Previous chap:

"Jadi kau tau persis perasaanku padamu, kan? Bagaimana? Bagaimana rasanya? Puas kau menertawainya?" mimik muka Alucard berubah beringas.

Kakinya memotong jarak mereka berdua.

Gusion berjalan mundur sedikit demi sedikit menghindari Alucard. "Apa yang salah denganmu? Aku tidak mau melihat kau dan Lance-nii selisih paham!"

BAM!

Alucard menonjok dinding hingga terasa bergetar. Iris biru secerah langit itu mengkilap tajam. Mengintimidasi Gusion yang tersudutkan.

"Aku benci perasaanku diremehkan." kalimat pengakhir pertemuan mereka. Lalu Alucard melenggak pergi.

Gusion gemetaran. Bukan karena takut, tapi amarah. Rajaman sakit hati melengkapi kekecewaannya.


All Heroes in MLBB (c) Moonton

Warn!

YAOI, LEMON, OOC yang keterlaluan, BOYSXBOYS, AU, mengandung unsur-unsur Jepang biar suasana yaoi-nya ngena, hehe. /slap!

Terakhir, fic ini ditujukan untuk kaum fujoshi/danshi. Jadi kalo gak suka jangan baca, OK?


Tak hanya sinar ultraviolet memanaskan suhu tubuh Alucard, namun hatinya ikut mendidih. Dia paham betul, Gusion tidak patut disalahkan atas egonya sendiri. Betapa dia ingin memiliki pemuda surai coklat itu seutuhnya.

Segala usaha dia kerahkan untuk menghalau perasaan terlarang itu sejauh mungkin. Bahkan kemolekan gadis-gadis seusia mereka tak sebanding dengan keindahan Gusion yang alami. Berulang kali Alucard menyalahkan Dewa yang menggariskan takdir tak berujung pada mereka.

"Ah," tanpa sadar dia sudah di depan gerbang kediamannya. Enggan bagi Alucard untuk membuka engsel gerbang itu. Alucard kembali menemui Gusion, lalu mengatakan betapa dia mencintai pemuda keras kepala itu dan mencium bibirnya.

Andai saja bisa semudah itu.

Senyum miris mengiring Alucard menapaki pekarangan rumahnya. Bola mata safirnya sedikit mendung. Tidak lagi secerah langit yang disukai Gusion.

Adakah harapan baginya?

Kali ini, pikiran tentang Gusion harus disingkirkan sejauh mungkin. Bukan karena cintanya yang bertepuk sebelah tangan. Tetapi sosok berbadan tegap berdiri di hadapan Alucard. Seakan menerkam Alucard dengan pandangan dingin dan mencambuk kengiluan hatinya lebih keras. Terlebih, sosok itu dipanggil 'ayah'.


Gusion bersandar pada tembok, perlahan badannya mulai merosot ke bawah. Lemas. Pemuda itu berakhir meringkuk di dalam kamarnya.

Aneh.

Rasa sesak dalam dada menggelitik hatinya. Gusion termenung. Memahami situasi yang sedang dia hadapi. Belasan tahun Gusion lewati bersama Alucard. Sekarang situasinya berbeda. Tidak bisakah dia bertindak jujur pada diri sendiri? Gusion perang batin.

"Bagaimana aku menghadap Alucard nanti?" Gusion meremas rambutnya. Semua di luar akal sehat.

"Si Bodoh itu menjebakku dalam permainannya," Gusion bergumam. "Sekarang bagaimana? Aku semakin mencintainya."

Gusion meraung dalam hati. Gusion tahu, dia dan Alucard terjerat benang merah yang kusut yang tak akan pernah terurai.


Seseorang mengendap-endap. Mata biru dibalik kacamata hitam itu meneliti keadaan sekitar. Tubuh mungil itu berjalan tanpa suara. Mantel kulit miliknya melambai-lambai menyapa tatapan heran orang-orang terhadapnya.

"Manager baru itu memang menyebalkan," pemuda itu menggerutu di tengah pusat belanja. Langkah kakinya sedikit lebih santai setelah ia rasa aman.

"Dia menjanjikanku liburan dengan tenang setelah film itu debut. Sekarang lihat, dia dan para pria seragam hitam sedang mencariku kemana-mana. Seharusnya Nana tidak menunjuk Zilong menganggantikan posisinya." ia merogoh saku mantelnya mencari ponsel pintarnya.

"Puluhan panggilan, ratusan pesan. Huh... dia memang gila." ia langsung mematikan daya smartphone-nya. Saat ini ketenangan adalah prioritas utama.

Otaknya berputar mencari tempat pelarian yang lebih aman. Orang-orang mulai curiga pada penampilannya yang aneh. Tapi sayangnya, ia tak punya banyak waktu untuk berpikir kemana ia akan pergi.

"Menginap di motel bukan ide yang buruk. Yang penting aku aman, nyaman, dan tenteram."

Pria mungil itu berjalan riang menjauhi kerumunan orang-orang yang masih meniliknya dengan heran.

"Dasar bodoh, dia pikir sudah lepas dari genggamanku."

Zilong, sang Manager, menyeruput kopinya dengan senyuman sinis. Zilong berkamuflase di antara pelanggan coffe shop. Tidak sia-sia rekannya menawarkan software pelacak padanya secara cuma-cuma. Lama sudah pantatnya bertengger di atas kursi itu menunggu pemuda itu tersesat dengan jalannya sendiri. Sementara pemuda surai perak itu melewati dirinya, Zilong mencari kontak seseorang lalu menghubunginya.

"Ah, selamat siang, Alice-san. Mohon maaf, bintang kami tidak dapat mengikuti casting Anda. Mungkin aktor-aktor lain dapat mengantikannya. Ah... begitu. Kami mohon maaf telah mengecewakan Anda. Baiklah, terima kasih atas pengertian Anda, Alice-san."

Usai panggilan itu, Zilong menyeruput kopinya terakhir kali. "Untuk sementara kau akan kubebaskan. Tunggu ketika aku merenggut duniamu, kau akan lupa cara untuk bebas."


Di kediaman Alucard, keluarga kecil itu berkumpul mengitari kotatsu. Kimmy tampak senang dengan kepulangan sang ayah, ia bicara tanpa henti tentang apa saja yang ia lalui selama sang ayah bertugas.

Natalia tersenyum simpul memandang sikap anak gadisnya. Sudut matanya teralih pada wajah datar Alucard. Wanita paruh baya itu tahu betul bagaimana hubungan antara mereka; Alucard dan ayahnya.

"Aku juga membawa hadiah sebagai oleh-oleh," kepala rumah tangga meletakkan dua bingkisan dengan hiasan pita.

"Ini untuk puteriku yang cantik, dan istri yang kucintai." ia membagikan bingkisan itu pada dua perempuan yang sangat ia kasihi.

Kimmy menerima bingkisan itu dengan antusias. "Tou-san, mana hadiah untuk Alucard?" Kimmy menatap heran pada sang ayah.

Ia juga tahu bagaimana hubungan antara ayah dan adiknya. Bukankah sedikit berlebihan jika ayahnya mengabaikan Alucard?

Sepatah kalimat pertanyaan Kimmy langsung mengubah air muka sang ayah.

"Dia itu laki-laki. Yang dibutuhkan laki-laki hanyalah keahlian, harga diri, dan derajat yang tinggi. Bukan sebuah bingkisan."

Alucard mengatup rahangnya. Dia tak sudi memandang siapa lawan bicaranya. Natalia menghela napas, ia meletakkan bingkisan itu di atas kotatsu.

"Tigreal-san..." dengan lembut Natalia memanggil suaminya. "Tidakkah tindakanmu begitu keras padanya?" Natalia menepuk bahu Alucard.

Tigreal, sang ayah, melirik Alucard sejenak. "Kau tidak tahu cara mendidik seorang anak laki-laki dengan benar, Natalia. Sikapmu hanya membuatnya menjadi anak yang manja." Tigreal meneguk secangkir teh yang telah dihidangkan Natalia.

Perkataan Tigreal seakan menjadi pemantik bagi emosi Natalia yang sudah lama ia pendam sendiri.

"Bagaimana kau bisa memperlakukan anakmu sendiri seperti itu? Aku merawatnya dengan sepenuh hati, dan aku selalu berharap dia akan menjadi laki-laki yang belas kasih. Bukan menjadi laki-laki egois dan ambisius!"

"Aku mendidiknya menjadi laki-laki yang kuat, itu juga demi kebaikannya."

"Demi kebaikan? Bukankah lebih tepat untuk memuaskan ambisimu yang tak pernah tercapai? Apa kau pikir itu mendidik?"

"Hah, pantas saja dia begitu lemah dan bodoh. Kau yang mengajarinya. Anak-anak temanku sudah terjun ke dunia politik, kenapa anak-anak orang lain lebih membanggakan?"

BRAK--

Tigreal menoleh pada cangkir teh yang menggelinding jatuh ke lantai. Teh hijau itu pun tergenang dan mengalir ke berbagai arah.

"... cukup." Alucard menggeram.

"Cukup, Kaa-san. Aku yang lebih tahu diriku sendiri. Dan yang berhak mengendalikan hidupku, adalah aku. Bukan oranglain."

"Kau--!"

Kesegitan Kimmy berhasil menahan kepalan tangan Tigreal yang tertuju pada wajah Alucard.

"Hentikan, Tou-san..." suara parau Kimmy meluluhkan hati Tigreal. Tigreal melemaskan otot-ototnya. Tak sampai hati melihat Kimmy.

"Geh, kadang kala aku berharap terlahir sebagai perempuan, atau tidak dilahirkan sama sekali." Alucard segera meninggalkan mereka yang bergeming

Alucard berjalan menuju ruang pribadinya. Matanya panas. Sadar jika sesuatu akan mengalir di sudut matanya, Alucard setengah berlari masuk dalam kamar. Dia membanting pintu lalu menguncinya. Semogs tidak ada yang mengetuk pintunya hanya untuk bicara omong kosong

Alucard mendekati cermin besar di sudut kamarnya lalu terdiam beberapa saat.

"Aku tidak lemah..." Alucard berkata dengan lirih.

"Aku tidak lemah..."

"Aku tidak lemah..."

Alucard menyerah. Dia tak bisa lagi menahan perih di ulu hati. Alucard teriak dalam diam--tetes demi tetes.


Gusion tersentak bangun. Dia tidak ingat bagaimana dia bisa tertidur begitu pulas. Gusion buru-buru mengambil ponselnya.

Pukul 08.06 PM. Artinya sudah tujuh jam dia tertidur.

"Aku pasti gila," Gusion bergumam.

Pikiran Gusion kembali kalut saat bayangan alucard terbesit dalam benaknya. Wajah Alucard yang menggambarkan rasa kecewa sangat jelas dalam ingatan Gusion. Pemuda surai coklat itu menarik napas panjang.

"Mungkin aku harus menemuinya? Tapi apa yang harus kukatakan? Minta maaf? Namun untuk apa?" Gusion memijit dahinya.

Satu-satunya yang membuat Gusion bimbang adalah rasa ingin menemui Alucard yang begitu kuat. Gusion seperti mendengar suara Alucard yabg memanggil namanya, dia sendiri tidak mengerti.

Gusion mempertimbangkan keputusannya; antara mengikuti kata hati atau mengikuti ego.

"Baiklah, sekali ini saja."

Gusion bergegas menemui Alucard.


Harith menelusuri tiap gang mencari udara segar tak jauh dari motel tempat ia menginap. Jalan mulai tampak sepi dan udara dingin makin menusuk kulit. Ia merapatkan pakaian hangatnya.

Ia lega orang-orang disini tidak begitu familiar dengannya, meskipun beberapa orang memandangnya dengan skeptis.

Harith menikmati setiap langkah kakinya. Ia sulit untuk menikmati waktu sendiri. Nana selalu memergokinya setiap Harith ingin pergi sendiri kemana pun. Kendati Harith yakin tidak ada yang berminat menculiknya, tapi Nana selalu membantah kalau organ dalam adalah dagangan paling laris di pasar gelap.

Dan sekarang Nana menitipkannya kepada orang gila yang selalu mengawasi gerak-geriknya setiap waktu seperti orang yang tidak ada kerjaan. Daripada manajer, Harith lebih menganggap Zilong seorang penguntit. Harith merindukan seorang Nana.

"Ah," Harith berhenti di ujung jalan. Ia tak sadar sudah berjalan cukup jauh dari motel. "Semoga aku tidak tersesat."

Harith berputar arah menuju jalan sebelumnya. Manik biru Hatith menangkap sebuah celah sempit di antara dua bangunan. Pencahayaan yang minim membuat tempat itu terlihat menakutkan. Harith mempercepat langkah kakinya dengan perasaan was-was.

Sayup-sayup Harith mendengar gelak tawa sekumpulan orang dari gang sempit itu. Ia yakin tidak ada orang disana ketika ia melewati gang itu. Suara orang-orang itu semakin jelas, ditambah lagi Harith mendengar dentingan botol-botol kaca.

Saat Harith berjalan di depan gang itu, sekumpulan orang disana teralih kepadanya.

"Eh, ada seorang gadis disana," salah satu dari mereka menunjuk Harith.

"Dia laki-laki, dasar bodoh!" teman pria itu menyahuti pria yang memandang Harith dengan nafsu.

"Tidak, dia perempuan!" kata pria itu lagi.

"Kenapa kalian tidak menghampirinya dan memastikannya sendiri? Jika dia bukan sesuatu untuk bersenang-senang, kita bisa ambil uangnya." timbrung salah satu mereka.

Kedua pria itu bertatapan dan saling melempar seringai keji.

Harith yang mendengar perbincangan mereka mulai berlari. Sekarang ia percaya ucapan Nana.

Dua orang itu mengejar Harith. Sesekali mereka meneriaki Harith untuk berhenti. Yang benar saja, pikir Harith, siapa yang mau sukarela menyerahkan diri ke hadapan mereka?

Harith menambah kecepatan larinya. Entah bagaimana, jalan yang tadinya masih ada beberapa orang berlalu-lalang kini hanya menyisakan dirinya dan dua penjahat yang mengejarnya. Harith menoleh, dua orang itu sudah dekat. Ia tak habis pikir bagaimana orang-orang itu masih mengejarnya, padahal mereka tak akan mendapati apapun darinya.

Salah satu pria itu berdecih. Ia berlari kencang mendahului temannya. Harith tidak menyadari tangan pria itu berusaha meraih ujung bajunya.

BRUK!

Harith mengerang begitu ia terpelanting ke tanah. Dua pria itu segera mengunci kaki dan tangannya.

"Keh, kau pikir kau mau kemana? Hei, Terizla. Cepat ambil uangnya! Oi!"

Terizla, yang sudah mabuk kepalang memandang Harith dari ujung kaki hingga ujung rambut.

"Apa yang kau tunggu?" teman penjahat itu menyorakinya lagi.

"Kau yakin dia tidak bisa dijadikan sesuatu untuk bersenang-senang huh, Moskov?" Harith merintih ketika tangan Terizla mengapit rahangnya dengan kasar.

"Kau memang gila. Tapi aku hanya peduli pada uangnya." Moskov meraba pakaian Harith.

"Bajingan jelek! Apa tidak ada wanita yang tertarik pada tampang jelek kalian, hah?" umpatan Harith menghentikan Moskov.

Moskov bergeming. Untuk sementara Harith merasa menang, sayangnya kebanggaan itu harus sirna begitu saja. "Kau ingin menjadi wanita kami malam ini? Baiklah, jika kau menantang." Moskov memberi aba-aba pada Terizla untuk membawa Harith ke perkumpulan mereka.

Harith memberontak lebih kuat. Dia menendang perut Terizla, membuat pria besar itu mundur berapa langkah. Terizla akan segera menghantam Harith dengan palu, benda yang selalu bertengger di gesper miliknya. Namun Moskov lebih dulu menunjang perut Harith sampai pria mungil itu tersungkur dan mengerang kesakitan.

"Ukh..." kehilangan harta jauh lebih baik daripada kehilangan harga diri, pikir Harith.

"Hanya pukulan kecil begitu kau sudah sekarat, eh. Ketua pasti senang sedikit bermain-main denganmu," Moskov membekap mulut Harith dan menyeretnya ke perkumpulan mereka.

Harith bertanya-tanya mungkinkah malam ini merupakan akhir hidupnya?

Tak lama Harith tenggelam dalam ratapannya, Moskov melempar Harith sekencangnya ke tanah.

"Wah, wah. Apa ini? Kupikir kalian hanya ingin uangnya," suara melengking itu menggema sepanjang jalan gelap.

"Sedikit bersenang-senang tidak masalah, kan?" Harith merinding mendengar ucapan Moskov. Penjahat itu tidak main-main dengan ucapannya.

Harith mengadahkan kepala, tepat di atas tempurung kepalanya, sosok laki-laki berdiri dengan jubah biru memandang rendah ke arahnya. Harith yakin laki-laki itu yang disebut ketua oleh Moskov.

Sadar jika diperhatikan, laki-laki berjubah itu menginjak kepala Harith.

"Begitu, ya? Mari kita lihat apa yang bisa dia berikan."

"Tapi, Helcurt-san," jeda Moskov, "Lebih baik kita beri dulu peluang pertama untuk Terizla. Dia begitu tertarik dengan bokong rata kerdil ini." kaki Moskov meraba tulang ekor Harith.

"Orang-orang berengsek..." gumam Harith.

Suasana hening. Helcurt, ketua mereka, terkekeh geli.

"Wah, kau punya mulut yang besar untuk badan yang kecil."

DUAK!

DUAK!

DUAK!

Helcurt menyepaki Harith tanpa ampun. Pria surai perak itu hanya bisa mengerang. Berguling kesana-kesini. Darah mulai mengalir dari pelipis dan sudut bibir Harith

"Keparat!"

DUAK!

Hingga tendangan terakhir, Harith terpental di bawah kaki Terizla.

"Dengar, semuanya! Kalian bisa menikmati cecunguk ini sepuasnya dan apapun yang ingin kalian lakukan! Kalian dengar? Apapun!" Helcurt merentangkan tangan, berputar di tengah para anak buahnya.

Jari telunjuk Helcurt menunjuk Terizla, "Kau yang lebih dulu mencobanya. Setelah itu, rekan-rekanmu ini akan bersamaan merasakan hasratmu yang membara."

Bahu Terizla naik-turun. Gendang telinga Harith menangkap deru napas berat Terizla. Harith merasa jijik. Dia ingin muntah. Tapi jika malam ini akhir kisah hidupnya, Harith pasrah.

Langit bergemuruh, seolah meredam kebejatan para penjahat di ujung gang itu. Harith berdoa dalam hati agar dia mati saat itu juga.


Gusion ragu. Tangannya menggantung di udara, segan untuk menekan tombol bel rumah Alucard. Pikiran Gusion berkecamuk. Rupanya sang ego masih enggan untuk kalah.

Gusion melirik kantung plastik di tangan kirinya. Sebelumnya, dia menyempatkan diri untuk mampir di toko kelontong me1mbeli beberapa cemilan favorit Alucard. Tapi bagaimana jika Alucard benar-benar mempermainkan perasaannya? Dan semua ini sia-sia?

Gusion mengulum bibir. Entah apa yang akan terjadi, Gusion tidak ambil pusing.

Ding, dong...

Gusion menekan bel sekali. Harap-harap cemas. Bisa jadi malam ini dia pulang dengan tangan kosong sebab Alucard mengabaikan kedatangannya. Tumpukan pikiran buruk Gusion musnah tatkala dia mendengar suara pintu terbuka dari dalam.

Jantungnya berdegup tak karuan. Gusion salah tingkah sendiri. Naas, Gusion seperti kalah undian. Orang yang berdiri di depannya bukan yang dia harapkan.

"Eh, Sion-kun?" Kimmy memandang Gusion bingung.

"Ah, maaf, Kimmy-nee. Malam-malam begini..." Gusion menggaruk pelipisnya. "Alucard ada di rumah?" Gusion menatap Kimmy sumringah.

"Maaf, Sion-kun. Alucard sedang pergi. Kau ingin menunggunya?" Kimmy tersenyum kecil.

Ego Gusion mengolok-olok perasaannya sendiri. Seharusnya dia tahu semua akan sia-sia.

"Ah, tidak perlu. Mungkin lain kali," Gusion menolak halus tawaran Kimmy.

Gelegar petir sayup-sayup kembali terdengar di langit.

"Sebentar, akan kuambilkan payung." belum sempat Gusion pamit pulang, Kimmy setengah berlari ke dalam rumah.

"Ini, pakailah. Untuk jaga-jaga," Kimmy menyerahkan payung lipat miliknya.

Gusion merasa tak enak hati jika menolak kebaikan Kimmy. Mau tak mau dia menerima payung itu. Wajah Kimmy bersemu.

"Kau bisa menyimpannya untukmu." ujar Kimmy.

Gusion diam. Pikirannya terlalu kosong untuk menguntai kata. "Terimakasih, Nee-san."

Setelah pamit dan gerbang itu terkunci, Gusion melangkah lunglai. Rintik-rintik hujan mulai membasahi bumi. Gusion tak berniat membuka payung lipat itu. Dia membiarkan tubuhnya diguyur hujan deras. Barangkali itu bisa menenangkan pikirannya yang semrawut.

Gusion melamun. Benarkah yang dia rasakan itu cinta? Atau dia hanya ingin menjaga persahabatan mereka?

Lamunan Gusion buyar begitu dia menabrak punggung seseorang.

"Gusion?"

Gusion terhenyak. Dia mengamati si empu suara dengan pilu.


Alucard melintasi jalan sepi. Tetes hujan menyelimuti badannya yang terbalut luka batin. Tanpa baju hangat atau payung, Alucard berjalan lurus. Padahal dia sendiri tidak tahu kemana arah tujuannya.

Sudut

mata Alucard menangkap siluet di ujung gang gelap. Dia memincingkan mata, memastikan apa yang tengah dia lihat.

Rentetan hujan deras menghalau indera pengelihatan Alucard, dia memutuskan mendekati siluet itu. Ada sedikit rasa gelisah dalam hati Alucard karena semakin dia mendekat, siluet itu semakin membentuk wujud manusia.

Alucard terbelalak kaget begitu dia mendapati seseorang tak sadarkan diri dengan lebam di sekujur tubuh dan bercak darah di tanah. Lebih mengejutkan bagi Alucard adalah dia mengenali siapa orang yang sedang berada di ambang kematian di depan matanya.


Gusion menyarungi tubuh dengan selimut tebal. Dia duduk di sofa sembari menyeruput teh hangat. Mata sembab serta tatapan yang kosong menimbulkan rasa sakit dalam hati Chou.

Ia pun tahu siapa yang membuat Gusion murung.

Chou baru siap memasak dua porsi mi instan untuk mereka berdua. Ia meletakkan mi itu di atas meja lalu duduk di sebelah Gusion.

"Sesuatu terjadi?" Chou buka pembahasan, "Antara kau dan dia?"

Gusion diam seribu bahasa. Dan itu sangat menjawab pertanyaan Chou. Ah, lagi-lagi si berengsek, Chou membatin.

"Aku tidak yakin ini tentang kami, atau hanya aku, atau juga hanya dia. Tapi melihatnya kecewa seperti itu aku merasa tidak nyaman." Gusion berkata dengan datar.

Dahi Chou mengernyit. Ia menerka-nerka apa yang sedang terjadi dengan mereka. Terlebih pada Gusion.

"Kau ingin cerita lebih lanjut?" Chou mengamati wajah Gusion.

Gusion menggelengkan kepala. "Mungkin saat ini bukan waktu yang tepat, ya? Tapi, coba lihat! Aku masak mi instan kesukaanmu!" Chou mengacak-acak rambut Gusion.

Pemuda surai coklat itu menghiraukannya. Chou tak putus asa. Ia mengangkat mangkuk mi instan tersebut lalu menghadapkan ke muka Gusion.

"Lihat, telur mata sapi setengah matang ini! Kuning telurnya persis karakter lucu menggemaskan itu, kan?" Chou menggoyang-goyangkan mangkuk mi.

Gusion tampak tak tertarik. Chou ingat Gusion pernah seperti ini setiap kali dia sedih atau merasa kesal waktu kecil. Chou lega karena Gusion masih seperti yang ia kenal dan ia tahu bagaimana menyikapi prilaku Gusion.

Chou menyumpit mi itu kemudian mengarahkan ke mulut Gusion.

"Kau ingat, saat kau sedang kesal atau sedih sewaktu kecil, kau selalu datang padaku. Hingga suatu hari kau memintaku untuk memasak mi instan lantaran Kadita-san melarangmu makan makanan cepat saji?" tanya Chou lemah lembut.

Ya, Gusion ingat. Ingat betul bagaimana Kadita menghajarnya dengan rotan setelah itu.

"Aku merasa bersalah sampai aku harus menahan diri untuk tidak bermain denganmu untuk beberapa saat. Apa kau ingin seperti dulu lagi sekarang? Kau ingin aku merasa bersalah karena tidak mempedulikanmu, dan aku akan pergi dari hadapanmu untuk waktu yang sangat lama? Kau ingin mengulang kejadian itu?"

Perkataan Chou meruntuhkan ego Gusion dan akhirnya dia melahap mi itu tanpa bicara.

Chou tersenyum puas. Ia tak lagi menggigil terbungkus baju yang basah. Setidaknya Gusion dalam keadaan yang baik. Memandang Gusion seperti ini memercikan kehangatan ke dalam hidupnya yang dingin.


Di tempat yang berbeda, Alucard membopong Harith menuju rumah sakit sekitar. Dia menanggalkan pakaiannya agar dapat menutupi Harith tanpa sehelai benang yang tersisa. Pakaian Harith habis terkoyak. Alucard mengutuk dalam hati siapapun yang melakukan ini sudah pasti lebih dari binatang.

Hujan semakin berat. Alucard menyesali keputusannya meninggalkan smartphone miliknya di rumah. Dan lagi, tak ada orang yang melihat mereka bahkan sepintas pun.

Ditengah semi kesadaran Harith, ia mencermati wajah Alucard yang bersusah payah menolong dirinya. Bibir Harith gemetar, ingin mengucapkan terimakasih. Tapi tak lama kemudian ia kembali tak sadarkan diri.


to be continued...


A/N: Halo, Kyu disini!

Maaf kalau alurnya makin ngelantur gak jelas :) Awalnya saya pengen alurnya dicepetin, tapi agak susah karena perlu ketik ulang supaya jalan ceritanya tetep utuh. Padahal di a/n sebelumnya saya blg gak sabar namatin fic ini. Gomen :3

Chapter ini sangat sangat sangat lama prosesnya, ada beberapa faktor dan salah satunya itu urusan di kehidupan nyata. Heheu.

Dan chapter ini sampai seterusnya saya gak ngetik terlalu panjang. Karna kalo panjang saya takut kalian bosen bacanya.

Terimakasih untuk yang nge-follow, nge-review, dan nge-favorit fic ini. Kalian semangat saya. Segala kritikan dan saran yang membangun sangat saya apresiasi. Bantu doa supaya fic ini rampung, ya! Sankyuuu!