"Selamat pagi, Hatake."
"Ya… Haruno."
Sakura mengulum senyumnya. Ia menatap Kakashi yang sedang mengecup seorang gadis tidak jauh dari tempatnya berdiri sambil menyandarkan tubuh di dinding rumah. Begitu mobil gadis tadi menghilang di ujung jalan, senyumannya mengembang lebar dan ia mencubit lengan Kakashi dengan tatapan jenaka.
"Baru?" tanyanya tanpa basa-basi.
"Ya. Jauh lebih cantik, 'kan?"
Kakashi dengan santainya mengangkat dua botol susu yang berada di depan pintu rumah Sakura dan mengikuti perempuan itu masuk ke dalam. Ia meletakkan botol tersebut di atas meja dapur dan membuka kulkas Sakura tanpa membuang waktu, sementara si empunya rumah sibuk mengocok adonan panekuk yang setengah jadi.
"Tidak ada jadwal pagi hari ini?"
Kakashi menggeleng. Ia meneguk jus jeruk yang diambilnya sambil tertawa kecil. "Aku baru saja pulang, Haruno. Mereka tidak membiarkanku masuk sampai jam tiga sore nanti."
"Baru saja pulang?" Tanya Sakura menahan tawa.
"Baiklah, aku pulang dua jam yang lalu. Sekarang berhenti menggoda dan berikan sarapanku."
Sakura diterima kerja di sebuah restoran elit di tengah kota empat bulan yang lalu. Setelah menemui teman lamanya dan meminta rekomendasi perumahan yang sesuai dengan kondisi keuangannya, Sakura pindah ke rumah ini dan pada saat itulah ia bertemu Kakashi Hatake, seorang dokter bedah muda yang ternyata tetangga satu dindingnya. Setelah itu hubungan mereka menjadi cukup dekat—Kakashi akan pergi sarapan di rumahnya setiap pagi dan Sakura biasanya akan pergi ke rumah pria itu untuk menikmati akun film premium milik Kakashi.
Ia meletakkan dua lembar panekuk di atas piring Kakashi beberapa menit kemudian.
"Es krim?" tanyanya pelan.
"Ini pukul tujuh." Balas Kakashi mengerutkan kening, seperti tidak habis pikir.
Sakura mengangkat bahuny dana tampak tidak terlalu peduli. "Kau harus menikmati hidupmu lebih baik, Hatake… dan tidak ada yang lebih baik dibandingkan makan makanan penutup untuk sarapan." Ujarnya, meletakkan satu sendok besar es krim vanilla ke atas panekuknya.
Kakashi mencibir kata demi kata yang keluar dari perempuan itu dan melanjutkan sarapannya. Ia membuka kedua botol susu yang tadi dibawanya, memberikan satu botol untuk Sakura, dan keduanya kembali diselimuti oleh keheningan.
"Kau tahu," ujar Kakashi pada akhirnya. "Aku—"
Suara pintu yang terbuka menghentikan Kakashi berbicara. Seorang pria keluar dari dalam kamar utama—mungkin seumur dengan dirinya—terlihat sudah rapi sekali dengan setelan jas licinnya dan gel rambut dikepala.
"Oh, kau memiliki tamu?" ujar pria itu sambil tersenyum ke arah Kakashi.
"Aku tetangganya."
"Ya, dia tetanggaku." Jawab Sakura sambil cepat-cepat meletakkan garpunya. "Aku akan mengantarmu ke depan."
Kakashi memperhatikan kedua orang itu dengan pandangan tidak terlalu peduli. Panekuknya sudah nyaris habis saat Sakura kembali delapan menit kemudian.
"Bukankah gel rambutnya terlalu—"
"Oh, aku menahan diriku sendiri untuk tidak mengomentari itu semalaman penuh!" keluh Sakura, menutup wajahnya dengan kedua tangan. "Aku tahu ini bukanlah hal yang buruk, tapi… dia menggantung jas dan celananya terlebih dahulu semalam."
Kakashi tersedak sambil menahan tawa. "Benarkah?"
"Kau pasti akan habis-habisan menggodaku, tapi dia…"
.
.
Kakashi melepas kacamata dan memijat batang hidungnya. Sudah empat puluh halaman dibacanya berulang kali selama beberapa jam terakhir tapi tidak ada hasil memuaskan yang ia dapatkan. Tangannya menyibak tirai jendela dan mengerutkan kening. Pukul setengah dua pagi. Tetangga kecilnya itu belum juga pulang, padahal biasanya Sakura akan sampai di rumah pukul satu.
Pria itu meraih ponsel dan menekan nomor Sakura. Suaranya terdengar beberapa saat kemudian.
"Hmmm?" jawab Sakura tidak terlalu jelas.
"Kau tidak pulang?" Tanya Kakashi.
"Oh, tidak, tidak. Aku akan pulang. Mobilku tiba-tiba saja mati jadi aku harus meninggalkannya di restoran." Ujar Sakura. "Mungkin aku akan sampai sepuluh menit lagi. Ada apa? Apa ada yang mencariku?"
"Ya, si terlalu-banyak-gel-pada-rambut."
"Astaga! Kau bercanda, 'kan?! Aku sudah memblokir kontaknya sebulan yang lalu!" keluh Sakura dari seberang sana. Napasnya yang sedikit terengah-engah terdengar jelas di sambungan telepon mereka. "Aku tahu kau bercanda. Jadi, kenapa meneleponku?"
Kakashi mengangkat bahu. "Biasanya kau sampai di rumah jam satu."
"Ya, karena mobil tua sialan itu bermasalah aku harus jalan kaki."
"Kau jalan kaki?" Tanya Kakashi kaget. "Tengah malam?"
"Oh, Kakashi, kau ini seperti orang tua saja. Hanya empat puluh menit, 'kan? Lagi pula aku juga sudah jarang berolahraga akhir-akhir ini… jadi, sambil menyelam, minum air!"
Kakashi tetap saja tidak habis pikir dengan jalan pikiran Sakura.
"Tapi apa kau tahu," gumam Sakura. Suaranya entah kenapa berubah menjadi sedikit lebih lirih. "Sedari tadi aku tidak merasa sendirian... aku sangat takut, Kakashi. Karena itu jangan matikan teleponnya dulu, ya? Apa pacarmu ada di rumah sekarang?"
Kakashi mengerutkan kening. "Apa maksudmu?"
"Pacarmu. Si pirang!"
"Oh, tidak." Jawab Kakashi cepat. "Dia bukan… dia tidak disini."
"Baiklah. Temani aku. Sebentar lagi aku sampai."
Benar saja. Tidak sampai tujuh menit setelahnya, Kakashi bisa melihat bayangan Sakura dari ujung jalan. Ia bisa tahu karena pria itu memutuskan untuk keluar dari rumah dan berjalan ke depan pagar. Matanya segera saja memicing saat tahu Sakura tidak sendirian—beberapa meter di belakangnya, berdiri seorang pria dengan topi super rendah seperti sedang menutupi wajah.
"Kakashi!" ujar Sakura senang saat ia berhenti di depan Kakashi beberapa saat kemudian. "Selamat malam, Hatake."
"Selamat malam, Haruno. Malam ini aku tidur di rumahmu."
"Apa?!"
Sakura tidak dapat berkata-kata setelahnya karena Kakashi tanpa basa-basi menarik tangannya begitu saja. Mereka berjalan beberapa meter dan masuk ke dalam rumah super gelap Sakura beberapa saat kemudian, mematung di ruang tengah selama beberapa saat.
Sakura seakan tersadar segera menatap Kakashi. Alisnya nyaris menyatu, tampak khawatir.
"Dia masih mengikutiku, ya?"
"Ya. Dan apa yang kau pikirkan?" Tanya Kakashi dengan nada suara sedikit naik. "Berjalan kaki selama empat puluh menit dini hari seperti ini? Lain kali, pastikan kau menaiki bus. Atau taksi. Apa kau mengerti?"
Sakura mengangguk pelan. "Ya…"
"Persetan dengan bus atau taksi. Telepon saja aku."
"Kau pasti sudah tidur."
"Aku akan tetap menjemputmu."
Ekspresi tegang Kakashi berangsur-angsur melembut saat melihat wajah bersalah Sakura. Pria itu menghela napas dan mengusap wajahnya. Ia mengintip luar rumah Sakura lewat jendela. Pria menyeramkan itu masih terlihat mondar mandir disana—ia sambil menimbang-nimbang apakah perlu menelepon polisi atau tidak terkait dengan penguntit itu.
"Aku akan menelepon polisi." Ujar Kakashi akhirnya. "Kau mandi saja. Aku akan berjaga di ruang tengah."
Sakura tersenyum kecil dan mengacak rambut pria itu, meninggalkannya sendirian di ruang tengah. Setelah memberikan informasi pada polisi yang diteleponnya, Kakashi melemparkan dirinya pada sofa krem pudar Sakura dan menghela napas. Baginya, tindakan Sakura sangatlah ceroboh dan berbahaya. Bagaimana kalau penguntit itu memaksa masuk ke rumahnya?
Suara riuh rendah di depan rumah membuatnya sedikit terlonjak. Sakura keluar dari kamar beberapa saat kemudian—masih mengusap-usap rambut dengan handuk—, dan bersamaan mereka kembali mengintip situasi luar rumah dari balik jendela.
Penguntit itu tampak sedang ditanya-tanyai oleh dua orang polisi yang datang. Awalnya ia tetap bersikeras tidak mau pergi, entah apa yang dikatakannya, namun pada akhirnya kedua polisi tadi berhasil memasukkannya ke dalam mobil dan berlalu dari sana.
"Apa kau mengenalnya?" Tanya Kakashi pelan.
Sakura menggeleng. "Tidak. Tapi memang banyak orang aneh akhir-akhir ini, 'kan?"
Kakashi tidak menanggapi. Ia malah kembali duduk di sofa dan menyalakan televisi dengan suara rendah. Film lawas tahun 90an sedang diputar disana—lalu Sakura datang dengan dua gelas teh hangat beberapa saat kemudian dan menyamankan diri di sebelahnya.
"Aku akan pulang sebentar lagi. Tidak perlu repot-repot memberikanku teh."
"Huh? Kau bilang kau akan menginap disini?" Tanya Sakura bingung.
"Kapan aku bilang begitu?"
"Selamat malam, Haruno. Malam ini aku tidur di rumahmu." Ujar Sakura dengan nada sedikit mencibir, menirukan suara berat Kakashi yang tadi didengarnya. "Lagi pula, tolong tinggal disini saja malam ini. Aku… benar-benar masih takut."
Kakashi terdiam selama beberapa saat dan lagi-lagi tidak menjawab. Seperti bentuk persetujuan, pria itu meraih cangkir tehnya dan menyesap teh lemon panas buatan Sakura.
.
.
Bunyi alarm yang luar biasa besarnya membangunkan Kakashi dari tidur. Lengan kanannya benar-benar mati rasa—dan langsung saja ia tersadar bahwa ada kepala dengan rambut merah muda yang tidur di atasnya.
Kedua alisnya berkerut saat sadar bahwa mereka berdua tertidur di atas sofa. Ia tidak ingat sama sekali kalau mereka tertidur seperti ini.
Sakura sendiri tampak masih pulas. Kakashi susah payah meraih ponsel Sakura yang terletak di atas meja kopi, mengusap layar untuk mematikan alarm, dan kembali berbaring di atas sofa. Lengannya mati rasa dan lehernya terasa sangat kaku, namun entah kenapa mulutnya tidak mau terbuka… seolah-olah memaksanya untuk tetap diam agar Sakura tidak terbangun.
Sebenarnya Kakashi tidak merasa terlalu nyaman sekarang. Sofa ini tidak terlalu lebar untuk dua orang.
Sakura tampak terusik beberapa menit setelahnya. Gadis itu meluruskan kedua tangan dan berusaha untuk membalikkan tubuh—ia sudah pasti akan terjatuh ke lantai kalau saja Kakashi tidak menahan pinggangnya.
Merasa ada yang asing, kedua mata Sakura dengan cepat terbuka dan sontak saja mereka bertatapan.
Keduanya tampak kaget. Terlalu dekat—mereka tidak pernah sedekat ini sebelumnya.
Sinar matahari dari lubang ventilasi membuat Kakashi mengernyit beberapa saat kemudian. Gadis di depannya tersenyum kecil lalu bergerak bangun.
"Selamat pagi, Hatake."
"Ya… Haruno."
