Disclaimer: All characters of Naruto belongs to Masashi Kishimoto-sensei. And I'm just playing with it.
Karena tugas negara sudah selesai dan hari kian menggelap, Sakura akhirnya dipulangkan kembali ke habitatnya dengan selamat. Misi ini tidak memerlukan badan intelejen khusus dan hanya Fugaku yang mengantar. Tidak ada Sasuke. Soalnya kalau diantar Sasuke, nanti yang ada malah main bukannya pulang dan itu dinilai sangat berbahaya untuk keselamatan nusa dan bangsa.
Bagi Fugaku, kedudukan Sakura itu setara dengan bakteri jahat (terlahir dari bakteri baik yang tersakiti) yang tidak baik untuk keselamatan anak dan mobilnya. Lagi pula Sasuke sendiri terlihat enggak memaksa dan memilih diam untuk menemani ibunya. Ah, kalau itu bilang saja kalau besok kau mau bolos sekolah Sasuke. Akal bulusmu itu sudah terbaca sama saya.
Sabuk pengaman sudah dipakai. "Sesuai aplikasi ya, Pak." Fugaku langsung mengangguk-angguk saja untuk merespons anak muridnya yang tengil ini sembari menstarter mobil dan roket siap meluncur. "Oh, iya. Praktik buat minggu depan," gumam Sakura melanjutkan.
Alis Fugaku terangkat sebelah. "Memang ada apa?" Sakura menatap malas.
"Pak, jangan sampai saya kasih bintang satu ya." Fugaku mendengus, tetap mendengarkan satwa itu berbicara bahasa manusia. "Bapak belum kasih tahu bahan-bahan yang harus disiapin buat praktik nanti. Jangan makan gaji buta dong!"
Ah, Fugaku baru saja ingat.
"Benar juga, kau aja deh yang info sendiri di grup kelas." Buat apa susah, buat apa susah, kalau ada pembantunya kelaaasss~
"Kenapa jadi saya?" bibir Sakura mengerucut sok imut. "Jadi nyesel ngingetin." Makanya jadi sok ide itu jangan kebanyakan anak—eh, sebentar … kok kayaknya ada yang salah ya?
"Kau itu sedikit pintar untuk tahu bahan-bahan yang harus disiapkan nanti, atau enggak cari di buku sana. Anak zaman sekarang itu kalau mau sukses harus kreatif, inovatif, dan inisiatif."
"Yah, enggak gitu konsepnya."
"Kau ketua kelas, Sara. Jangan manja."
"Kepala suku kan wali kelas."
"Dih, malah jadi bawa jabatan lagi."
Sakura manyun merasa Fugaku bukan lawan yang sepadan dan tidak mungkin terkalahkan. Sudah, sudah. Nikmati saja sekarang. Nanti di zaman kuliah itu lebih berat kayak beban rindu yang dipikul Dilan.
Malas berdebat lebih jauh karena akan terlalu menguras emosi dan otak, Sakura ikut-ikutan diam saja mengikuti Fugaku yang fokus menyetir (ngebut). Jiwa anak jalanan dan pembalapnya bangkit secara naluriah. He-hei, pelankan sedikit! Saya yang duduk di belakang kalian belum pakai sabuk pengaman tahu!
Sampai akhirnya hening menyelimuti suasana.
Beberapa menit tidak ada yang membuka obrolan, Sakura mulai merasa bosan juga agak mengantuk (bisa-bisanya). Ciri-ciri anak zaman sekarang kalau enggak tahu mau ngapain lagi, yah ujungnya pasti mengecek handphone. Sudah enggak tahan … daripada nanti dia jadi gila atau tidak waras, pilih yang mana hayo? Tirai nomor berapa yang isinya satu unit mobil?
Lagi pula jiwa autis sudah mendarah daging berkat teknologi yang terus berkembang secara signifikan. Dan terima kasih kepada sekelompok manusia botak yang membuat hal-hal canggih ini, kalian membuat generasi mereka sangat unik dan menyeleneh dari pakem manusia normal. Kerja bagus.
36 missed call from Kak Sasori.
Aduh, celaka.
Jangan bilang yang tadi getar-getar waktu di ruang guru itu Sasori yang telepon. Untung saja bukan tukang kredit atau agen asuransi. Soalnya terkadang imajinasi Sakura kelewat batas orang normal—siapa tahu orangtuanya khilaf menggadaikan anak bungsunya yang terkenal sebagai beban keluarga paling menyusahkan.
Pokoknya ban ban kamsia, Kami-sama. Ternyata ginjel Sakura yang masih utuh ini ada harapan buat bekal pensiun di masa depan nanti. Hiks. Rezeki anak soleh.
"Kenapa, sih?"
"Bapak diem aja jadi Valentino Rossi."
Oh, lagi gila.
Sembari mengendarai mobil supaya baik jalannya, Fugaku diam-diam berpikir cukup dalam dan serius. Pantas saja beberapa hari yang lalu Jiraiya menanyakan nomor kontak dukun sakti se-Konoha kepada Fugaku. Enggak tahunya, ternyata buat nih bocah yang lagi kesurupan. Pantas saja, angguk Fugaku memaklumi dalam hati.
"Lah iya, Kak Sasori!" Sakura tepuk jidat, merasa hampir terlena di atas awan.
Merasa masih sayang nyawa, akhirnya Sakura menelepon balik sang kakak dan langsung diangkat setelah menunggu beberapa detik.
"Hooo, ternyata masih berani menelpon~"
Sambutan yang sangat berbahaya, Sakura mulai keringat dingin.
"K-kk-kak—"
"Tadi pas dibutuhin ke mana aja? Meninggal? Atau kau ini sebenarnya memang dari awal berencana pengin keluar dari kartu keluarga, hm?"
YA GUSTI NU AGUUUUUUUNGGGGG!
"K-kak, a-aku bisa jelaskan."
