Onigiri Miya
Haikyuu FurudateHaruichi
Pairing : Sakusa x Osamu/Suna x Osamu (Yup, Osamu is bottom)
Warn : OOC AF, cerita nggak jelas, dan ... selama ini aku bilang ayo bikin fluffy di fanfic ini? Hahahahaha No! wkwkwk
Summary :
Semua berawal dari Sakusa Kiyoomi memutuskan dapur Osamu cukup bersih untuk dia kunjungi. Namun siapa sangka kedekatan mereka akan membawa Sakusa pada masa lalu Miya Osamu yang tak pernah dia duga? Sakusa/Osamu. (Suna/Osamu)
Happy reading
Saat Suna menyatakan perasaannya, Osamu masih ingat betul betapa malu dirinya, berapa merah wajah Suna, begitupula wajahnya. Sebagai satu-satunya orang yang dia beritahu orientasi seksualnya, Osamu tidak menyangka Suna malah akan berkata dia memiliki perasaan padanya. Osamu telah lama memperhatikan Suna—malah dialah penyebab orientasi seksual Osamu berubah—sehingga dia dengan masih mencubit tangannya, pipinya, dan matanya mengerjap tidak percaya.
Di sisi lain, Suna menunduk, tangannya menyentuh belakang kepalanya, matanya tidak fokus menatap lawan bicara. Mereka sama-sama gugup. Osamu membuka mulutnya, hanya untuk menutupnya lagi. Bukan mawar yang ada di tangan Suna untuk sogorak kencan, bukan pula coklat yang menggiurkan. Mereka tidak melakukannya dengan romantis layaknya muda mudi yang kasmaran, mereka bukan muda mudi. Mereka hanyalah dua pemuda yang mencoba mencari jati diri. Dengan onigiri sebagai saksi.
Osamu menerima onigiri itu, hanya dengan satu kata balasan.
"Terima kasih."
Mulut Suna terbuka tidak percaya kemudian tertawa hambar. "Maaf. Seharusnya aku tahu, meski kau mengaku padaku bukan berarti punya perasaan untukku."
Osamu mengerjap bingung, kemudian dilanjutkan dengan kesadaran atas kesalahan bicaranya. Lantas dia tertawa, dan memukul bahu Suna, dilanjut dengan memakan onigiri isi tuna yang terlalu pedas.
"Aku menerimamu kok," jelasnya. "Aku berterima kasih karena kau sudah menerimaku dan ... sudah menyukaiku."
Wajahnya memerah seperti kepiting rebus, sehingga dia membuang muka dari tatapan tak percaya Suna. Lelaki itu tersenyum bahagia, seolah memiliki Osamu adalah hal paling membahagiakan. Namun setelah itu dia berkata, "Bisa kita rahasiakan dulu hubungan kita?"
"Tentu," jawab Osamu tanpa keraguan. "Aku tidak siap untuk mengatakan orientasiku pada publik."
Suna menatapnya dalam-dalam, kemudian berkata serius, "Dari Atsumu juga."
Perlu beberapa detik untuk Osamu mengangguk. Meski dia masih bertanya-tanya kenapa Suna begitu bersikeras menyembunyikan hubungan mereka. Akan tetapi, Osamu melempar pemikiran itu jauh-jauh. Berpikir bahwa seperti dirinya, Suna tidak berani menunjukkan orientasi seksualnya, dan Osamu sendiri tidak memiliki keberanian mengatakannya pada Atsumu.
Sehingga di sinilah mereka, dengan Atsumu yang masih bersungut-sungut di depan sana. Suna menyejajarinya, tetapi hanya dalam batas teman, sahabat, rekan satu tim yang akrab, apa pun, tetapi bukan kekasih. Mendekati pun tidak. Osamu tidak memprotes, setelah tiga bula berhubungan dia tidak menuntut. Tidak pula berani bertanya.
Kemana mereka semalam?
Osamu bisa memastikan Atsumu tidak menggunakan voli untuk melepas stressnya. Dia hanya tidak bisa memutuskan apa yang sedang mereka lakukan. Lagipula kejuaraan sebentar lagi, urusannya dengan Atsumu belum selesai, dan ibunya sedang sangat sibuk. Neneknya masuk rumah sakit, tadi pagi dia dihubungi pamannya, sehingga ibu segera pergi pagi-pagi sekali, setelah meminta Osamu mengurus rumah selama beberapa hari ke depan.
Atsumu baru kembali bersama Suna ketika dia selesai membuat sarapan dan menyiapkan bekal untuk dirinya sendiri. Atsumu bahkan tidak memprotes karena tidak disiapkan bekal, hanya bertanya sambil lalu keberadaan ibunya. Setelah menunggu Atsumu ganti baju—dia bilang sudah mandi di tempat Suna, mereka berangkat dari kediaman Miya.
"Samu, kau harus melanjutkan voli, mengerti?"
Osamu menghela napas, sementara di sebelahnya Suna berkata, "Kita sudah membicarakan ini, Atsumu. Osamu berhak memilih."
Atsumu mendelik kesal. Diam-diam Osamu berterima kasih melalui tatapan matanya dan Suna akan menjawabnya dengan senyum tipis. Atsumu tidak menyadarinya. Dia terlalu sibuk dengan keegoisannya, dan memilih untuk berlari meninggalkan mereka.
"Bagaimana aku meyakinkan, Tsumu?" desah Osamu lelah. "Dia begitu keras kepala."
"Dia akan baik-baik saja," jawab Suna. Dia menatap Osamu dengan kelembutan di balik matanya yang sipit. "Kau mau ke rumahku malam ini? Ayah dan Ibu sedang pergi."
Semburat merah segera memenuhi wajah Osamu. Dia tidak menolak tawaran Suna. Tidak menolak ajakannya malam itu juga. Mereka saling memeluk. Selayaknya kekasih pada umumnya ketika tidak ada mata yang melihat, tidak ada telinga yang mendengarkan, hanya meninggalkan mereka, dan kecupan-kecupan. Hanya membiarkan mereka di kamar Suna yang Osamu hafal betul letaknya. Dengan sinar lampu tidur yang menyala sementara pemilik kamar masih enggan menghentikan kegiatannya.
Hingga Osamu tertidur di pelukan Suna. Seperti yang selalu dia lakukan ketika mereka hanya berdua. Betapa Osamu ingin menyimpan waktu ini. Namun sayang, dia tidak bisa melakukannya begitu keluar dari pintu kamar Suna. Atau ketika anggota keluarga Suna yang lain ada di baliknya. Ketika mereka ada, Suna dan Osamu hanyalah dua rekan, teman, dan sahabat. Tidak lebih.
Osamu tidak keberatan. Dia mengeratkkan pelukannya, dan Suna akan tersenyum. "Tidak bisa tidur?" Osamu menggeleng. Waktu telah menunjukkan tengah malam. Ibunya menelpon akan menginap di rumah paman mereka, dan Atsumu enggan berbicara dengannya. Tidak ada gunanya berbagi kamar dengan orang yang mengabaikannya. "Atau kau masih memikirkan tentang Atsumu?"
"Ini kali pertama kami benar-benar bertengkar."
Suna tertawa pelan. "Padahal kalian selalu bertengkar. Selalu bertukar pukulan." Osamu tidak menjawab. Sehingga Suna menutup ponselnya, lantas melingkarkan tangannya pada pinggang Osamu, lantas membisikkan, "Semua akan baik-baik saja, 'Samu. Nenekmu akan baik-baik saja, Atsumu akan mengerti, yang harus kau lakukan adalah yakin dengan apa yang kau inginkan."
Osamu mendongak. "Kau bahkan kemarin memintaku untuk memikirkannya kembali."
Suna meraih belakang kepala Osamu dan membawanya ke dada. "Itu yang kuinginkan, tetapi yang terpenting adalah apa yang kau inginkan."
Detak jantung Suna membuatnya tenang. Rasa katuk menyelimuti Osamu perlaham-lahan. "Kalau saja kau bisa memelukku bahkan ketika orang lain melihat," ucap Osamu di sela kantuknya. Dia tertawa pada dirinya sendiri. "Itu tidak mungkin. Ya, kan?"
Yang menjawab pertanyaan Osamu hanyalah pelukan Suna yang semakin mengerat.
Pagi harinya, Suna tidak ada di tempatnya. Setelah mengambil pakaiannya yang tertata rapi di sebelah tempat tidur dan memakainya, Suna kembari ke kamar dengan bertelanjang dada. Hanya menggunakan celana panjang dan handuk di leher. Air dari rambutnya menetes-netes, dan Osamu bisa melihat tanda kemerahan di leher bagian dalam Suna.
Apakah dia meninggalkan bekas itu semalam? Dia tidak begitu ingat. Akan tetapi, dia sering melakukannya secara tidak sadar. Apa itu juga?
Suna mengangkat sebelah alisnya penasaran. "Ada yang salah?"
"Tidak," jawab Osamu sembari menggeleng. "Aku harus segera pulang. Atsumu pasti kelaparan, dan kita harus latihan."
"Atsumu sudah makan, dan latihan dibatalkan."
Osamu mendongak. "Kata siapa?"
"Kata kapten."
"Tapi kau kaptennya."
"Yup!" Suna tersenyum miring. Dia menjatuhkan diri di sebelah Osamu dan membuat tempat tidur mereka terpantul-pantul. "Kata pelatih kalian perlu beristirahat. Permainan Atsumu buruk, kau melamun sepanjang permainan, dan tidak seperti Kita-san, aku tidak bisa membuat kalian fokus hanya dengan tatapan. Lagipula, anak-anak lain memerlukan libur."
Osamu memicingkan matanya penuh curiga. "Ini bukan karena kau ingin bermalas-malasan, kan?"
Suna tergelak. "Lima puluh persen alasannya itu." Dia meraih tangan Osamu. "Sisanya, apa kau lupa? Kau bilang ingin mengecek universitas hari ini?"
"Oh sial. Aku lupa!"
Suna menepuk puncak kepala Osamu penuh kasih. "Mandilah! Nanti gunakan pakaianku! Aku akan meminjam mobil Ibu."
"Tidak."
"Kalau begitu, akan kupesankan kereta cepat, dan hotel sekalian? Aku ingin menginap. Besok kita akan jalan-jalan."
Osamu merengut. "Bisa kutolak?"
"Tidak," tukas Suna. Dia memeluk Osamu, dan mencium dahinya. "Kau ingin sarapan apa?"
"Terserah saja."
"Okay."
Osamu segera melesat ke kamar mandi. Dia sudah hafal rumah ini luar kepala. Dia juga memiliki sikat gigi yang disimpan di sini. Beberapa kausnya bahkan dia tinggalkan, dan beberapa kaus Suna ada di rumahnya. Bahkan sebelum mereka berpacaran, dia sudah sering menginap di sini. Dia mengenal adik Suna, sebagaimana dia mengenal saudaranya sendiri. Dia juga mengenal orangtua Suna, lebih baik daripada ibunya yang sibuk bekerja.
Singkat kata, rumah keluarga Suna sudah seperti rumah ke dua untuknya.
Ketika Osamu kembali, dia tidak menemukan Suna. Hanya ada ponselnya yang berkedap-kedip. Ada nama Atsumu yang terpampang di sana. Begitu mengangkatnya, Osamu diberondong pertanyaan-pertanyaan menjengkelkan dari saudaranya.
"Hei, Suna! Kau bilang ingin pacar? Aku bersusah payah mencarikanmu kencan buta, kau bilang tidak bisa minggu ini. Kau juga menolak cewek yang kemarin. Apa masalahnya? Dia kelihatan jago di ranjang. Dan ... Suna?"
Sial. Osamu tidak tahu harus berkata apa.
"Suna sedang mengambil makanan."
"'Samu?" bentak Atsumu. "Kau kemana saja? Si Brengsek itu bilang kau tidak ada di rumahnya."
"Aku mau pergi mengecek kampus. Dah!"
"Hei! Tungg-," Osamu mematikan panggilannya.
Ada banyak pertanyaan di kepalanya. Kenapa Suna menginginkan pacar? Kenapa Atsumu mencarikan Suna kencan buta? Cewek yang kemarin itu siapa? Osamu tidak bisa memutuskan apakah dia akan berpura-pura tidak tahu, atau menanyakannya. Kalau dia menanyakannya, apa yang akan Suna katakan?
Kereta pemikiran Osamu terputus ketika Suna kembali. Ada dua kantung di tangannya. Kotak-kotak berisi makanan, dan wajah kebingungan Suna. Osamu tersenyum. Dia mengangkat ponsel Suna.
"'Tsumu menelepon," katanya. Dia ingin tahu bagaimana reaksi Suna, tetapi lelaki itu hanya mengangkat sebelah alisnya. "Dia bilang kau tidak memberitahunya aku di sini."
Suna tersenyum. Dia mengangkat makanan delivery-nya, dan berkata, "Kau bilang tidak ingin bertemu Atsumu dulu, dan kalian bertengkar lagi kemarin siang. Jadi, kurasa sedikit jarak tidak masalah." Dia terdiam. "Apa aku terlalu ikut campur?"
Osamu menggeleng. "Tidak. Ayo makan!"
Di dalam hatinya, Osamu mengutuk diri sendiri karena telah menjadi seorang pengecut.
To Be Continued
Tenang Fashbacknya nggak akan banyak. Chapter depan juga udah selesai. Buat yang kangen SakuOsa lagi, ditunggu ya. Wkwk ...
