Chapter 5. Di Tepi Sungai
Taufan dan Blaze sedikit memperlambat langkahnya selagi menyusuri sungai untuk mencari sebuah pondokan yang dijadikan markas oleh para pemburu haram yang telah menculik kakak dan adik mereka.
Selain lelah berlari, mereka juga berusaha untuk menyimpan tenaga. Urusan dengan para pemburu haram itu belumlah selesai. Masih ada dua lagi saudara mereka yang harus diselamatkan. Halilintar dan Thorn yang masih belum diketahui mengenai kejelasan nasib mereka berdua yang masih disekap para pemburu haram.
Belum lagi lembabnya udara hutan tropis yang nyaris tanpa hembusan angin mulai menguras tenaga dan keringat Blaze dan Taufan.
Sesaat Taufan berhenti berjalan untuk menarik napas lebih dahulu.
"Fuah. Gila panasnya!" dengkus Taufan seraya menyibakkan kaus lengan panjang yang dipakainya karena tidak tahan lagi dengan panas dan lembabnya hawa dihutan itu.
Butiran-butiran keringat terlihat jrlas menitik disekujur tubuh Taufan yang sudah tidak tertutup baju kaus lengan panjangnya.
Baju kaus lengan panjang yang dikenakan mereka untuk mencegah gigitan serangga dimalam hari kini menjadi gerah untuk dipakai pada siang hari dan membatasi gerak-gerik lengan mereka.
Blaze menggelengkan kepalanya setelah melihat Taufan menanggalkan baju lengan panjangnya. "Potong saja lengannya, Kak ..."
Taufan menengok kearah adiknya. Ia melihat bahwa kaus lengan panjang yang dikenakan Blaze sudah bertukar menjadi kaus armless karena bagian lengannya sudah dipotong.
"Betul juga tuh ..." Taufan merogoh saku celananya. Dari dalam sakunya itu, ia mengeluarkan sebuah pisau lipat kecil.
Logo palang putih jelas terpatri pada pisau lipat merah Victorinox Swiss (tm) milik Taufan itu. Dengan menggunakan bilah pisau lipat itu, Taufan memotong bagian lengan baju kaus miliknya itu
Sebentar saja baju lengan panjang Taufan telah bertukar menjadi baju armless tanpa lengan. "Lebih adem sedikit ...," gumam Taufan ketika baju armless improvisasi itu dipakainya. Sisa kain bekas potongan baju itu disimpannya didalam saku. "Mungkin masih ada gunanya."
"Pastinya bukan untuk dijahit kembali 'kan," ujar Blaze seraya memperlihatkan potongan kain dari lengan bajunya yang ia sulap menjadi kaus amless tanpa lengan.
"Bisa jadi senjata juga malah." Taufan berjongkok dan mengambil sebuah batu sungai. Batu itu dimasukkan kedalam potongan lengan baju yang sudah diikat ujungnya. "Lumayan kalau kena kepala." ucap Taufan seraya mengayun-ayunkan potongan lengan baju yang berisikan batu sungai.
Blaze yang melihat senjata buatan Taufan itu langsung menggelengkan kepala. Baginya senjata seperti itu sama sekali tidak efektif . "Ada yang lebih bagus, kak," ucap Blaze yang kemudian menawarkan solusi lain.
Sebuah batu sungai dipungut oleh Blaze. Batu itu diselipkan diantara potongan lengan bajunya yang dilipat dua. Kedua ujung potongan lengan baju itu digenggam dan dijepit diantara jari-jari Blaze.
Kemudian ia memutar-mutarkan potongan lengan baju yang sudah diselipkan batu sungai itu. Dengan sentakan kuat, Blaze melepaskan salah satu ujung lengan baju yang diputar-putarkan diatas kepalanya itu.
Batu sungai yang tadinya terselip diantara lipatan lengan baju itupun melesat dengan kecepatan yang cukup tinggi dan terlontar cukup jauh.
"Hebat, Blaze," puji Taufan dengan senyuman puas yang terkembang pada bibirnya. "Senjata Daud ketika melawan Goliath ya?"
"Yap, umban namanya," jawab Blaze seraya mengantungi potongan lengan baju yang digunakan untuk pamer ilmu yang didapat dari kebandelan dan kenakalan Blaze selama ini. "Sepertinya sama ampuhnya dengan cerita jaman dulu itu."
"Kuyakin sama." Taufan menepuk-nepuk pundak adiknya itu. Senyumannya tak kunjung hilang dari wajah Taufan yang terlihat sangat puas.
Beruntung Taufan rasanya memiliki adik jahil nan bandel seperti Blaze yang bisa kompak dengannya. Memang Taufan yang periang sangat cocok dengan Blaze yang jahil. Keduanya memiliki hubungan yang sangat dekat. Bahkan diantara tujuh bersaudara itu, hanya Blaze dan Taufan lah tidak pernah bertengkar.
Dan satu orang lagi, Thorn. Si kembar yang lahirnya hanya berselisih memit saja dengan Blaze juga salah satu yang tidak pernah bertengkar dengan Taufan atau Blaze.
Thorn yang polos, lugu dan menggemaskan itu selalu bisa ditemukan bersama Blaze atau Taufan. Ketiganya praktis tidak bisa dan tidak pernah terpisahkan.
Dan itulah yang membuat kedua bersaudara yang tengah menyusuri sungai itu risau. Mereka mencemaskan keselamatan Thorn. Apalagi setelah mengetahui dari Solar bahwa Thorn mengalami infeksi pada lukanya yang cukup parah.
Secepat mungkin Taufan dan Blaze bergerak menyusuri tepian sungai yang berbatu-batu. Sesekali mereka melambatkan langkahnya sekedar untuk menarik napas. Tidak terlintas pikiran untuk berhenti walaupun hanya sejenak didalam kepala Taufan ataupun Blaze. Apapun yang terjadi, mereka harus menemukan Thorn.
Namun sekuat-kuatnya mereka berdua, terutama Blaze yang gemar berolahraga, tetap saja tenaga manusia ada batasannya. Setelah hampir setengah jam berlari ditambah satu jam berjalan cepat, tenaga keduanya mulai terkuras.
"Hah ... hah ... Kak ... Ufan," panggil Blaze diantara napasnya yang tersengal-sengal. Butiran-butiran titik keringatnya mengucur tanpa henti dan menetes jatuh membasahi tanah berbatu ketika ia membungkukkan badannya yang lelah. "Ma-masih kuat, kak?"
Taufan malah terlihat sudah terhuyung-huyung langkahnya. Ia bukan olahragawan seperti Blaze, meskipun dirinya cukup lincah dan tangkas. Staminanya pun tidak sebaik adiknya yang suka berolahraga itu. Kedua kakinya yang terasa kaku, pegal dan gemetaran tidak mampu lagi menahan bobot tubuhnya. Belum lagi paru-parunya terasa sangat sesak dan sulit untuk menarik oksigen yang dibutuhkan tubuhnya. "Ngah ... huah ... hah ... dadaku ... seperti ... terbakar."
"Kita ... istirahat sebentar ... Kak." Blaze yang sudah lelah membiarkan dirinya jatuh terduduk. Kedua tangannya langsung memijiti kedua kakinya diluruskan sejauh mungkin. Dengan hati-hati Blaze juga tetap menggerak-gerakkan kakinya yang terasa kaku supaya tidak keram.
Taufan menengok kearah adiknya yang tengah memijiti kakinya sendiri. Ia mengetahui bahwa Blaze lebih berpengalaman dalam hal yang membutuhkan kemampuan otot dan oleh karena itulah Taufan meniru cara Blaze memijit-mijit otot pada bagian betisnya.
Setelah mengistirahatkan kedua kakinya, Taufan berjalan perlahan-lahan mendekati tepian sungai. Air sungai yang jernih dan sejuk itu terasa sangat nyaman ketika digunakannya untuk membasuh wajahnya yang terasa lengket oleh butiran keringat. "Ah sudahlah ... Aku haus ...," gumam remaja bernetra biru safir itu seraya menciduk air sungai itu dengan menggunakan telapak tangannya.
Blaze mengikuti kakaknya yang tengah meneguk air sungai yang jernih itu. Tenggorokannya yang terasa kering dan lengket langsung terasa lebih lega setelah air sungai yang sejuk itu membasahi rongga mulut dan kerongkongannya.
"Ayo kita lanjut, Blaze ..." Perlahan-lahan Taufan mendorong dirinya berdiri. "Entah masih seberapa jauh lagi tempat Thorn dan Halilintar disekap."
Blaze tidak menjawab.
Pemuda bernetra oranye merah itu mengerenyitkan dahinya sembari menatap pada kejauhan. "Kak Ufan ..." Blaze mengangkat tangannya setinggi dada dengan jari telunjuk yang mengacung. "Lihat itu."
Taufan menengokkan kepala kearah yang ditunjuk oleh Blaze.
"Itukah?" Kedua kelopak mata Taufan membuka lebar ketika ia melihat sebuah pondok berdinding kayu yang berukuran cukup besar pada arah yang ditunjuk oleh Blaze. "Markas pemburu haram itu?"
Pondok yang dilihat Taufan dan Blaze terlihat sederhana, tidak ada yang mencolok dari rumah berbahan kayu tersebut. Bahkan tidak ada yang akan menyangka bahwa pondok itu masih ditempati karena terlihat sudah mulai rusak. Kecuali sebuah cerobong yang terlihat mengepulkan asap tipis, tidak ada tanda-tanda kehidupan lagi pada pondok itu.
Blaze mendorong dirinya berdiri seraya berucap, "Hanya ada satu cara untuk mengetahuinya."
"Ya, kita harus kesana," sambung Taufan seraya menganggukkan kepalanya. "Ayo kita lanjut ... Feeling-ku ngga enak."
Sasaran sudah terlihat, kini kedua kakak beradik itu hanya perlu mendekati pondokan yang berdinding kayu itu tanpa terlihat dan tanpa diketahui.
Karena itulah Taufan memutuskan untuk menghindari berjalan persis ditepian sungai dan kembali menerobos hutan. Semak pepohonan yang lebat menjadi sarana yang tepat untuk bersembunyi dan mengendap-endap bagi Taufan dan Blaze untuk mendekati pondok kayu yang diduga adalah sarang pemuburu haram
Hampir sejam Taufan mengendap-endap menerobos hutan dengan Blaze mengekorinya. Jarak kedua kakak beradik itu dengan pondok berdinding kayu tujuan mereka semakin dekat. Dari beberapa jendela yang terpasang pada dinding pondok itu kini terlihat ada dua orang yang tengah mondar-mandir gelisah.
Taufan dan Blaze mengehentikan langkah mereka ketika berjarak beberapa puluh meter dari pondok kayu itu.
Dengan bermodalkan semak belukar sebagai tempat bersembunyi, Blaze merundukkan badannya dan mengamati dengan lebih seksama keadaan pondok berdinding kayu itu.
Pengamatan awal Taufan tepat. Ada dua orang yang terlihat berada didalam pondok itu.
Didalam pondok berbahan kayu itu, Blaze melihat seorang pria berbadan kekar dan tegap. Sesekali orang itu berdiri di dekat jendela kaca yang sudah pecah. Raut wajah orang itu terlihat bengis, jauh dari kata bersahabat. Dari daun telinganya yang hilang dan luka-luka gores di wajahnya, kedua kakak beradik yang tengah mengamati rumah itu menyimpulkan kalau orang itu bukanlah orang yang lemah.
Terlihat pula seseorang lagi yang berbadan besar. Raut wajahnya tidak jauh berbeda dengan rekannya bahkan mungkin lebih tidak bersahabat lagi.
"Sekarang bagaimana, kak?" tanya Blaze sembari menengok kesamping dimana Taufan berbaring merunduk.
"Kita coba lihat bagian belakang pondok ini. Habis itu baru kita susun rencana."
"Oke, kak ...," jawab Blaze seraya mengangukkan kepalanya. Dengan perlahan-lahan Blaze merayap mundur sesunyi mungkin yang diikuti oleh kakaknya. Setelah yakin bahwa mereka tidak bisa terlihat dibalik semak dan pepohonan disekitar pondok itu, barulah keduanya mengambil jalan memutar untuk mencapai bagian belakang pondok berdinding kayu yang tengah mereka selidiki.
Bagian belakang pondok itu tidak berjendela sama sekali. Hanya dinding yang dibuat dari susunan kayu pohon yang ditebang. Beberapa lubang kecil terlihat menganga berbentuk persegi panjang didekat atap pondok itu.
Tanpa bersuara Blaze dan Taufan berhasil mendekati dinding belakang pondok itu.
"Kamu naik, coba lihat kedalam ...," bisik Taufan sebelum menangkupkan kedua tangannya didepan pinggang sebagai tumpuan untuk Blaze memanjat naik.
Blaze menganggukkan kepalanya. Kedua tangannya berpegangan pada pundak kakaknya dan kakinya menginjak tumpuan yang diberikan Taufan. Dengan mudah Blaze mendorong dirinya naik keatas pundak kakaknya.
Dengan menginjak pundak Taufan, Blaze bisa melihat kedalam pondok berbahan kayu itu melalui lubang-lubang yang berbentuk persegi panjang.
Napas Blaze langsung terasa sesak dan ia pun meneguk ludahnya ketika melihat bagian dalam pondok itu, atau lebih tepatnya siapa yang berada didalam pondok itu.
Seorang remaja yang bernetra merah darah dan mempunyai surai-surai putih diantara rambut hitamnya. Remaja itu tertunduk lesu seperti kehilangan harapan hidup dan dalam keadaan terikat pada bagian lengan, badan dan tangannya.
Sementara di sisi remaja yang bernetra merah darah itu terlihat seorang lagi berbaju armless hijau tua dan tengah berbaring dengan kedua tangan terikat di depan badannya, diatas tumpukan rumput kering yang tertutup terpal. Lebih memilukan lagi adalah balutan perban yang memerah pada lengan kanannya
Blaze telah menemukan Halilintar dan Thorn.
"Pst ... Kak Hali," panggil Blaze dengan berbisik.
Halilintar yang berada tersekap didalam pondok itu langsung mengangkat kepalanya. "B-Blaze?" bisiknya lirih sembari menatap kearah lubang ventilasi berbentuk persegi panjang itu dengan netra merah darahnya yang berkaca-kaca.
Dengan hati-hati namun cepat Halilintar mendorong dirinya berdiri dengan bersandar pada dinding kayu tempatnya disekap.
"Kamu sendirian?" tanya Halilintar yang sudah berdiri dibawah lubang ventilasi dimana kepala Blaze terlihat menyembul.
"Ngga, aku sama Kak Ufan ... Bagaimana Thorn?"
Halilintar menggelengkan kepalanya. "Parah ... Thorn demam tinggi, lukanya infeksi."
Blaze mendecih kecil. "Sial ..."
"Blaze," panggil Halilintar lagi. "Apa rencanamu dengan Taufan?"
Sebelum menjawab, Blaze mengeluarkan pisau lipat miliknya dari dalam saku celananya. Ia membuka bagian pisaunya dan mengulurkan pisau lipat yang sudah terbuka itu melewati lubang ventilasi. "Pakai ini kak ... Lepaskan ikatanmu dan ikatan Thorn dulu," bisik Blaze seraya menjatuhkan pisau itu kedalam ruangan dimana kakaknya disekap.
Pisau lipat yang dijatuhkan oleh Blaze tepat mendarat diatas tumpukan rumput kering nyaris tanpa suara.
Harapan hidup Halilintar pulih kembali. Ia langsung menghampiri tumpukan rumput kering dimana Blaze menjatuhkan pisau lipat miliknya.
Halilintar merebahkan badannya setelah membelakangi pisau lipat milik adiknya yang baru saja dijatuhkan. Walaupun dalam keadaan tangan yang terikat, Halilintar dengan mudah mengambil pisau itu.
Dengan hati-hati agar tidak melukai dirinya sendiri, Halilintar menggesekkan sisi tajam pisau lipat milik Blaze itu pada tali yang mengekang lengan beserta badannya.
Untuk pertama kalinya Halilintar bisa bernapas lega. Tidak lagi dada dan lengannya terkekang lilitan tali yang membuatnya napasnya sesak. Dengan lengan yang lebih leluasa bergerak, Halilintar dapat menyentuhkan bilah tajam pisau lipat milik Blaze itu pada sisa tali yang mengikat pergelangan tangannya.
"Akhirnya ..." Halilintar meringis dan merintih kecil ketika tali yang mengikat kedua pergelangan tangannya terputus. Seluruh otot pada pundak beserta lengannya terasa nyeri, pegal dan kaku.
Rintihan diantara geraman Halilintar terdengar ketika ia mencoba menggerak-gerakkan tangan dan lengannya. Setelah sehari semalam terikat, seluruh otot lengan dan tangannya terasa masih sulit digerakkan
"Kak Hali ... oke?" tanya Blaze dengan berbisik selagi mengamati kakak tertuanya yang masih terduduk diatas lantai ruangan tempat kakaknya itu disekap.
Halilintar hanya menjawab dengan anggukkan kepala. Perlahan-lahan dan disertai rintihan mendesis Halilintar mendorong badannya untuk berdiri.
"Solar, dia-"
"Sudah kami selamatkan," jawab Blaze mendahului pertanyaan khawatir sang kakak tertua.
"Syukurlah ...," ucap Halilintar disertai dengusan lega napasnya. "Berarti tinggal aku dan Thorn ... Apa rencanamu, Blaze?"
"Masih kupikirkan ..."
"Apapun rencanamu dan Taufan, cepat kerjakan." Halilintar menunjuk kearah Thorn yang tertidur diatas tumpukan rumput kering dan terpal. "Dia harus dibawa kerumah sakit."
Blaze menengok kearah Thorn. Desisan penuh amarah kekesalan terdengar dari antara kedua rahangnya yang mengatup rapat
Wajah Thorn terlihat pucat dan alis matanya sesekali gemetar berkedut. Bibir mungilnya terlihat membuka-tutup seakan hendak berkata-kata namun tidak mampu.
Blaze menarik napas panjang dan berusaha menenangkan dirinya. "Oke, biar aku dan Kak Ufan yang mencari cara mengeluarkan Kak Hali dan Thorn." ucapnya sebelum kepalanya menghilang dari lubang ventilasi pondok berbahan kayu yang dijadikan markas para pemburu haram itu.
"Jangan lama-lama ...," bisik Halilintar pada dirinya sendiri seraya mengusap-usap pergelangan tangannya yang membiru dan penuh luka lecet akibat bergesekan dengan tali yang mengikatnya sejak kemarin siang.
Halilintar melangkah mendekati adiknya yang terbaring lemah diatas tumpukan rumput kering. Dengan cepat Halilintar memotong tali yang mengikat kedua pergelangan Thorn.
"Mmh ... Kak ... Hali?" Suara Thorn terdengar begitu lemah dan gemetar. Bibir mungilnya hampir tidak mampu membuka ketika ia berbicara.
"Sst ... tenang, Thorn ... Kita akan selamat," bisik Halilintar seraya berjongkok disamping adiknya itu. "Blaze dan Taufan sudah menemukan kita, ucap si kakak yang bernetra merah darah itu sembari mengelus kepala dan dahi Thorn yang terasa panas.
Kedua kelopak mata Thorn bergetar ketika ia mencoba membuka matanya. Netra hijau tuanya yang biasanya terlihat ceria dan berbinar kini terlihat nanar dan pudar.
"Kak ... Hali ... sudah ... bebas?" tanya Thorn dengan suara yang hampir tidak terdengar.
"Sudah," jawab Halilintar seraya memperlihatkan tangannya yang masih menggengam sebuah pisau lipat. "Ikatan tanganmu juga sudah kupotong."
Thorn memaksakan sebuah senyum pada bibirnya yang pucat. "Terima ... kasih ... Kak," gumamnya dengan suara yang semakin lembut dan kelopak mata yang kembali menutup.
"Thorn?" panggil Halilintar ketika ia melihat adiknya itu mengatupkan matanya.
"Aku ... mau tidur dulu kak ... lelah," gumam Thorn seraya memiringkan kepalanya.
Halilintar meneguk ludahnya ketika ia melihat adiknya itu hendak kembali terlelap. "Ja-jangan Thorn. Nanti kamu ngga bangun lagi!" ucapnya seraya menggoyangkan tubuh adiknya yang terasa panas.
"Lelah ... Thorn ... Le ... lah ..."
"Thorn?" Kembali Halilintar menggoyangkan tubuh adiknya itu. Tidak ada reaksi yang ia dapatkan.
"Ti-tidak ... Thorn ... jangan." Bibir Halilintar berkedut gemetar dan wajahnya memucat. "Bangun Thorn ... Kumohon ... bangun," lirih sang kakak seraya menggoyang-goyangkan tubuh adiknya lagi.
Tidak ada reaksi.
Kedua kelopak mata Thorn tidak membuka, hanya bibirnya saja yang terlihat gemetar
"Kak ... aku betulan ngantuk ... Dari kemarin aku ngga bisa tidur," geram Thorn yang berusaha untuk beristirahat. "Mana bisa ... tidur dengan tangan diikat?" keluhnya lagi seraya memiringkan badannya, mencari posisi tidur yang lebih nyaman.
Halilintar langsung menghela napas lega. kekhawatiran terburuknya yaitu harus kehilangan seorang adik baru saja terlewati. "Dasar troublemaker," bisik Halilintar seraya menggelengkan kepalanya.
"Tidurlah, Thorn ... Nanti kubangunkan kalau sudah waktunya pulang." ucap Halilintar lagi seraya mengelus kepala dan kening adiknya yang tengah mendengkur lembut.
Entah apa yang dimimpikan Thorn, namun apapun mimpi itu pastilah jauh lebih indah daripada keadaannya saat itu karena sebuah senyuman terlihat pada bibir Thorn ketika Halilintar membelai-belai kepalanya.
.
.
.
Bersambung.
