All My Regrets : 5

.

.

.

"Mikasa!" Teriak Eren lebih kencang dan membuat beberapa orang di kelasnya melihat ke arah Eren. Kebetulan sudah mendapatkan perhatian, Eren segera berkata, "Bantu aku, cepat! Mikasa pingsan!"

Dengan buru-buru Eren membawa Mikasa dengan cara menggendongnya, jarak antara kelasnya dan ruang UKS lumayan jauh, harus menuruni tangga terlebih dahulu lalu melewati samping ruang guru, dan akhirnya dengan bantuan teman-temannya yang lain mereka berhasil sampai di UKS.

Eren segera mengambil lap dan mengusap kening Mikasa, di sana ada bekas merah akibat benturan. Eren mengingat kejadian serupa beberapa waktu lalu, Mikasa juga pingsan seperti ini.

Seorang guru datang bertanya, "Dia pingsan? Apa yang terjadi padanya?"

"Dia pingsan begitu saja, kami tidak tahu apa sebabnya dan kami langsung membawanya kemari." Jawab Eren apa adanya mewakili 3 orang teman sekelasnya yang juga ikut mengantar. Eren bahkan tidak tahu penyebabnya apa. Bukan seperti waktu lalu ia tidak sengaja melempar bola dan naas terkena kepala Mikasa dan membuat gadis itu pingsan.

Bel pelajaran selanjutnya berbunyi nyaring, lalu guru yang sedang memeriksa Mikasa itu berkata, "kalian kembalilah ke kelas," dan semuanya langsung membungkuk hormat lalu kembali ke kelas, kecuali Eren yang masih bertidam di sana.

"Kenapa kau tidak kembali?" guru wanita itu menegur Eren yang masih berdiri tegap di dekat pintu. Eren hanya menatap Mikasa, lalu mengalihkan pandangannya pada guru wanita itu, Eren tidak menjawab langsung, dan guru wanita itu sedikit kesal padanya, "Kau sakit?"

Eren menggeleng pelan, dan guru itu berkata, "Kalau tidak sakit, pergilah ke kelasmu." Tak bisa berbohong, Eren mengangguk dan perlahan meninggalkan ruangan UKS.

Sesampainya di kelas, Eren merenung dan pikirannya tidak fokus karena ia tidak tahu kondisi Mikasa saat ini. Apakah gadis itu baik-baik saja? Bahkan seharusnya jika sudah sadar, gadis itu akan kembali ke kelasnya. Sekarang sudah 15 menit sebelum jam pelajaran terakhir selesai, dan gadis itu belum juga kembali ke kelasnya.

Setelah menunggu sedikit lama, akhirnya bel pulang berbunyi. Eren segera merapikan tas dan buku-bukunya dan tak lupa membawa tas Mikasa yang tertinggal. Jika dalam kondisi biasanya Eren tak mau berdesakan, namun kali ini berbeda. Eren rela berdesakan, terhimpit, bahkan hampir jatuh saat menuruni tangga demi segera menemui gadis pemilik mata kelam itu.

Eren mendapati ruangan UKS kosong setelah membuka pintunya, Eren tidak menemukan gadis itu terbaring di sana. Kasur-kasur putih itu kosong dan tak ada seorang pun yang berjaga. Sebenarnya apa yang terjadi dan kemana perginya Mikasa?

Eren berlari ke ruangan guru yang tak begitu jauh dari UKS, lalu bertanya dengan guru wanita yang tadinya berjaga di UKS. Eren tidak menyadari dirinya sempat bersimpangan dengan trio Connie, Sasha dan Jean yang sekarang menatapnya bingung.

Connie, "Eren? Kenapa dia seperti terburu-buru?"

"Entahlah, bukan urusan kita." Jean memilih untuk tidak terlalu peduli.

Sasha hanya diam sambil memakan roti dengan tenang.

"Permisi, dimana Mikasa?"

Begitulah Eren, langsung bertanya to the point. Jika saja pemuda Yeager ini bukanlah anak dari dokter terkenal itu, mungkin guru wanita ini akan langsung memberi Eren hukuman karena sudah tidak sopan.

Pada akhirnya guru wanita itu mendengus dan berkata, "dia sudah dibawa ke Rumah Sakit untuk diperiksa lebih lanjut."

Kedua mata Eren terbelalak, namun sedetik kemudian ia berusaha tenang, "di Rumah Sakit mana?"

"Rumah sakit nomor satu di Shiganshina."

Tanpa disebutkan namanya pun Eren tahu, itu adalah Rumah Sakit milik ayahnya.

.

.

.

Tanpa mengganti seragamnya, Eren berjalan ke gedung serba putih bersih yang disekitarnya banyak orang mengantri, mengambil obat, memeriksa pasien, mengantarkan jenazah, dan aktivitas lain yang menjadi keseharian di tempat ini.

Sejujurnya Eren tidak mau pergi ke tempat berbau obat-obatan ini. Rumah Sakit Dr. Yeager milik ayahnya. Hanya karena gadis itu saja kakinya ia pijakkan pada lantai rumah sakit nomor satu di Shiganshina.

Setelah bertanya ke resepsionis, Eren langsung menuju ke ruang dimana Mikasa dirawat, dan saat sampai di pintu kamar tersebut, seseorang menghentikannya.

"Oi, kau mau kemana bocah?" suaranya berat.

Laki-laki itu lebih pendek dari Eren namun tatapannya seperti orang dewasa yang sudah matang. Bisa dikatakan umurnya sudah 30 tahun.

"Aku ingin bertemu Mikasa." Jawab Eren jujur. Eren mengira pria di depannya itu pasti berhubungan dengan Mikasa. Salah satu keluarganya, tebak Eren.

Pria yang menatap Eren dengan tatapan datar yang lebih datar dari dirinya itu memicingkan matanya, "Kau temannya?" tanya pria itu.

Teman?

Ya, kalau diingat-ingat, Eren tidak pernah menganggap Mikasa sebagai temannya.

Dan aneh jika sekarang ia menjawab, "Aku… temannya." Dan untuk mengalihkan pembicaraan itu, Eren langsung bertanya, "Anda siapa?"

"Kau bertanya padaku, bocah?" pria itu menjeda kalimatnya, "aku kakaknya. Levi Ackerman." jawab pria itu dengan nada datar sambil memperkenalkan dirinya.

Eren mengingatnya, Mikasa pernah mengatakan kalau ia memiliki seorang kakak yang galak. Jadi dia orangnya… mereka memiliki nama belakang yang sama.

Pria bernama Levi itu memperhatikan Eren tanpa mengalihkan pandangannya, "Kau membawakan tasnya?"

Eren lalu mengangguk, dan memberikannya pada Levi tanpa ragu. Pria itu diam tak mengambil tas milik adiknya itu. Eren menatap Levi dengan tatapan bertanya.

"Bawakan itu, bocah. Kau sepertinya orang yang bertanggungjawab." Ucap Levi. Sekarang Eren dibuat bingung dengan sikap Levi.

.

.

.

Waktu berlalu dan sekarang Eren tengah duduk di luar ruangan bersama Levi. Suasana kembali canggung begitu Levi selesai menceritakan tentang adiknya Mikasa yang sempat membuat Eren terkejut.

"Jadi begitu…" gumam Eren setelah mendengar penjelasan pria Ackerman yang duduk di sebelahnya. "Jantung ya?" ia mengulanginya. Rasanya, ia sendiri seperti terkena serangan jantung. Sulit dipercaya jika Mikasa ternyata memiliki penyakit jantung yang membuat kondisi fisiknya menjadi lemah.

"Eren, maaf aku tidak mengerti apa masalahmu, aku hanya orang luar yang tidak berhak tahu. Tapi aku ada disini… anggaplah aku sebagai temanmu, setidaknya kau bisa bercerita, keluh kesahmu, aku sanggup mendengarnya... Jika kau tidak keberatan,"

Sebuah memori terulang ketika Mikasa mengatakan itu, jika dia bisa mendengar keluh kesahnya. Tapi faktanya, gadis itu tidak menceritakan tentang penyakit yang dideritanya saat ini. Eren merasa dirinya sangat bodoh.

"Kenapa?" tanya Levi. "Sepertinya kau merasa bersalah." Tebak pria itu. Jika hati Eren dapat berkata, maka perasaan bersalah memang terus mengikutinya sampai sekarang.

Pertama, dia pernah mengacuhkan Mikasa, membentaknya dan meninggalkannya seorang diri di ruangan yang gelap.

Kedua, insiden penusukan orang gila itu. Mikasa melindunginya, yang membuat tangannya tergores pisau yang tajam sampai bercucuran darah.

Dan yang ketiga, Eren tak sengaja melemparinya bola basket yang langsung mengenai kepalanya dan membuatnya pingsan. Meski hal itu diluar kendalinya. Tapi Eren tetap membuat Mikasa terluka.

Terluka hati, terluka fisik.

Eren sudah melengkapinya.

Dan Mikasa adalah orang yang memeluknya dengan lembut untuk mengusir emosi yang menggebu menyelimuti dirinya kala itu…

Bagaimana Eren harus mengatakannya? Apakah dirinya bisa disebut manusia yang memiliki hati? Seperti rasanya takdir memang sengaja mempertemukan mereka.

Jika Eren mengatakan itu pada pria di sampingnya yang notabene kakak dari Mikasa sendiri, bagaimana reaksi orang itu? Eren yakin, dari sikapnya mengatakan kalau Levi adalah tipe kakak yang protektif dan tak akan membiarkan orang lain menyakiti adiknya. Eren pasti akan dibunuh.

Eren masih menundukkan kepalanya. "Sudah berapa lama?" kembali bertanya pada orang yang baru saja dia kenal.

"Sejak Mikasa berumur 12 tahun. Dan sekarang penyakit itu kambuh, bahkan lebih parah dari yang sebelumnya." Jelas Levi, alih-alih menunggu balasan Eren, pria itu melanjutkan, "jika kondisi jantungnya terus melemah, kemungkinan terburuknya… kesempatan Mikasa sembuh sangat kecil. Itu yang aku dengar."

Eren tampak terkejut di wajahnya yang murung, ia cemas pada gadis yang selalu memaksanya, ia cemas pada gadis yang telah melindunginya, ia cemas pada gadis yang telah memeluknya beberapa waktu lalu…

Ini masuk akal jika alasan kenapa Mikasa tidak masuk dua hari kemarin adalah karena penyakitnya kambuh.

Levi kembali berbicara, "aku sudah melarangnya masuk sekolah, ternyata dia malah kabur. Dasar anak itu…"

Jadi begitu ya… kenapa kau datang pagi sekali…

"Aku akan ke tempat ini setiap hari." Gumam Eren. Kemudian ia menoleh pada Levi, "Aku akan menjaganya." Sorot matanya mengatakan itu bukanlah kebohongan.

"Kenapa kau berlagak seperti orang yang bisa melindunginya, bocah?" ucap Levi.

"Karena… aku merasa bersalah."

"Apa yang sudah kau lakukan?" tatapan Levi menajam.

"Aku… sudah menyakitinya…" gumam Eren tanpa menoleh pada Levi, "aku sudah menyakiti perasaannya, aku melempar bola ke arahnya, aku sudah—"

BUAGH!

Sebuah pukulan keras mendarat di wajah Eren, dan langsung mengeluarkan darah dari lubang hidungnya. Eren jatuh tersungkur, dan ia mendapati kakak Mikasa sudah berada di depannya dengan tatapan yang tajam dan mengerikan.

"Katakan sekali lagi, apa yang sudah kau lakukan padanya, hah?!" nada Levi meninggi seraya meluncurkan pukulan keduanya yang membuat Eren semakin tak berdaya karena ia merasa pusing. Padangannya sedikit kabur. "Ternyata itu kau ya. KAU YANG MEMBUATNYA TERLUKA?! KAU YANG MEMBUATNYA TAK MAU MAKAN BERHARI-HARI?! DAN KAU YANG MEMBUATNYA MENANGIS?!" amarah Levi tak terbendung lagi.

"Ugh…" Eren tidak bisa mendebatnya apalagi menangkal, selain wajahnya yang sakit, lidahnya kelu.

"Aku masih menahannya." Ucap Levi sinis. Ia menarik kerah Eren lalu ia benturkan jidatnya pada jidat Eren yang sekarang memerah.

"Akkhh…" rintih Eren.

Tidak ada orang di sepanjang koridor, sehingga tanpa membuang waktu, Levi terus menghajar Eren tanpa ampun sampai seorang perawat datang dan memergokinya.

"Kau beruntung, bocah." Desis Levi dan membiarkan Eren tergeletak di lantai.

Perawat wanita itu menelan ludahnya, "Permisi, mohon untuk tidak membuat kegaduhan."

Levi menyadari bahwa ia melupakan setitik cahaya merah CCTV telah merekamnya.

"Shit."

Eren perlahan bangkit, dan dengan nafas yang tidak teratur, ia berkata, "Aku akan tetap disini."

"Tuan Yeager, mohon ikut dengan saya." Ucap perawat itu pada Eren.

Levi menoleh pada pemuda yang baru saja ia hajar itu, dan barulah ia sadar name tag milik Eren yang memperlihatkan namanya dengan jelas yang sebelumnya tertutup tas.

"Kau… Eren Yeager?"

Levi menyadari dirinya sudah memukuli bocah yang ternyata anak pemilik rumah sakit yang ia singgahi sekarang. Levi memang pernah mendengar nama pemuda Yeager itu tapi ia tidak tahu persis bagaimana rupanya, sampai tak menduga bahkan bertemu langsung seperti ini.

.

.

.

Eren menyesal memutuskan untuk mengikuti perawat yang membawanya ke sebuah ruang yang tak ingin ia kunjungi.

"Aku pergi." Ujar Eren pada si perawat yang sekarang membuka pintu milik Dr. Grisha Yeager.

"Eren, kemari." Suara berat milik pria berumur 45 tahun itu membuat Eren mendecih kesal. "Aku harus berbicara denganmu." Sambung Grisha Yeager.

Setelah Eren terpaksa duduk di salah satu kursi, Grisha memberi perintah pada bawahannya, "Tolong obati dia."

Eren hanya diam tanpa menoleh ke arah ayahnya.

"Tidak biasanya kau kemari, aku melihatmu dihajar, apa yang sudah kau lakukan?" tanya Grisha, ia menghentikan sejenak pekerjaannya lalu memfokuskan pandangannya pada sang anak.

"Tidak ada hubungannya denganmu. Sshhhh…." Eren mendesis ketika menahan rasa perih alkohol itu mengenai pipinya yang terluka. Tatapan tajam ia lemparkan pada perawat yang sedang mengobatinya.

Grisha mendengus, "Ku dengar dari kakakmu, kau bertengkar dengannya, memangnya ada apa?"

Eren memutar bola matanya, sudah ia duga kalau kakak tirinya itu pasti mengadu pada ayahnya. Dasar anak tukang adu. Eren mendengus geli, "itu semua karena kau sendiri, jangan lupakan kesalahanmu."

Tiba-tiba Eren berdiri sehingga membuat perawat itu terkejut dan tanpa sempat berkata apapun lagi, Grisha melihat anaknya yang kini beranjak dari ruang kerjanya. Ia hanya menghela nafas beratnya, "Kau masih sangat membenciku ya, Eren?"

.

.

.

Mikasa tidak masuk sekolah hari ini. Kondisinya semakin melemah sejak ia dibawa ke rumah sakit kemarin. Kabar itu langsung beredar karena surat sakit yang bertanda tangan Levi Ackerman itu mengatakan Mikasa tidak masuk karena sedang di rawat di rumah sakit, dan banyak teman-teman yang bertanya pada Eren. Eren hanya mengatakan sekali, kalau hal itu benar.

Eren terlalu malas ditanya-tanya tentang gadis itu. Jika bisa memilih, ia ingin menghilang sekarang juga seperti bangku Mikasa yang menjadi kosong sekarang. Luka di wajahnya yang lebam akibat tinju Levi itu membekas, sehingga tidak hanya ditanya masalah Mikasa, tapi juga dirinya sendiri.

Levi ternyata tidak peduli fakta Eren adalah anak pemilik rumah sakit itu, kakak dari Mikasa itu mengusir Eren karena telah membuatnya marah, sehingga Eren tak bisa bertemu Mikasa. Kondisinya yang lebam membuat Eren mengalah dan pulang. Tapi Eren tetap memegang omongannya, untuk bertemu Mikasa hari ini, meski berhadapan dengan Levi.

Eren jarang sekali mengandalkan firasatnya, dan entah kenapa terbesit pikiran kalau sesuatu akan terjadi. Eren menggelengkan kepalanya berusaha menyingkirkan pikiran negatif itu. Kembali fokus untuk menepati apa yang ia janjikan pada kakak Mikasa, Eren akan datang setiap hari menjenguknya, meski ia tidak suka rumah sakit milik ayahnya.

Hanya demi gadis itu…

Kabar cukup mengejutkan datang dari Erwin Smith yang mengumumkan kalau dirinya akan pindah selama beberapa tahun ke luar negeri, dengan alasan melanjutkan studinya ke jenjang S3. Dan itu berarti ia berhenti mengajar di SMA Shiganshina.

Mendengar pengumuman itu, hampir semua murid sedih dan kecewa. Guru kesenian Erwin digantikan oleh guru perempuan bernama Hanji Zoe. Dari caranya berbicara, guru yang memiliki suara keras itu tipe yang cerewet. Dengan bergantinya guru yang mengajar kesenian, itu artinya tugas prakarya itu tidak perlu digunakan lagi.

"Bagaimana dengan tugas prakarya kami, Bu?" salah seorang murid bertanya.

Hanji Zoe menoleh pada murid yang bertanya, "Kebetulan, saya punya materi yang lebih menyenangkan. Jadi kalian tidak perlu mengerjakan prakarkya dari pak Erwin ya…"

"Wah bagus kalau begitu, Bu. Saya sama sekali belum membuat apa-apa." Sahut murid yang lain.

"Setuju. Saya juga belum!" timpal murid disebelahnya.

Eren teringat perjuangan Mikasa melipat bangau kertas itu dengan kondisi tangannya yang terluka. Bukan hanya itu, Eren teringat perkataan Levi…

"… kesempatan Mikasa sembuh sangat kecil. Itu yang aku dengar."

Sontak ia menggebrak meja dan berkata, "Aku tidak setuju. Kita harus melanjutkan prakaryanya."

Seisi kelas yang melihat tindakan Eren pun memusatkan perhatiannya pada pemuda Yeager itu dan seketika Eren langsung menatap guru wanita kesenian yang baru, Hanji Zoe.

Hanji, "Kenapa kau tidak setuju? Kau punya usulan lain? Kau pasti punya pemikiran yang hebat bukan? Nah, katakan padaku, kenapa kau tidak setuju?"

Eren tidak menjawabnya langsung, ketika Hanji mendekat padanya, barulah ia berkata, "Saya hanya ingin tugas prakarya Erwin Smith dilanjutkan. Hanya itu saja. Karena saya dan partner saya sudah mengerjakannya."

Hanji mencengkram pundak Eren dengan kedua tangannya, ia menatap Eren dan tersenyum lebar, "Siapa partner-mu?"

"Dia sedang sakit."

"Datanglah ke ruanganku setelah jam pulang sekolah." Pinta Hanji.

Eren terdiam sejenak, lalu berkata, "Maaf saya tidak bisa." Eren menolaknya, pemandangan ini sungguh menarik untuk dilihat. Bagaimana bisa seorang murid menolak perintah guru? Dan seluruh isi kelas belum mengalihkan pandangannya pada Eren.

Hanji mendengus, "Kau menolak?" gumamnya diakhiri senyuman lebar yang tersirat banyak makna.

Eren tak melupakan janjinya sendiri pada Levi, "Saya harus ke rumah sakit."

Cukup satu kalimat saja untuk membuat Hanji mengerti, guru wanita itu melepaskan cengkramannya pada Eren dan menyeringai, "Sepertinya ada sesuatu yang menarik di sini." Ujar Hanji yang kemudian baru menyadari sesuatu, "Hei, kau terluka?!"

Apa-apaan wanita ini?

Tidak ada percakapan berarti setelah itu, dan melanjutkan jam pelajaran seperti biasanya sampai bel pulang sekolah berbunyi.

Tanpa menunggu lama, Eren sudah tiba di rumah sakit ayahnya dan dugaannya benar, Levi sudah duduk di luar.

"Aku sudah menunggumu, bocah." Ucap Levi.

.

.

To Be Continued

.

.

A/N:

Oke, segitu dulu chapter kali ini XD

D-1 to final chapter of Attack on Titan. Dan ya, gue udah baca ver inggrisnya...
Wkwkwk gapapa officialnya rilis besok

Menurutku udah cukup sih, setiap orang punya pendapat masing-masing :') Kalo emang upset bisa ditahan aja sendiri

#ThankYouIsayama for this masterpiece of the whole story you have created

So far, aku suka semuanya, bittersweet-nya ngena (di aku). Dan aku tau bang Haji gak sekejam itu buat bunuh semua char wkwkwk

Semoga feel ceritaku masih bisa dapet :') setelah AoT tamat, karena aku pribadi perasaanku mixing, antara senang dan sedih campur, baca cerita sendiri jadi ga berasa apa-apanya. Semoga masih ada yang baca XD

Anyways, tinggalkan jejak ya setelah baca, ok?

Regards, Reye

8 April 2021