dari pria itu agar mau berjalan menuju pos jaga. Membuat Rei yang masih berada dalam gendongan berteriak tak suka.

"Hei! Apa yang kau lakukan?! Jangan kasar pada Kaa-sanku!"

"Hm?" penjaga itu mendelik tak suka pada jade yang menatap galak padanya. Sedikit berdesir karena tatapan itu terasa familiar dalam benaknya.

"Akan kuadukan pada Tou-san jika kau kasar pada Kaa-sanku!"

"Ha?!" ia mengalunkan nada tak percaya mendengar bocah yang terdengar seperti menantangnya itu.

"Tou-san pasti akan menghukummu nanti! Tou-san akan-"

"R-rei-kun..." Hinata langsung membungkam Rei agar hal yang tak perlu untuk dikatakan keluar dari bibirnya. Ia tak mau rencananya sampai gagal.

"Bicara apa kau bocah? Ada-ada saja!" penjaga itu mendecih kesal.

"Ada apa Baki?" begitu sampai di pos penjaga, pria bernama Baki itu kembali mendorong kasar Hinata ke depan. Rei menggeram marah tapi sekali lagi Hinata menenangkannya dan menyuruhnya untuk diam saja apapun yang terjadi, meyakinkan bahwa mereka akan baik-baik saja. Meski dalam hati Hinata terus merapalkan doa agar ia tak ketahuan. Lututnya sedikit gemetar dan hanya bisa mengeratkan gendongannya pada Rei yang terasa sedikit menggigil kedinginan. Mata tajam bocah itu terus mengawasi dua pria menakutkan itu untuk berjaga-jaga.

"Wanita ini terlihat mencurigakan. Ia berjalan mengendap-endap di dekat halaman samping dan mengatakan bahwa ia adalah tamu Sabaku-sama,"

"Hm, begitu..." pria yang berjaga di pos itu memiliki luka baretan yang cukup panjang di wajah. Ia menilik penampilan Hinata beberapa saat sebelum berucap.

"Dia memang tamu Sabaku-sama. Tuan muda bersama mereka petang tadi,"

"Apa?" Baki merasa terkejut. Tak menyangka wanita biasa yang tak biasa terlihat di mansion Sabaku ini benar-benar tamu majikannya.

"Kau tidak salah, Ibiki?"

"Tidak. Aku melihat mereka secara langsung tadi," jawab Ibiki tenang, melirikkan mata pada wanita yang tengah menyembunyikan kegugupannya dengan seorang bocah yang terbebat atribut penghalau dingin yang menyembunyikan rupa fisiknya.

"Kaa-san... biarkan aku turun," Rei mencoba membujuk sang ibu karena ia tak tega Hinata terus menggendongnya dari tadi. Lengan ibunya yang mungil itu pasti sudah pegal karena terus membawa tubuh beratnya ini.

"Tidak Rei-kun, kamu harus ten-"

"Daijobu! Aku berat, Kaa-san akan kelelahan kalau terus menggendongku!" Hinata gelagapan karena belotan tubuh Rei yang kuat hingga mau tak mau membuatnya menurunkan bocah itu.

"Mou, Rei-kun..."

Belotan si bocah saat ingin turun dari gendongan sang ibu membuat topi dan syalnya sedikit tersingkap memperlihatkan warna rambut yang begitu dikenali Ibiki. Penglihatannya tidak salah petang tadi. Tuan mudanya membawa seorang wanita dan seorang bocah yang begitu mirip dengannya. Walau kaca mobil membuatnya samar, tapi mata tajam Ibiki yakin ia tak salah lihat. Bahkan sekelebat memori yang sudah sangat lama terjadi mengingatkannya akan gadis muda yang sempat dibawa tuan mudanya berkunjung kemari sebelum mereka menghabiskan liburan ke Ame. Itu adalah gadis yang begitu mirip dengan wanita di hadapannya ini.

"Tch! Walau begitu kita harus menahannya dulu dan melapor-"

"Baki. Serahkan saja mereka padaku,"

"Kau tidak berniat akan membiarkan mereka, bukan?"

"Tenang saja,"

"Jangan bercanda, Ibiki! Karir kita dipertaruhkan disini! Kau tidak bisa main-main dalam pekerjaanmu! Keamanan keluarga Sabaku bergantung pada hal ini!" Baki tak percaya. Ia sudah mengabdi hampir seumur hidupnya di keluarga ini dan bisa dengan tenangnya rekan kerjanya itu tak mematuhi protokol yang telah ada. Mau itu tamu atau pembantu, mereka harus tetap menaati peraturan yang sudah dibuat.

"Percayalah, aku tahu dengan perbuatanku," ini memang keputusan besar yang tidak bisa seenaknya Ibiki lakukan. Tapi ia memiliki keyakinan lain akan hal itu. Entah kenapa perasaannya mengatakan bahwa semua yang terasa suram dalam kehidupan keluarga Sabaku bisa menghilang tergantikan oleh warna baru yang lebih baik jika ia melakukan ini. Walau harus mempertaruhkan hal yang besar, Ibiki benar-benar penasaran akan alur apa yang akan terjadi jika ia melakukannya. Ibiki menggantungkannya, berharap semoga apa yang ia bayangkan benar-benar menjadi nyata.

"Tapi-"

"Aku yang akan bertanggung jawab,"

"Ibiki!" Baki masih merasa tak terima.

"Nona, catat nama, keterangan, dan kontak anda, juga... anak anda disini," Ibiki sedikit ragu menyebutkan sandangan yang tepat dengan bocah bermata jade tajam itu.

'Sama sekali tak mirip ibunya,' batinnya.

Merasa mendapatkan angin persetujuan, Hinata segera maju dengan tangan menyeret Rei ke arah dimana Ibiki menunjukkan sebuah buku di hadapannya. Menuliskan apa yang telah diinstruksikan pria tersebut.

"H-hai'," Hinata meletakkan pulpennya kembali setelah selesai menuliskan semuanya.

"Baiklah, anda boleh pergi,"

"Hoi, Ibiki!"

"A-arigatou gozaimasu!" Hinata membungkuk dalam pada Ibiki untuk mengucapkan terima kasih. Ia juga membungkuk ke arah Baki.

"H-hora, Rei-kun..." Hinata menginstruksikan Rei agar mau ikut membungkukkan badannya. Dengan wajah dongkol ia membungkuk singkat pada mereka.

"Ikut aku," Ibiki membimbing Hinata dan Rei menuju ke arah pintu samping gerbang dimana terdapat pintu yang biasa dilalui oleh para pelayan untuk keluar mansion. Membuka grendel dan kunci, Ibiki pun benar-benar menyilakan Hinata dan anaknya keluar dari mansion.

"Hontou ni, arigatou gozaimasu!" Hinata masih membungkuk dan mengucapkan terima kasih beberapa kali karena merasa takjub bahwa usahanya berjalan lebih lancar dari yang ia duga.

"Ini tidak seberapa, nona. Hati-hati di jalan," Ibiki pun ikut membungkuk ke arah Hinata yang juga ikut membungkuk lagi. Sikap wanita itu membuktikan bahwa ia benar-benar gadis santun yang pernah dibawa tuan mudanya dahulu.

"Hai'," Hinata pun menggandeng Rei berjalan menyusuri jalanan yang masih lenggang dengan hawa dingin menusuk tulang.

Ibiki melihat buku tamu untuk menilik apa yang wanita itu tulis ketika Baki mengeluarkan suaranya kembali.

"Kenapa kau melakukannya?"

'Hyuuga Hinata. Hyuuga Rei.' Ia hanya bisa tersenyum melihat keterangan yang ditulis Hinata.

'Pulang ke rumah.'

"Hoi, Ibiki..."

"Kau tidak lihat anak yang bersamanya tadi, Baki?" tanya Ibiki.

"?" Baki hanya bisa menaikkan satu alisnya tidak mengerti.

"Dia adalah bocah yang begitu mirip dengan Tuan Muda Gaara,"

"Apa?" tak menyangka, terkejut, tentu saja. Itu tidak mungkin bukan?

'Mungkinkah? Tuan muda dan wanita tadi...'

Baki dan Ibiki adalah pengawal sekaligus penjaga di mansion, namun jika shift mereka bersamaan, Ibiki lebih sering berjaga di pos sedangkan Baki dan yang lain akan berpatroli. Kemungkinan melihat langsung dan bertemu orang-orang yang keluar masuk mansion Sabaku lebih besar dialami oleh Ibiki daripada Baki. Tentunya Baki pun paham mengenai persepsi dari ucapan yang tak secara sembarangan dilontarkan Ibiki tersebut.

"Aku memiliki firasat bahwa hawa di mansion ini akan berubah jika aku membiarkan mereka pergi," ucap Ibiki yakin.

Tidak.

Justru jika semua asumsi yang mulai muncul karena ucapan Ibiki tadi itu benar, maka Baki merasakan firasat yang sebaliknya. Perasaannya tak enak. Ia merasakan suatu hal buruk akan menimpa ketika wanita dan bocah tadi telah lenyap dari pandangan mata mereka. Semua belum bisa dipastikan, tapi waktu tidak bisa diputar kembali untuk menarik semuanya. Ibiki memasuki kembali pos dengan wajah tenang, sedangkan Baki disana hanya bisa mematung sejenak karena berbagai skenario tak menyenangkan bermunculan di kepalanya. Meski begitu, ia tak ingin ikut campur. Ia akan membiarkannya saja. Dalam hati hanya bisa berharap semoga kebaikan akan selalu datang pada mantan murid bela diri yang sekaligus menjadi tuan mudanya saat ini.

...

Suna adalah wilayah panas yang dipenuhi gurun juga tempat tandus. Meski begitu, wilayah ini adalah wilayah yang kaya karena sumber daya minyaknya. Mansion Sabaku sendiri terletak di wilayah elit yang jauh dari pemukiman umum. Seluas mata memandang di luar mansion itu adalah kebun kurma dan anggur milik Sabaku, membuat Hinata sedikit mengernyitkan wajah karena hawa dingin yang menusuk juga jarak tempuh yang tak dekat baginya untuk bisa menemukan kendaraan umum di jam seperti ini, apalagi ia membawa Rei bersamanya. Suna dini hari, adalah waktu paling dingin yang bisa membuat tulang pun ikut menggigil.

"Kaa-san..." ia tahu Rei sangat kedinginan. Tapi ia hanya bisa mengeratkan tangan untuk menguatkan mereka berdua. Berharap sebuah bus atau taksi melewati mereka saat ini.

"Rei-kun, sini Kaa-san gendong saja," Rei menggeleng. Ia kekeuh dengan pendiriannya.

"Oh!" Hinata melihat sorot lampu samar dari arah belakang. Saat menoleh ia mendapati sebuah mobil tua yang berjalan menuju ke arah mereka. Hinata mengulurkan tangannya sebagai isyarat untuk meminta berhenti mobil tersebut.

"Ojou-chan," seorang kakek dan nenek yang berada di mobil itu memberhentikan mobil melihat isyarat dari Hinata.

"Sumimasen, Ojii-san, Obaa-san... apakah boleh aku dan putraku menumpang mobil kalian? Hanya sampai ujung kebun saja, a-aku akan membayarnya jika perlu,"

"Kami-sama... apa yang kalian lakukan petang-petang disini sendirian?" si nenek segera keluar dan membuka pintu belakang untuk menyilakan mereka masuk.

"Disini sangat dingin. Apalagi perkebunan ini masih sepi dan gelap, apa kalian ingin diculik hantu berjalan-jalan sendiri, hm? Masuklah! Ini tidak baik untukmu dan anakmu," dengan tegas nenek itu sedikit memaksa Hinata agar bergegas masuk ke dalam mobil.

"A-ah... su-sumimasen... maaf telah merepotkan,"

"Ie, daijobu Ojou-chan," si kakek langsung menjalankan mobil kembali ketika istrinya telah masuk ke kursi di sampingnya. Sepanjang perjalanan mereka terlibat obrolan akrab yang cukup menyenangkan. Diketahui mereka adalah sepasang suami istri yang berada di desa yang tak jauh dari perkebunan Sabaku dan berniat pergi ke kota untuk mengunjungi cucu mereka yang baru lahir disana. Rei yang mudah akrab dan mudah disenangi para orang tua pun langung membuat mereka menyukai bocah itu. Saat hampir mencapai kota, Hinata meminta berhenti disana karena ia ingin menaiki kereta cepat untuk ke Konoha. Menyodorkan sejumlah uang sebagai ucapan terima kasih yang ditolak kakek-nenek baik hati itu begitu saja. Setelah membungkuk dan mengucapkan terima kasih, Hinata pun menggandeng tangan Rei menuju stasiun yang akan membawa mereka ke Konoha. Jam buka masih sekitar empat puluh menit lagi, jadi ia membawa Rei ke sebuah minimarket 24 jam untuk membelikan sesuatu yang hangat untuknya.

"Ne, Okaa-san. Memangnya kita akan pergi kemana?"

Kemana?

Hinata menegarkan hati demi sang putra.

"Kita akan pulang," Ya. Hinata berencana 'menghela napas' terlebih dahulu dari semua hal berbau Gaara. Pria itu sudah mantap dengan semua keputusannya, dan Hinata juga telah menyerah untuk mencoba membujuk atau melakukan seperti yang diingininya. Hinata hanya ingin merilekskan diri, pikirannya begitu penat dan Gaara sama sekali tak mau memberinya 'ruang'.

"Pulang? Kemana? Apa Tou-san tidak ikut?" kembali ke rumah mereka di Kiri akan dengan mudah dijangkau Gaara meski jaraknya begitu jauh dari Suna. Disana ia tidak akan mendapat perlindungan apabila Gaara tiba-tiba datang dan menariknya paksa kembali ke mansionnya untuk menikahinya. Tidak, Hinata bukannya tidak ingin hal itu terjadi atau benar-benar lari darinya. Ia benar-benar hanya butuh waktu, Gaara tak bisa memahaminya. Memberinya waktu setelah mereka menikah sama saja dengan ia yang menekan Hinata dengan semua kewajiban yang ia tinggalkan jika memilih untuk mengambil waktunya.

"Kita akan ke rumah Okaa-san di Konoha. Bertemu Hiashi-jiisan dan Hanabi-basan disana," Jadi Hinata berencana untuk 'menumpang' sejenak di kediaman Hyuuga. Hanya disana ia bisa mendapatkan perlindungan. Sekaligus melihat keadaan ayah dan adiknya. Melepas rindu pada mereka. Apalagi mendengar ocehan Hanabi yang mengatakan bahwa ia dan Hiashi merindukannya, bahwa mereka juga menantikan kedatangan Rei bersamanya, membuat Hinata berdebar semangat tak sabar untuk menemui mereka. Dan jika Hinata merasa hatinya telah siap, ia akan memberi mereka kabar dan meminta restu akan pernikahan yang akan ia lakukan bersama Gaara.

"Hiashi-jiisan? Hanabi-basan?" wajah Rei langsung berbinar mendengar dua nama kerabat yang baru diketahuinya, mengabaikan satu pertanyaan yang tidak dijawab sang ibu karena saking bahagianya.

"Benar sekali. Rei-kun harus bersikap baik nanti ya, perkenalkan diri dengan sopan dan jangan nakal," Hinata tidak melarikan diri. Ia hanya ingin mengambil waktunya sekarang, berharap Gaara akan mengerti dan membiarkannya dengan leluasa.

"Hai'!" bocah 6 tahun itu memperagakan gerakan hormat seorang pelaut untuk meyakinkan sang ibu. Hinata pun terkikik gemas melihatnya.

"Hajimemashite... Hyuuga Rei desu... dengan sopan, lalu membungkuk setelahnya," Hinata mencoba mengingatkan.

"Hyuuga? Tapi Tou-san bilang nama kita Sabaku?" ucap Rei polos. Ia merasa aneh dengan ketidakkonsistenan orang tuanya dalam memberi nama.

"A-ah... etto..." sepertinya Hinata harus segera membelokkan topik agar Gaara tidak kembali mengingatkan putranya. Ia tak menyangkal akan pengakuan Rei terhadap ayah kandungnya, tapi Hinata tak mau ia merasa curiga jika menemukan satu hal ganjil saja dengan kepergian tanpa pamit ini.

"...Rei-kun masih bernama Hyuuga. Kita akan menjadi Sabaku kalau waktunya sudah tiba nanti. Keluarga Okaa-san juga bernama Hyuuga. Jadi Rei-kun harus mengenalkan diri dengan nama Hyuuga, ne... jangan sampai menyebut nama Sabaku, nanti bisa membuat Jii-san dan Ba-san marah," terang Hinata sebisanya.

"Ne... Memangnya kapan Tou-san dan Kaa-san menikah? Bukankah orang tua bisa memiliki anak kalau sudah menikah?" Rei jadi teringat kalau sebuah keluarga pasti akan memiliki marga yang sama. Dan orang tua di sebuah keluarga, pasti juga sudah menikah.

Oh, Rei-kun...

"E-eh? A-aa... etto... hmm..." Hinata menjelaskan pertanyaan terakhir itu dengan tatanan kata buruk dan rentetan panjang yang bahkan ia sendiri tak paham maksudnya. Sebisa mungkin membuat Rei percaya, tak curiga, dan meyakinkan bahwa ia adalah seorang anak 'normal' sama seperti anak yang memiliki orang tua lain di luar sana.

"Hm, wakatta!" akhirnya Hinata bisa bernapas lega.

Apapun yang diucapkan oleh ibunya, Rei selalu percaya.

"Ne, Kaa-san... bolehkah aku nanti meminta stik coklat dan strawberry?"

"Um, tentu saja!"

"Yatta~!"

Dan beberapa menit pun berlalu yang akhirnya membawa mereka ke dalam sebuah kereta menuju Konoha.

.

.

.

.

.

.

.

Hanabi dan Hiashi sedang berada di ruang depan dengan indera yang terus waspada terhadap intercome yang terpasang di ruangan itu. Hanabi masih mondar-mandir dengan gelisah. Matanya merah karena kurang tidur tapi ia tak peduli. Jantung selalu berdebar cepat bahkan mengabaikan beberapa roti panggang yang dibawakan pelayan beberapa menit lalu hingga mendingin. Roti yang hanya tergigit sedikit di bagian ujungnya. Dirinya yang enggan memakan apapun untuk sarapan, membuat Hiashi menyuruh pelayan untuk membawakannya roti yang biasa Hanabi santap ketika sedang terburu-buru. Bahkan disaat seperti ini pun putrinya itu tak mau menyentuh makanannya sama sekali.

Hanabi gelisah, tapi Tou-sannya terlihat begitu tenang. Bahkan ketika pagi menjelang dan ia memberitahukan bahwa Hinata akan pulang hari itu juga, ayahnya hanya terpatung beberapa lama lalu bersikap seperti biasa. Tanpa tahu bahwa sekalimat syukur Hiashi gumamkan saat Hanabi bergegas dari kamarnya untuk menyiapkan diri menyambut kakaknya nanti. Mimpi Hiashi menjadi nyata. Dirinya yang selalu tak bisa melihat raut putrinya dalam bayang-bayang yang kerap datang itu, mendapatkan gambaran jelas mengenai Hinata semalam. Hinata yang memunggunginya, menolehkan kepala dengan senyum manis di wajah. Ia membalikkan badannya, masih dengan mendekap sebuah buntalan dengan sembulan tangan mungil yang lucu di dadanya. Hinata menatap Hiashi dengan amnethyst berbinar, senyum merekah, dan lantunan suara yang mengingatkan pria patuh baya itu kembali akan kehadiran sang putri sulung sebelum kepergiannya.

"Otou-san..."

Hiashi bukannya merasa tak senang atau tak bersemangat mendapat kabar putrinya. Ia cuma tak begitu terkejut karena sebelumnya telah mendapatkan sebuah mimpi indah yang berbeda, tak seperti biasanya. Ketika bangun air mata meleleh sudah begitu saja, tapi dengan mudah ia dapat menghapusnya tepat saat Hanabi berseru dari luar kamar untuk meminta izin masuk. Memberikan kabar bahwa Hinata menelponnya dan akan mengunjungi mereka pagi ini. Bagaikan masih berada dalam mimpi, Hiashi hanya bisa terdiam. Ia merasa tak percaya. Menggumamkan rasa syukur yang sangat kepada Kami-sama yang telah mengabulkan keinginan pria tua sakit-sakitan sepertinya.

Lain Hanabi, lain Hiashi. Gadis itu berlarian di mansion Hyuuga membuat keributan, memberitahukan perihal kedatangan Hinata hingga membuat heboh seisi mansion. Tapi ketika Hiashi keluar dengan tongkat di tangannya, semua kembali terdiam. Dengan tenang pria itu menginstruksikan putrinya untuk tenang dan menyiapkan diri, lalu menyuruh para pelayan untuk memulai hari seperti biasa. Namun kali ini menambahkan perintah untuk menyiapkan sebuah jamuan besar setelah semua pekerjaan pokok mereka terselesaikan. Dan disinilah ia sekarang. Bersama putri bungsunya yang masih gelisah dan sama sekali belum menyentuh sarapannya. Para maid tengah sibuk menyiapkan jamuan, membiarkan majikan mereka yang 'berjaga' di ruang depan untuk menunggu intercome memunculkan suara Ojou-sama mereka yang sudah lama tidak dijumpai. Hiashi sendiri hanya bisa menghabiskan beberapa sendok nasi karena dirinya pun sebenarnya merasa tak tenang walau tidak ditunjukkan secara jelas. Makanan yang ia makan serasa ingin membuatnya muntah karena gelisah. Sedikit bersyukur Hanabi tak ada di sisinya saat ia makan karena jika mendapati Tou-sannya yang tak menghabiskan makanan, maka untuk pertama kalinya Hiashi menunjukkan salah satu contoh buruk yang selalu ia camkan untuk dilakukan para putrinya. Menyisakan makanan.

Lain Hanabi dan Hiashi, lain lagi Hinata. Ia begitu gugup. Dan takut. Menemui Hanabi. Menghadapi ayahnya. Jantungnya juga berpacu kencang menebarkan sedikit kegetaran yang sebisa mungkin ia tahan. Ia bersama Rei. Anaknya tak boleh menanyakan sesuatu yang 'menyulitkan' lagi jika sadar bahwa ibunya saat ini tengah ketakutan karena akan mengunjungi rumah kakeknya. Taksi yang mereka tumpangi akhirnya sampai pada sebuah alamat yang Hinata ucapkan walau wanita itu sendiri merasa keheranan.

"B-benarkah disini, pak?"

"Hai'. Benar sekali, nona," Hinata melihat tak ada perubahan yang signifikan di lingkungan sekitar sana. Hanya saja ia mendapati rumah yang terasa asing semenjak kepergiannya 7 tahun lalu. Tak mau berlama-lama melamun, Hinata pun bergegas turun dan membayar taksi. Menggandeng tangan Rei erat dan berjalan menuju gerbang yang dulunya hanya beruba besi tembok biasa, kini menjadi gerbang kayu jati dan batu cadas yang kokoh. Ia masih gemetar, menghela napas dalam-dalam beberapa kali yang disadari oleh Rei dan merasa ibunya bersikap cukup aneh hanya karena berkunjung ke rumah kakeknya. Bocah itu belum mengerti.

"Kenapa Kaa-san terlihat takut?" ucapnya polos.

"E-eh?" Hinata langsung menoleh ke bawah dengan cepat begitu sikap 'bodohnya' ketahuan.

"A-ah... tidak apa-apa Rei-kun. Kaa-san hanya gugup karena sudah l-lama sekali tidak bertemu Jii-san," akunya.

"Nande?" mata bulat Rei masih bertanya.

"Kaa-san terlalu merindukan Jii-san dan Ba-san," seakan dibuat tersadar, rasa gugup Hinata pun menguap begitu saja. Ia tersenyum lembut ke arah putranya yang secara tak langsung membuatnya tenang karena perasaan yang tak perlu. Dengan mantap ia pun memencet bel dan menunggu jawaban dari dalam.

Tet... tet-

Belum juga selesai ia membunyikan bel kedua, sebuah suara nyaring berteriak histeris dari ujung sana.

"Nee-san!" Hinata sedikit tersentak tapi ia pun langsung menanggapinya dengan lantang.

"Hanabi!"

Hiashi langsung berdiri dari duduknya ketika suara Hinata benar-benar keluar dari intercome. Hanabi yang langsung berlari keluar menuju gerbang depan setelah menekan tombol untuk membuka gerbang, hanya bisa diikuti Hiashi dengan langkah terbata. Ia masih tak percaya. Ini terasa bagai mimpi. Hinatanya, putrinya, dia ada disini.

Grrrreett...!

Saat gerbang besar itu telah terbuka, sosok Hanabi versi dewasa yang penuh linangan air mata muncul dan langsung menyambar tubuh Hinata.

"Nee-saaaaan...!" ia menangis kencang dan memeluk erat kakak yang amat dirindukannya itu. Hinata pun juga tak kuat menahan air matanya dan ikut menangis kencang bersamanya.

"Hanabiii...!"

"Kenapa Nee-san lama sekali... hiks, aku sudah sangat merindukan Nee-san hiks!"

"Gomen... Gomen... hiks, gomenne Hanabi..."

Gadis belia yang telah tumbuh menjadi seorang wanita dewasa dengan aura yang tegas itu merenggangkan pelukan mereka untuk melihat rupa kakanya yang terlihat semakin matang dan dewasa. Kakaknya semakin cantik dan menawan, Hanabi tersenyum di tengah tangis derasnya.

"Kau sudah dewasa sekarang. Kau semakin cantik," puji Hinata sembari mengelus sayang adiknya itu.

"Nee-san lebih cantik! Kemana pipi bulat Nee-sanku pergi?" canda Hanabi mendapati pipi ramping Hinata yang menambah kesan kedewasaan kakaknya itu. Mereka terus melempar canda dan tawa hingga sebuah tarikan kecil di bawah yang dibarengi suara ragu itu menyadarkan Hinata dan Hanabi.

"Kaa-san..."

"Ah! Rei-kun," Hinata merasa bersalah karena sedikit 'mengabaikan' putranya itu.

"N-nee-san, dia anakmu?" Hanabi terlihat takjub melihat sosok bocah yang sama sekali tak ada mirip-miripnya dengan keluarga Hyuuga. Ciri fisik yang ia tunjukkan benar-benar mengukuhkan persepsinya dan Hiashi selama ini.

"Benar sekali..." Hinata menggangguk yakin dan memegang pundak Rei untuk maju di hadapannya.

"... Dia Rei-kun, putra yang menjadi kebanggaan dan kekuatanku selama ini,"

"Hajimemashite... H-hyuuga Rei desu," mendapati mata 'lapar' perempuan yang memiliki mata seperti ibunya membuat Rei merasa aneh dan agak takut.

"Kyaaa kawaii...!" dia tidak terlihat seperti Hyuuga. Tapi seperti apapun rupanya, dia adalah putra kakaknya. Dia adalah seorang Hyuuga. Dia adalah keponakannya. Sosoknya yang begitu menggemaskan dan tampan membuat Hanabi tak sabar untuk memeluk erat bocah yang terlihat kelabakan karena perlakuan ganas Hanabi yang saat ini menciumi wajahnya dengan gemas.

"Onee-chan dayo... panggil aku Onee-chan, ne..."

"Hanabi, harusnya Ba-san... Hanabi-basan..." Hinata terkikik geli mendapati tingkah adiknya yang masih belum berubah. Sedari dulu ia memang memiliki keinginan dipanggil 'kakak' oleh adik yang mustahil ia punya.

"Hora, Rei-kun... panggil Onee-chan, Hanabi-neechan hihihi..."

"Sesak... Onee-chan! Onee-chan! Onee-chan!" Rei merasa tak tahan dan memilih menuruti saja perempuan ganas yang tengah menguyel wajah dan tubuh kecilnya itu. Mereka tertawa, membuat kebisingan, membuat haru para penjaga dan pelayan yang tak sengaja melihat interaksi mereka. Hingga sebuah suara yang begitu Hinata kenal dan amat dirindukannya muncul dari arah gerbang yang masih terbuka.

"Hinata..."

Mereka langsung terdiam. Hinata menoleh untuk mendapati sang ayah yang sangat lama tak ia temui berdiri dengan sebuah tongkat di tangan. Wajahnya lebih tirus dan air mukanya terlihat lebih tua dari semenjak terakhir kali ia lihat. Wajah yang selalu nampak tegas dan datar itu kini seolah retak tergantikan oleh raut sesak hingga bulir air mata yang hanya sekali Hinata lihat -ketika kematian ibunya dulu- itu meluncur begitu saja di pipi keriputnya.

"Otou-san!" Hinata langsung berlari dan memeluk ayahnya sembari terisak bak seorang gadis kecil cengeng yang tengah mengadu pada ayahnya.

"Hinata..." Hiashi tak bisa menahan laju air matanya. Hanabi kembali menitikkan air mata haru sembari memeluk Rei yang meski tidak tahu apa-apa juga ikut menangis melihat adegan itu. Beberapa maid yang melihat pun juga ikut terisak.

"Otou-san... Hiks! Otou-san... Otou-san..." mereka hanya memanggil nama satu sama lain. Semua perasaan tercurahkan dan tersampaikan lewat lantunan kata panggilan yang lama sekali tak mereka kumandangkan secara langung.

Hiashi mencium pipi Hinata. Kilasan balik ketika putrinya itu masih bayi, balita, anak-anak, hingga remaja bergulir ketika ia melakukan hal yang selalu ia lakukan untuk menunjukkan kasih kepadanya. Menatap wajah basah putri sulungnya yang semakin mirip dengan mendiang istri tercintanya, Hiashi tersenyum dengan bibir bergetar melihat paras yang akhirnya bisa secara langsung ia lihat dan rasakan.

"Okaeri, Hinata..."

"Hiks... Tadaima, Otou-san..." Hinata memeluk kembali ayahnya erat.

"Apakah dia putramu?" Hiashi menatap seorang bocah yang berada di dekapan Hanabi. Hatinya tercubit sakit saat melihat rupanya yang begitu mirip dengan seorang pemuda yang ia curigai telah menghamili Hinata karena kegencarannya dalam mencari putrinya itu ke kediaman Hyuuga.

"Hai'..." Hinata melepas pelukannya dan menatap takut-takut kepada ayahnya. Berharap untuk kali ini saja ayahnya bisa menerima kehadiran anaknya.

Rei yang mendapat tatapan atensi dari pria paruh baya berambut coklat panjang beruban itu hanya termangu, sebelum Hanabi membisikkan sesuatu padanya agar mendekat ke arah Hinata dan kakeknya tersebut. Berjalan dengan sedikit kaku, ia pun kembali membungkukkan badan dan memulai perkenalannya kembali.

"Ha-hajimemashite... Hyuuga Rei desu..." ragu, tapi Rei akhirnya menyematkan selipan panggilan itu pada Hiashi.

"... Ojii-san,"

Rupanya memanglah mirip bocah Sabaku itu, tapi pancaran sosok, sikap, dan sorot matanya saat ini begitu mirip dengan Hinata. Hiashi merilekskan air mukanya, ia membuka sedikit mulutnya dan tersenyum bahagia.

"Cucuku..." dan begitu mendapat lantunan penyambutan yang menerimanya, Rei pun langsung sumringah dan menubrukkan diri pada kakeknya yang tengah bersimpuh dan merentangkan kedua tangan lebar padanya.

"Jii-san!"

Hati Hiashi menghangat. Merasakan hangat tubuh dan aroma Rei yang familiar sebagai milik Hinata. Ia bagai merasakan tengah memeluk Hinata kecilnya yang masih balita. Dan suara riang juga menggemaskan Rei serasa tak bisa melunturkan sikap bahagianya saat ini.

Akhirnya mereka semua bertemu. Akhirnya mereka semua telah melepas rindu. Akhirnya mereka semua kembali bahagia. Hiashi bahkan tak memerlukan tongkatnya lagi saat berjalan ke dalam mansion karena ada Rei yang selalu sigap menuntunnya, menjadi penopangnya, juga Hinata yang menjaga di sampingnya. Hanabi hanya mengikuti dari belakang dan terus menggoda Rei yang membuat ia kegirangan serasa telah memiliki seorang adik laki-laki.

Hinata menyapa para penjaga dan maid dengan akrab, memperkenalkan putranya yang sekali lagi mendapat cubitan dan ciuman gemas di pipi dari mereka, lalu memulai jamuan makan yang telah disiapkan ayahnya khusus untuknya dan Rei. Putranya itu juga merasa kepalang bahagia karena mendapatkan anggota keluarga baru yang begitu menyukainya. Ia tak bisa jauh dari Hiashi, dan Hanabi yang terus berusaha menempel untuk memberinya suapan makanan. Mereka tertawa, mereka begitu bahagia. Sejenak Rei melupakan tentang Sabaku dan ayahnya. Membuat Hinata bisa bernapas lega, berharap pria itu tidak segera menyadari kelenyapannya dan sang putra. Atau yang terburuk...

... mengejarnya ke Konoha.

.

.

.

.

.

.

.

.

Gaara mengamuk hebat begitu mendapati Hinata dan Rei menghilang dari mansionnya. Ia hanya pergi sebentar ke ruang kerja untuk mengurus perusahaan di Kiri, tapi ketika kembali untuk mengajak Hinata memilih gaun pengantin, wanita itu telah lenyap bersama putra mereka.

Mengerahkan seluruh orang di rumah itu untuk mencari Hinata dan Rei ke seluruh penjuru, terus berteriak kencang dan menelpon beberapa orangnya yang lain untuk mulai melacak, hingga menumpahkan amarah pada dua orang penjaga yang notabene menjadi sensei berlatihnya waktu kecil dulu. Gaara tak percaya. Dua orang yang begitu ia percaya setelah keluarganya tersebut membiarkan orang paling berharganya pergi begitu saja. Ia hampir menghajar Ibiki dengan brutal namun Baki berhasil menenangkannya karena Hinata meninggalkan catatan untuknya. Gaara masih dalam mode kalap, ia begitu ketakutan Hinata akan menghilang lagi darinya. Namun mendapati sederet tulisan Hinata pada sebuah buku yang Baki berikan, rasa murkanya sedikit reda dan ia bisa berpikir jernih kembali.

'Pulang ke rumah?' ia tak begitu mengerti. Tapi sebisa mungkin menanamkan keyakinan bahwa ia harus mempercayai Hinata. Setidaknya Gaara harus mempercayai Hinata saat ini.

"Paman, kerahkan beberapa orang untuk bersiap! Kita akan ke Kiri,"

"Baik!" melihat tas besar Hinata masih berada di mansionnya, Gaara mencoba keras untuk mempercayai bahwa Hinata tak berniat untuk meninggalkannya. Tapi langkahnya yang sudah hampir mencapai pintu tiba-tiba terhenti.

"Tuan Muda?" Baki terheran melihat Gaara yang tak jadi melanjutkan langkah untuk memulai 'misi' mereka.

Gaara teringat akan sesuatu. Tas Hinata memang masih disini, tapi sebagian isinya telah raib dari sana.

'Mungkinkah?'

"Pikirkan dengan baik, Gaara. Jernihkan pikiranmu dari segala hal yang membuatmu terbutakan saat ini," Ibiki yang tahu dengan ketidakyakinan Gaara, mencoba memberinya nasihat. Ia memanggil nama pria itu dengan panggilan yang sama saat masih menjadi pengawas tuan mudanya ketika masih kecil. Panggilan akrab yang sudah jarang sekali ia gunakan kini, kecuali di saat tertentu untuk dapat menekankan perkataan yang ia lontarkan padanya.

Gaara menoleh ke arah Ibiki sejenak. Wajahnya yang mengeras mulai melunak. Ia tahu Hinata dimana. Ia yakin akan hal itu.

"Terima kasih, paman,"

Gaara tak memerlukan orang lain untuk mengawalnya pergi ke kediaman Hyuuga. Kondisinya yang memang jarang beristirahat, ditambah sehari lalu ia harus menempuh perjalanan panjang dari Kiri hingga saat ini menuju Konoha, membuat wajahnya terlihat begitu lelah. Tapi Gaara tak peduli. Lingkah hitam matanya begitu tebal, jadenya memerah dengan sorot tajam yang membuat siapapun yang memandang akan bergidik ketakutan walau ia sangat rupawan. Dengan kecepatan penuh dan melewati tol, luar biasanya Gaara hampir mencapai tujuan hanya dalam waktu kurang dari empat jam. Memarkirkan mobilnya di depan gerbang kediaman Hyuuga, ia langsung menekan bel dengan harapan kali ini Hiashi akan mau membukakan pintu untuknya. Tak sabaran, Gaara terus menekan bel hingga mendapat jawaban.

Hiashi tengah menikmati waktu santainya bersama Hanabi di taman dekat kolam teratai sembari menunggu Hinata yang tengah menidurkan Rei karena bocah itu begitu kelelahan. Tingkahnya yang riang dan aktif saat bertemu dengan kakek dan bibinya membuat energinya cepat habis. Kini ia hanya bisa terlelap setelah bermain bersama Hanabi dan memijat kakeknya. Hal yang begitu ia inginkan jika memiliki seorang kakek seperti temannya yang lain. Hiashi juga sebenarnya belum puas untuk mengajaknya bermain. Tapi mendapatinya tertidur meringkuk di balik gorden ketika Hanabi terlalu lama bermain-main saat berusaha menemukan Rei dalam petak umpet mereka, hanya bisa membuatnya tertawa gemas dengan tingkah lucu cucunya itu.

Jadilah ia disini sekarang, ditemani Hanabi. Menunggu Hinata kembali untuk sekedar berbincang bersama setelah tujuh tahun lamanya, ketika suara Koharun –pelayannya- mengatakan bahwa ada seorang pria bernama Sabaku Gaara yang datang untuk bertemu dengan Hinata. Hiashi seketika bangkit. Darahnya mendidih. Berani sekali pria kurang ajar itu menampakkan diri lagi di depan rumahnya. Hinata sudah kembali, Hiashi tak akan membiarkannya terus mengusik dan menyakiti putrinya lagi.

"Hanabi, cegah Hinata agar tidak pergi ke ruang latihan,"

"Tou-san..." Hanabi mulai khawatir. Ia cemas. Namun ia tak sanggup untuk mencegah ayahnya. Pria paruh baya itu tengah murka. Hal yang bisa ia lakukan adalah menghindarkan Hinata agar tak sampai menemuinya saat ini.

"Bawa dia masuk ke ruang tamu timur," titah Hiashi pada Koharun.

"Hai'," dan ketika Hiashi telah lenyap, Hanabi pun bergegas menuju kamar kakaknya berada.

...

Hanya berbatasan dengan meja berkaki rendah di ruangan bershoji lukisan pertarungan antara naga dan singa. Di hadapannya sekarang tengah duduk seorang pria berambut maroon yang sudah sejak lama selalu datang ingin bertemu dengannya. Pria Sabaku yang menjadi cetak biru cucunya. Hiashi telah menduga bahwa pelaku yang menghamili Hinata adalah dia. Seorang Sabaku yang dengan kejam menyakiti putrinya, lalu setelah semua yang terjadi ia masih berani untuk mencari Hinata dan menampakkan diri di hadapannya. Kegigihannya untuk mencoba masuk kediaman Hyuuga, keinginan kuat untuk menemuinya, hingga menempatkan mata-mata dalam rumahnya. Hiashi sudah menduganya. Ditambah bukti akan kehadiran Rei, semua sudah terlihat jelas. Sekalipun Hiashi sudah tahu, barang sedikitnya ia tak sudi menerima siapa pun yang hendak menanyakan keberadaan putri sulungnya. Ia ingin melindungi Hinata, ia akan mencegah siapa saja yang hendak mengusiknya, bahkan dari seorang pria yang tersohor akan kekayaannya di Suna sekalipun, Hiashi akan menjaga Hinata sampai kapan pun. Lalu saat putrinya itu kini telah kembali, kemunculan sosok Gaara setelah beberapa lama membuatnya bertambah waspada. Ada kemungkinan Hinata bisa kembali ke Konoha karena pria itu, dan kedatangannya kemari, hendak melakukan sesuatu yang pasti akan membuat tak terima seorang ayah sepertinya.

"Hyuuga-san," Gaara menatap lurus nan tegas pada pria yang menjadi ayah dari Hinata. Ia belum pernah bertemu langsung dengan Hyuuga Hiashi, dan aura serta wajah yang dimilikinya begitu mengintimidasi, membuat gentar siapa pun yang berhadapan dengannya. Gaara meneguhkan hati. Ia harus berani. Ini bukan karena ia menjadi gentar menghadapi sorot ekspresi Hiashi, tapi lebih kepada rasa gugup dan takutnya akan putusan pria itu dalam mengeksekusi semua permintaan yang hendak ia ajukan. Hiashi adalah kunci. Kunci untuk membuka pintu dalam kelancaran mencapai keinginannya akan Hinata. Saat ini tergantung bagaimana Gaara bisa mengolah 'kunci' tersebut agar pintu yang tertutup rapat di hadapannya dapat terbuka lebar.

"..." Hiashi masih bungkam dengan wajah mengeras dan dingin. Enggan untuk berbicara. Ia juga tak mau repot-repot menyediakan sesuatu untuk tamunya sekarang. Hiashi adalah seorang Hyuuga yang ketat dan berbudaya, setiap tamu yang datang pasti akan diperlakukan dengan sangat baik, sekalipun itu adalah orang yang tidak disukainya. Tapi ini adalah pengecualian. Sabaku di hadapannya ini adalah pengecualian.

"Maaf karena saya datang dengan tiba-tiba kali i-"

"Kau selalu datang tiba-tiba, Sabaku," sindir Hiashi.

Gaara menelan kembali kata-katanya. Ia mengatur napas juga debar jantungnya untuk tenang.

"Ya, itu benar. Tapi kali ini anda berbaik hati untuk membukakan pintu untuk saya,"

"Itu karena aku ingin memperingatkanmu," tangan Gaara mulai mengepal.

"Saya tahu Hinata ada disini,"

"Lantas?"

"Saya ingin menjemputnya, Hyuuga-san..." Gaara berucap tegas. Ia membungkukkan kepalanya dalam di hadapan Hiashi.

"... Saya akan menikahinya. Mohon untuk memberikan restu anda pada kami,"

Hiashi sedikit terkekeh melihatnya.

"Berani sekali kau ternyata," Gaara mendongakkan kepalanya.

"Hanya karena kau seorang Sabaku, jangan menganggap remeh putriku, anak muda,"

"Tidak, Hyuuga-san. Aku sama sekali tid-"

"Kau sudah menyakitinya kau tahu?" sebisa mungkin Hiashi menahan gejolak amarah yang dapat meledak sewaktu-waktu.

Gaara kembali membungkuk dalam.

"Saya ingin bertanggung jawab, Hyuuga-san. Saya ingin menebus semua dosa yang saya lakukan padanya,"

"Tidak perlu! Hinata tidak membutuhkan seorang laki-laki brengsek sepertimu,"

"Tapi putra kami membutuhkan saya sebagai ayahnya!" ucap Gaara cepat dan tegas.

"Rei membutuhkan saya dan Hinata, Hyuuga-san," Hiashi sungguh tak percaya dengan ucapannya itu.

"Apa kau tidak punya malu, Sabaku?"

"Dia sangat membutuhkan sosok figur seorang ayah dan ibu di usianya saat ini," Gaara mengabaikan pertanyaan Hiashi.

"Hinata dan Rei akan baik-baik saja disini. Hidupnya akan jauh lebih baik jika tidak bertemu denganmu lagi,"

"Hinata juga membutuhkan saya, Hyuuga-san. Dia membutuhkan saya untuk membesarkan Rei," Gaara terus mencoba mengabaikan Hiashi.

"Tidak akan kubiarkan cucuku dididik oleh bajingan sepertimu." Perkaatan Hiashi semakin dingin karena hatinya sangat panas mendengar semua ocehan pria memuakkan itu.

"Rei akan tumbuh dengan baik jika ayah dan ibunya ada di sisinya," Gaara terus mengabaikan ucapan Hiashi.

"Dia akan baik-baik saja tanpamu. Tak akan kubiarkan putri dan cucuku disentuh oleh tangan kotormu itu selama aku masih hidup,"

Gaara membungkukkan badannya lebih dalam hingga keningnya menyentuh lantai.

"Saya tidak akan membiarkan Hinata hidup sengsara lagi. Saya berjanji akan selalu membahagiakannya!"

"Dia pergi dari rumah karenamu, bajingan!"

"Saya sangat mencintai putri anda!"

"Lancang!"

BRAKK!

Suara Hiashi yang akhirnya meledak seketika membuat Gaara terdiam. Gebrakan kencang tangan tua itu sampai membuat Koharun yang berada di balik shoji berjengit takut. Hiashi tak pernah semurka ini sebelumnya. Ia yang ditugaskan untuk mengantar tamu hanya bisa berdiam di balik pintu kanvas itu karena Hiashi sama sekali tak menginstruksikannya untuk masuk membawa suguhan yang memang biasa diberikan kepada tamu yang datang. Dan mendengar semua percakapan yang semakin lama semakin bernada tinggi itu, membuatnya secara tak sengaja menangkap sebagian obrolan yang mereka bicarakan. Pria tampan yang begitu mirip dengan tuan mudanya itu ternyata memang benar adalah ayah kandungnya. Pria yang beberapa tahun ini sering mengunjungi kediaman Hyuuga untuk bertemu Hiashi namun selalu ditolak. Tapi kenapa saat ini ia datang kembali dan Hiashi mengijinkannya masuk? Apakah ia hendak menjemput nona mudanya? Bagaimana bisa ia bergerak begitu cepat datang kesini padahal baru pagi tadi Hinata dan Rei tiba di kediaman Hyuuga? Apakah pria itu mengejar mereka?

Gaara masih terdiam dengan badan membungkuk dalam. Berusaha menenangkan batinnya yang mulai kacau dengan libatan skenario terburuk yang akan terjadi setelah ini. Ia harus tenang, ia harus mampu 'membujuk' Hiashi. Ia harus bisa mendapatkan Hinata dan Rei kembali.

"Saya benar-benar minta maaf pada anda, Hyuuga-san. Saya tahu saya adalah seorang bajingan yang tak termaafkan..."

Hiashi yang masih mengatur napas karena ledakan emosinya kembali menggeratkan rahang mendengar ucapan itu. Urat kesal di kepala dan lehernya bermunculan. Namu sebisa mungkin ia harus menenangkan diri agar penyakitnya tak kambuh atau kehilangan wibawa di hadapan musuh paling dibencinya itu.

"... Saya paham bahwa anda dan Hinata akan sulit untuk memaafkan saya. Tapi semua kesalahan yang saya lakukan dahulu adalah karena sebuah kesalahpahaman antara saya dan Hinata. Sa-"

"Cukup!"

Tidak. Gaara merasa belum cukup.

"Hinata sudah tidak membenci saya, putri anda juga mencintai saya. Dia hanya belum memaafkan perbuatan keji yang pernah saya laku-"

"Kubilang cukup!" telinga Hiashi panas dan hatinya sakit mendengar semua itu.

"-kan padanya! Tapi putra kami membutuhkan kami, Hyuuga-san! Hinata juga tahu itu!..." Gaara tak mengindahkan peringatan Hiashi.

"Tutup mulutmu, Sabaku!"

"... Dan kami telah sepakat untuk membesarkan putra kami bersama!"

Grrt!

Gaara mengangkat kepalanya.

Meja di antara mereka sedikit bergeser karena Hiashi yang berdiri tiba-tiba. Usaha untuk menenangkan dirinya sia-sia. Ternyata memperingatkan pria brengsek macam Sabaku memang tidak bisa hanya dengan kata-kata.

"Ikuti aku," ucapan mutlak dibarengi langkah tegas itu mau tak mau membuat Gaara segera berdiri dan menuruti ucapannya.

Sreekk takk!

Koharun kembali berjengit tatkala shoji dibuka kasar secara tiba-tiba, memunculkan Hiashi dengan wajah yang begitu menyeramkan dan seorang pemuda yang terlihat tegas tapi dengan ekspresi lelah yang begitu ketara. Pelayan yang terpaut usia 5 tahun lebih tua dari Hinata itu tak mampu berkata apa-apa dan hanya diam melihat tuannya yang berjalan menuju ruangan yang ia ketahui sebagai ruang latihan. Ia begitu terlambat menyadari bahwa Hiashi berjalan tanpa tongkatnya. Seolah keadaannya yang rapuh selama ini telah lenyap tergantikan oleh Hiashi yang tangguh dan tak terkalahkan sebagaimana orang-orang mengenal seorang Hyuuga Hiashi di masa lampau.

...

"Nee-san," Hanabi mengintip dari celah pintu untuk mengecek kakaknya. Ketika Hinata yang tengah membereskan beberapa barang menoleh, ia pun memberanikan diri membuka lebar pintu dan masuk ke kamar.

"Ada apa Hanabi-chan?"

"Mm-hm... nande mo nai," ia memperhatikan bahwa Rei terlelap dengan posisi yang begitu lucu di ranjang. Hinata membuka jendela kamar sehingga angin segar dapat masuk ke dalam.

"Hah... sepertinya tidak bisa. Aku harus membeli beberapa baju," Hinata menggumam ketika menilik barang bawaan yang mampu ia bawa kesini. Karena keadaan yang terburu-buru dan ia membawa Rei, membuatnya hanya bisa membawa segelintir barang milik mereka.

"Nee-san tidak menyalakan AC saja?" Hanabi ikut duduk bersimpuh di dekat Hinata dan melihat pakaian yang dibawa kakaknya. Itu adalah pakaian yang begitu sederhana. Membuatnya tersenyum miris memikirkan betapa sulitnya keadaan sang kakak selama ini.

"Lebih baik tidak. itu tidak baik untuknya. Angin disini juga sangat sejuk dan Rei-kun sampai tertidur pulas karenanya," senyum Hinata.

"Hmm... butuh ini, ini, ini..."

Hanabi yang mendengar gumaman Hinata akan kurangnya barang yang diperlukan disini, berseru semangat.

"Nanti malam Nee-san akan belanja? Akan kutemani,"

"Um... sepertinya Nee-san memang harus belanja. Nee-san juga ingin sekali berbelanja bersamamu nanti. Mungkin kita bisa sekalian mampir ke kedai es krim, mengunjungi pasar malam, dan melihat air mancur!" Hinata merasa begitu senang membayangkan beberapa kegiatan yang dulu sering ia lakukan bersama adiknya.

"Sou sou! Aku tahu beberapa tempat bagus di dekat sini. Kita tidak harus ke kota untuk menikmati semuanya!"

"Hontou? Wah, senangnya... mungkin sekarang kita harus meminta izin Tou-san agar diperbolehkan pergi malam nanti,"

"Eh?" bayangan kesenangan Hanabi seakan pecah ketika ia mengingat sesuatu.

"Hanabi?" Hinata merasa heran karena adiknya yang tiba-tiba terdiam.

"Ah, tidak apa-apa Nee-san," gadis itu mencoba memaksakan senyumnya. Tatapan Hinata tiba-tiba menyendu. Ia mengalihkan pandangannya pada baju kaos Rei yang ada di samping bawahnya.

"Gomen ne, Hanabi... Nee-san tiba-tiba kembali setelah sekian lama. Pasti kau merasa Nee-san mu benar-benar tak tahu diri bukan?"

"Hah? Nee-san bicara apa?! Kenapa tiba-tiba berkata seperti-"

"Ssssttt..." Hanabi yang mulai berbicara kencang langsung dibungkam Hinata karena bisa mengganggu tidur Rei.

"Nee-san jangan pernah berkata seperti itu... kami sangat senang akhirnya Nee-san mau kembali lagi kesini. Kita keluarga, kita memang harus bersama, kita akan selalu menghadapi semuanya bersama-sama," setelah menyesuaikan nada suaranya Hanabi kembali mengungkapkan perkataannya.

"A-ahh... gomen, aku memang sangat bodoh," rutuk Hinata kepada dirinya sendiri.

"Nee-san hanya berencana tinggal sementara disini bersama Rei, tapi entah kenapa kembali melihatmu dan Tou-san setelah sekian lama, N-nee-san merasa ingin tinggal disini selama mungkin,"

"Daijobu yo!" Hanabi segera beringsut meraih erat tangan Hinata. Ia kembali teringat akan kedatangan seorang pria yang kemungkinan menjadi masa lalu kakaknya.

"Aku dan Tou-san akan senang jika Hinata-nee mau tinggal disini. Kita juga dapat merawat Rei-kun bersama-sama!" Hinata semakin tak enak. Niatnya untuk singgah sementara guna memberinya kesiapan akan Gaara, mulai berbalik arah menjadi ia yang ingin menetap tinggal di rumah lamanya ini.

"Hanabi..."

"Tou-san sudah lama ingin mencari Hinata-nee. Aku pun begitu. Tapi Tou-san selalu urung melakukannya karena Tou-san menghargai keputusan Nee-san. Kami sangat ingin Nee-san kembali, Tapi kami juga tidak ingin merusak keputusan yang Nee-san pilih," Hinata merasa begitu tersentuh.

"Nee-san sekarang sudah disini. Rei-kun juga disini. Kami tentu sangat senang. Kami tak masalah Hinata-nee mau tinggal seberapa lama disini karena Hinata-nee masihlah bagian dari Hyuuga. Rei-kun juga seorang Hyuuga. Nee-san dan Rei-kun adalah keluarga Hyuuga dan kami sangat menyayangi kalian berdua. Jadi tak apa, tinggalah disini," Hanabi sudah berkaca-kaca. Ia begitu tak sanggup membayangkan apa yang terjadi dan apa yang akan kakaknya rasakan ketika tahu pria yang menjadi masa lalunya sudah berada disini.

"Mm... arigatou..." Hinata menyeka sudut matanya dan memeluk Hanabi beberapa lama.

"Nee-san mengerti. Nee-san akan tinggal disini selama Nee-san mau," Hanabi mengangguk senang.

Mengehela napas, Hinata akhirnya menanyakan suatu hal yang sedari awal ingin ia tanyakan ketika menginjakkan kaki kembali ke kediaman Hyuuga.

"Hanabi... rumah terasa sedikit berbeda ya, m-mirip seperti rumah kita di kota dulu," sedikit berbeda disini yang dimaksud Hinata adalah begitu berbeda. Ia hanya tak ingin mengungkit suatu hal yang tak mengenakkan jika berbicara secara gamblang.

"Um-mm... Nee-san ingat saat kita akan pindah ke desa, Nee-san memimpikan sebuah rumah biasa yang sama seperti orang lainnya?" Hinata mengangguk.

...

Gaara mengikuti Hiashi masuk ke dalam sebuah ruangan yang cukup luas. Di dalamnya terdapat beberapa pajangan kaligrafi huruf kanji, pedang kayu, dan ornamen lainnya. Tak perlu menilik lebih jauh, Gaara tahu ini adalah ruang berlatih pedang.

"Kau pasti sudah tahu jika Hyuuga memiliki dojou jujitsu di Konoha," Hiashi berjalan menghampiri beberpa pajangan pedang di sisi tembok ruangan itu.

"Hai'," entah bagaimana Gaara mulai tahu apa yang akan dilakukan ayah Hinata tersebut.

"Tapi aku juga memiliki hobi dalam ilmu berpedang,"

Sretttt!

Pria paruh baya itu menarik sebuah pedang panjang yang terlihat begitu tajam dengan cepat dan mengacungkannya di depan wajah Gaara yang memasang wajah datarnya. Hiashi seolah mengancam pemuda Sabaku itu dengan acungan pedang yang ia lakukan sekarang. Memberinya peringatan keras yang ternyata terlihat tak mempan sama sekali terhadapnya. Dengan tenang ia pun kembali menyarungkan pedang tadi ke dalam sarungnya.

"Kau bisa bermain pedang, Sabaku?"

"..." Gaara menguasai karate dan kendo. Tapi ia hanya diam tak menjawab. Sungguh apapun yang akan Hiashi lakukan, ia tak akan mengelaknya asalkan keinginannya dikabulkan oleh pria itu.

Hiashi beralih pada jajaran pedang kayu miliknya, mengambil dua pedang untuknya dan melemparkan satunya kepada Gaara yang dengan sigap berhasil menangkapnya.

"Lawan aku." Ucapnya dingin lebih kepada memerintah.

"Saya tidak bisa, Hyuuga-san,"

"Sebenarnya aku begitu ingin menebasmu dengan pedang sungguhan. Sayang sekali..." Hiashi mulai menyiapkan kuda-kuda.

"Anda dapat menyerangku, tapi saya tidak akan menyerang anda,"

"Jangan meremehkanku, Sabaku,"

"Saya hanya ingin membawa Hinata dan Rei kemb-,"

TRAKK!

Secara refleks Gaara menahan serangan Hiashi yang datang begitu cepat ke arahnya.

"Jangan membuatku tertawa anak muda!"

Buak! Duak!

Seruan Hiashi membuat Gaara tak mau menangkis serangan telak pria itu pada samping perut dan rahang bawahnya.

"Kau sudah menyakiti putriku! Kau sudah merusak masa depannya, apa kau tahu?!"

"Hyuuga-"

"Jangan meremehkan Hinata, bajingan! Kau adalah sampah yang tak pantas untuk mendapatkannya!"

Trang! Dakk! Buakk!

Tiga serangan telak lagi yang membuat pedang Hiashi menyerempet sisi wajah, dan menghantam keras pundak serta leher Gaara.

"Ampuni saya, Hyuuga-san! Saya memang be-"

"Kenapa aku harus?" Hiashi terus menghantamkan serangannya yang hanya sesekali ditangkis atau ditahan Gaara tanpa berniat untuk melakukan serangan balik padanya.

"Aku sangat mencintai putri anda!" Hiashi semakin panas mendengar kata laknat itu lagi dan menghantamkan pedangnya kencang ke arah wajah pria muda itu yang langsung ditahan oleh Gaara. Wajah Hiashi mengerat, ia semakin menekan keras pedang miliknya ke arah pemuda itu.

"Apa kau tahu perasaan seorang ayah ketika tahu putrinya hamil di luar nikah?!"

"Hyuuga-san, aku-"

"Angkat pedangmu, sialan!" Hiashi mengangkat pedangnya tinggi-tinggi bersiap menyerang dengan kekuatan yang lebih besar ketika Gaara secara impuls ingin menangkisnya hingga suara benturan pedang di udara pun tak terelakkan.

TRAKK!

...

"Tou-san juga tahu akan hal itu. Karenanya kita bisa memiliki rumah bertingkat dua seperti yang Nee-san ingat dahulu. Nmaa... walau halaman yang kita miliki terlampau luas," Hanabi tertawa yang juga diikuti oleh Hinata.

"Kau benar, Tou-san ingin tempat dimana ia bisa berlatih pedang dengan leluasa. Juga agar aku memiliki lahan yang luas untuk berkebun ketika di rumah,"

"Sou sou... juga karena aku yang suka memancing, Tou-san juga membuatkan sebuah kolam ikan untukku. Dia tidak mau aku pulang terlalu larut lagi bersama para bocah lelaki hanya untuk memancing di sungai," Hanabi semakin tertawa keras.

"Hahaha... Ya, Hanabi-chan dulu sangat tomboi. Tou-san hanya khawatir jika terjadi sesuatu yang buruk kalau bermain sampai petang," Hinata merasa Hanabi yang dulu pulang dengan tubuh dan wajah dekil dengan serenteng ikan di tangan saat petang hari adalah hal terlucu yang pernah ia temui.

"Um, padahal kan aku bersama Konohamaru. Dia adalah temanku yang paling baik ketika baru pindah kesini. Dia juga sangat bisa dipercaya dan diandalkan," Hanabi mencoba membela diri.

"Tetap saja Hanabi-chan..." Hanabi mulai berhenti tertawa dan menatap sendu sang kakak yang masih terkikik geli mengingat masa lampau yang begitu indah di memori mereka berdua.

"Tapi semenjak Nee-san pergi, Tou-san menjadi lebih sering menyendiri dan sakit-sakitan..." Hinata langsung terhenti melipat baju ketika mendengarnya. Wajah sumringahnya langsung pudar.

"... Dojou, sedikit tak terurus karena hal itu..." secara hati-hati Hanabi mulai menceritakannya.

"... Lalu aku mengusulkan untuk merombak rumah guna merubah suasana. Mungkin kondisi Tou-san akan membaik jika mendapatkan suasana rumah yang disenanginya. Rumah bergaya tradisional kita saat di Kota Konoha. Tou-san pun setuju dan kita pun merombak secara total rumah ini. Mansion Hyuuga pun kembali hadir," Gadis itu menengadahkan kepalanya ke atas.

"Hanabi..."

"Kami membeli beberapa petak tanah lagi di sekitaran rumah. Dojou yang biasa Tou-san datangi dipindahkan ke dalam mansion. Tou-san menjadi lebih berhati-hati sejak saat itu. Jika penyakit Tou-san kambuh, maka aku yang akan menggantikannya di dojou. Itulah alasan Tou-san memindahkan dojou ke dalam area mansion. Dojou lain yang tak berada dalam mansion, kami percayakan kepada Kou-san,"

"Gomen ne..." lirih Hinata.

"Tou-san benar-benar membatasiku dengan dunia luar. Benteng pembatas mansion dibangun kokoh dengan bebatuan dari Iwa, Tou-san juga memperkerjakan beberapa penjaga di dalam, dan waktu bermainku ke luar pun sangat terbatas,"

Hinata langsung memandang Hanabi dengan ekspresi penuh penyesalan dan rasa bersalah.

"Hiks, Hanabi gomen ne... maafkan Nee-san hiks..." Ia mulai menitikkan air mata kembali.

"Nee-san tidak perlu minta maaf..." seolah tahu, Hanabi mulai menenangkan kakaknya yang selalu berpikir secara berlebihan itu.

"... Aku paham dengan semua ketakutan yang Tou-san punya. Nee-san juga pasti tahu, Tou-san jarang memperlihatkan emosinya kepada kita, tapi sebenarnya dia sangat menyayangi kita berdua," Hinata mengangguk cepat.

"Jadi aku tidak masalah dengan sikap protektifnya padaku setelah kepergian Nee-san. Aku paham akan hal itu..."

"Maafkan aku Hanabi... hiks, maaf..." Hinata memeluk kembali adik semata wayangnya.

"Daijoubu, Nee-san... daijoubu..." Hanabi mengelus lembut punggung sang kakak.

...

DUAK!

Satu pukulan keras memukul telak ulu hati Gaara yang membuatnya jatuh terduduk dan terbatuk menahan sakit.

"Ghahh...!"

"Apa kau selemah ini? Apa kau berniat memiliki Hinata dengan tekad selemah ini?"

"A-aku hah... hah... benar-benar tidak ingin melawan anda, Hyuuga-san,"

"Kenapa?"

"Anda boleh menghajarku sepuas anda... hosh... aku pantas mendapatkannya,"

"Aku malah ingin membunuhmu," ucap Hiashi dingin.

"Anda boleh melakukan apapun..." Gaaar menarik dalam napas untuk mengatur napasnya yang tersenggal. Tubuhnya telah dipenuhi luka dan memar, wajahnya pun lebam dimana-mana, tapi ia tak peduli.

"... Tapi kumohon, berikan restu anda pa-"

BUAKH!

"!"

Hiashi benci menatap jade yang tetap mempertahankan kesungguhan itu dalam kilatnya. Menghantamkan pedang kayunya dengan begitu keras pada pelipis kanan Gaara hingga mengeluarkan darah sangat deras. Gaara langsung terkapar di lantai kayu yang dingin. Beberapa waktu ia tak merasakan apapun, namun kemudian rasa terbakar seolah menyerang kepalanya, lalu menjalar pada rasa sakit akibat lebam dan luka di sekujur tubuhnya yang kembali terasa, menyerangnya secara bersamaan. Pandangannya seakan berputar dan benda-benda yang ia lihat seolah menggandakan diri. Ia menggeliat untuk mencoba bergerak dan kembali bangkit.

"Beraninya kau," suara rendah Hiashi. Sungguh, jika bisa ia ingin menggorok leher pria bajingan di hadapannya saat ini. Ia cukup kalap mendengar ocehan memuakkannya tadi, hingga dengan luapan emosi, menghantamnya dengan begitu telak yang membuat pedang di tangannya sedikit retak.

"H-hyuuga-san..." dengan gerakan patah-patah, Gaara mencoba bangkit di tengah keadaannya yang begitu mengenaskan. Merangkak menuju Hiashi dengan payah, namun pria paruh baya yang coba ia datangi bersuara tegas untuk kesekian kalinya karena jengah.

"Jangan coba-coba menyentuh atau memohon padaku, Sabaku!"

"Hh... hh... Hyuuga-san, aku mohon-"

"Jangan pernah lepaskan pedangmu ketika sedang melawanku,"

Dengan napas tersengal Gaara memutar kepalanya untuk mencari benda yang berada dua meter dari posisinya saat ini. Ia pun kembali menyeret tubuh untuk menggapai benda tersebut. Menggelengkan kepalanya keras, rasa berkunang yang tadi menyerang sedikit reda walau pandangannya masih memburam.

"Berdiri! Lawan aku!" ketika Gaara telah mendapatkan pedangnya, ia pun mencoba bangkit dengan sedikit terbatuk.

"Aku benar-benar tidak ingin melawan anda, Hyuuga-san,"

"Kau takut? Kau lemah?"

"Aku tidak ingin melukai anda..." Gaara tahu kondisi kepala keluarga Hyuuga itu sedang tidak baik-baik saja.

"... anda dapat menyerangku, tapi aku tidak ingin menyerang anda," ia juga tak peduli jika menjadi samsak hidup pria tersebut, karena Gaara tahu perasaan seperti apa yang melanda Hiashi. Gaara rela, asal ia bisa direstui dengan Hinata.

"Sombong sekali,"

Sret!

Hiashi menebaskan pedangnya dengan keras ke bagian perut Gaara hingga tubuh itu mundur beberapa langkah tapi tidak sampai limbung karena Gaara menopang dengan pedangnya.

...

Hinata menyeka air matanya. Memandang wajah Hanabi dalam dan ikut membantu sang adik menyeka air matanya pula.

"Kami benar-benar ingin Nee-san tinggal disini,"

Hinata tersenyum lembut.

"Tentu. Nee-san akan sangat senang bisa berkumpul kembali bersamamu dan Tou-san,"

Tapi Hanabi tidak bisa tersenyum seperti Nee-sannya.

"Nee-san selamanya akan tinggal disini?"

Dan pertanyaan itu memudarkan senyum Hinata. Membuatnya kembali berpikir akan tujuannya berada di kediaman Hyuuga.

"Itu..."

Kini ia menjadi bimbang. Tujuannya kesini hanyalah ingin meminta perlindungan dari Gaara agar ia bisa mengambil 'waktu' untuk menyiapkan hati. Namun mendapati semua perasaan bahagia, kehangatan, dan keterbukaan untuk menerima dirinya kembali ke rumahnya oleh sang adik dan ayah membuat ia menjadi bimbang. Hinata sangat ingin tinggal bersama mereka. Hinata ingin menghabiskan waktu untuk hidup merawat ayahnya. Hinata ingin menghabiskan waktu bersama adiknya. Ia ingin membalas semua perasaan karena sudah meninggalkan keluarganya hingga 7 tahun lamanya. Hinata ingin hidup bersama mereka. Hinata ingin.

Tapi jika ia benar-benar melakukannya, ia akan mengkhianati Gaara. Ia akan mengkhianati perkataannya sendiri pada pria itu untuk kembali padanya. Ia akan membuat ketakutan terbesar pria itu menjadi nyata. Hinata tak bisa. Ia sendiri yang memilih pergi untuk menyiapkan hati, tidak bisa begitu saja tiba-tiba merubah haluan dan semakin membuat Gaara tersakiti. Tidak, sesakit apapun Hinata pernah disakiti olehnya, Hinata juga masih mencintainya. Ia juga ingin hidup bahagia bersamanya. Ia ingin hidup bahagia bersama ayah dari putranya. Ia juga ingin Rei memiliki keluarga utuh seperti anak lainnya.

"Kami akan menerimanya, Nee-san,"

Hinata tersadarkan dari lamuannya.

"Eh?"

Hanabi tersenyum lembut dan hangat.

"Apapun keputusan Nee-san, aku akan menerimanya. Tou-san juga pasti akan menerimanya," seolah tahu, Hanabi mencoba memberikan dukungan pada kakaknya.

"Um..." Hinata menunduk.

"... Mungkin aku hanya butuh waktu, Hanabi. Nee-san memang sangat senang dan bahagia bisa kembali ke rumah menemuimu dan Tou-san..." Hinata tersenyum kecut.

"...Tapi ada seorang lain yang ingin Nee-san pilih untuk kehidupan selanjutnya,"

"Aku akan selalu mendukungmu!" dengan cepat Hanabi meraih tangan Hinata. Membuat wanita 23 tahun itu kembali menampakkan senyum lembutnya.

"Aku hanya butuh waktu sekarang, dan dia tidak memahami hal itu. Bagaimana pun juga, Nee-san harus tetap kembali padanya,"

"Otou-san pasti akan mengerti, aku yakin itu," ucap Hanabi mantap.

Hinata menatap lama adiknya yang penuh akan keyakinan pada putusannya. Ia pun mengambil napas dalam sebelum berucap.

"Kau benar! Nee-san akan mencoba berbicara pada Tou-san sekarang. Ia pasti akan bisa membantu putusan Nee-san saat ini!" ia segera bangkit berdiri yang membuat Hanabi melongo.

"E-eh? Sekarang?"

"Um... Nee-san juga tidak mau berlama-lama meninggalkan 'dia'. Nee-san harus berbicara pada Tou-san untuk membuat solusi yang tepat untuk semuanya,"

"Ta-tapi Tou-san sedang tidak bisa diganggu saat ini, Hinata-nee..."

Hinata yang sedang memasukkan baju Rei ke lemari dengan tergesa langsung terhenti.

"Kenapa?"

"E-etto... Mmm... T-tou-san sedang berlatih pedang sekarang. Ya! Tou-san sedang berlatih pedang dan tidak bisa diganggu!"

Hinata merasa curiga mendapati Hanabi yang terlihat begitu tak biasa karena gugup dan berbicara gagap. Ditambah perkataannya yang sama sekali tak ia mengerti.

"Tou-san hanya berlatih pedang, kenapa tak bisa diganggu?"

Hanabi meneguk ludahnya. Ia keceplosan mengucapkan kalimat yang terlalu ketara untuk mencegah Hinata tidak menemui ayah mereka saat ini.

"Ano... i-itu waktu yang sangat jarang terjadi, kau tahu? Keadaan Tou-san tidak terlalu baik semenjak Nee-san pergi, jadi ketika ia mendapatkan kesehatannya, ia sangat ingi un-"

"Justru itu, kenapa Tou-san harus memaksakan diri melakukan hobinya padahal kondisinya tidak terlalu baik?" Hinata merasa tidak masuk akal. Ia mendekati Hanabi dengan wajah heran dan hanya mendapati adiknya itu meringis dengan alis tertekuk.

"Hanabi?"

"A-aa... Ee... Hmm..."

Hinata segera berbalik ke arah pintu dan berjalan cepat keluar.

"Nee-san!"

"Ngghhh..."

Ia yang akan berlari mengejar mendapati Rei yang merengek terbangun karena suara berisik di sekitarnya. Dengan berat hati, Hanabi pun urung mengikuti sang kakak dan berusaha menidurkan Rei kembali. Hal paling berbahaya dan tidak boleh terjadi saat ini adalah bocah itu yang mungkin bisa mendapati pemandangan 'tak pantas' untuk mata polosnya yang tidak tahu apa-apa.

...

"Ghhaaakkh!" Gaara hampir ambruk kembali tapi ia pantang untuk jatuh. Di depannya Hiashi terlihat begitu marah dengan wajah memerah dan rahang mengeras.

"Lawan aku, Sabaku!"

"Hhh... hhhh..." napas Gaara begitu berat.

"Kau berani menyakiti putriku, tapi kau tidak berani melawanku?! Apa karena Hinata seorang perempuan kau bisa dengan bebas menyakitinya?!"

"Hyuuga-san hh... aku-"

"Kuperintahkan kau untuk melawanku sekarang! Tunjukkan tekadmu untuk putriku!"

Gaara mendongak. Ia mengeratkan pegangan pedangnya.

"Aku tak sudi menyerahkan Hinata pada bajingan rendah sepertimu! Kalahkan aku kalau kau bisa!"

Pria Sabaku itu memasang kuda-kuda untuk menyerang pada akhirnya. Hiashi mengibaskan bedangnya ke udara sebelum melakukan hal yang sama. Mereka berdua sudah bersiap untuk menyerang satu sama lain.

"Selama aku hidup, Hinata tidak akan pernah kuserahkan padamu!"

"Grrhhaaaarrghh...!" Gaara berteriak kencang sebelum berlari menerjang ke arah Hiashi yang juga berteriak keras untuk mengobarkan amarahnya.

"Hhhaaaaaarrrhh...!" pria paruh baya itu melesat cepat ke arah Gaara untuk menebaskan pedangnya dengan kekuatan penuh sebagai serangan finalnya.

Gaara sudah akan mengayunkan pedang di tangannya hendak menyerang, tapi melihat amnethyst di wajah tua itu membuatnya langsung teringat Hinata. Ia menahan pukulannya di saat terakhir yang menyebabkan serangan Hiashi benar-benar telak mengenai dadanya hingga pedang kayu di tangannya terpental jauh dengan keras.

Trangg!

Brukk!

Tubuh Gaara terbanting keras. Kesadarannya masih ada tapi ia tak mampu bangkit lagi. Hiashi yang selesai dengan pukulannya masih bertahan dalam posisi setelah menyerang dengan napas berat karena merasa semakin murka. Dengan amarah meledak ia melempar katananya dan menghampiri tubuh Gaara tergeletak dengan langkah kaki menghentak yang begitu mengerikan. Ia menarik kerah kemeja Gaara dan memukul wajahnya dengan keras.

Buakh!

"Kau bermain-main denganku?!"

"Hy-hyuuga-san-"

Bakh!

Hiashi kembali memukulnya.

"Kenapa mengingkari perbuatanmu, huh?!"

"A-aku tidak bisa..." Gaara hampir kehilangan kesadaran.

Duakh!

Ia kembali ambruk.

"Kau tahu apa yang sudah kau lakukan pada putriku, Sabaku?"

Hiashi menarik kerah Gaara lagi, kali ini lebih tinggi. Membuat napas pria Sabaku itu begitu tercekat ditambah sengalan dadanya yang menyakitkan.

"M-maafkan aku..."

Dakh! Buakh!

Hiashi memukul pelipis dan menendang perut Gaara. Membuat pria itu tak bisa bernapas selama beberapa detik, lalu terbatuk mengeluarkan darah.

"Hyuuga-san, k-kumohon-"

"Apa kau berhenti ketika Hinata memohon padamu?" Hati Hiashi terasa teriris jika membayangkan perbuatan biadab pria itu pada putrinya.

"Itu..." Gaara tak mampu berkata-kata. Ia menatap raut sakit ayah Hinata hingga jadenya pun tak sanggup menahan lelehan air mata.

Buakh!

"Ghhaahhh hh..." Gaara kembali terbanting ke lantai.

"Kau sudah menyakitinya. Kau sudah merusak masa depannya! Kau menghamilinya di usianya yang begitu belia!"

Duakh! Buakh! Buakh!

Hiashi terus menghajar wajah dan tubuh Gaara dengan brutal. Menendangnya, membantingnya, apapun itu hingga amarah yang kini meledak dalam hatinya bisa ia lampiaskan pada bajingan itu setelah 7 tahun lamanya.

"Apa kau belum puas menyakitinya?!"

Duakk!

"Kau belum puas membuatnya hidup menderita?!"

Duakk!

"Belum puas membuatnya harus pergi meninggalkan rumah dan keluarganya?!"

BUAKH!

"Ghhuaahhh..."

Srrt!

Gaara mengeluarkan darah yang begitu banyak dari mulutnya. Ia menggeliat dengan tubuh tertelungkup di lantai dan terus terbatuk megeluarkan darah. Satu gigi gerahamnya bahkan tanggal saat mendapat pukulan keras di rahangnya barusan. Tubuhnya penuh luka, wajahnya lebam tak berbentuk, dengan hidung dan mulut mengeluarkan darah, kesadarannya sudah sangat menipis dengan pandangan memburam, tapi ia masih bersikeras untuk bisa bertahan.

"R-restui k-kami... hh... uhuk uhuk... Hyuuga-san... kami..." susah payah Gaaar mencoba berbicara.

"Hrrnghh!" Hiashi meraih rambut maroon pria yang sudah terkapar itu dengan kencang.

"Kau masih tak tahu diri?! Apa aku harus membunuhmu agar kau tidak mengganggu putriku lagi?!"

"T-tidak... H-hyuu-"

Srrrk takk!

"OTOU-SAN...!"

Pandangan Hiashi dengan cepat teralih pada teriakan Hinata yang histeris melihat kondisi Gaara. Wanita itu jatuh bersimpuh karena terlalu terburu-buru dalam membuka pintu setelah pencarian paniknya. Dengan kasar Hiashi melempar genggamannya pada rambut maroon itu. Gaara yang mendengar Hinata di ujung kesadarannya, serasa mendapat angin surga, bisa mendengar suara yang begitu didambanya. Jadenya ia paksakan melihat wanita yang masih bersimpuh dengan tubuh gemetar hebat di depan pintu.

"Kau mungkin bisa menghasut dan memanipulasi putriku, memaksakan kehendakmu padanya. Tapi aku tidak. Selama aku masih hidup, tak akan kubiarkan Hinata jatuh ke tangan sampah sepertimu." Ujar Hiashi dingin.

Gaara dengan gerakan patah-patah mencoba mengalihkan perhatiannya kembali pada Hiashi, berniat bersuara, namun pria paruh baya itu beralih, enggan menanggapi segala yang ingin diucapkannya.

"Kau membuat Hinata pergi selama tujuh tahun, maka kau juga harus menunggu selama tujuh tahun untuk mendapat jawaban dari pertimbanganku atas hubungan kalian." ucapan bernada rendah yang sarat akan kemurkaan itu seketika membuat hati Gaara hancur. Pria paruh baya itu berjalan menghindari putrinya yang langsung bangkit berlari dengan tergopoh-gopoh ke arah tubuh mengenaskan Gaara. Dipenuhi derai air mata yang membanjir setelah mampu bangkit dari rasa keterkejutan dan ketakutan yang sangat besar.

"H-hi-hinata..."

"Gaara...!"

Hinata tak tahu apa yang bisa ia lakukan dengan tubuh Gaara yang babak belur seperti ini. Dengan begitu hati-hati ia merengkuh kepala pria itu dengan tubuh mungilnya yang bergetar hebat dan air mata yang menetes deras.

"J-jangan me-nangis..." Gaara yang mengeluarkan usaha begitu besar hanya untuk bersuara malah semakin membuat Hinata terisak kencang.

"Kenapa? Kenapa kau harus melakukannya?" tangan besar Gaara mencoba meraih pipi Hinata yang langsung ditangkup empunya untuk mencapai pipi basahnya itu. Tak peduli dengan bercak darah Gaara yang mengotori wajahnya.

"Kh... k-kembali lah... kembalilah, H-hinata... uhuk uhuk..." Hiashi benar-benar tak menahan serangannya. Dan Gaara pun terima saja pria itu menghajarnya karena ia tahu kesalahan besarnya.

"Gaara... hiks..." Hinata mencoba mennyentuh wajah babak belur itu dengan sangat hati-hati. Ia menggeleng pelan untuk menjawab permintaannya.

"H-hinata... khh kumohon..." Hinata tetap menggeleng pelan.

"Tunggulah beberapa lama lagi... hiks..." ia mencoba menyeka air mata dan darah yang terus mengucur dari wajah Gaara. Meringis sakit melihat betapa hancurnya kondisi pria yang ia cintai.

"Hiks! J-jangan berbuat hal berbahaya lagi, hiks... kumohon, a-aku tak sang-"

"Hinata t-tidak..."

Hinata masih menggeleng.

"Kumohon t-tunggulah... Kau bisa datang berkunjung untuk Rei kalau k-"

"Tidak! Uhuk uhuk..." Gaara terbatuk mengeluarkan darah kembali yang membuat Hinata semakin panik.

"Gaara!"

"Kembalilah sekarang... uhuk hhh... Hinata..." di tengah batuk dan napas sesaknya Gaara masih mencoba untuk membawa Hinata kembali bersamanya.

"Gaara..." Hinata menatap pedih jade yang memelas itu.

"K-kumohon..."

Mengingat hal keji yang pernah dilakukannya, sekilas Hinata merasa Gaara pantas untuk mendapatkannya.

"Tidak, Gaara... Tidak bisa..."

Bagaimana ia yang menorehkah luka begitu dalam yang sempat membuatnya serasa ingin mati saja.

"Hinata..." Gaara semakin putus asa. Ia tidak mau kehilangan wanita yang dicintainya. Perkataan Hiashi terakhir kali tadi benar-benar membuatnya takut.

"Kumohon..."

Luka yang Hinata dapatkan terasa lebih menyiksa dan menyakitkan, karena diberikan sendiri oleh orang yang dicintainya.

"Beri aku waktu, Gaara!" Hinata sedikit berseru. Tangisnya berubah menjadi senggukan menyakitkan.

"Hanya beri aku waktu. Aku akan kembali padamu jik-"

"Tidak!" Gaara pun juga berseru tegas. Dengan tubuh bergetar ia merengkuh tubuh mungil yang menangis kencang dalam tubuhnya itu.

"Aku tidak bisa... aku tidak bisa Hinata..."

"Gaa-"

"... Aku tidak bisa melakukannya. Aku tidak bisa hidup tanpamu..."

Karena cinta bisa membuat seseorang gila.

"Gaara kumohon..."

"...Kau milikku. Kau adalah milikku... kau harus kembali padaku...!"

"Gaara!"

Tak sanggup, Hinata berinsut dari pelukan pria ringkih dengan jade yang penuh air mata itu.

"Hina-"

"Kau egois, Gaara! Kau selalu egois!"

Karena cinta bisa membuat seseorang mementingkan dirinya sendiri melebihi apapun.

"T-tidak... jangan...hhh kumohon..."

"Kenapa kau tidak mempercayaiku? Kenapa kau tidak memahamiku? Apa kau percaya aku akan benar-benar meninggalkanmu? Aku hanya butuh waktu, Gaara! Aku butuh waktu!"

Karena cinta bisa membuat hati seseorang merasakan kesakitan yang amat sangat.

"Tidak... ayahmu tidak mengijinkanku, Hinata... dia bisa membuatmu meninggalkanku sewaktu-waktu!" pria itu mencoba menyeret tubuh ke arah Hinata yang malah beringsut mundur menghindarinya.

"Kau hanya perlu percaya padaku, Gaara... aku bisa membujuk Tou-san untuk semua. Kau harus percaya..." selembut mungkin Hinata mencoba kembali meyakinkannya.

Tapi Gaara yang sudah ketakutan, hanya ingin sebuah kepastian bahwa wanita itu bisa berada di sisinya saat itu juga.

"Aku selalu percaya padamu, Hinata hhh..." mengatur napasnya yang masih terasak sesak.

"... Tapi kumohon hhh... kembalilah bersamaku sekarang,"

Hinata menatapnya tak percaya. Tak bisakah Gaara untuk sekali saja menyerahkan keputusan padanya? Tak bisakah pria itu mempercayainya?

Karena cinta juga bisa menimbulkan suatu rasa takut hingga ketidakpercayaan yang begitu besar.

Dengan hati perih dan berat Hinata berlari keluar dengan derai air mata deras di amnethystnya. Tak menyadari bahwa ayahnya masih berada di balik pintu dengan mata terpejam dan raut mengeras yang nampak pada dahinya yang berkerut. Hiashi mendengarkan semuanya.

"Hinata...!" wanita itu meninggalkan seorang pria Sabaku yang hanya bisa meraung dan mencoba bangkit dalam ketidakberdayaannya kini. Ia terus mencoba berteriak walau suara beratnya terdengar serak seolah akan habis, ditambah kondisinya yang parah hanya bisa membuatnya berkali-kali jatuh hanya untuk mengejar wanitanya.

Tapi percayalah... cinta memiliki sisi keindahan yang begitu luar biasa membahagiakan.

"Tokuma, Kou," Hiashi memanggil dua orang terpercayanya yang memang sedang berada di sekitar sana ketika tahu bahwa tuan mereka menghajar seseorang di ruang latihan.

"Hiashi-sama!"

"Bawa bedebah itu pulang ke tempatnya. Pastikan ia berhenti membuat keributan karena bisa mengganggu cucu dan putriku." titah Hiashi.

"Hai', Hiashi-sama!"

Kedua pria yang disuruhnya itu pun segera masuk ke ruang latihan dan membuat kesadaran Gaara yang masih mencoba merangkak, berteriak serak bak orang gila, benar-benar raib sebelum membawa tubuh penuh luka nan berdarah-darah itu ke luar ruangan. Saat mereka telah lenyap, Hiashi yang mulanya bersandar di dinding akan beranjak ketika tubuhnya mulai bereaksi dan ia hampir jatuh jika saja sepasang tangan mungil yang kuat terlambat menopangnya.

"Tou-san!" Hiashi melirik Hanabi yang memasang raut begitu cemas dengan bekas lelehan air mata yang ketara. Pria itu menghela napas lelah. Mengutuk kehadiran Sabaku laknat yang membuat keluarganya selama ini menderita, membuat keluarganya harus terus mengeluarkan air mata.

"Kenapa Tou-san melakukannya?! Apa Tou-san tidak tahu kondisi Tou-san tidak baik-baik saja?!" Hanabi memarahi Hiashi karena merasa khawatir dengan kondisi ayahnya. Ia kembali menangis melihat ayahnya yang terbata-bata walau hanya untuk berjalan saja.

"Aku baik-baik saja, Hanabi. Sejak kedatangan Hinata aku sudah kembali seperti sedia kala. Jadi tidak masalah, jika hanya untuk menghajar seorang bajingan hina yang sudah menghamili kakakmu itu," ucap Hiashi rendah.

"Tou-san..." Hanabi hanya bisa semakin menangis melihat ayahnya.

...

"Hhaaaa... hiks ahhh... haaa... hiks..." Hinata berlari ke arah taman belakang mansion untuk bersembunyi dari semua orang. Ia hanya ingin menangis keras sepuasnya. Ia hanya ingin menumpahkan semuanya. Perasaan sakit itu kembali datang. Setelah semua kesalahpahaman yang mereka tahu, setelah ia mencoba untuk memberi pengertian, kenapa sikap Gaara masih mengecewakan? Hinata tak tahu sampai kapan mereka akan terus tersakiti, saling menyakiti, dan sakit seperti ini. Hinata meringkuk di sebuah pohon willow tua untuk menyembunyikan dirinya yang begitu rapuh. Kondisinya saat ini bagaikan deja vu tujuh tahun lalu, namun tangisannya kini dilatarbelakangi oleh hal lain yang membuatnya pilu.

"Hiks... hhh... Kami-sama hiks..."

"Kaa-...san...?"

"!" Hinata tercekat mendapati suara lirih yang datang dari arah sampingnya. Ia langsung menoleh dan seketika mendapati raut sendu putranya yang kini berada di balik pohon tempatnya bersembunyi.

"R-rei-kun..."

"Hheeeeee...! Hh hikss... hhuueeeeee...!" tiba-tiba bocah itu menangis kencang dengan air mata yang begitu deras mengalir.

"Rei...!" secepat kilat Hinata segera menyambar tubuh mungil putranya yang bergetar hebat dengan tangis kencang yang menyayat hatinya.

"Hhhuuaaaaa... hiks hiksss... Hhhaaaa...!"

"A-ada apa sayang? Rei-kun terluka? R-rei-kun sakit?" Hinata begitu cemas dan khawatir.

Tapi ia tak menemukan hal ganjil apapun di tubuh putranya yang masih terus meraung dengan keras di pelukannya.

"Rei-kun..." Hinata semakin sedih melihat putranya yang menangis tiba-tiba seperti ini. Tubuh kecil itu bergetar hebat, dan tangis kencangnya tak pernah Hinata lihat sebelumnya. Seolah bocah yang belum mengenal dosa itu sedang paham akan apa yang menimpa dirinya dan kedua orang tuanya.

"Hiks hiks... hhuuaaaaa...aaaa...!" bahkan senggukannya terlihat begitu menyakitkan.

"Sssshhh... hiks, tenang sayang... ada Kaa-san disini..." walau ia juga tengah menangis, Hinata tak mau membiarkan putranya terus menangis kencang seolah ia sedang terluka parah seperti ini.

"Hhhuaaaaa... hiks hhhhaaaaa... aaa..."

"Hiks, Rei-kun..."

"Nee-san!"

Hanabi yang mencari keberadaan sang kakak setelah mengantar ayahnya ke kamar, menemukan Hinata yang tengah berpelukan dengan Rei yang menangis kencang di dekapannya. Membuat gadis itu mau tak mau kembali mengeluarkan air mata dan memeluk dua orang yang tengah mengalami cobaan berat di hidupnya saat ini.

Setelah keadaan sedikit tenang, Hinata meminta Hanabi agar memberinya ruang bersama Rei saja di dalam kamar. Bocah itu masih sesenggukan walau Hiashi juga sempat datang untuk menenangkannya. Ia kini berbaring berhadapan dengan sang ibu yang mendekapnya sayang. Hinata terus membelai surai maroonnya dengan lembut untuk memberinya ketenangan. Ia sudah tak menangis seperti Rei, tapi perasaannya dalam kondisi yang tidak baik-baik saja. Ditambah melihat kondisi putranya yang seolah tahu keadaan mereka sekarang, membuat hatinya berkali lipat terasa nyeri.

Hinata menyayangi putranya. Betapapun ia menderita dalam membesarkannya, betapapun sakit dan terhina ia saat di awal sampai mendapatkannya, hingga betapapun miripnya sang putra dengan orang yang begitu ia benci sekaligus ia cintai, Hinata tetap mencintai Rei. Sampai kapanpun. Maka hatinya sangat sakit dan tak rela saat harus dihadapkan oleh tumpahan perasaan bocah kecilnya itu kini.

"Apa Rei-kun ingin sesuatu?"

"Hm mm!" Rei menggeleng kuat menanggapi ibunya. Lelehan air matanya sulit untuk berhenti.

"Apa Rei-kun ingin pulang?" Hinata sedikit berat mengatakannya.

"Mmm!" Bocah itu masih menggeleng sambil menggeram menyatakan ketidaksetujuannya.

"Rei-kun merindukan Tou-san?" tak terasa setetes air mata kembali meluncur di pipinya.

"Hiks! Mmm!" Rei menggeleng, tapi ia kembali merintih karena tangisan.

"Sssshhh... jangan menangis... Rei-kun kan sudah besar..."

Rei hanya tak mampu berbicara. Ia terlalu sakit melihat ibunya yang tampak begitu menderita. Hal yang paling tak sanggup ia hadapi adalah melihat ibunya menangis. Apalagi sampai meringkuk dengan begitu rapuh di bawah pohon seorang diri, Rei tak bisa membayangkan rasa sakit seperti apa yang membuatnya sampai seperti itu. Rei hanya benci melihatnya. Ia tak rela melihatnya. Ia menangis karena hatinya sangat sakit melihat ibunya tampak menderita.

"Rei-kun tidak merindukan Tou-san?"

Rei masih menggeleng.

Sekeras apapun Hinata mencoba untuk membuat hidupnya sendiri menjadi baik, tidak akan ada artinya bila ia mendapati putranya bersedih seperti ini. Ia harus mau menyingkirkan semua ego dan keinginannya. Hinata akan melakukan apapun demi kebahagiaan anaknya. Ia tidak apa-apa jika Rei memang menginginkannya. Bagi Hinata, Rei adalah segalanya. Walau sakit, ia harus tetap melakukannya jika itu membuat putranya menjadi lebih baik.

"Kita bisa kembali kalau Rei-kun mau," lirih Hinata.

Rei yang mendapat kalimat seperti itu hanya mematung sejenak. Meremat baju ibunya seakan menahan perasaan sesaknya yang kembali datang.

Bocah itu menyayangi ayahnya. Ia juga ingin hidup bersama dengannya. Tapi ia mencintai ibunya lebih dari siapapun. Ketika ia melihat mobil yang pernah membawanya dan sang ibu dari Kiri melalui jendela kamar di lantai dua yang berjalan pergi, membuatnya terperangah dengan pikiran yang berputar di otak. Hal pertama yang Rei duga adalah kedatangan sang ayah di kediaman Hyuuga. Namun kepergiannya yang begitu saja tanpa membawa ia maupun ibunya, ia asumsikan sebagai ayahnya yang mendapat penolakan. Ya, semua terhubung. Ibunya yang pergi diam-diam membawanya kesini, dan ayahnya yang pergi begitu saja dari sini, membuat Rei yakin akan hal itu. Dan mendapati ibunya yang menangis begitu pilu di bawah pohon hingga membuat hatiya sakit sekali, memperkuat dugaannya. Ia tak tahu apa yang sudah diperbuat ayahnya sampai ibunya menolaknya. Tapi Rei tahu, bahkan sejak pertama kali kedatangannya, bahwa ayahnya telah begitu menyakiti ibunya. Namun entah karena apa. Ia hanya bisa membuat dugaan sejauh itu.

"Mmm..." Rei menggeleng lemah, seperti tak yakin.

"Rei-kun..."

Sebesar apapun keinginan Rei hidup bersama ayahnya, lebih besar keinginannya untuk bisa hidup bersama ibunya, membuatnya terus tersenyum bahagia. Karena Rei tahu ia sudah begitu lama hidup menderita. Hanya Rei yang tahu perjuangan hidup mereka sejak awal. Hanya ia yang tahu betapa keras usaha ibunya untuk menghidupi dan membesarkannya. Rei harus menekan semua keinginannya jika itu bisa membuat ibunya lebih baik. Satu-satunya hal yang ia inginkan di dunia ini adalah kebahagiaan ibunya semata.

"Kaa-san... aku menyayangi Kaa-san..." bocah itu memeluk erat Hinata yang juga balas memeluknya. Tanpa Rei tahu, bahwa keputusan untuk pilihan bagi mereka dilimpahkan sang ibu pada dirinya. Dan sebaliknya, tanpa Hinata tahu, putranya juga telah sepenuhnya menyerahkan keputusan untuk hidup mereka kepadanya.

TBC

Huft... panjang kali, dan Uma pikirini adalah chappy dengan bawaan paling berat di RAIN

*sad T_T

Pengennya Uma bagi 9 chap, tapi dipikir-pikir udah melenceng jauh dari rencana awal

Jadi 7 chap aja, n maybe chap final nanti ga akan sepanjang chap 6 :D

Btw, mohon maaf lahir batin minna...

Mohon bantuannya juga, Uma makin ga mood buat nulis. Sebab jujur aja, keinginan utk hiatus semakin besar aja ini ahahaha

Yosh, thank you sudah membaca and see yaa! ^^